"Ugh!"
Silau cahaya dan suara kendaraan membuat Delia terbangun. Ia melirik sekitar dan menemukan dirinya di kursi besi. "Ya Tuhan, jadi semalam aku tidur di sini?" Semalam, ia berbohong pada Andrew dan mengatakan bahwa Rafael memperlakukannya dengan baik. Tak mungkin bukan ia mengatakan bahwa terusir dari kamar pengantinnya sendiri, kan? Bisa-bisa, keluarga besarnya akan ribut. Delia menghela nafas berat. Diputuskannya kembali ke hotel. Ia akan mengambil beberapa barang lalu pulang ke rumah orang tuanya. Toh, tidak ada gunanya bagi Delia untuk tetap di sana. Lebih baik, perempuan itu bekerja. Namun, ketika Delia tiba di pintu kamar bernomor 107 itu, ia justru terdiam. Berulang kali, dia menarik nafas–menguatkan diri sebelum membuka pintu dengan sangat pelan. "Kau dari mana saja?" sinis Rafael dengan wajah mengantuk. Pria itu bahkan masih bertelanjang dada. Delia tertegun. Tanpa sadar, matanya memperhatikan kondisi kamar hotel yang sangatlah berantakan. Terdapat banyak botol minuman keras di area ruang tamu. Lalu, Gladis–kekasih suaminya itu–tampak tidur dengan nyenyak di tempat yang seharusnya ditempati Delia. “Hei!” bentak suaminya mendadak, “apa kau sekarang benar-benar tuli, ya?” "Aku dari lobi hotel," ucap Delia. “Lalu?” Diabaikannya pertanyaan Rafael dan justru mengepak barang-barangnya di kamar itu. “Hei!” bentak suaminya itu. Rafael bahkan mencekal tangan Delia. “Maaf, Raf. Tapi, aku ingin pulang.” "Pulang? Memang, siapa yang menyuruhmu pergi dari sini?" Cengkeraman Rafael semakin kuat, hingga membuat Delia meringis perih. "Lepaskan, Raf! Aku harus pergi ke kantor hari ini," ucap perempuan itu. Wajah Rafael mengeras, ia semakin murka mendengar jawaban Delia. "Oh, kau ingin ke sana dan menceritakan perlakuanku kepada sepupumu?" "Dasar manja!" Rafael mendorong Delia pelan. Namun, karena tak ada tenaga, perempuan itu justru terjatuh. Hampir saja, tangannya jatuh mengenai botol kaca yang berserakan di sana. Delia menahan pedih di hati. "Bahkan, aku tidak berpikir seperti itu, Raf," ucap Delia membela diri. "Halah! Memangnya aku percaya dengan mulutmu itu! Kau itu licik!" Delia tak menjawab, kepalanya tiba-tiba terasa pening. Namun, ia meredamnya dengan menutup mata sekejap. Sayangnya, sakit di kepalanya itu semakin terasa menyerangnya. Rafael lagi-lagi tak menyadari itu. Pria itu justru semakin kejam memperlakukan Delia. "Aku tidak mau tahu, kau harus membersihkan tempat ini, hingga bersih!" geramnya. “Bukankah ada cleaning service, Raf?” tanya Delia susah payah sembari menahan diri agar tidak ambruk. Rafael tampak melipat tangannya di dada lalu melihat Delia sinis. "Aku mau kau yang merapikannya.” “Delia, ini kan yang kau mau? Melayaniku sebagai istri,” lanjutnya, “tapi, tenang saja. Aku tidak akan membiarkanmu bahagia setelah kau merenggut nyawa Renata. Bersiaplah di neraka yang kubuat." Rafael lalu kembali ke ranjang yang saat ini masih ditiduri Gladis—meninggalkan Delia yang susah payah berdiri. Perempuan itu seketika sadar bahwa perutnya kosong sejak semalam. Tertatih, ia mencari apapun di kamar hotel yang bisa ia makan. Seingatnya, semalam ia membawa brownies pandan dari acara pesta. ‘Semoga masih ada,’ harap Delia dalam hati. Untungnya, ada satu slice kue yang tersisa. Ia pun menarik kedua ujung sudut bibirnya dan memakan kue itu untuk mengganjal perutnya. Belum genap 24 jam Delia menjadi istri Rafael, tetapi pria itu terus menyiksanya. Entah bagaimana neraka yang pria itu janjikan? "Buatkan aku sarapan!" Suara arogan wanita membuat Delia mendongak. ‘Kekasih Rafael’ itu tampak menatapnya tak suka. "Tanganmu masih lengkap, buatlah sendiri," sahut Delia–kembali menikmati brownies pandannya, “atau … kau bisa pesan ke bawah. Kau punya uang, kan? Wanita yang menggunakan baju transparan dan sangat minim itu tampak kesal. "Kau berani padaku!" teriaknya. "Huh?" Delia mengangkat sebelah alisnya bingung dengan pernyataan wanita tersebut, “memangnya, kau siapa sampai membuatku takut?" Jika Rafael yang menyuruhnya, mungkin Delia akan menuruti. Pria itu adalah suaminya. Tapi, siapa perempuan ini? "Dasar wanita pembunuh!" maki Gladis mendadak. Reflek Delia menggebrak meja. "Tutup mulutmu!" "Kenapa? Kau memang pembunuh! Semua orang membencimu karena kau seorang pembunuh!" Tangan Delia bergetar. Hampir saja tubuhnya oleng kalau ia tidak sigap berpegangan pada sisi meja. Dadanya berdegup kencang, bayangan orang-orang yang menghakiminya berkeliaran di kepala wanita itu. "Ada apa, Sayang?" Delia mendengar Rafael datang, tapi ia tidak peduli. Kepalanya semakin terasa pening bahkan kini pandangannya mengabur. "Lihatlah istrimu itu! Berani-beraninya, dia membentakku!" ucap Gladis dengan mencebikkan bibir kesal, “padahal, aku hanya minta tolong untuk dibuatkan sarapan olehnya. Kau tahu aku punya maag, kan?” "Delia!" Suara Rafael tak kalah tinggi dari suara kekasihnya tadi. “Apa susahnya sih menuruti permintaan Gladis? Apa kau tak pernah berubah?” “Tapi, Raf–” Rafael tidak mempedulikannya. Ia justru melihat sekeliling dan menemukan tempat itu masih kotor. "Cepat bereskan kamar ini dan lakukan apa yang diinginkan Gladis!" Setelah itu, dia meninggalkan Delia dengan menggandeng Gladis. "Dia hanya beruntung tidak dipenjara," ucap Gladis kencang supaya Delia masih bisa mendengarnya. "Ya, kamu benar," sindir Rafael, “jika bukan karena keluarganya yang kaya itu, dia pasti sudah membusuk bersama para penjahat di sana.” Tangan Delia gemetar. Ia meneteskan air mata setelah punggung dua orang itu berjalan menjauhinya. Dengan sempoyongan, Delia mencari sesuatu alat yang bisa menyelamatkan keadaannya, hingga akhirnya ia melihat sebuah pisau buah yang berada di dalam keranjang buah. Segera, Delia mengambilnya dan buru-buru menggoreskan ke tangannya. Seketika darah mengalir cukup banyak dan Delia merasa tenang. Sudah lama kebiasaannya ini tidak kambuh. Namun, kembali lagi semenjak bertemu Rafael. Mungkin, ayah dan ibunya mengira hidup Delia jauh lebih baik bersama Rafael. Nyatanya, hidup bersama Rafael jauh merusak mental Delia. "Andai kalian tau siapa yang kembali membuatku ingin menyakiti diri, apa kalian tetap memaksa aku untuk menikah dengannya?"Delia belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi dalam hidupnya, terlebih dengan keadaannya sekarang. Ia kembali di waktu kala dirinya duduk di bangku sekolah.Atau semua kejadian memilukan itu hanyalah mimpi semata? Tapi kenapa ia merasa sangat lama dan nyata, jika benar itu mimpi. Dengan sedikit linglung, ia turun ke bawah. Seketika langkahnya terhenti ketika mendapati sang kakak, turut bergabung di meja makan bersama kedua orang tuanya. Pemandangan yang sangat Delia rindukan."Kakak di sini?" beonya, tanpa sadar air matanya menetes.Hal tersebut membuat ketiga orang yang tengah menunggunya untuk sarapan melongo. Mereka dibuat bingung dengan Delia.Buru-buru ia menghampiri Delina, -sang kakak kemudian memeluknya erat. "Maafin aku ya kak," ujarnya sambil tergugu.Delina cukup kaget dengan tingkah Delia, sontak ia menarik Delia untuk melepaskan pelukannya, "Dek lepasin dong. Aku lapar, kamu apa-apain sih?"Kejadian naas saat sang kakak terpental dari motor masih membekas di kepala D
Delia terkapar di dalam kamar mandi yang penuh darah, setelah pagi tadi ia mendapat tamparan dan jambakan dari Rafael. Karena laki-laki itu tidak terima ketika Delia menceritakan bahwa dirinya telah dipermainkan oleh mendiang Renata. Delia menceritakan bahwa sebenarnya Renata tidak mencintai Rafael, diam-diam gadis itu menjalin hubungan di belakang Rafael dengan Tristan -seorang kapten basket di sekolahnya dulu.Terpaksa ia membuka rahasia yang selama ini Delia pendam, saat jam istirahat Delia hendak pergi ke uks dan tidak sengaja ia melihat Renata sedang berciuman dengan Tristan. Delia kaget hingga menjatuhkan buku dan bolpoinnya. Mendengar itu Renata dan Rafael menyudahi aktifitasnya, kemudian Renata mengajak Delia keluar area sekolah. Renata mengancam Delia bahkan hendak mendorong Delia ke tengah jalan raya, tapi karena Delia mundur alhasil Renata yang jatuh dan tertabrak mobil dari arah belakang hingga menyebabkan wanita itu tewas.Namun kejujuran yang Delia ucapkan tidak membuat
Delia tidak menjawab, ia lelah. Kepalanya juga kembali pusing. Dia menyesal karena terlambat mengetahui niat jahat Rafael. Nasi sudah menjadi bubur, mau tidak mau Delia harus menjalani nasib buruk yang entah dia sendiri tidak tau kapan akan berakhir. Delia juga bingung, menderita yang bagaimana yang pria itu mau agar puas. Delia tidak akan tinggal diam, ia tetap akan melawan Rafael. Setidaknya meskipun dirinya tertatih melawan semua gemuruh di kepalanya, ia masih memiliki rasa ingin menjadi Delia dengan pribadi yang menyenangkan. Dulu ia hanya salah menjatuhkan hatinya pada iblis berwujud manusia dan berakhir seperti ini. Tetapi penyesalan itu tetaplah pernyesalan, tidak akan mengubah apapun dalam hidup Delia. Dalam benaknya ia tetap bertekad bahwa besok dirinya akan tetap bekerja. Apapun resikonya Delia tidak peduli, ia tau apa yang akan dilakukannya itu pasti menimbulkan amarah Rafael yang memuncak. Tapi biarlah, itulah tujuan Delia. Jika seandainya pun Rafael akan membunuhn
"Aku baik-baik saja, keluarlah aku ingin tidur," usir Delia. "Sialan kau memang Del, percuma saja aku mengkhawatirkanmu! Jadi khawatirkan dirimu saja sendiri sana!" Delia menyahut hanya dengan gumaman. "Tidak ada harga dirinya CEO di sini," cerocos Andrew lalu mengikuti perintah Delia. Andrew tidak benar-benar marah Delia, begitulah cara interaksi antara keduanya. Sebenarnya Andrew merasa ada kejanggalan pada Delia, sejak kapan wanita itu betah berada di kantor? Ia paling senang jika pulang lebih awal, tapi sekarang? "Lama-lama kepalaku pecah memikirkan Delia," monolog Andrew seraya turun ke bawah. Andrew tidak pulang ia akan menunggu Delia di coffe shop bawah. *** Pukul sembilan tepat Delia turun dengan wajah yang jauh lebih segar, tidur selama empat jam tanpa gangguan membuat semua energinya kembali penuh. Ia siap berperang dengan pikiran-pikiran jahatnya yang sering menyuruhnya untuk bunuh diri. Drt... Drt... Ponsel Delia bergetar membuyarkan lamunannya, dengan seg
"Del, apa semua baik-baik saja?" Tanya Andrew tiba-tiba. "Pernikahanmu berjalan semestinya 'kan?" Terdengar dari suaranya, Andrew sangat cemas pada Delia. Delia mengangguk, ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah lengkungan, "Semua baik. Jangan khawatir." "Kalau semuanya baik, tidak mungkin kau memintaku menjemput. Apalagi kau terlihat sangat panik tadi," Astaga ternyata Andrew seintens itu mengawasinya. Ia harus lebih pintar menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya. Delia hanya tidak ingin keluarganya kepikiran mengenai hidupnya bersama Rafael, ya meski sebenarnya Delia sudah mulai ingin menyerah. Ia kembali mencoba fokus mengecek dokumen-dokumen yang harus Andrew tanda tangani. Sebisa mungkin ia harus seperti Delia yang di kenal Andrew sebelum menikah dengan Rafael. Hampir saja dia lupa menutupi tangannya yang banyak goresan baru di sana. Buru-buru Delia menarik lengan kemejanya yang sedikit tersingkap. Namun rupanya Andrew tidak mengawasi sampai ke sana, memb
Pemandangan Delia yang selalu tampak saat berada di apartemen adalah melihat suaminya dan selingkuhannya bermesraan. Mereka tidak memiliki rasa malu melakukan hal menjijikan di depan Delia. Seperti sekarang ini, mereka sedang menonton film di ruang tengah sambil berpelukan, sesekali mereka berciuman sangat mesra di sana. Delia saja jijik melihatnya, ia terpaksa ada di sana sebab Rafael memintanya membuatkan makanan dan menyiapkan beberapa snack untuk mereka berdua. Delia menyadari bahwa di sana, dirinya tidak lebih dari seorang pembantu. Entah sampai kapan semuanya akan berakhir. "Aku harus menyelesaikan semuanya," kata Delia lirih. Ia muak harus mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar. Tak butuh waktu lama dapur kembali bersih, Delia bergegas pergi ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar untuk tidur, karena besok Delia harus bangun pagi. Aktivitasnya masih sama seperti hari-hari kemarin, membersihkan seluruh seluk beluk apartemen dan setelah itu ia akan kembali pergi ke kantor.