Share

Bab 7. Awal Kehancuran

Sudah dua hari Delia tidak keluar kamar, wajahnya pucat dan tubuhnya mulai melemah. Ia menangis setiap hari, bahkan sejak hari itu ia membenci tubuhnya.

Ini jauh lebih hancur ketika semua orang menuduhnya pembunuh. Tidak ada yang bisa menolong Delia sekarang, jika dia mati pun mungkin jenazahnya akan ditemukan satu minggu kemudian.

Suara pintu digedor keras, Delia yang awalnya sedang menutup mata reflek membuka mata mendengar gedoran tak sabar dari seseorang.

"Kau keluarlah!" teriakannya memekakkan telinga Delia.

Untuk bangkit dan berjalan saja, Delia tidak memiliki tenaga.

"Kau benar-benar ya! Apa sebenarnya yang kau mau hah!" murka Rafael. "Dasar beban!"

Ceklek!

Delia memunculkan wajahnya di balik pintu, sebisa mungkin ia menutupi keadaan kamarnya yang begitu berantakan.

"Ada apa Raf?"

"Oh jadi ini kerjaanmu! Berleha-leha layaknya ratu!" gertaknya dengan rahang mengeras. "Kau bukan permaisuri di sini."

"Maafkan aku Raf. Aku sedang tidak enak badan," sahut Delia lemas, ia sengaja tidak menatap Rafael karena ia masih mengingat jelas kejadian menyakitkan itu.

"Kau pikir aku peduli hah! Cepat bersihkan ruang depan!"

Rafael melihat wajah pucat Delia, tapi pria itu tidak peduli dengan keadaannya, "Bukankah ini yang kau mau?" Ia tersenyum miring.

"Jika bukan karena ulahmu, Renata pasti masih hidup! Mungkin aku sudah hidup bahagia bersamanya,"

Delia memejamkan matanya barang sejenak, ia tau ke mana arah yang akan Rafael katakan.

"Ingat, Renata pergi gara-gara kau!" tuduhnya sembari menunjuk wajah Delia dengan tajam.

'Tuduhan ini lagi...' batinnya lelah.

"Kalaupun aku menjelaskannya lagi, bahwa bukan aku yang membunuh Renata. Kau tetap tidak akan percaya," Ia menahan agar tidak menangis.

Kemudian Rafael tertawa, suaranya cukup nyaring di telinganya, "Percaya?" kelakarnya. "Jelas aku tidak percaya! Aku bukan orang bodoh yang bisa kau tipu!"

Tapi sungguh, kematian itu bukan ulah Delia.

Setiap pembelaan yang keluar dari mulutnya, tidak ada yang akan percaya. Lantas apa yang harus ia lakukan?

"Sudahlah, cepat kau bersihkan rumahku!" perintahnya. "Kepalaku akan semakin sakit jika berinteraksi denganmu!" ujar Rafael sebelum dia pergi.

Dia pikir hanya dirinya saja yang sakit kepala? Nyatanya Delia juga, tidak hanya kepala melainkan mentalnya juga.

***

Gemeretak gigi Rafael ketika melihat sebuah foto yang ia dapatkan, rahangnya mengeras, sorot matanya menandakan jika pria tersebut menahan amarah.

Ia meremas kasar foto tersebut yang berada di tangannya, "Sialan!"

Brak....

Rafael memukul meja kerjanya keras.

"Aku tidak percaya, istrimu ternyata sangatlah licik," Gladis semakin memprovokasi Rafael. "Ah jangan-jangan dia juga bersekongkol dengan Bara."

Bara yang dia maksud adalah laki-laki yang ada di foto dengan Delia.

Karena mendapat hasutan dari Gladis, akhirnya kemarahannya semakin meluap.

Di tempat lain Delia tengah duduk di sofa, tengah bersantai selesai membersihkan rumah Rafael. Meski dengan keadaan lemas, ia tetap menjalankan apa yang pria arogan itu perintah.

Ponsel miliknya bergetar, "Andrew..." beonya sembari menekan tombol hijau di layar.

"Halo Ndrew, kenapa?"

"Halo Del. Kau tidak jadi pergi ke kantor?"

"Tidak, mungkin besok. Aku sedang tidak enak badan,"

"Del, kau benar baik-baik saja 'kan?"

"Ya tenang saja aku baik-baik saja,"

Tiba-tiba pintu terbuka, Delia menoleh dan mendapati Rafael pulang dengan guratan wajah memerah.

Reflek ia langsung mematikan sambungan teleponnya.

"Del!" seru Andrew di seberang sana. "Halo Del!" namun tidak ada sahutan sama sekali dari si empunya.

Delia cukup kaget Rafael pulang lebih awal, 'Ada apa?' pikirnya.

"Sebenarnya apa yang akan kau rencanakan?" kelakar Rafael tanpa basa basi.

"Apa maksudmu?" Jelas Delia tidak mengerti dengan suaminya yang tiba-tiba pulang dan memarahinya.

Ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun hari ini, bahkan ia sudah melakukan apa yang pria itu perintahkan.

"Katakan saja!" teriaknya.

Mendengar teriakan Rafael, Delia jadi mulai terpancing. Dia pikir menjadi Delia tidak lelah?

Dadanya naik turun, ia mulai berani menatap balik Rafael. Semua emosi yang ia tahan terkumpul menjadi satu dan siap ia ledakkan.

"Apa? Apa yang harus aku katakan? Kau pulang tiba-tiba lalu memakiku seenaknya! Ya aku tau kau membenciku, tapi jangan kau pikir karena itu aku ingin membalas dendam kepadamu! Terserah, sekarang apapun yang kau katakan aku tidak lagi peduli!" Ia menjeda kalimatnya.

Delia sendiri tidak tau bagaimana bisa ia merangkai kalimat panjang seperti itu.

"Percuma juga! Kau tidak akan percaya dengan wanita licik ini!"

Setelah mengucapkan kalimat tersebut Delia pergi meninggalkan Rafael yang tercenung melihat kemarahan wanita itu.

"Hei! Aku masih belum selesai bicara!"

Namun Delia tidak peduli, ia memilih terus berjalan dan masuk ke dalam kamarnya.

"Sial! Harusnya aku yang marah!" decak Rafael, "Kenapa malah dia yang tampak kesal?" Hanya saja, entah kenapa, hati pria tampan itu justru tak tenang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status