Share

Pernikahan Tanpa Cinta
Pernikahan Tanpa Cinta
Author: Aksara Rindu

Perintah Untuk Menikah

"Kamu harus segera menikah!" Perintah dari Kakek Hadinata pada Adrian, cucunya, saat mereka berdua menikmati makan malam membuat Adrian membelalakkan kedua matanya.

"Kek, kenapa harus seperti ini?" Adrian tahu jika kakeknya tidak pernah suka dibantah. Tetapi ini soal pernikahan yang ia sendiri tidak yakin akan bisa mewujudkannya.

"Kau pewarisku satu-satunya," jawab Kakek Hadinata setelah ia mengusap mulutnya dengan tisu yang tersedia di meja makan.

"Kau harus segera punya pendamping agar bisa menggantikan posisiku." Kakek Hadinata memandang lekat cucunya. 

Pria yang berusia hampir tujuh puluh tahun ini merupakan pemilik kerajaan bisnis Hadinata Group. Ia hanya memiliki seorang putra yaitu Abraham Hadinata -- Ayah Adrian -- yang meninggal pada kecelakaan pesawat lima tahun silam. Adrian Hadinata sendiri merupakan putra tunggal dari Abraham Hadinata dan Merline Wijaya. 

Saat meninggalnya sang ayah Adrian berusia delapan belas tahun. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Adrian membantu sang kakek menjalankan bisnisnya. Sedangkan Merline, ibunya, menikah lagi dengan pria berkebangsaan Kanada yang merupakan teman kuliahnya dulu.

Ini bukan kali pertama sang kakek meminta Adrian untuk menikah, beberapa kali pria paruh  baya itu berniat menjodohkannya dengan putri relasi bisnisnya. Namun, Adrian tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada mereka.

"Tapi Kek, apa ini tidak terburu-buru. Maksudku, aku masih belum siap ..." 

"Cepat ambil keputusan! Ku beri kau waktu satu bulan, jika belum juga maka kau harus siap dengan jodoh yang kakek pilihkan." Kakek Hadinata memotong ucapan Adrian. Ucapan penuh ultimatum itu tidak bisa dibantah Adrian. Kakeknya berharap dengan adanya pendamping hidup membuat cucunya lebih bisa bertanggung jawab.

Pria itu menyandarkan badannya di kursi ruang makan. Tangan kanannya memijat pelipis, hanya ada satu orang yang menjadi harapan Adrian. Tangannya kemudian meraih ponsel yang tersimpan di saku jasnya. Ia lalu mengirim sebuah pesan pada seseorang, sebuah janji untuk bertemu saat makan malam.

Adrian memasuki sebuah restoran bernuansa Jepang dengan interior berbahan dasar bambu, juga puluhan lampion yang tergantung di langit-langit ruangan. Pria itu berjalan menuju ke sebuah meja yang berada di sudut sebelah kiri. Di depannya meja-meja yang berderet sudah dipenuhi pengunjung.

Ada yang sedang menunggu seseorang, terlihat dari gerakannya yang sesekali mengecek ponsel. Ada yang bersama pasangannya. Atau ada juga yang bersama keluarga besarnya.

Seorang perempuan terlihat memasuki restoran, mengenakan dress selutut berwarna moka dengan dan highheels warna senada. Rambut panjangnya berwarna coklat karamel melambai seiring gerakannya. Ia berhenti tepat di meja Adrian dan lelaki itu berdiri menyambutnya dengan saling mencium pipi, mengabaikan tatapan para pengunjung. Dia adalah Natasha Albertina, gadis yang saat ini dekat dengan Adrian.

"Maaf, Beb. Apa kamu sudah lama menunggu?" Tanyanya dengan nada yang manja sambil duduk di kursi depan Adrian.

"Oh, enggak aku juga baru datang." jawab Adrian lalu memanggil pelayan dan memesan beberapa menu untuk mereka berdua. Keduanya kemudian terlibat obrolan ringan sambil menunggu pesanan datang. 

"Apa ada sesuatu?" tanya Natasha setelah keduanya selesai menyantap hidangan yang mereka pesan tadi.

"Iya, sebenarnya …." Adrian menghentikan kalimatnya, ia merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya. Sebuah kotak kecil berbahan beludru warna merah ia ambil dan membukanya.

"Maukah kau menikah denganku?" Adrian bertanya sambil menyerahkan kotak beludru yang terbuka tadi pada Natasha. Gadis di depannya berbinar bahagia menerima lamaran yang begitu tiba-tiba ini. Ia menerima kotak tersebut dan mengambil isinya.

"So sweet, Beb. Ini indah sekali," jawabnya sambil memandang sebuah cincin perak bermata tiga itu.

"Kamu menerimanya, Sayang?" Adrian memastikan jika gadis di depannya ini menerima pinangannya. 

"Tapi kita enggak buru-buru menikah kan, Beb?" Natasha bertanya pada Adrian sambil memandang cincin itu dengan binar bahagia.

Mendengar pertanyaan itu terlontar dari bibir Natasha membuat Adrian menghela napas panjang.

"Kakek memintaku untuk segera menikah bulan ini." Andrian menjawab tanpa bersemangat.

"Beb, aku belum siap. Kamu tahu sendiri kan karir aku lagi naik sekarang."

Natasha memang seorang model yang cukup terkenal di negeri ini. Di usianya yang menginjak dua puluh dua tahun ia sudah menjadi peragawati profesional untuk produk dalam dan luar negeri. Ia juga menjadi bintang iklan untuk beberapa produk ternama. 

Wajahnya yang cantik blasteran IndoJerman dari ibu yang asli Indonesia dan ayah yang berkewarganegaraan Jerman. Matanya indah berwarna coklat hazelnut. Dengan rambut panjangnya yang lurus berwarna coklat karamel.

Keduanya berkenalan saat stasiun televisi HDTV milik Hadinata Group, sedang mengadakan acara ulang tahun stasiun televisi tersebut. Salah satu acaranya adalah menampilkan peragaan busana dari desainer terkenal rekanan mereka, dan Natasha menjadi salah satu model peraganya.

Saat ini Natasha memang tengah disibukkan dengan peragaan busana karya desainer ternama Indonesia. Mereka akan mengadakan pagelaran acara di luar negeri, tepatnya di kota Osaka Jepang.

"Sayang, aku enggak akan membatasi kegiatan kamu setelah kita menikah nanti." Adrian mencoba meyakinkan Natasha agar mau menikah secepatnya.

"Enggak bisa, Beb. Aku belum siap kalau harus terikat dalam sebuah komitmen." Natasha berkata sambil memasukkan cincin tadi ke dalam kotaknya.

Adrian menghela napas pasrah, ia salah kalau mengharap Natasha akan mau membantunya. Ia tahu gadis di depannya ini sedang berada di puncak karirnya, meski dengan alasan yang klasik ' tak ingin terikat dalam komitmen'.

"Sayang, please." Adrian sekali lagi memohon pada Natasha berharap gadis itu berubah pikiran.

"Maaf Beb, aku enggak bisa." ucap Natasha sambil memegang tangan Adrian. 

"Aku pergi dulu, ada pemotretan jam delapan nanti. Maaf ya." Natasha berlalu meninggalkan Adrian. Pria itu tetap bergeming di tempat duduknya. Makanan yang mereka pesan bahkan nyaris tidak tersentuh. 

Adrian berjalan ke mobilnya setelah membayar tagihan restoran, ia duduk agak lama di balik kemudi tak ingin segera menjalankan mobilnya. Harapan satu-satunya yang ia pikir bisa didapatkan dari Natasha pupus sudah. Padahal sang kakek hanya memberinya waktu satu bulan.

Adrian menyugar rambutnya frustasi, haruskah ia menikah dengan pilihan kakeknya nanti. Hati dan pikiran lelaki itu tengah berkecamuk. Ia menjalankan mobilnya, meski ia fokus ke jalan raya tapi pikirannya melayang kemana-mana. Mobil melaju membelah jalanan kota yang cukup ramai, menuju ke sebuah apartemen dimana Adrian menghabiskan waktu jika ingin menyendiri. 

Setelah memarkirkan mobil di lantai dasar, ia menuju lift dan menekan tombol lantai paling atas. Rooftop apartemen adalah tujuannya, tempat paling nyaman saat ini. Dari sana ia bisa memandang kota, gemerlap lampu yang kota terlihat indah di bawah sana. 

Adrian menarik napasnya, melonggarkan paru-paru yang tiba-tiba terasa sesak. Setelah kejadian di restoran tadi, pria itu berpikir lagi tentang perasaannya pada Natasha. Benarkah ia mencintai gadis itu? Atau benarkah gadis itu mencintainya? Memang sebuah hubungan tidak harus berakhir di pernikahan. Tapi setidaknya jika dua orang yang memiliki perasaan yang sama akan saling berbagi suka dan duka satu sama lain.

Adrian memandang langit malam yang penuh bintang, meski di beberapa bagian mendung menutupi kilaunya. Ia kembali mendesah lebih berat, haruskah ia menerima siapapun pilihan kakeknya? Mengingat lagi perintah sang kakek tadi pagi membuat Adrian berteriak frustasi.

Ia menghempaskan tubuhnya di kursi kayu yang ada di sana. Tidur telentang mengabaikan dinginnya malam, menutup mata dengan sebelah tangan. Mencoba terpejam dan berharap esok pagi ia akan menemukan jalan keluar.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status