Share

Gadis Yang Malang

Mobil yang dikendarai Adrian dan Alya melaju menyusuri jalanan berbukit menuju ke rumah Alya, mereka berdua saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Alya dengan pikirannya tentang sang ayah sepeninggalnya nanti, sedangkan Adrian sibuk dengan debaran di dadanya yang melaju lebih cepat dari biasanya. Untuk menyembunyikan kecanggungan diantara keduanya Adrian menyalakan musik dari radio tape di mobilnya yang mengalunkan lagu berjudul 'Sempurna' dari Gita Gutawa.

Kau begitu sempurna

Di mataku kau begitu indah

Kau membuat diriku

Akan selalu memujamu

Di setiap langkahku

Ku kan s'lalu memikirkan dirimu

Tak bisa kubayangkan

Hidupku tanpa cintamu

Mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di tempat tujuan, sebuah rumah sederhana berdinding bata dengan cat warna putih seperti pada umumnya dengan beberapa undakan menuju ke pintu masuk. 

"Maaf, Tuan. Saya turun dulu." Ucap Alya sambil melepas sabuk pengamannya.

"Oh,ya. Bawa ini dan berikan ke Ibumu." Adrian berkata sambil memberikan amplop berwarna coklat kepada gadis itu.

"Apa ini?" Tanyanya kebingungan tidak mengerti maksud lelaki di depannya ini.

"Anggap saja uang saku buat mereka." Ucap Adrian.

"Tapi, Tuan. Saya tidak bisa menerimanya." Jawab gadis itu, ia merasa tidak enak hati.

"Anggap saja ini uang muka gaji kamu." Ucap Adrian lagi karena tahu gadis itu mungkin merasa tak enak.

"Ambillah, pasti berguna nanti," sambungnya lagi.

Alya akhirnya menerima amplop dari Adrian meski ia merasa sungkan, kemudian membuka pintu mobil dan mulai berjalan menuju rumahnya.

"Assalamualaikum." Ucapnya sambil membuka sepatunya.

"Waalaikumsalam, kenapa kamu pulang?" Jawab Rima yang sedang berdiri dengan bersedekap di depan kamarnya karena mendengar suara salam.

"Ayah mana?" Tanya Alya tanpa menjawab pertanyaan ibu tirinya. Dan seorang lelaki kisaran empat puluhan keluar dari kamar di belakan Rima.

"Kamu sudah pulang, Nduk?" Tanya Banu.

"Aku hanya mampir sebentar buat ambil pakaian." Jawab Alya sambil melangkah menuju kamarnya.

"Aku akan ikut majikanku bekerja di kota, apa Ayah sudah sehat?" Ucapnya lagi sambil membuka pintu kamarnya.

"Ayah? Sehat? Memangnya Ayah sakit? Ayah baik-baik saja." Ucap Banu sedikit bingung dengan pertanyaan putrinya.

"Bukannya Tante Rima bilang Ayah sakit kemarin, waktu ke villa minta uang sama aku." Ucap Alya membatalkan langkahnya memasuki kamar.

"Hei, jangan ngadi-ngadi kamu ya! Kapan aku minta uang sama kamu. Baru kerja aja udah mau adu domba aku sama bapakmu." Rima berkilah jika ia tidak meminta uang sama Alya.

"Lagian memangnya kenapa kalau aku minta uang sama kamu. Toh aku juga kan yang merawat bapakmu." Sambung Rima lagi.

"Sudah, kalian ini bertengkar saja kerjaannya, bikin pusing saja!" Bentak Banu sambil melangkah meninggalkan mereka menuju dapur. 

"Dasar anak tak tahu diri kamu itu!" Maki Rima sambil berlalu menyusul suaminya. Alya hanya menghela napas kemudian memasuki kamarnya.

Beberapa pakaiannya sudah masuk ke dalam tas, tak banyak yang ia bawa karena gadis itu tak punya baju bagus. Selembar fotonya bersama ayah dan almarhumah ibunya dalam sebuah pigura turut serta ia bawa. Gadis itu memandang sekeliling kamarnya, tempat dimana ia menyembunyikan tangis dan lara. Ia akan meninggalkan rumah ini, rumah penuh kenangan manis dan juga pahit.

Sadar jika sang majikan masih menunggu, gegas ia keluar menemui Ayah dan Ibu tirinya yang sedang berada di ruangan dekat dapur. Rumah ini hanya terdiri dari dua kamar, ruang tamu, juga sebuah ruangan yang cukup luas di bagian dalam untuk ruang keluarga yang di sekat sedikit di bagian dapur.

"Kamu jadi berangkat?" Tanya Banu setelah menandaskan kopinya.

"Iya, Ayah." Jawab Alya mantap, karena memang ia sudah tak tahan dengan ibu tirinya.

"Biarin aja, lah, Mas. Toh dia juga udah besar, sudah waktunya dia cari uang sendiri. Jangan bisanya cuma minta aja." Ucap Rima dari dapur.

"Memang kapan aku minta uang? Bahkan untuk bayar sekolahku saja enggak pernah, kan?" Tanya Alya mulai kesal dengan ucapan ibi tirinya.

"Hei, yang kasih makan kamu siapa? Memang buat makan belinya nggak pakai duit?" Rima tak kalah emosi, ia berbicara sambil telunjuknya mengarah ke Alya.

"Toh yang dipakai bukan sepenuhnya uang Tante, kan. Nih aku ganti." Alya merogoh sakunya dan mengambil amplop yang diberikan Adrian tadi beruntung tadi ia menerima pemberian lelaki itu, jadi tidak perlu ada drama berkepanjangan.

"Baguslah kalau begitu." Rima kemudian mengambil amplop itu dan membukanya, matanya berbinar saat menghitung jumlah uangnya. Sedang Banu hanya geleng-geleng kepala melihat pertengkaran keduanya, ia tak berniat melerai atau membela Alya.

Alya yang sudah muak menghadapi sikap dua orang di depannya ini segera beranjak pergi, air mata turun di kedua pipinya saat keluar dari rumah ini. Ia bertekad akan menjadi orang yang lebih baik saat di kota nanti. Ia hapus jejak air matanya di pipi saat dirinya sudah hampir mendekati mobil, kemudian menarik napas dan menghembuskannya perlahan untuk melonggarkan paru-parunya.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Adrian, meski gadis di sebelahnya ini diam, ia tahu jika sebenarnya gadis ini habis menangis. Terlihat dari matanya yang sedikit sembab.

"Tidak apa-apa, Tuan. Saya hanya sedih harus meninggalkan keluarga saya." Bohong gadis itu tak ingin Adrian bertanya lebih jauh lagi.

"Ya sudah." Adrian berkata sambil menghidupkan mobilnya. 

Mobil mereka sudah melewati jalan menuju villa dan sudah berada di jalan raya, lebih tepatnya ke arah selatan menuju pusat Kota Malang. Jalan yang mereka lewati cukup padat dan merayap. Untuk mengusir rasa bosan Adrian menyalakan musik dari radio tape mobilnya. Ia tak berniat untuk mengusik Alya, hanya membiarkan gadis itu larut dalam pikirannya.

Alya terkejut saat mobil berhenti di Alun-alun Kota Malang, apalagi hari cukup ramai. Siang yang terik ini tak menyurutkan niat pengunjung untuk menikmati suasana pusat kota. Ditambah air mancur yang menjadi ikon alun-alun itu dinyalakan, membuat udara tidak begitu panas karena hembusan angin bercampur air.  Mereka kemudian berjalan memasuki pelataran alun-alun lewat pintu sebelah  timur setelah memarkir mobil di parkiran mall terdekat.

Mata gadis itu berbinar ketika memasuki alun-alun, sudah lama sejak ibunya meninggal ia tak pernah lagi ke sini. Tempat ini merupakan salah satu tempat penuh kenangan baginya, hampir setiap satu bulan sekali ia dan keluarganya akan berkunjung ke sini. Selain untuk menikmati ramainya alun-alun mereka juga akan mampir ke mall yang ada di sekitar tempat ini, dan berakhir di salah satu kedai makan favorit mereka.

Tanpa sadar gadis itu tersenyum dan hal itu tertangkap penglihatan Adrian. Menyadari ada perubahan dalam wajah gadis itu membuatnya bernapas lega. Tidak sia-sia ia membelokkan mobilnya ke sini. 

"Kamu sering ke tempat ini?" Tanya Adrian sambil memberikan sebotol minuman rasa buah yang dibelinya dari pedagang yang lewat.

"Iya, Tuan. Dulu, hampir sebulan sekali orang tua saya selalu mengajak bermain ke tempat ini. Melihat burung dara yang terbang bebas sambil menikmati air mancur." Jawab gadis itu sambil memandang kawanan burung dara yang terbang berputar-putar di atas mereka. 

"Ibu pernah bercerita, waktu itu saya baru bisa berjalan saya senang sekali mengejar burung-burung dara itu, meski beberapa kali harus jatuh. Dan Ayah akan membeli jagung sebagai umpan biar mereka mau turun." Jelas gadis itu lagi, kali ini ada sendu yang tercetak di wajahnya ketika mengenang masa kecilnya.

"Lebih baik kita ke sana." Ajak Adrian menuju ke tengah alun-alun karena tak ingin berlama-lama melihat kaca-kaca di mata gadis itu.

Ia berjalan mendahului, berkeliling sambil memandang anak-anak kecil yang sedang berlarian. Ia lalu berhenti di depan penjual pakan burung dalam kemasan, membeli beberapa bungkus. Kemudian melemparkannya ke arah kawanan burung dara yang berjalan di antara para pengunjung. Kawanan burung itu berebut makanan yang dilempar Adrian, membuat Alya tersenyum lalu ia ikut memberi mereka makan juga.

Melihat senyum Alya kembali merekah membuat Adrian ikut tersenyum, bukan niatnya untuk menambah kesedihan gadis itu. Diam-diam ia mengambil ponsel dari sakunya dan memotret gadis yang tengah sibuk memberi makan burung dara itu. Ia ingin mengabadikan momen dimana gadis itu tersenyum tanpa beban.

"Gadis yang cantik." Gumamnya sambil mengamati hasil tangkapan layar di ponselnya. 

"Terima kasih, Tuan." Ucap Alya saat keduanya sudah kembali ke dalam mobil, dan melanjutkan perjalanan untuk pulang karena hari sudah semakin sore.

"Untuk?" Tanya Adrian sambil fokus menatap jalanan di depannya. Suasana jalan sore ini cukup ramai, berkali-kali mobil yang mereka tumpangi berhenti karena padatnya lalu lintas.

"Sudah membawa saya ke alun-alun tadi." Ucap Alya dengan tulus karena merasa telah salah sangka selama ini pada Tuannya, ia sempat mengira jika lelaki yang sedang duduk di belakang kemudi itu lelaki yang arogan. Ternyata ia masih memiliki hati yang baik.

"Oh, jangan salah sangka. Saya hanya tidak ingin beban masalahmu kamu bawa ke tempatku besok. Bisa-bisa pekerjaan kamu nggak fokus nanti." Jawab Adrian dingin.

Alya hanya menghela napas, ditariknya lagi pujiannya tadi. Bagaimanapun juga dia tetaplah manusia yang arogan, dingin dan tak punya hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status