Share

Rasa Ini

Adrian menghempaskan tubuhnya di ranjang, ia merasa lelah hari ini. Bukan lelah secara fisik tapi lebih pada pikirinnya. Ia mengingat lagi kejadian di pasar tadi yang begitu tiba-tiba, hingga tak menyadari bahwa ia bersikap seperti orang bodoh. Namun, ia kemudian tersenyum kala mengingat momen senam hamil tadi. Dimana ia bisa leluasa memandang wajah Alya dari dekat.

Wajah yang entah mengapa bisa membuat hatinya bergetar, lalu aroma jasmin yang sempat terhidu tatkala ia melingkarkan tangan di pinggang gadis itu. Adrian menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menghalau rasa dan pikiran aneh yang berkelindan di kepala. Ia kemudian bangkit dan mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya.

Puluhan panggilan tak terjawab dari David, asisten pribadinya. Ia mengumpat kesal, mengingat jika sebelumnya ia berpesan tak ingin diganggu untuk beberapa saat. Dengan terpaksa ia menghubungi lelaki itu. Rupanya ada file yang harus segera dipelajari Adrian yang sudah di kirim lewat Email. Adrian sempat marah beberapa saat pada David lewat telepon karena ia tidak membawa laptop, dengan terpaksa lelaki itu mempelajari file itu dari hp.

(Jangan terlalu lama bermain-main, ingat waktumu tinggal beberapa minggu lagi) 

Sebuah pesan masuk dari sang kakek membuat Adrian makin frustasi. Belum selesai ia dengan pekerjaannya sudah dapat pesan penuh intimidasi dari kakeknya. Ia serasa ingin berteriak, akhirnya ditinggalkannya ponsel itu di kamar, mengabaikan pekerjaan dan juga pesan kakeknya. Ia berjalan menuju balkon, menghirup udara perlahan kemudian menghembuskannya, seolah ia baru saja terbebas dari rasa sesak.

Lamat-lamat ia mendengar suara dua orang wanita yang berbicara, ia kemudian melihat melalui tembok pembatas, di bawah sana dua orang wanita yang salah satunya adalah Alya sedang berbicara, lebih tepatnya bersitegang meski tidak dengan suara keras. Terbukti dari raut wajah keduanya yang sama-sama tidak enak untuk dilihat.

Adrian mengamati sebentar siapa wanita yang bersama Alya, untuk mengobati rasa penasarannya lelaki itu kemudian turun ke bawah. Di dapur ia melihat Bibi Marina duduk dengan gelisah, sesekali ia berdiri melihat ke pintu di samping dapur yang terhubung ke luar, kemudian duduk lagi.

"Ada apa?" Tanya Adrian sambil menuang air putih dari dispenser ke dalam gelas. 

Pertanyaan Adrian membuat wanita itu terkejut karena ia tidak menyadari kedatangan Adrian.

"Eh, anu … itu, Tuan." Bibi Marina bingung ingin menjawab apa. 

"Siapa wanita yang di depan itu?" Tanya Adrian sambil duduk di kursi makan.

"Oh, itu, ibu tiri Alya, Tuan," jawab Bibi Marina pelan.

"Oh." Jawab Adrian sambil berlalu menuju ke ruang tengah. 

Dari jendela di ruangan itu  ia bisa melihat seseorang sedang berjalan masuk ke rumah. Kemudian terdengar suara Bibi Marina bertanya ada apa lalu tak terdengar lagi suara apapun, mungkin mereka berbincang di kamar. Adrian mengamati sekeliling rumah, tiga orang asisten sedang bersih-bersih di lantai atas, itu berarti hanya ada Alya dan Bibi Marina di dalam. 

Adrian berjalan mengendap-endap seperti maling, menuju kamar di belakang dapur. Sesampai di depan pintu kamar tujuan ia mendengar suara isakan, pria itu kemudian mengintip dan memasang telinga.

"Nggak usah kamu hiraukan si Rima itu." Terdengar suara Bibi Marina.

"Aku heran, Bi. Apa yang disukai Ayah dari perempuan itu, kerjaannya hanya menghabiskan uang Ayah saja?" Tanya Alya masih diiringi Isak tangis.

"Entahlah, Nduk." Jawab Bibi Marina.

"Dia kesini mau minta uang katanya buat Ayah yang sedang sakit. Aku nggak percaya, Bi. Bisa saja dia bohong, memang saat berangkat kesini Ayah belum pulang kerja." Jawab Alya lagi.

"Nanti  biar Bibi cari tahu ya, Nduk. Sekarang kamu diam, jangan nangis. Nggak enak kalau Den Adrian dengar nanti."

Disaat bersamaan salah seorang asisten yang tadinya bersih-bersih di atas mendadak turun dan mendapati Adrian sedang berdiri di depan kamar Bibi Marina. Adrian meletakkan jari telunjuknya di mulut sebagai isyarat gadis itu untuk diam, dengan bingung gadis itupun mengangguk, sedang Adrian kembali ke meja dapur. 

Bibi Marina terkejut mendapati tuannya berada di dapur sekembalinya ia dari kamar.

"Oh, Den. Saya kira masih di ruang tengah. Saya pamit mau keluar sebentar." Ucapnya pada Adrian.

"Mau kemana?" Tanya lelaki itu.

"Tadi sepertinya ada belanjaan yang terlupa, mau saya beli di toko dekat sini saja." Bibi Marina mengungkapkan alasannya. Adrian bisa menangkap kalau selain mau belanja wanita ini akan menemui perempuan yang tadi berbicara dengan Alya.

"Saya antar." Ucap Adrian kemudian dan sebelum Bibi Marina menolak lelaki itu sudah berjalan ke depan meninggalkannya.

"Ada apa dengan Alya? Tadi aku lihat perempuan yang bersamanya tidak berbicara dengan baik?" Tanya Adrian dan membuatnya tertegun sesaat, kenapa ia jadi peduli dengan gadis itu?

"Tuan mendengar mereka bicara?" Tanya Bibi Marina dengan raut wajah yang cemas.

"Oh, tidak. Aku hanya melihat dari atas kalau mereka seperti sedang bertengkar." Jawab Adrian yang tidak sepenuhnya bohong.

Bibi Marina kemudian bercerita tentang siapa Alya dan bagaimana kehidupannya bersama ayah dan ibu tirinya. Adrian mulai tahu permasalahan yang dialami gadis itu.

"Lalu Bibi mau apa ke rumahnya?" Tanya Adrian ingin tahu.

"Ingin melihat benarkah ayahnya Alya sakit, bukan bibi sendiri yang kesana, tapi orang lain." Jawab wanita itu yang membuat Adrian tak mengerti.

Keduanya berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar, temboknya berwarna oranye wortel di bagian separuh atas dan separuh ke bawah sampai teras berkeramik warna coklat. Daun pintu berwarna hitam terbuka sebelum kami memasuki rumah Bibi Marina.

Wanita itu mempersilahkan Adrian masuk, lalu memanggil seorang pemuda dan berbicara sesuatu. Kemudian pemuda itu pun pergi, sedang Bibi Marina berjalan ke dapur berniat membuatkan Adrian minuman. Adrian menunggu dengan mengawasi sekeliling, pohon-pohon alpukat dan jambu berjejer di belakang rumah. 

Tidak lama kemudian Bibi Marina kembali ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi segelas besar sirup jeruk dingin.

"Siapa tadi?" Tanya Adrian setelah meminum sirupnya. 

"Itu Karsa, orang yang saya suruh ke rumah Alya, nah itu dia sudah kembali." Tunjuk Bibi Marina pada pemuda tadi yang terlihat berjalan memasuki halaman rumah. Bibi Marina menyambut pemuda itu dan berbincang sebentar di depan, lalu setelahnya terlihat ia memberikan uang kepada lelaki tadi.

"Benar dugaan saya, si Banu itu nggak sakit." Ucap Bibi Marina saat ia kembali ke ruang tamu.

"Banu?" Tanya Adrian.

"Itu bapaknya Alya, memang si Rima itu. Sudah nggak pernah mau memenuhi kebutuhan Alya, masih tega minta uang sama gadis itu." Ucap Bibi Marina dengan nada marah karena merasa kesal dengan ini tiri Alya.

"Bagaimana kalau Alya ikut saya ke kota saja, Bi." Tiba-tiba Adrian mengungkapkan sarannya dan itu membuat Bibi Marina terkejut.

"Maksud, Den Adrian?" Tanya Bibi Marina memastikan maksud dari tuannya.

"Saya butuh asisten di apartemen, Bi. Bibi kan tahu saya tidak begitu cocok tinggal sama Kakek. Biar Alya bisa membantu bersih-bersih dan menyiapkan keperluan saya." Jawab Adrian menjelaskan maksud ucapannya tadi.

"Nanti saya bicara dengan anaknya ya, Den." Bibi Marina terlihat menyetujui usul Adrian.

"Kalau itu Bibi atur aja lah." Ucap Adrian kemudian.

"I-iya, Den." Bibi Marina kemudian bimbang, apakah yang akan dilakukan ini benar. Tapi kalau masih disini kasihan Alya. 

Keduanya kemudian kembali ke villa setelah beberapa saat mampir di kios terdekat guna membeli barang. Adrian langsung menuju ke kamarnya di lantai atas, sedang Bibi Marina lekas menemui Alya.

"Den Adrian mau mengajak kamu ke kota, Nduk. Dia butuh asisten di apartemennya." Bibi Marina berkata kepada Alya saat keduanya tengah menyiapkan makan malam.

"Tapi, bagaimana dengan Bibi, bukankah bulan ini akhir masa kerja Bibi." Tanya Alya karena ingat dia disini untuk menggantikan Bibi Marina.

"Mungkin aku akan melatih salah satu dari mereka saja." Jawab wanita itu sambil mengamati ketiga gadis yang sedang membersihkan area belakan.

"Tapi aku takut, Bi. Den Adrian sepertinya galak" ucap Alya kemudian, sedang Bibi Marina hanya tersenyum menanggapi.

"Sebenarnya Dwn Adrian itu orang baik, nanti lama-kelamaan kamu akan terbiasa."

"Tapi, Bi …." Alya menggantung kalimatnya.

"Nduk, kesempatan tidak akan datang dua kali, sudah saatnya kamu meraih impianmu sendiri." Bibi Marina menasehati Alya sembari mengelus puncak kepala gadis itu.

"Bagaimana dengan Ayah, Bi?" Alya mengutarakan apa yang menjadi ganjalan hatinya.

"Biarkan Ayahmu hidup dengan pilihannya, kamu sudah sering mengingatkannya bukan? Tapi dia tetap bergeming, jadi biarkan saja." Ucap wanita itu lagi.

Alya menghela napas, sebenarnya berat bagi dirinya meninggalkan sang Ayah, karena bagaimanapun juga dialah keluarganya. Namun, jika mengingat tidak ada perhatian lagi untuknya sejak datangnya Tante Rima di sisi Ayahnya, membuat Alya berpikir. Apalagi mulai saat itu ayahnya seolah lupa jika ia punya seorang putri. Gadis itu berjanji dalam hati kalau dirinya harus sukses.

"Kapan Den Adrian akan berangkat, Bi?" Tanya Alya sambil mengambilkan mangkok sayur.

"Waktunya disini tinggal dua hari lagi." Jawab Bibi Marina sambil tangannya memasukkan sayur yang telah matang ke dalam mangkuk.

"Besok aku pulang dulu, mau pamit sama Ayah." Alya berkata sambil membawa mangkuk berisi sayur tadi lalu diletakkan di meja.

"Boleh, sekarang panggil Den Adrian, bilang makan malam sudah siap!" Perintah Bibi Marina dan Alya pun lalu melangkah menuju lantai atas untuk memanggil Adrian.

"Bagaimana, Bi. Apa gadis itu bersedia ikut ke kota?" Tanya Adrian sesaat setelah menyelesaikan makan malamnya.

"Alhamdulillah dia bersedia, Den. Besok pagi dia minta ijin pulang mau pamit sama Ayahnya." Jelas Bibi Marina sambil membereskan meja bekas makan malam.

"Kalau tidak boleh?" Tanya Adrian sedikit ragu, dalam pikirannya gadis itu dijadikan sapi perah oleh ibu tirinya jika tetap di sini.

"Pasti boleh, Den. Mereka, apalagi ibu tirinya itu mata duitan." Ucap wanita itu lagi.

"Tahu darimana, Bi?" 

"Ya, tahulah, Den. Orang dia kerjaannya ngabisin duit Ayahnya Alya." Ucap Bibi Marina lagi.

"Ya sudah, bilang gadis itu kalau aku yang akan mengantarnya nanti." Adrian berkata setelah mengelap mulutnya dengan tisu lalu beranjak pergi.

Keesokan harinya selepas sarapan Adrian sudah bersiap untuk mengantar Alya. Ia meminta Bibi Marina memanggil gadis itu dan menunggunya di mobil. Alya sendiri ternyata sudah menunggu dari tadi di pos satpam, Adrian terpukau sesaat melihat penampilan gadis itu. Celana kulot warna krem dipadu dengan kaos lengan pendek berwarna putih membuat Alya terlihat cantik. Apalagi hari ini rambut gadis itu tergerai, membuatnya tampak memesona. Sungguh indah makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status