"Niela." Panggil Kindly saat wanita itu sibuk melingkarkan perban di tangannya. Niela tidak mengatakan apapun selama mengobati. Dia fokus melakukan pekerjaannya tanpa mau banyak tahu. Tentu hal ini membuat Kindly heran."Hmm?" Sahut Niela masih menata perban."Tidak mau bertanya atau menjelaskan sesuatu?""Kau sendiri yang bilang tidak mau ditanya macam-macam."Kindly baru menyadarari, dia benar-benar tidak mengenal Niela. Dia tidak tahu bagaimana karakter sang istri. Kadang terlihat patuh, tapi kadang juga melawan. Kindly juga belum bisa membedakan apakah keterdiaman istrinya karena takut atau memang tidak mau mengganggu privasi."Oke maka aku yang akan bertanya. Siapa dia?" Tanya Kindly tenang."Dia pemilik perusahaan tempatku berkerja." "Kau baru beberapa hari bekerja di sana dan sudah seakrab itu sampai dia sendiri datang mencarimu?" Selidik Kindly yang curiga dengan kedekatan mereka. "Aku bahkan lebih banyak tidak mengenal bawahanku meski mereka sudah bekerja 1 tahun lebih."Ki
Obrolan mereka semakin random. Dari yang bahas hobi, kerja, uang simpanan, dan sekarang Niela menuntut hubungan bersih tanpa orang ke-3. Kindly mulai berpikir, apa Niela sedari tadi sengaja mencari kesalahannya? Tapi untuk apa?"Kau tidak bisa kan? Seharusnya kau iyakan saat aku minta cerai." Ucap Niela sebelum turun dari sofa. Dia pergi meninggalkan Kindly yang masih membisu. Detakkan jantung Niela mengetuk kencang seiring langkah. Dia sempat berharap di cegah Kindly tapi nyatanya itu hanya harapan konyol. Percobaan menguji sang suami berbuah pahit. Dia sebenarnya sudah bisa menebak. Mana mungkin dirinya dipilih sementara Alika punya segalanya. Kindly hanya merasa bersalah, pria itu tidak pernah melibatkan perasaan cinta, dia hanya kasihan. Apa mungkin dia juga jijik saat menyaksikan Niela dalam kondisi terburuknya di rumah sakit? Tampilannya yang awut-awutan, teriakannya seperti orang gila- coret, bukan seperti melainkan fakta. Niela menyesal hampir tenggelam dalam rayuannya. Air m
Memberi kesempatan tapi justru di balas penghianatan bagai ditusuk benda tajam transparan penuh bara. Sakit, panas dan sesak di dada berkumpul. Jika saja ada obatnya, Niela ingin menelan banyak kapsul sekaligus. Wanita itu berjalan tergesa-gesa keluar dari gedung yang besar dan megah. Dia tak peduli ketika menabrak seseorang atau menyambar beberapa barang hingga jatuh. Dia tak peduli pandangan orang yang menatapnya dengan makna berbeda-beda. Otaknya tak bisa berpikir jernih sekarang. Kabur! Pergi jauh! Hanya itu yang bisa dia pikirkan sekarang.Niela bosan terperangkap dalam penjara Kindly. Dia benci siklus kehancuran yang terjadi berulang kali. Jika sendiri, mungkin dia akan bisa lebih menikmati hidup tanpa merasa cemas di tikung. Katakanlah dia istri yang tidak tahu bersyukur. Tapi pernikahan ini memang terjadi tanpa kesiapan apapun sama sekali. Mentalnya belum siap menghadapi masalah rumah tangga.Tangan gemetarnya melambai menghentikan taksi. Setelah masuk, Niela tak kuasa menaha
"Terimakasih." Ucap Niela pada suster yang baru merawat tangan dan wajah Kindly. Suster itu tersenyum ramah lalu pergi. Kini mereka berada di rumah sakit untuk mendapat penanganan."Sakit?" Tanya Kindly meraih telapak tangan Niela yang sudah lebih dulu di perban.Niela menghela dan membuang nafas kasar. Rasanya ingin marah mengingat aksi nekat Kindly, tapi di lain sisi dia juga senang melihat bagaimana sang suami tidak mau meninggalkannya begitu saja. Artinya sudah ada perkembangan baik dalam hubungan mereka. Dari pihak Kindly kususnya."Bukan aku, tapi lukamu yang paling parah. Apa kau tidak merasa panas?" Kening Niela mengernyit ngilu melihat luka bakar yang mulai melepuh. Dia pernah mendapat luka bakar ketika menggoreng ikan. Dan rasa panasnya sangat menyengat semalaman. Padahal besarnya tak seberapa jika dibandingkan dengan yang dimiliki Kindly sekarang. Apa lagi tangan itu belum pulih dari bekas luka kemarin.Sekali lagi Kindly menarik Niela ke dalam dekapannya. Merasakan hembus
"Kau membodohiku yah?" Pekik Niela. Dia mulai sadar ketika Kindly tertawa saat di pukul bantal. Sepertinya dia dan bantal akan jadi 1 kubu jika dalam mode menyerang."Eh, tidak. Penyakit itu sungguhan ada." Sahut Kindly belum menyerah. Dia menangkap ke-2 tangan sang istri agar berhenti gerak liar."Aku tidak percaya." Seru Niela jengkel. "Kau pergi saja ke kamarmu! Sana, sana!!" Usirnya persis anak kecil merajuk."Oke oke. Aku tidak akan bicara lagi." Ucap Kindly mengangkat ke-2 tangan. "Kita damai yah?" Katanya. Lalu merebahkan diri dan mengatur nafas.Niela pun ikut berbaring. Dada mereka kembang kempis sesuai kecepatan nafas. Hening sejenak sembari menatap langit-langit kamar."Oh yah Kin, satpam di depan bertambah orang yah?" Tanya Niela mengingat orang asing yang dilihatnya sedari pulang dari rumah sakit."Hm. Supaya tidak ada perampokan lagi. Kalau yang lain berpatroli atau aku suruh sesuatu, maka yang lainnya bisa tetap tinggal di tempat untuk berjaga. Sekaligus bisa gantian tu
Kindly bangun hati-hati agar tidak membangunkan Niela. Di menuju balkon lalu mengangkat panggilan itu."Hallo Niel?" Sapa Harell dengan suara seraknya."..."Kindly diam. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan Harell selama mengira Niela yang menjawab pangilannya."Sayang?" Ucap Harell lagi.Tangan Kindly terkepal mendengar suara pria itu. Setiap urat menonjol di balik kulit menunjukkan seberapa tinggi amarahnya. Wajahnya datar bermata tajam. "Untuk apa kau menghubungi istriku?"Tut..tut..tutPanggilan di putus sepihak. Kindly menatap geram layar posel yang berganti wallpaper kelinci tidur. Dia mengurung niat menghancurkan benda itu dan mulai mengutak-atik dengan jari-jari lihainya. Tak ada pesan dan panggilan dari nomor Harell. Berarti pria itu baru menghubungi Niela hari ini setelah perkelahian mereka kapan hari. Kindly merasa ada yang aneh. 'Apa aku melewatkan sesuatu?'"Kin" panggil Niela yang berdiri di belakang punggung Kindly. Badan kekar itu pun segera berbalik. Mata Niela jat
Nyatanya Kindly tidak pulang malam itu. Tak ada berita apa pun. Kini, warna hitam membentuk setengah lingkaran di bawah mata Niela. Wanita itu sulit tidur setelah terbangun tengah malam. Dia masih betah berbaring di sofa dekat jendela dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Segala pertanyaan muncul dalam benakanya. Apa Kindly baik-baik saja? Dia tidak kecelakaan kan? Apa ada masalah di kantor mendadak? Atau... dia tidak sedang selingkuh kan?Tok..tok..tok.."Niel, ini ada telepon dari tuan Kindly." Ucap seorang pelayan di balik pintu.Seketika Niela berdiri tegap. Terlalu senang karena akhirnya Kindly memberi kabar juga pagi ini. Hal yang ditunggu semalaman. Dia berpikiran positif, mungkin saja sang suami sangat sibuk jadi terlambat mengabari. Wanita itu berlari kecil persis balita riang yang merindukan kepulangan orangtuanya.Ceklek"Ini katanya tuan mau bicara." Pelayan itu menyerahkan ponselnya."Iya, terimakasih."Setelah mengangguk sopan, si pelayan menjauh untuk memberikan ruang ba
Jeri melirik kaca depan mobil untuk melihat keadaan tuannya di belakang. Sebab pria itu belum turun meski mereka sudah sampai depan pintu utama. Kegusaran terlihat jelas di balik wajah kerasnya. Tampak masih mempertimbangkan sesuatu sebelum membuka pintu. Masalah perusahaan yang datang bertubi-tubi membuatnya lelah fisik dan batin. Mau tak mau Kindly memilih bermalam di kantor agar bisa menuntaskan masalah secepatnya. Belum lagi bayang-bayang orang ke-3 yang cukup menganggu. Ini sungguh menyebalkan.Setelah menenangkan diri, Kindly keluar dari mobil langsung menuju ke kamarnya. Badan yang gerah menghipnotisnya untuk segera mandi membersihkan diri. Dia berendam cukup lama sembari menikmati alunan musik yang menenangkan pikiran dan menyejukkan suasana, meski ada saja hal yang mengganggu kedamaian hatinya. Dia fokus melakukan aktifitas hingga lupa satu hal. Pria itu turun untuk mengisi perutnya yang lapar. Wajar saja, ini memang sudah waktunya makan malam. Tak mendapati Niela di sana, di