"Drama apa lagi yang kau buat?" Suara berat Kindly menghentikan Niela yang hendak menaiki tangga.
Niela menarik nafas jengah menghadapi pertanyaan konyol dari suaminya. Sudah jelas dia pingsan kelelahan dalam kondisi hamil muda. Dan itu sama sekali bukan akting. Lagi pula dokter mana yang mengijinkan pasien sehat menginap di rumah sakit? Kindly bahkan tak mau menjenguk atau menjemput... Ah lupakan."Aku baru keluar rumah sakit Kin, aku malas berdebat."Niela tahu penjelasan serinci apa pun tidak akan merubah pola pikir suaminya. Kindly selalu berpandangan buruk pada Niela. Jadi apapun yang Niela lakukan tetap akan salah dan selalu salah di mata Kindly.Kindly berdiri dari sofa lalu berjalan perlahan mendekati Niela. Cara memandang mata coklat itu sungguh di benci Niela. Sangat meremehkan seolah melihat sampah."Kau pikir aku percaya? Kau pikir aku akan mengasihanimu?" Ucapnya dengan wajah dingin yang selalu saja melekat padanya.Niela hanya mampu menatap datar tanpa bersuara. Dia sudah kebal menghadapi situasi begini. Diam adalah solusi paling tepat jika tak ingin memperkeruh konflik."Bukankah sudah ku bilang berhenti mengadu pada mama?" Lanjut Kindly yang sudah geram. Sorot matanya sangat tajam mengintimidasi."Aku tidak melakukannya." jawab Niela setenang mungkin. Dia ingin pulang agar beristirahat tapi situasi ini lebih buruk dari pada di rumah sakit."Mama menelponku karena tidak menemanimu wanita sialan." bentak Kindly semakin menaikkan suaranya.Jantung Niela seolah melompat mendengar suara keras itu. Matanya terpejam sembari buka suara. "Dokter Ester yang memberi tahu mama."Tanpa peduli jawaban yang baru terdengar, Kindly mencengkram rahang Niela hingga terdengar suara ringisan."Telpon mama sekarang, sampaikan betapa aku menjadi suami baik yang menjagamu! Dan ingat perjanjian kita, pernikahan ini akan usai setelah bayinya lahir." Katanya dengan suara rendah namun terkesan mengancam.Niela hanya bisa mengangguk agar segera di lepaskan. Rahangnya terasa hampir bergeser bila lebih di tekan lagi.Kindly melepas kasar cengkraman itu lalu mendahului Niela naik ke atas."Menyusahkan."Satu kata itu masih bisa di dengar Niela. Dia menyusul naik ke atas dan masuk ke kamar yang berbeda dengan Kindly. Niela duduk di tepi ranjang sembari meraba rahang yang terasa sakit. Bulir bening meluncur tanpa ada suara isakan. Meski sudah tahu sang suami kasar tapi bukan berarti perasaan dan hatinya berhenti berfungsi.Kindly dan Niela menikah tanpa ada ikatan ataupun rasa sayang. Niela hanyalah karyawan biasa yang berkerja di perusahaan dari lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Suatu malam Kindly mabuk dan salah mengira perusahaan sebagai rumah-nya. Pengaruh alkohol membuat kakinya lemas hinggah jatuh di depan lift. Kejadian itu di lihat oleh Niela yang memang sedang lembur dan hendak kembali usai mengambil makanan pesanan. Tanpa berpikiran buruk, Niela memapah atasannya sampai ke ruangan yang diinginkan Kindly.Saat hendak pergi, pergelangan tangan Niela di tarik hingga jatuh ke pangkuan Kindly. Gadis 24 tahun itu panik dan berusaha lari tapi tenaga Kindly tak terkalahkan. Akhirnya terjadilah hal yang di sesalkan ke-2nya.Entah mau di sebut kesialan atau keberuntungan, pagi harinya Sena yang merupakan mama dari Kindly datang ke kantor dan mendapati pemandangan tak layak itu. Sena yang tak mau mengotori nama baik keluarga pun memutuskan untuk menikahkan mereka tanpa mendengarkan bantahan. Sena merupakan wanita yang menjunjung tinggi etika dari pada melihat tingkat kekayaan.Terlepas dari Niela yang terkesan murahan tapi bukan berarti anaknya bisa dibenarkan juga. Mereka melakukan itu secara bersama jadi harus menanggung akibat dari kesalahan itu secara bersama juga. Tidak bisa menyalakan sepihak. Lagi pula jika Niela hanya ingin harta, dia tak mungkin menolak pernikahan yang Sena usulkan. Niela justru membuat banyak alasan untuk menunda rencana tersebut. Sena sampai menutup telinga dan mulai mengurus pernikahan mereka sendiri.Di sinilah Niela sekarang. Tinggal di rumah mewah dan megah bersama Kindly setelah menikah 1 bulan lalu. Kehidupan normalnya berubah jadi neraka. Kindly menuduh Niela menggodanya hingga mereka melakukan hal yang tak seharusnya. Bahkan tidak menganggap janin itu anaknya. Tak ada tempat mengadu bagi Niela. Ke-2 orang tuanya sudah meniggal. Hanya ada seorang bibi yang tinggal di kota lain. Namun dia terlalu malu untuk membicarakan hal-hal demikian. Yang bibinya tahu Niela hidup bahagia bersama suaminya yang kaya raya."Kau bahkan tumbuh tanpa ada yang mengharapkan." lirih Niela mengelus perutnya yang belum menonjol. "Ayahmu menolak kita."Air matanya terus jatuh tanpa bisa di cegah. Padahal setelah kematian orangtuanya, Niela mendambakan seorang lelaki yang bisa mengembalikan kebahagiannya. Kehangatan yang dia rasakan dari sang ayah sewaktu masih hidup begitu melekat dalam memori ingatan. Dekapan sang ayah kala itu sangat nyaman dan melindungi.Tapi harapan itu sekarang hancur tak bersisa. Tidak ada tanda-tanda Kindly mau mewujudkan impiannya. Melindungi? Suaminya itu bahkan lebih terlihat ingin memusnahkan Niela. Dia lah sumber bahaya Niela saat ini.Drrt... Drrt... DrrtGetaran ponsel menghentikan lamunan Niela. Dia segera menghapus air mata dan menstabilkan suaranya setelah melihat nama 'Mama Sena' tertuliskan di layar."Hallo ma." sapa Niela berusaha tegar, tak ingin membuat Sena khawatir atau masalah baru akan bertambah lagi."Niel, bagaimana keadaanmu sayang?" Tanya Sena dengan lembut namun tegas yang sudah merupakan sifatnya."Baik ma. Cucu mama juga sehat.""Baguslah." ucap Sena bernafas lega. "Sudah pulang? Kin menjemputmu kan?""Iya, Niel di jemput Kin kok." Bohongnya sembari meremas ponsel. Sungguh, Niela tidak biasa berbohong. Rasa bersalah cukup menghantuinya ketika melakukan hal itu. Apa lagi Sena sangat baik dan perhatian. Setidaknya kehangatan yang diimpikan Niela bisa diberikan Sena."Beritahu mama jika dia berulah lagi." perintah Sena.Niela hanya bisa menggigit bibir, tak sanggup mengiyakan lagi."Maaf mama tidak bisa ke sana. Urusan di sini belum selesai. Mama tidak bisa meninggalkan papa sendiri." Ucap Sena tulus. Sekarang mereka ada di luar negeri mengurus cabang perusahaan. Meski sudah ada Kindly, mereka tidak mau berdiam diri di rumah. Karakter pekerja keras dan ulet menjadi ciri khas keluarga mereka. Justru badan terasa sakit jika tidak melakukan rutinitas yang sudah biasa mereka lakukan. Apa lagi kondisi fisik yang masih sangat mendukung."Tidak apa ma. Niel baik-baik saja kok.""Jaga terus kesehatan kalian yah. Oh hampir lupa, bagaimana Kin memperlakukanmu selama mama tidak ada di sana?"DegPertanyaan itu sukses membuat jantung Niela berpacu. Tangannya tremor mendadak. Lidahnya pun kelu harus mengatakan apa. Niela takut memancing amarah Kindly melalui Sena. Tapi di sisi lain dia adalah wanita rapuh yang butuh di dengar. Ingin sekali mengatakan yang sesungguhnya tapi--"Baik ma, Kin mulai berubah dan juga menjaga Niel." lagi, dia berbohong. Bantal samping kiri di remas kuat, guna menyalurkan perasaan yang tertahan di dada."Sungguh?"Kali ini bulir bening kembali jatuh lagi. Niela menggigit pergelangan tangannya sendiri agar tidak mengeluarkan isakan. Pantulan dirinya di cermin rias terlihat menyedihkan. Mendadak kemusuhan diri sendiri yang semakin sensitif jika menyangkut hati."Iya ma."Tidak, dia sering memukul Niel."Kin benar-benar berubah"Berubah lebih jahat."Mama tidak perlu kawatir"Tolong Niel ma, Kin adalah monster.Setiap keluhan batin itu hanya ditelan tanpa disuarakan.Jeda di antara kalimat-kalimat itu sedikit mecurigakan. Namun Sena berhenti bertanya jika itu memang privasi. Mereka juga harus di latih mandiri membangun rumah tangga."Oh baguslah. Pokoknya telpon mama jika ada perlu, oke?""Iya ma."Panggilan itu pun berakhir. Niela meletakkan ponsel ke sembarang arah lalu memeluk lututnya. Seruan-seruan kecil dari hatinya tadi ingin sekali di perdengarkan. Tapi di balik itu dia juga takut curhatannya tidak di anggap penting.Sekarang matanya tertuju pada balkon kamar. Mungkin menikmati pemandangan luar akan memberi semangat baru. Niela melangkah tanpa alas kaki. Tapi pemandangan di balkon lainnya jauh lebih menghantam hati hingga hancur lebur.Kindly sedang berciuman panas dengan Alika, kekasihnya. Kesibukan mereka yang bernafsu tidak menyadari kehadiran Niela di seberang sana.Pedih tapi tak bisa berbuat apa-apa. Niela sadar bahwa sebenarnya dialah penghancur hubungan mereka. Kindly dan Alika sudah lama berpacaran bahkan mungkin akan menikah. Sayangnya rencana itu gagal oleh karena kejadian yang merugikan berbagai pihak.Sakit, marah, menyesal, iri, semua jadi satu sekarang. Niela mengalihkan pandangan ke arah bawah sembari meremas pagar pembatas. Dadanya sesak seperti tertimpa barang berat. Matanya buram terhalang air yang berlomba keluar."Ayahmu benar-benar tidak butuh kita." lirihnya merasa tak berguna."Apa kita menyusul kakek dan nenek saja?" Katanya lagi sembari menatap langit. "Maaf, Niel menyerah."Tubuh bergetar itu perlahan mulai menaiki pagar."NIELA!" Sebuah suara teriakan menghentikan pergerakan Niela.Salah 1 kaki yang sempat naik pun kembali turun ke lantai. Tubuh kurus itu bergetar tak terkendali, akibat dari kombinasi hati kacau dan udara dingin yang menyapu kulit."Berhenti di sana!"Niela menoleh mendapati Kindly berteriak dari seberang sana. 'Ah mereka sudah selesai rupanya'. Entah definisi apa yang menggambarkan ekspresi wajah sang suami, apakah khawatir atau marah? Niela sulit membedakan. Apakah lelaki itu berteriak karena tak mau kehilangan atau ada alasan lain yang bisa membunuh batin Niela lebih kejam dari pada ini? Niela penasaran apa yang akan dilakukan pria itu."Jangan lakukan apapun, tunggu aku di sana!" Perintah Kindly kemudian berlari meninggalkan Alika yang tampak ikut shok. Gadis itu hanya mematung saling tukar pandang dengan Niela. Jujur saja dia merasa tidak enak sebab Niela sudah berstatus sebagai istri sah Kindly. Tapi dia juga tidak rela melepas hubungan mereka begitu saja. Alika bingung harus
Bagai dejavu, Niela pulang seorang diri dari rumah sakit setelah di rawat beberapa hari. Sama seperti sebelumnya. Sang suami tak pernah menjenguk sekalipun. Kali ini dia memilih ke rumah sakit berbeda agar tak ada lagi yang mengadu pada Sena. Tak ada dokter yang mengenalinya di rumah sakit itu. Untung saja Sena masih di luar negeri jadi mempermudah Niela untuk menyembunyikan sakitnya.Niela menyempatkan diri singgah ke sebuah cafe untuk sekedar menikmati waktu santai. Padahal batinnya tak akan sembuh semudah itu. Setidaknya memanjakan mata dengan suasana baru akan menyenangkan hati meski sebentar saja. Kalau saja Niela punya rumah, dia akan memilih pulang ke sana. Sayangnya sebelum menikah, Niela hanya tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Tapi kesederhaan itu jauh lebih nyaman dari pada tempatnya yang sekarang."Niel?" Sebuah suara menyadarkan Niela dari lamunannya.Dia menatap ke arah samping kanan di mana orang itu berdiri. Matanya menyipit berusaha mengingat orang yang tampak ti
Salah satu dari perampok itu mengambil keputusan gegabah. Dia panik mendengar suara Niela yang bisa menggagalkan rencana mereka. Tanpa keraguan, dia menarik pisau bersamaan dengan padamnya listrik. Tapi kegelapan tidak menghentikan aksinya hingga...JlebTetesan darah jatuh mengotori lantai. Tak ada yang dapat melihat bagaimana kondisi orang yang terkena tusukan."Dasar bodoh, kau menambah masalah." Ucap rekannya. Mereka buru-buru melangkah menebak arah keluar sembari meraba senter dalam tas bawaan. Tapi sebuah hantaman membuat mereka beku di tempat beberapa saat.Lampu kembali menyala. Detik berikutnya ke-3 perampok itu lari ketika melihat 2 lelaki berbadan kekar ada di sebelah mereka. Kindly dengan darah di tangannya bersama Jeri sang supir. Sementara Niela terdiam di tempat, tubuhnya mendadak kaku digerakkan. Tak sejalan dengan otak yang ingin sekali mencari tempat pelarian aman.Kindly yang emosi mengejar para perampok. Tak ada ampun untuk mereka yang berani mencari masalah denga
"Apa anda sudah buat janji dengan beliau?" Tanya resepsionis ramah."Iya, janjinya hari ini.""Kalau begitu bisa tunggu sebentar? Tuan Harell sedang rapat saat ini.""Oh baiklah."Niela beralih ke kursi tunggu yang tersedia. Jam yang melingkar di lengan rampingnya menujukkan pukul 10 lebih 12 menit."Sial, aku terlambat." Gumamnya merutuki diri sendiri.Niela kehilangan insomnianya tadi malam. Untuk pertama kalinya dia bisa tidur nyanyak sampai hampir pukul 8 pagi. Penyebab dirinya terlambat, di tambah kemacetan jalan kota."Ugh kok jadi gugup begini yah?"Niela jadi ingat pengalaman dulu sewaktu melamar di perusahaan Kindly yang sudah berstatus sebagai suaminya sekarang. Bedanya kali ini dia duduk sendiri tanpa ramai-ramai menunggu antrian masuk. Tapi hawa dingin waktu itu seolah mengikutinya ke tempat sekarang. Niela juga tak menyangka perusahaan milik Harell semegah ini. Sudah hampir 1 jam Niela menunggu. Kegugupan pun semakin bertambah.'Apa aku pulang saja? Gedung ini lebih mega
Kindly tak bisa menjawab. Tangannya terkepal kuat hingga urat bermunculan di balik kulitnya. Ingin sekali dia menekan Niela agar lebih patuh tapi ada sesuatu yang menahan keinginannya. Ada pertimbangan yang mengurungkan niat untuk menyakiti. Dia benci respon tubuhnya itu. Dia benci terlihat lemah di hadapan orang yang di benci.Akhirnya Kindly pergi meninggalkan Niela tanpa sepatah katapun. Pria itu berkendara ugal-ugalan membelah jalan raya kota. Melampiaskan emosi yang terus menguar. Entah kepada siapa amarah ini ditujukan.Niela meraba pipi bekas tamparan sang suami yang meninggalkan ruam merah. Dia menatap dirinya yang sedang duduk di depan cermin rias. Wanita itu merasa air matanya sudah terkuras habis hingga mengering."Menyedihkan sekali." Gumamnya pada diri sendiri.Deskripsi kata hancur adalah kata paling tepat untuk kondisinya sekarang. Tak ada masa depan yang cerah sesuai ekspektasi ketika menikah. Sebaliknya, suram dan gelap.'Kuat, kamu harus kuat Niel. Semangat!' batinny
Niela duduk berhadapan dengan Alika, kekasih sang suami. Mereka berada di ruang tamu. Niela kira Alika akan kencan dengan Kindly, tapi ternyata Alika sengaja datang untuk bertemu dengannya."Maaf, aku menganggu yah?" Ucap Alika yang kembali berbicara.Wajah cantik nan anggun itu menatap teduh Niela. Sebenarnya kalau dinilai dari luar Alika lebih terlihat santun dan ramah. Cara berpakaian selalu modis, tak bosan di pandang. Kindly memang tahu memilih pasangan yang menarik."Tidak apa. Jadi apa yang mau kau bicarakan?"Alika tampak berpikir penuh pertimbangan. Ini adalah pertama kali mereka mengobrol jadi tentu saja ada kecanggungan yang terselip."Kau tahu, aku dan Kin sudah jadi pasangan selama lebih dari 3 tahun." Ucapnya tanpa keraguan. "Dia pernah berjanji akan menikahiku."Pedih. Niela berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Mendadak dia merasa jadi penghancur hubungan. Wajar saja Kindly selalu bersikap kasar. Tapi apakah Niela harus mengabaikan kehancuran hatinya dalam masal
Menjadi tempat pelarian itu sakit untuk orang yang tulus. Niela sadar dia hanyalah pendatang baru dalam hidup Kindly. Tidak mungkin mereka bisa langsung beradaptasi. Perlu waktu untuk saling mengenal. Namun jika dalam waktu menunggu itu selalu melukai batin maka Niela akui tak sanggup. Mentalnya perlu di jaga demi kewarasan. Wanita itu tak punya siapapun dan selalu berjuang di atas kakinya sendiri. Jadi jika mau tetap hidup, sepertinya kata cerai adalah solusi."Sudah selesai mengetik?" Perhatian Niela beralih pada Harell yang berdiri di depannya dengan bersilang tangan."Eh? Oh.. sisa sedikit tuan. Sebentar lagi." Jari-jari rampingnya kembali menari di atas keyboard komputer.Harell mengernyit mendengar panggilan baru Niela untuknya. Ada rasa tidak senang dari panggilan itu. "Tuan? Apa kamu berubah jadi orang asing sekarang?"Sontak jari Niela berhenti. "Bukan begitu. Kak Harell kan memang tuannya Niel." ucap Niela dengan wajah polosnya. Dia tidak mau dianggap tidak sopan oleh karyaw
Semua orang terkejut mendengar pernyataan Niela termasuk Kindly. Dia tidak tahu menahu soal ini. Tapi siapa yang mau dia salahkan? Sebab dia sendiri tak pernah bertanya keadaan sang istri. Beberapa kali masuk rumah sakit tak dijenguk. Bahkan sekedar bertanya 'Apa kau baik-baik saja' tidak pernah.Sena sulit berkata, dia tertegun di tempatnya berdiri. Wanita paruh baya itu sudah menanti kelahiran cucu pertamanya. Tak pernah terbesit di otaknya akan mendengar kabar duka ini. Niela sendiri tidak bercerita apapun. Jadi Sena mengira semua dalam keadaan baik."Ap... Apa mama tidak salah dengar?""Niel minta maaf."PlakSena menampar Kindly penuh emosi. Saat Sena memamerkan oleh-olehnya tadi, Kindly tidak menunjukkan rasa duka sedikitpun. Hal itu cukup menjawab bahwa dia sendiri tidak tahu kabar keguguran anaknya. Andri hanya diam. Dia juga terluka mendengar penuturan Niela."Apa kau tahu istrimu keguguran?" Suara Sena bergetar namun menyiratkan emosi. Matanya menatap nyalang Kindly yang tak