Share

Bab 7

Niela duduk berhadapan dengan Alika, kekasih sang suami. Mereka berada di ruang tamu. Niela kira Alika akan kencan dengan Kindly, tapi ternyata Alika sengaja datang untuk bertemu dengannya.

"Maaf, aku menganggu yah?" Ucap Alika yang kembali berbicara.

Wajah cantik nan anggun itu menatap teduh Niela. Sebenarnya kalau dinilai dari luar Alika lebih terlihat santun dan ramah. Cara berpakaian selalu modis, tak bosan di pandang. Kindly memang tahu memilih pasangan yang menarik.

"Tidak apa. Jadi apa yang mau kau bicarakan?"

Alika tampak berpikir penuh pertimbangan. Ini adalah pertama kali mereka mengobrol jadi tentu saja ada kecanggungan yang terselip.

"Kau tahu, aku dan Kin sudah jadi pasangan selama lebih dari 3 tahun." Ucapnya tanpa keraguan. "Dia pernah berjanji akan menikahiku."

Pedih. Niela berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Mendadak dia merasa jadi penghancur hubungan. Wajar saja Kindly selalu bersikap kasar. Tapi apakah Niela harus mengabaikan kehancuran hatinya dalam masalah ini? Memangnya wanita mana yang mau diperkosa? Kalau saat itu dia tidak hamil, Niela tidak akan gampang setuju menikah. Baginya pernikahan itu penting dan perlu pemikiran matang. Dan dia belum punya persiapan menjadi istri, apa lagi ibu.

"Lalu kenapa kalian tidak menikah sampai aku datang?" Tanya Niela yang penasaran.

Alika tersenyum getir mendapat pertanyaan itu. Dia mengingat masa ketika hubungan mereka tidak semulus pernikahan Kindly dan Niela.

"Ibunya. Ibu Kin menentang hal itu."

'Ibu Kindly? Mama Sena? Kenapa? Bukankan Alika wanita yang sempurna?'

Fakta barusan cukup aneh bagi Niela. Bahkan dia tidak mau percaya. Apa yang kurang dari Alika? Lalu apa kelebihan dirinya? Sebab Sena sangat menerima dirinya dalam keluarga mereka. Sena juga tipikal ibu yang perhatian dan penyayang. Meski ada ketegasan di balik sikap itu.

"Kenapa? Kalian kan pasangan serasi." kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Niela yang tidak bisa di tahan lagi.

"Jujur saja aku wanita penikmat kebebasan. Dulu aku pernah berkencan dengan pria lain di belakang Kin. Saat itu kami bertengkar dan yah, aku mencari orang lain. Sialnya ibu Kin melihat itu, dia marah besar hingga tidak mau memaafkanku."

Niela mendengarkan dengan seksama. Cerita ini menarik minat. Dia mendekatkan kotak tisu pada Alika yang mulai berderai air mata.

"Lalu bagaimana dengan Kin?"

"Dia juga marah awalnya. Tapi berikutnya dia sadar, sebab malam itu dia sempat mengatakan putus tapi mungkin hanya gertakan emosi. Jadi aku merasa sah-sah saja menjalin hubungan baru. Sayangnya tak semudah itu. Pada akhirnya aku tetap menginginkan Kin."

"Dan begitu juga dengan Kin yang menginginkanmu." Ucap Niela pilu. Dia bisa menyimpulkan ikatan rasa yang dimiliki ke-2nya.

"Semenjak kalian menikah aku sudah hampir menyerah. Tapi lagi-lagi Kin meruntuhkan tembokku. Dia berjanji tidak akan meninggalkanku." Suara Alika bergetar menyiratkan kesakitan.

"Tapi, siang tadi kami bertengkar lagi. Dia bahkan melepas kalung pemberianku dulu." lanjutnya masih terisak.

Sungguh Niela tidak tahu harus bertindak bagaimana. Nyatanya bukan hanya dia yang tersakiti dalam hubungan ini. Tak ada definisi kebahagiaan di antara ke-3nya. Apakah dia yang harus mundur? Lagi pula alasannya untuk bertahan sudah musnah. Niela bisa paham arah pembicaraan Alika saat ini.

"Jadi... Maksudmu, kau ingin kami bercerai?" Ucap Niela menggigit bibir bawahnya.

Alika menatap Niela dengan wajah sendunya. Dia menelan ludah sebelum menjawab.

"Aku tidak tahu harus memohon pada siapa lagi. Aku sudah berusaha merelakan Kin tapi sangat sulit." Lirihnya. Dia bahkan tak peduli lagi pada make up yang luntur saking basah wajahnya.

"Aku perlu waktu berpikir. Tapi kalaupun aku memilih cerai, itu murni dari keinginanku sendiri. Bukan karena mengikuti perintahmu."

Percakapan itu menghantui Niela sepanjang malam. Dia benar-benar tak bisa memejamkan mata. Meski tak ada rasa cinta terhadap sang suami, tapi statusnya mereka menikah. Bohong kalau dia baik-baik saja untuk mundur. Dia juga wanita yang ingin dihargai dan diakui. Masalah ini bukan sepenuhnya salah dia sendiri. Waktu terasa lebih lama berjalan. Sangat berat dan sangat menyakitkan.

Ceklek

Pintu kamarnya terbuka. Niela pura-pura tidur, dia bisa menebak siapa yang datang dari bau parfumnya. Dia kesal dengan dirinya sendiri yang selalu lupa kunci pintu. Langkah itu berhenti di samping kasur tepat di hadapan Niela yang tidur menyamping. Beberapa detik kemudian tangan kekar Kindly membelai wajah memar Niela. Lalu berpindah pada bagian perut yang tertutup.

"Maafkan papa." Gumamnya pelan.

Niela refleks meremas seprei di bawah telapak tangannya. Perlakuan Kindly sekarang di luar dugaan.

'Apakah 2 kata itu tulus? Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang dia menyebut dirinya papa setelah dulu menganggap anak ini hanya sebuah kesalahan'

Setelah itu Kindly berdiri meninggalkan kamar Niela. Wanita itu kembali membuka mata ketika mendengar pintu tertutup. Dia bingung dengan situasi sekarang. Kapasitas otaknya tak mampu menampung perkara yang cukup berat ini. Dia ingin istirahat. Atau dia butuh sandaran.

Sepertinya udara luar lebih nyaman dari pada kasur empuk. Niela memutuskan akan keluar tanpa tujuan. Secara tiba-tiba ketakutannya hilang pada kegelapan malam.

"Mau ke mana?" Suara bariton itu mengintrupsi pergerakan Niela yang sudah mau keluar pintu utama. Tak jauh dari sana Kindly berdiri menatap tajam Niela. Rambut pria itu tampak masih basah pertanda habis mandi.

"A..anu mau jalan-jalan." Gugup Niela. Sumpah, dia takut setiap kali Kindly menangkap basahnya seperti ini. Kepalanya masih tertunduk sambil memainkan jari-jari tangan.

"Masuk dan tutup pintunya!" Perintah Kindly. Pria itu menunggu sampai Niela selesai melakukan perintahnya.

"Buatkan aku kopi!"

Niela tak mau membantah. Wajahnya masih terasa perih untuk dapat hantaman baru lagi. Tapi kalau dipikir-pikir, ini pertama kali Kindly memintanya. Niela ingat saat dia pernah membuatkan minuman untuk Kindly. Bukan ucapan terimakasih yang dia dapat, pria itu malah memakinya dengan kalimat hinaan. Sejak hari itu Niela tidak mau melayaninya lagi.

"Ini." Kata Niela saat meletakkan kopi buatannya di hadapan Kindly. Wanita itu hendak pergi namun tidak ketika tangannya di tahan.

"Bukankah kau tidak bisa tidur juga?" Suara Kindly tanpa ada embel-embel intimidasi seperti sebelum-sebelumnya. Jantung Niela bekerja lebih cepat. Perlakuan Kindly malam ini terasa berbeda.

"Buatkan dirimu teh juga."

Niela masih mematung. Apa pria di depannya ini benar Kindly? Apa dia tidak salah dengar? Sebab ini lebih seperti keajaiban.

"Tidak mau?" Suara Kindly lagi karena tak kunjung dapat respon.

"Ti.. tidak suka minum teh." Jawabnya takut di sangka membantah.

"Buat apa yang kau mau!"

Kali ini Niela meremas ujung baju sebelum menjawab lagi.

"Tidak ada susu."

Penghuni rumah itu hanya mengkonsumsi teh dan kopi. Niela jadi satu-satunya peminat susu. Tapi sejak kapan dia berani meminta? Apa yang tersedia, itu yang dia terima.

Kindly membisu. Pria itu mulai paham bagaimana Niela yang tak mau banyak menuntut. Dia sendiri bingung untuk memberi tanggapan.

"Tadi mau pergi ke mana?" tanya Kindly mengalihkan topik.

"Tidak tahu. Cuma ingin keluar saja."

"Mulai sekarang tidak boleh keluar tanpa seijinku, paham?"

"I..iya." Angguk Niela mengerti.

"Tidur!"

Tak menunggu lama, Niela segera melangkahkan kakinya. Dia berjalan tergesa-gesa ingin segera masuk ke kamar. Dia merinding merasakan sesuatu yang lain dari suaminya. Tapi ragu, apakah ini baik atau buruk.

"Dia kenapa yah?" Monolog Niela. Perubahan Sang suami dadakan sekali. Padahal baru kemarin dia berlaku kasar. Sudalah, jalani saja dulu. Wanita itu tak mau terlalu banyak berharap. Jangan sampai dia tumbang dengan harapannya sendiri.

Kali ini matanya bisa terpejam tidur meski hanya beberapa jam. Tapi beberapa jam itu nyenyak sekali. Niela bahkan lebih semangat bersiap-siap kerja saat pagi menyongsong.

Tok..tok..tok..

Tidak biasanya ada yang mengetuk. Niela membuka pintu dan mendapati seorang pelayan di sana.

"Ada apa bi?"

"Tuan Kin sedang menunggu Niel di meja makan." Ucap si pelayan tersenyum.

Pelayan itupun tahu bahwa ini pertama kalinya bagi mereka, jadi dia ikut senang. Soal panggilan, Niela memang melarang seluruh pekerja memanggil dia dengan sebutan nyonya atau apa pun itu. Dia lebih nyaman di sapa dengan nama.

"Bibi tidak salah?" Ulang Niela. Dia tidak mau jadi sasaran amarah sang suami karena duduk tanpa ijin.

"Tidak, Tuan sendiri yang menyuruh bibi memanggil Niel."

"Baiklah, aku akan segera turun."

Tanpa berlama-lama lagi, wanita itu menghampiri Kindly yang sudah duduk di tempatnya.

"Maaf, aku lama." Ucapnya setelah duduk berhadapan.

"Nikmati makanmu." Sambut Kindly lalu mulai menyantap makanan.

Mata Niela berbinar ketika sadar ada susu coklat di sampingnya. Entah siapa yang beli. Tapi hanya Kindly satu-satunya yang tahu kalau Niela suka minum susu. Siapapun itu Niela senang sekali akhirnya bisa menikmati susu di pagi hari. Tunggu dulu. Ini benar untuk dia kan?

"Kin?"

"Hem?"

"Apa susu ini untukku?"

"Apa kau lihat ada orang lain di sebelahmu?"

"Eh? Ti..tidak"

"Minumlah."

Pagi ini terasa menyenangkan. Tidak ada pertengkaran lagi. Pagi yang diimpikan Niela sejak pertama kali datang ke mansion ini. Entah rutinitas ini akan berlanjut atau tidak, setidaknya Niela sudah bisa merasakan kehangatan sang suami.

"Naik motor?" Tanya Kindly saat Niela menolak di antar.

"Iya. Aku baru beli kemarin." Bohongnya menelan ludah.

Kindly menatap Niela beberapa detik. Pria itu tampak berpikir sesuatu. Egonya masih menang. Dia pergi begitu saja tanpa bertanya lebih jauh. Niela rasa perhatian Kindly hanya sebatas kasihan.

'Apa dia baik hanya karena sedang bertengkar dengan Alika? Mungkin setelah baikan aku akan dibuang lagi. Tapi dari awal dia memang sudah tak peduli' batinnya sedih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status