Kindly tak bisa menjawab. Tangannya terkepal kuat hingga urat bermunculan di balik kulitnya. Ingin sekali dia menekan Niela agar lebih patuh tapi ada sesuatu yang menahan keinginannya. Ada pertimbangan yang mengurungkan niat untuk menyakiti. Dia benci respon tubuhnya itu. Dia benci terlihat lemah di hadapan orang yang di benci.
Akhirnya Kindly pergi meninggalkan Niela tanpa sepatah katapun. Pria itu berkendara ugal-ugalan membelah jalan raya kota. Melampiaskan emosi yang terus menguar. Entah kepada siapa amarah ini ditujukan.Niela meraba pipi bekas tamparan sang suami yang meninggalkan ruam merah. Dia menatap dirinya yang sedang duduk di depan cermin rias. Wanita itu merasa air matanya sudah terkuras habis hingga mengering."Menyedihkan sekali." Gumamnya pada diri sendiri.Deskripsi kata hancur adalah kata paling tepat untuk kondisinya sekarang. Tak ada masa depan yang cerah sesuai ekspektasi ketika menikah. Sebaliknya, suram dan gelap.'Kuat, kamu harus kuat Niel. Semangat!' batinnya menyunggingkan senyum cantik.Malam itu Niela kembali insomnia. Sekalinya terlelap malah di hantui mimpi buruk hingga terjaga sampai pagi."Mata panda lagi." Ucapnya saat bercermin usai mandi.Wajahnya jauh dari kata segar. Di tambah dengan ruam merah yang sedikit biru. Niela mencoba berbagai bentuk masker agar menutupi wajah kacaunya saat kerja. Meskipun mata panda itu masih terekspos.CeklekNiela menoleh ke arah suara pintu yang terbuka. Di sana berdiri Kindly bersetelan rapi seperti biasanya."Polisi memanggil kita untuk memberi keterangan." Kata Kindly lalu segera pergi tanpa menutup pintu.Ah Niela hampir lupa kasus perampokan malam lalu. Dia jadi merasa tidak enak harus ijin terlambat lagi hari ini. Tapi dia juga tidak bisa menolak panggilan polisi sebab Niela menjadi saksi pertama saat perampokan terjadi. Wanita itu buru-buru turun setelah mengabari Harell.Kali ini perjalanan tidak sehening sebelumnya. Mulut Kindly sesekali berbicara. Bicara dengan beberapa klien. Pria itu tampak sibuk meski hanya melalui ponsel dan tablet. Perkerjaan terlihat lebih menarik dari pada sang istri yang duduk di sebelahnya.Berbeda dengan perkiraan Niela. Memberi penjelasan saat bersaksi menyita waktu banyak. Tidak terhitung berapa kali dia menyalakan ponsel sekedar melihat jam hingga sesi tanya jawab itu selesai.Mereka baru bisa keluar saat sudah lewat tengah hari. Niela mulai gelisah mengingat keterlambatannya sangat melewati batas. Harell memang bilangnya tidak apa-apa tapi tetap saja perasaan tidak enak itu ada."Berhenti di depan sana." Perintah Kindly pada supir."Baik tuan."Niela hanya bisa menghela nafas. Tak ada keberanian untuk bertanya ataupun protes pada sang suami yang sudah turun dari mobil entah ke mana."Lama sekali." Gumam Niela tak sabar menunggu.Harapan agar Kindly bisa terlihat menuju mobil terasa seperti anugrah besar bagi Niela. Dan... Terkabul.CeklekKindly masuk lalu melemparkan kantung kresek di pangkuan istrinya. Niela terlonjak ketika benda itu tiba-tiba mendarat padanya. Dia melirik Kindly yang kembali sibuk dengan layar ponsel setelah memberikan perintah "jalan!" pada supir. Lelaki itu tetap awet dengan Wajah dinginnya. Niela penasaran dan segera membuka isi kantung agar bisa melihat isinya."Obat?" Tanya Niela yang bingung."Obati lukamu agar tidak mempermalukanku." Jawab Kindly ketus lalu berdehem.Meski dengan cara agak kasar tapi Niela bisa merasakan perhatian Kindly. Mungkin tidak seberapa untuk menutup kesalahannya namun Niela lega suaminya mulai berubah."Terimakasih." Ucap Niela.Sepi. Tak ada respon apapun. Tak apa, itu lebih baik dari pada kena gamparan lagi. Obat tersebut segera dia masukkan ke dalam tasnya."A.. anu, bisakah aku turun di sana?" Suara Niela terbata-bata takut tidak sisetujui.Kindly akhirnya mau menatap Niela yang langsung menunduk."Mau apa?""Ma.. mau naik bus dari halte itu." Katanya sembari mengangkat kepala meski belum berani bertemu tatap lama dengan sang suami. "Soalnya itu, aku mau kerja. Maksudku kita akan beda arah nantinya."Seperti biasa Kindly tidak menjawab lagi. Niela pasrah. Hari ini sepertinya dia tidak di-ijinkan pergi. Tapi..."Jangan pulang malam seperti kemarin!" Peringat Kindly setelah mereka berhenti di halte."Ha? I..iya baik." Ucap Niela gugup campur senang.Dan untuk pertama kalinya Kindly melihat senyuman dari ekspresi girang Niela.'cantik'Niela semangat penuh menuju tempat kerjanya. Ada yang berbeda dari auranya hari ini, dan Harell menyadari itu."Kenapa pakai masker?" Heran Harell."Emm mau saja, lagi ada jerawat." Bohong Niela lagi."Yakin?""Dari pada itu, Niel mau minta maaf lagi-lagi terlambat kerja. Nanti potong saja saat gajian." Katanya tulus sembari menunduk."Memangnya kau yakin masih bisa kerja di sini setelah ini?" Ucap Harell menyilangkan tangan di dada.Niela menatap Harell tak percaya. Bukannya tadi seniornya bilang tidak apa-apa? Kenapa sekarang malah begini? Ah, Niela terlalu percaya diri rupanya."Oh maaf. Ka.. kalau begitu Niel pergi." katanya pelan penuh penyesalan."Kenapa tidak memohon?" Suara itu menghentikan Niela yang hampir berbalik melangkah."Niel merasa tidak pantas karena Niel memang salah." Akunya."Pfftt Ha..ha..ha" Harell tertawa memenuhi ruangannya "Kenapa kamu mudah sekali dikerjai Niel." Katanya lalu lanjut tertawa lagi.Niela mengerjapkan mata bingung. Dia sempat loading untuk mengerti. Sungguh seniornya ini terlalu banyak bermain. Ini memang ciri khas dari sifatnya pada orang yang dianggap dekat. Sayangnya Niela yang polos sangat mudah dikelabuhi."Ih kak Harell sudah, berhenti tertawanya." Kesal Niela merasa dipermainkan."Oke duduklah dulu." Kata Harell menunjuk kursi di depannya. Niela menurut dan duduk di sana."Dengar yah Niela juniorku. Lain kali pertahankan hak-mu. Jangan mau di perlakukan semaunya oleh orang-orang di sekitarmu. Anggap saja ini pelajaran." Tegas Harell yang kembali pada jiwa berwibawanya."Ta.. tapikan Niel memang benar melanggar aturan.""Iya tapikan aku sudah beri ijin. Kau pun punya bukti pesan-nya kan? Pakai itu sebagai senjata.""...""Tidak semua orang itu baik Niel. Kamu harus kuat mempertahankan hak-mu kalau tidak mau kalah pada orang curang. Mengerti?""Iya mengerti." Niela mengangguk patuh.Dia akui itu sulit untuk di lakukan. Tapi tetap membenarkan semua perkataan sang senior. Niela kagum pada Harell yang membawa banyak perubahan. Semakin tampan dan cerdik.Sama seperti kemarin, Niela hanya belajar beberapa hal yang harus di pahami selama menjadi asisten Harell. Beruntung jadwal Harell tidak padat. Pukul 5 sore pun ke-2 nya turun bersama hendak pulang. Lengan Niela di tarik Harell ke arah parkiran."Eh kak? Niel naik bus saja, tidak usah di antar." Ucap Niela yang masih di seret pelan."Siapa bilang aku mau beri tumpangan?"Lagi, seniornya mulai melakukan sesuatu yang tidak bisa di tebak. Mata Niela membulat kala Harell menyerahkan kunci di depan sebuah motor berkilau. Tak usah di tanya, motor itu baru keluar dari dus-nya."Tahu cara mengendarainya kan?""Tahu tapi...""Ambil dan pergi." Final Harell berlalu menuju mobil miliknya.Niela mengejar Harell sebelum masuk mobil. Dia menahan lengan seniornya agar mau berhenti."Niel tidak bisa kak. Itu nanti Niel pakai saja untuk kebutuhan kantor." Niela tidak mengira hadiah itu sungguhan di berikan."Kamu itu asistenku bukan ojek online. Untuk apa kamu gunakan motor itu saat kerja? Mau di bawa ke ruang meeting?" Ucap Harell menggelengkan kepala."Oh iya yah." pikir Niela berwajah polos "Tapi tetap saja...""Ssstt sana hush! Aku buru-buru." Usir Harell dengan gurauannya.Niela hanya bisa mematung melihat mobil sang senior perlahan menghilang dari jangkauan mata. Dia tak punya pilihan selain menerima hadiah itu. Anggap saja berkat anak baik. Niela memang sudah biasa mengendarai motor sewaktu kuliah. Jadi tidak ada masalah mengendarai kendaraan itu.Hari ini tampak baik-baik saja. Niela berjalan masuk mansion setelah memarkirkan motor barunya. Kelihatannya Kindly belum pulang sebab mobil yang di pakai tadi belum kembali."Hai Niela." sapa Alika yang duduk anggun di ruang tamu.Menghilangnya Kindly telah membukakan jalan lebar bagi rivalnya beraksi. Inilah alasan Kindly melarang Niela sembarang keluar rumah tanpa penjagaan. Namun dia kurang perhitungan dalam penyediaan tenaga bayaran.Orang-orang itu mentargetkan Niela dalam penculikan. Mereka membuat kedua pengawal tumbang dan meninggalkan Sena yang histeris. Sena sempat melakukan perlawanan untuk merebut Niela dan pada akhirnya pingsan setelah tengkuk kepalanya di hantam benda tumpul.Pertolongan baru datang usai mereka berhasil lari.Niela tidak tahu apa yang dia alami selanjutnya. Pandangannya menggelap ketika sebuah kain beraroma tajam menutup mulut dan hidungnya. Dia kira akan terbangun di tempat kumuh seperti gudang berdebu, tempat penyekapan yang sering muncul dalam film.Salah.Begitu kelopak matanya terbuka, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit putih yang terlampau terang akibat biasan lampu bagian tengah. Menoleh kiri kanan, ini merupakan kamar yang nyaman ditiduri.Tunggu.Apa Andri suda
Tak ada petunjuk. Tak ada saksi. Cctv terhapus secara misterius.Kindly benar-benar menghilang tanpa jejak. Polisi turun tangan dalam pencarian. Andri mengerahkan segenap kekuasaannya.Niela menggila, uring-uringan di jalanan tanpa arah. Fokusnya mencari batang hidung Kindly di mana pun. Para pengawal hanya sanggup mengantar dan mengikuti intruksinya. Selama empat hari ini Sena dan Andri berusaha bersikap tenang, memutuskan menemani Niela juga menginap selama Kindly belum ditemukan.Sena terpaksa mengurung Niela yang memaksa keluar mencari sang suami. Wanita itu menolak makan, sering melamun, dan menangis tanpa suara. Dia juga lebih banyak menyendiri di balkon kamar, menatap langit dalam keheningan. Wajahnya pucat karena kurang nutrisi. Kantung matanya menebal, separuh lingkaran hitam membingkai bawah matanya.Dari pintu, Sena memperhatikan dengan helaan nafas lesu. Dia merasa kehilangan, tentu. Tapi sang menantu pasti punya tanggungan kesakitan yang berbeda. Antara bersyukur karena
Secepat kilat menyambar, sama cepatnya dengan aksi bunuh diri Alika. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Alika mengalami pendarahan hebat, kepalanya pecah, tangan kirinya bengkok terlindas bola depan mobil. Kana meraung dalam bahasa sedih. Kindly berlari, berusaha meraih tubuh Alika yang separuhnya terjebak di bawah kolong mobil. Jalanan ribut suara-suara ringisan, prihatin, dan bercampur dengan bunyi klakson dari belakang (mereka tidak tahu situasi di depan).Alika menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan luka pukulan besar sekaligus kenangan terburuk.Pemakaman di laksanakan dua hari kemudian. Tangis pilu mengelilingi petinya. Kana sudah kehabisan air mata. Dia menatap penuh dendam pada Kindly yang datang bersama Niela. Mungkin ingin memaki dan marah-marah jika tidak di depan umum. Seluruh keluarganya pun tak mau repot-repot menyapa. Itu wajar. Niela sudah menduga skenario ini sebelum tiba.Kindly berdiri bak mayat hidup. Wajahnya datar, lebih seperti melamun. Binar matanya meng
Kana tersenyum percaya diri. Memaksimalkan drama, bertingkah sebagai korban paling tersakiti. "Kin, istrimu memukul Alika."Kindly masih berdiri di ambang pintu, menatap bergantian antara Niela dan Alika. Matanya tajam seperti biasa. Aroma parfum maskulinnya berbaur dengan wangi roti panggang mentega.Niela diam menunggu penasaran apa yang akan dilakukan sang suami. Bunyi sepatu Kindly adalah satu-satunya yang terdengar. Bagaikan latar musik horor mendekati puncak kemunculan setan. Perlahan dia berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan istrinya."Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan suara rendah.Niela diam, menatap lekat mata Kindly. Membaca situasi hati lelaki itu. Terbesit keraguan dalam dirinya ketika mendapati sorot mata yang sulit ditebak."Dia memukul Alika." Ulang Kana memanasi. "Dia sangat kasar dan...""Aku bertanya padamu." Kindly menoleh pada Kana. "Ada apa kau datang mengganggu istriku lagi?"Mulut Kana menganga, bingung. Kepercayaan dirinya luntur sesaat. "Kau membela
Beberapa pelanggan yang baru datang dan pejalan kaki yang lewat menyaksikan perdebatan di depan toko roti itu. Si ibu pemilik toko berkacak pinggang, melontarkan kalimat-kalimat gerutuan. Suaranya nyaring, sanggup menenggelamkan suara Kana.Si pengawal (dua orang) memasang badan, mencegah Kana melewati batas pintu. Wajah mereka tak banyak berubah, datar, tampak seperti melawan anak ayam.Kana sudah kehilangan akal sehatnya. Dia benci diperlakukan kasar. Dia benci orang-orang memandangnya rendah. Emosi itu membakar dirinya hingga lupa sedang berada di tempat umum dan memancing atensi banyak orang. Sial, ini sangat buruk.Pintu kaca terbuka. Seseorang menariknya dari dalam. Niela keluar, menatap Kana. Perdebatan mereka terintrupsi."Apa yang kau lakukan Kana?" Tanya Niela, berpura-pura tidak mengerti kondisi."Ah maaf nona, kenyamanan anda terganggu karena orang ini." Ucap si wanita pemilik toko.Niela memborong banyak roti, pun wajahnya sudah dikenal karena terlalu sering membeli bebe
Keadaan berubah. Kini Niela yang merasa bersalah dan memaki dirinya sendiri dalam hati. "Kau salah mengerti." Ralat Niela dengan mata berkaca-kaca."Apa pun yang kau tidak suka dariku. Bisakah kita membicarakannya bersama?"Niela pun tak tahan. Dia menghadapkan tubuh pada Kindly dan meraih wajah itu ke dalam dekapannya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya Niela yang di dekap, ditenangkan, dibisiki kata-kata hangat. Berbeda dengan sekarang. Dia merasakan kerapuhan lelaki yang selalu menunjukkan wajah garang. Hampir mustahil mempecayai momen ini terjadi jika mata tak melihat langsung.Apa Kindly juga begini pada Alika? Oh sialan, pikiran negatif begitu tak membantu."Baiklah, maaf kalau aku menyudutkanmu, bukan maksudku." Ucap Niela sembari mengusap punggung sang suami."Jangan katakan hal itu lagi padaku." Suara Kindly masih serak, namun tidak lagi sumbang.Niela mengangguk. "Selama kau tidak berbuat macam-macam, aku tidak akan mengatakannya lagi. Kau sadar? Hubungan kita sep