"Hana ku mohon..bantu kakak mu ini, please.."
Keesokan malam harinya, Keira yang tak berdaya menolak permintaan papanya itu, memohon pada Hana untuk membantunya dalam aksi menggagalkan 'kencan pertama'. Jika kesan yang didapat buruk pada pertemuan pertama, Keira seratus persen yakin si pangeran malam itu pasti akan menggagalkan pertunangan mereka yang tidak taunya ternyata akan di adakan bulan depan.
"Tapi kak, Hana benar-benar gak sanggup keluar. Perut Hana kram nih, nyeri datang bulan.." Tiap kali jatah bulanannya datang, Hana selalu saja menderita dismenore.
Nyeri menstruasi yang ia rasakan itu rasanya seperti ratusan tangan mengoyak habis perutnya sampai ia tak tahan untuk tidak menangis. Tapi syukurlah malam ini kram perutnya masih dalam tahap toleransi.
"Kakak ambilkan obat pereda nyeri ya..kram perutnya gak seberapa parah kan?" Keira tentunya tau seperti apa jika adiknya itu sudah datang bulan. Hana bisa saja terbaring lemas seharian di kasur dengan wajah pucat pasi. Tapi malam ini ia sungguh-sungguh membutuhkan bantuan adiknya itu.
Atau kalau tidak, masa depannya benar-benar hancur sudah!
"Memangnya kenapa gak kakak temuin aja calon suami kakak itu. Terus terang ke dia kalau kakak gak mau nik—"
"Engga semudah itu Han..." Keira mengacak-acak rambutnya frustasi, "Sudah lah! Kamu itu terlalu bersih untuk memahami dunia kotor yang kami geluti ini" Keira terduduk lemas di bawah ranjang, punggungnya bersandar tak berdaya di rak kecil samping ranjang. Tempat di mana Hana meletakkan buku-buku kesayangannya.
Hana merasa agak kasihan dengan kakak keduanya itu. Ia membayangkan jika seandainya di posisi itu, pasti tidak akan kalah frustasinya dengan Keira.
"Ya sudah Hana bantu. Emang kakak mau Hana buat apa di sana?"
Keira terus bangkit, wajah muramnya terus berganti menjadi cerah. Sungguh keberuntungan terindah dalam hidupnya memiliki adik sebaik Hana, "Memangnya kamu beneran sanggup pergi?" Tapi di sisi lain, Keira merasa tak enak karena adiknya itu tengah sakit.
"Kram nya gak seberapa parah koq, masih dalam tahap toleransi.." Hana tersenyum pelan.
"Kalau begitu biar kakak ambil obat pereda nyeri aja ya buat jaga-jaga"
Sebelum Keira melangkah keluar, Hana terus menahan pergelangan tangan kakak keduanya itu, "Kak, aku tidak terbiasa minum obat pereda nyeri"
Jika dalam tahap tak tertahan, paling Hana hanya berguling-guling di kasur seharian atau paling tidak menggunakan pad menstruasi. Ia kerapkali menjauhi obat, karena baginya apapun itu bahan kimia tidak baik untuk tubuh.
"Bagaimana jika kakak siapkan kantong air hangat saja?"
"Boleh"
Keira pun terus pergi meninggalkan kamar. Setelah beberapa menit berlalu, Keira pun kembali membawa kantong air hangat. Hana langsung meletakkan benda itu di atas perutnya dan nyerinya sedikit mereda.
"Jadi, nanti kakak akan mendadani mu dengan sangat elegan dan anggun. Lalu kau pergi ke pertemuan itu menggantikan kakak dan katakan beberapa hal kalau kau menolak keras untuk dinikahkan dengannya"
"Kenapa tidak dandan biasa saja? Atau sedikit acak-acakan? Biar sekalian kita buat dia ilfil?" Hana perlahan bangun, bersandar di kepala ranjang.
Keira langsung mengeluarkan tablet dan memperlihatkannya pada Hana, "lihat ini!" Keira menunjukkan salah satu artikel yang membahas tipe wanita idaman 'Pangeran Malam' putra tunggal keluarga El Murad.
"Dalam artikel ini, tertera jelas kalau dia itu sangat menyukai tipe wanita dengan penampilan kasual dan sebaliknya— ia membenci wanita yang berpenampilan selain dari satu 'kata' itu.."
"Jadi maksud kakak, dia engga suka sama wanita yang tampil glamor gitu?"
"Yups!"
"Aneh sekali" Gumam Hana, menggelengkan kepalanya tak mengerti, "Berarti dia juga gak suka liat wanita yang berpenampilan elegan atau anggun sekalipun?"
"Betul!"
—••—"Pa, aku maunya kandidat ketiga. Bukan kandidat kedua" Tentang Pasha tegas. Jelas-jelas mereka sudah membuat kesepakatan mengenai hal itu, tapi kenapa yang terjadi malah papanya mengubahnya begitu saja."Itu karena pak Arya tampak sangat menyayangi putri bungsunya. Ia yang sangat tidak rela memberikan putri tersayangnya itu padamu, sampai rela mendatangi Mak comblang demi membuat keputusan ini"
"Mak comblang?" Mata elang Pasha menyipit dingin.
"Ya" Angguk Shahbaz, "Dan kenapa pilihan jatuh pada kandidat kedua? Itu adalah pilihannya Mak Comblang. Menurutnya jika kalian berdua menikah, itu akan menciptakan pernikahan yang sempurna"
Pasha tertawa dingin. Ini sudah era apa, tapi pak Arya itu masih menggunakan jasa Mak comblang mengenai pernikahan putrinya?
"Ya sudah, kalau begitu batalkan saja" Tanpa berkata lebih jauh, Pasha bersiap pergi meninggalkan rumah besar ayahnya.
"Jika malam ini kamu tidak pergi, jangan salahkan papa kalau semua aset mu papa tarik dan termasuk jabatan mu sebagai CEO itu— papa turunkan menjadi eksekutif biasa" Berdasarkan sifat arogan dan otoriter Pasha, mana mau putranya itu turun jabatan dan membiarkan orang lain memerintah dirinya.
"Ingat, selama papa hidup, kamu masih berada di bawah papa Pasha"
Pasha mendengus dingin, pelan ia berbalik dan menatap ayahnya dengan tanpa sentuhan emosi apapun di kedalaman mata elangnya, "Baik, aku pergi!"
Karena itulah, Pasha sudah berada di restoran Diamond. Tempat makan berkelas yang merupakan milik dari calon papa mertuanya. Malam itu restoran itu di tutup, menciptakan suasana privasi sepenuhnya untuk pertemuan mereka.
Detik dan menit berlalu.
Kening Pasha berkerut dalam, menanti kedatangan calon istrinya yang masih saja belum muncul di tempat. Mata elangnya berkerut tak suka. Wanita itu sudah membuang tiga puluh lima menit dari waktunya yang berharga.
Mengangkat tangan, Pasha mengirimkan sinyal pada pelayan untuk datang membawanya sebotol anggur. Bersamaan dengan itu dari kejauhan, matanya menangkap objek kurus yang tinggi dipaksakan karena high heels, berjalan masuk kedalam restoran.
Gadis berkulit putih bersih dan wajah tirus yang terbungkus cantik dalam lilitan pasmina hitam yang elegan, itu tampak berjalan canggung dan sangat hati-hati. Langkahnya yang kacau itu benar-benar memprihatinkan. Jelas sekali pandang, orang dapat tau kalau gadis itu tidak terbiasa menggunakan high heels sebagai alas jalan.
Benar saja, gadis itu baru saja tanpa sengaja menabrak kaki meja. Bibir Pasha berkedut dingin, melihat hiburan ringan itu.
"Permisi" Gadis bergaun hitam nan anggun itu, dengan sopan menyapanya. Suaranya yang kecil itu nyaris seperti dengungan nyamuk dalam pendengaran Pasha.
Mengacuhkan kehadiran gadis muda itu, mata elangnya memilih memperhatikan pelayan pria yang tengah menata botol dan gelas di meja. Setelahnya pelayan itu bertanya apa ia masih membutuhkan hal lain. Pasha terus melambaikan tangan, mengisyaratkannya untuk pergi.
Hana menarik kursi dan duduk. Tatapan dingin di seberang, membuat sekujur tubuhnya tak tahan untuk tidak menggigil, "Maaf, untuk keterlambatan saya pak" Hana berusaha keras menyembunyikan rasa gugupnya.
Tidak tau kenapa, mendapati bibir semerah ceri itu memanggilnya dengan sebutan pak. Bibir Pasha berkedut dingin, berpikir itu cukup menarik. Pasha mengambil botol anggur, pergi menuangkan ke ke gelas miliknya. Ia pun dengan murah hati menuangkan minuman itu ke gelas milik gadis yang duduk di depannya hanya...
"Maaf pak, saya tidak bisa minum itu" Tolak Hana sopan. Anggur yang sudah difermentasi itu tak lagi halal untuk di minum. Hana melambaikan tangannya ke atas, memanggil pelayan. Seorang pelayan wanita pun berjalan mendatangi meja, "Ada yang bisa saya bantu nona Hana?" Staf tersebut tentu mengenal Hana. Putri bungsu dari pemilik restoran tempat mereka bekerja. Putri konglomerat yang dikenal religius dan menarik diri dari publik. Seringkali gadis cantik itu datang ke restoran, mentraktir kedua sahabatnya makan di sana. Biar begitu Hana tetap tampil rendah hati dan tidak sombong. "Tolong, secangkir teh chamomile" Hana mengelus perut datarnya. Tidak tau kenapa nyeri menstruasinya menjadi lebih parah dari sebelumnya. Pelayan wanita itu sempat melihat keganjilan dari rona wajah cantik Hana yang tampak agak memucat. Ia awalnya ingin bertanya apa gadis itu baik-baik saja? Hanya merasakan aura dingin Pasha yang mendominasi sekitar, ia tak tahan untuk segera pergi meninggalkan meja. "Maaf p
"A-aku..""Ayo ke rumah sakit" Seperti kau memiliki barang yang berharga. Melihat ada kesalahan sedikit saja, kau tak tahan untuk segera membawa barang itu ke tempat perbaikan."Tidak perlu" Hana dengan cepat menggelengkan kepalanya menolak.Kesal karena melihat Hana yang tak menurut, tanpa basa-basi lebih jauh. Pasha langsung membopong gadis kecil itu ke atas pundaknya. Hana sontak meronta, apa-apaan pria ini?"Pak, apa yang anda lakukan? Anda bukan mahram saya" Jerit Hana histeris. Mengundang berbagai pasang mata tertuju kearah mereka."Cepat turunkan saya!" Hana dengan keras memberontak untuk turun. Tapi nyeri dalam perutnya, membuat Hana tak punya kekuatan yang besar untuk melakukannya.Pasha menolak menurunkan Hana, terus membopongnya keluar dan memasukkan gadis kecil itu kedalam mobilnya. Hana di dalam sana sudah menangis deras, tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Nyeri dalam perutnya sungguh sangat tidak tertolong.Mendeng
Hana membuka matanya ketika samar-samar sinar matahari pagi mendominasi wajahnya. Terdengar suara tarikan tirai yang di geser. Hana menoleh dan mendapati seorang perawat baru saja menyingkap tirai jendela. Hana rasanya seperti baru terjaga dari mimpi. Ia tidak akan pernah mengira ada hari dimana ia dilarikan ke rumah sakit hanya karena kram menstruasi. Mengingat kejadian semalam, rasanya Hana ingin menangis karena malu. "Pagi, anda sudah bangun?" Sapa perawat cantik itu ramah. "Pagi, Sus" Hana mengangguk sopan, "Ya, baru saja" "Ah, kakak lelaki anda baru saja pergi membeli sarapan. Ia berpesan pada saya jika anda bangun untuk meminta anda menunggunya" "Kakak lelaki?" Hana mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan ia punya kakak laki-laki? Ia hanya punya dua orang kakak perempuan. "Em" Perawat itu mengangguk dan tersenyum, "Kalau begitu saya permisi" Setelah kepergian perawat itu, Hana tanpa sengaja menoleh kearah sofa yang ada
Pasha mendorong pintu kaca transparan itu dan masuk kedalam minimarket untuk membeli pembalut wanita seperti yang di sarankan dokter berkacamata tadi. Mendatangi salah satu karyawati yang duduk di meja kasir, tanpa sungkan Pasha berkata, "Saya butuh pembalut wanita"Beberapa saat karyawati itu terperangah, sempat terpesona dengan pria tampan di depannya, "Ah, sebentar!"Wanita itu pun keluar dari meja kasir dan menyuruh salah satu rekannya yang lain untuk berganti jaga. Sebelum wanita itu pergi mengambil barang yang diinginkan Pasha, wanita itu berbalik untuk bertanya, "Apa ada ukuran khusus? Sayap atau non-sayap?"Tampak sepasang mata elang Pasha berkedip tiga kali tak mengerti, "Siapkan saja semuanya"Karyawati itu mengulum rapat bibirnya, menahan senyum. Sepertinya itu adalah kali pertama pria tampan itu membeli benda seperti ini, "Baik"Di rumah sakit, Hana baru saja menelpon kakak keduanya untuk segera datang ke rumah sakit membawakan pakaian
"Kamu gak bawa mobil, Han?" Tepat setelah mata kuliah berakhir, siang itu Hana dan kedua temannya bergegas pergi meninggalkan gedung fakultas dan pergi ke kantin kampus."Engga, Cha" Jawab Hana lemas, karena pertanyaan Chaca itu berhasil membuatnya kembali terkenang betapa memalukannya awal pagi yang ia hadapi hari ini."Kok kamu lemes gitu sih Han?" Miftah menyenggol lengan Hana. Sejak tadi di dalam ruang Hana tampak tidak bersemangat."Sebenarnya aku males banget cerita"Miftah dan Chaca bertukar pandang. Mereka saling berkirim sinyal, pasti ada sesuatu yang baru saja terjadi pada Hana."Memangnya kenapa sih Han? Ayo dong cerita!" Chaca meletakkan tangannya di pundak Hana, matanya berkedip penuh keingintahuan. Hana yang melihatnya mendesah panjang. Di antara kedua temannya, Chaca lah yang paling besar jiwa keingintahuannya. Dalam tanda kutip 'bukan mengenai pembelajaran'."Engga ah, males!""Jangan gitu dong Han, kami kepo ni"
Hana terdiam. Jelas ia mengenal kakak lelakinya Chaca yang baru saja mendapatkan gelar dokter muda itu. Pria berkulit putih yang memiliki senyum meneduhkan. Pribadi yang tidak banyak omong, tapi perhatian. Perawakannya sopan dan lembut. Sosok yang relijius dan jauh dari kata arogan. Tak lupa dengan aura medisnya yang telah menarik perhatian banyak wanita.Tanpa sepengetahuan kedua sahabatnya itu. Kakak lelakinya Chaca...Adalah cinta pertamanya Hana."Ah, udah ah!" Hana langsung menyeruput jus alpukat nya yang tanpa gula itu dan melanjutkan, "Kita fokus belajar aja dulu ya!""Bener!" Seru Miftah dan Chaca serempak."Pokoknya, kalo kamu di jodohin bilang sama aku" Chaca baru saja mengambil sesuap siomay kedalam mulutnya, terus kembali berbicara, "Biar aku paksa kakak aku buat datang ke rumah""Untuk?" Hana menautkan sepasang alisnya."Ya untuk lamar kamu lah!"Serentak Miftah dan Hana bertukar pandang, sama-sama terperangah!
Esok harinya, Hana sarapan seorang diri di meja makan yang sunyi. Ratna yang terbiasa sarapan di jalan, itu sudah pergi meninggalkan kediaman untuk bergegas ke perusahaan. Keira yang masih sensitif karena kejadian semalam, sudah pergi di awal pagi buta entah kemana. Sedang ayahnya selalu jarang sarapan pagi, karena terburu-buru bekerja.Biasanya Hana melewati sarapan pagi dengan kakak keduanya. Karena hanya Keira lah yang paling luang di antara para anggota lainnya yang terjerat dalam kesibukan. Tapi pagi ini, Hana menyelesaikan aktivitasnya melahap sepotong roti dan menghabiskan segelas susu hangat itu seorang diri.Hana mengambil tasnya dan beranjak pergi meninggalkan ruang makan yang sunyi. Berjalan ke ruang tamu, beberapa maid muda menyapanya dengan ramah."Pagi, non Hana""Pagi" Hana membalas sapaan mereka dengan tersenyum simpul.Mereka adalah sekelompok maid yang di pekerjakan seminggu tiga kali, untuk membersihkan kediaman keluarga Hana yan
Pasha berada dalam sebuah bar, bertemu dengan beberapa rekan bisnisnya. Mereka bercengkrama panjang lebar mengenai kerjasama bisnis bertemankan sebotol anggur mahal. Di pertengahan pembicaraan itu, tanpa sengaja mata elangnya yang tajam, menangkap seorang gadis mungil berhijab, melesat masuk kedalam dengan mata yang menoleh kanan-kiri seperti mencari seseorang.Kening Pasha berkerut tajam. Pasha jelas mengenal siapa gadis mungil berhijab itu. Dalam diam dengan sepasang alis tertaut erat, Pasha berpikir. Tempat ini terlalu terbuka bagi gadis tertutup sepertinya, tapi...'Untuk apa dia datang kemari?'Pusat perhatian Pasha pun berubah dari pembicaraan bisnis yang sangat menguntungkan, beralih pada permata langka yang sangat ia inginkan.Hana.Pasha dapat melihat Hana berjalan mendatangi seseorang. Itu adalah seorang wanita berambut ikal sebahu, yang tampak cukup mabuk setelah menghabiskan beberapa botol alkohol. Sekali pandang saja, Pasha jelas langsung mengenali siapa itu. Yang tak lai