Share

|6|. Bukan Kandidat Kedua

"Hana ku mohon..bantu kakak mu ini, please.."

Keesokan malam harinya, Keira yang tak berdaya menolak permintaan papanya itu, memohon pada Hana untuk membantunya dalam aksi menggagalkan 'kencan pertama'. Jika kesan yang didapat buruk pada pertemuan pertama, Keira seratus persen yakin si pangeran malam itu pasti akan menggagalkan pertunangan mereka yang tidak taunya ternyata akan di adakan bulan depan.

"Tapi kak, Hana benar-benar gak sanggup keluar. Perut Hana kram nih, nyeri datang bulan.." Tiap kali jatah bulanannya datang, Hana selalu saja menderita dismenore.

Nyeri menstruasi yang ia rasakan itu rasanya seperti ratusan tangan mengoyak habis perutnya sampai ia tak tahan untuk tidak menangis. Tapi syukurlah malam ini kram perutnya masih dalam tahap toleransi.

"Kakak ambilkan obat pereda nyeri ya..kram perutnya gak seberapa parah kan?" Keira tentunya tau seperti apa jika adiknya itu sudah datang bulan. Hana bisa saja terbaring lemas seharian di kasur dengan wajah pucat pasi. Tapi malam ini ia sungguh-sungguh membutuhkan bantuan adiknya itu.

Atau kalau tidak, masa depannya benar-benar hancur sudah!

"Memangnya kenapa gak kakak temuin aja calon suami kakak itu. Terus terang ke dia kalau kakak gak mau nik—"

"Engga semudah itu Han..." Keira mengacak-acak rambutnya frustasi, "Sudah lah! Kamu itu terlalu bersih untuk memahami dunia kotor yang kami geluti ini" Keira terduduk lemas di bawah ranjang, punggungnya bersandar tak berdaya di rak kecil samping ranjang. Tempat di mana Hana meletakkan buku-buku kesayangannya.

Hana merasa agak kasihan dengan kakak keduanya itu. Ia membayangkan jika seandainya di posisi itu, pasti tidak akan kalah frustasinya dengan Keira.

"Ya sudah Hana bantu. Emang kakak mau Hana buat apa di sana?"

Keira terus bangkit, wajah muramnya terus berganti menjadi cerah. Sungguh keberuntungan terindah dalam hidupnya memiliki adik sebaik Hana, "Memangnya kamu beneran sanggup pergi?" Tapi di sisi lain, Keira merasa tak enak karena adiknya itu tengah sakit.

"Kram nya gak seberapa parah koq, masih dalam tahap toleransi.." Hana tersenyum pelan.

"Kalau begitu biar kakak ambil obat pereda nyeri aja ya buat jaga-jaga"

Sebelum Keira melangkah keluar, Hana terus menahan pergelangan tangan kakak keduanya itu, "Kak, aku tidak terbiasa minum obat pereda nyeri"

Jika dalam tahap tak tertahan, paling Hana hanya berguling-guling di kasur seharian atau paling tidak menggunakan pad menstruasi. Ia kerapkali menjauhi obat, karena baginya apapun itu bahan kimia tidak baik untuk tubuh.

"Bagaimana jika kakak siapkan kantong air hangat saja?"

"Boleh"

Keira pun terus pergi meninggalkan kamar. Setelah beberapa menit berlalu, Keira pun kembali membawa kantong air hangat. Hana langsung meletakkan benda itu di atas perutnya dan nyerinya sedikit mereda.

"Jadi, nanti kakak akan mendadani mu dengan sangat elegan dan anggun. Lalu kau pergi ke pertemuan itu menggantikan kakak dan katakan beberapa hal kalau kau menolak keras untuk dinikahkan dengannya"

"Kenapa tidak dandan biasa saja? Atau sedikit acak-acakan? Biar sekalian kita buat dia ilfil?" Hana perlahan bangun, bersandar di kepala ranjang.

Keira langsung mengeluarkan tablet dan memperlihatkannya pada Hana, "lihat ini!" Keira menunjukkan salah satu artikel yang membahas tipe wanita idaman 'Pangeran Malam' putra tunggal keluarga El Murad.

"Dalam artikel ini, tertera jelas kalau dia itu sangat menyukai tipe wanita dengan penampilan kasual dan sebaliknya— ia membenci wanita yang berpenampilan selain dari satu 'kata' itu.."

"Jadi maksud kakak, dia engga suka sama wanita yang tampil glamor gitu?"

"Yups!"

"Aneh sekali" Gumam Hana, menggelengkan kepalanya tak mengerti, "Berarti dia juga gak suka liat wanita yang berpenampilan elegan atau anggun sekalipun?"

"Betul!"

                              —••—

"Pa, aku maunya kandidat ketiga. Bukan kandidat kedua" Tentang Pasha tegas. Jelas-jelas mereka sudah membuat kesepakatan mengenai hal itu, tapi kenapa yang terjadi malah papanya mengubahnya begitu saja.

"Itu karena pak Arya tampak sangat menyayangi putri bungsunya. Ia yang sangat tidak rela memberikan putri tersayangnya itu padamu, sampai rela mendatangi Mak comblang demi membuat keputusan ini"

"Mak comblang?" Mata elang Pasha menyipit dingin.

"Ya" Angguk Shahbaz, "Dan kenapa pilihan jatuh pada kandidat kedua? Itu adalah pilihannya Mak Comblang. Menurutnya jika kalian berdua menikah, itu akan menciptakan pernikahan yang sempurna"

Pasha tertawa dingin. Ini sudah era apa, tapi pak Arya itu masih menggunakan jasa Mak comblang mengenai pernikahan putrinya?

"Ya sudah, kalau begitu batalkan saja" Tanpa berkata lebih jauh, Pasha bersiap pergi meninggalkan rumah besar ayahnya.

"Jika malam ini kamu tidak pergi, jangan salahkan papa kalau semua aset mu papa tarik dan termasuk jabatan mu sebagai CEO itu— papa turunkan menjadi eksekutif biasa" Berdasarkan sifat arogan dan otoriter Pasha, mana mau putranya itu turun jabatan dan membiarkan orang lain memerintah dirinya.

"Ingat, selama papa hidup, kamu masih berada di bawah papa Pasha"

Pasha mendengus dingin, pelan ia berbalik dan menatap ayahnya dengan tanpa sentuhan emosi apapun di kedalaman mata elangnya, "Baik, aku pergi!"

Karena itulah, Pasha sudah berada di restoran Diamond. Tempat makan berkelas yang merupakan milik dari calon papa mertuanya. Malam itu restoran itu di tutup, menciptakan suasana privasi sepenuhnya untuk pertemuan mereka.

Detik dan menit berlalu.

Kening Pasha berkerut dalam, menanti kedatangan calon istrinya yang masih saja belum muncul di tempat. Mata elangnya berkerut tak suka. Wanita itu sudah membuang tiga puluh lima menit dari waktunya yang berharga.

Mengangkat tangan, Pasha mengirimkan sinyal pada pelayan untuk datang membawanya sebotol anggur. Bersamaan dengan itu dari kejauhan, matanya menangkap objek kurus yang tinggi dipaksakan karena high heels, berjalan masuk kedalam restoran.

Gadis berkulit putih bersih dan wajah tirus yang terbungkus cantik dalam lilitan pasmina hitam yang elegan, itu tampak berjalan canggung dan sangat hati-hati. Langkahnya yang kacau itu benar-benar memprihatinkan. Jelas sekali pandang, orang dapat tau kalau gadis itu tidak terbiasa menggunakan high heels sebagai alas jalan.

Benar saja, gadis itu baru saja tanpa sengaja menabrak kaki meja. Bibir Pasha berkedut dingin, melihat hiburan ringan itu.

"Permisi" Gadis bergaun hitam nan anggun itu, dengan sopan menyapanya. Suaranya yang kecil itu nyaris seperti dengungan nyamuk dalam pendengaran Pasha.

Mengacuhkan kehadiran gadis muda itu, mata elangnya memilih memperhatikan pelayan pria yang tengah menata botol dan gelas di meja. Setelahnya pelayan itu bertanya apa ia masih membutuhkan hal lain. Pasha terus melambaikan tangan, mengisyaratkannya untuk pergi.

Hana menarik kursi dan duduk. Tatapan dingin di seberang, membuat sekujur tubuhnya tak tahan untuk tidak menggigil, "Maaf, untuk keterlambatan saya pak" Hana berusaha keras menyembunyikan rasa gugupnya.

Tidak tau kenapa, mendapati bibir semerah ceri itu memanggilnya dengan sebutan pak. Bibir Pasha berkedut dingin, berpikir itu cukup menarik. Pasha mengambil botol anggur, pergi menuangkan ke ke gelas miliknya. Ia pun dengan murah hati menuangkan minuman itu ke gelas milik gadis yang duduk di depannya hanya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status