Share

Bagian 3

"Apa kau mempermainkanku?" Garis pandang mereka saling bersinggungan. Tatapan sinis mulai Dave layangkan. "Menggantikan posisi calon suamimu? Jangan konyol! Kau pikir aku akan percaya ucapanmu?"

Dave malah meledakkan sedikit tawa kecilnya, terkesan sekali meledek ucapan tidak masuk akal Aaradya barusan.

"Kenapa kau tidak mempercayaiku? Apa aku terlihat seperti pembohong di matamu?" tekan gadis bermantel katun ini frustasi. "Aku tidak akan mau bunuh diri hanya karena masalah sepele. Hidupku sudah terlalu hancur dan kau seenaknya bersikap seperti itu seolah-olah kaulah Tuhan yang tahu segalanya."

Raut putus asa tergambar di wajah cantik Aaradya. Dia begitu tersakiti mendengar perkataan nyelekit dari bibir pria asing ini.

Dave terdiam beberapa saat. Helaan napasnya berhembus pelan. "Sekarang ikut aku. Kalau yang kau katakan itu benar maka dengan senang hati aku bersedia menggantikan posisi calon suamimu," balas Dave menatap manik mata itu dalam seolah-olah yang dia katakan barusan bukanlah sesuatu yang besar.

****

Moncong peluru panas dari pistol berjenis revolver mengarah tepat di samping pelipis dua muda-mudi tersebut. Kedatangan mereka rupanya disambut dengan hangat di sini sampai jari-jari kekar keempat pria bertampang sangar itu bisa kapan pun menarik pelatuk yang terdapat di sana.

Bukannya takut Dave terlihat tenang sekali. Berbeda dengan raut wajah gadis di sampingnya.

Sumpah demi Tuhan gertakan kecil dari mereka barusan bukan apa-apa baginya. Dave justru tersenyum tipis sembari mengamati keadaan sekitar.

"Ternyata Nona masih berani ya kembali ke sini. Kami pikir Nona sudah mati terbawa ombak pantai," ucap salah satu dari mereka mengulum senyum mengejek.

Sesuai kesepakatan sebelumnya Dave sungguh-sungguh merealisasikan niatnya mengembalikan Aaradya ke rumah orangtua gadis itu. Namun, belum apa-apa, dia malah disuguhi pertunjukkan menarik ini.

"Aku ingin bertemu Tuan kalian," sela Dave sama sekali tidak memberikan kesempatan pada mereka untuk terlalu lama mengintimidasi Aaradya. Urusannya dengan pemilik rumah ini bukan mereka.

Mereka yang menghadang Aaradya serta Dave di gerbang lantas menebar senyum mematikannya. "Apa kau tidak takut dengan pistol ini? Pelurunya bisa kapan saja menembus kepalamu."

Lidah Dave berdecih. Seringai sinis nan mengejek lekat tersungging di bibirnya. "Aku tidak takut. Panggilkan tuan kalian sekarang juga. Ada yang ingin aku diskusikan."

"Kau pikir kami peduli. Silahkan pergi. Tuan kami sedang tidak ada di rumah," usir Alex seperti tidak punya belas kasih pada nona mudanya padahal dulu pria itulah yang sering menjaga Aaradya ketika bepergian kemana pun.

Dalam hati Aaradya tidak percaya ayahnya sedang tidak ada di rumah. Pasti mereka berbohong. Sehina itukah dia sebagai putri keluarga kaya yang batal menikah sehingga mereka bersikap demikian?

Relung hatinya terluka begitu dalam menerima fakta ini. Perasaan menyakitkan itu sampai mengalihkan rasa gusar yang dia rasakan sejak tadi.

"Untuk apa kami menuruti perintahmu. Kau bukan siapa-siapa di sini."

Entah setan darimana, Alex mendadak mengambil ancang-ancang hendak menarik pelatuk itu. Tangannya tak gentar mengacungkan senjata api itu ke dahi Aaradya serta Dave.

Namun, Dave dengan gesit menendang lengan kanan Alex menggunakan kakinya. Walau baru mengalami kecelakaan sepasang alat geraknya masih berfungsi sangat baik.

'Kalian terlalu meremehkanku.'

Sontak satu tembakan melesat tanpa perkiraan, menimbulkan bunyi keras yang cukup menceloskan jantung semua orang. Seluruh pelayan yang bekerja di rumah besar ini berhamburan menuju jendela. Melihat apa yang sedang terjadi di luar sana.

Pasalnya, kediaaman bernuansa American Clasic ini terlalu tenang akibat penjagaan ketat yang mengelilingi tembok-tembok besar bercat putih tulang. Sampai para merpati yang mendiami halaman mengepakkan sayapnya tinggi-tinggi.

Berkat kecerdikan itu Dave mampu mengambil alih dua pistol yang menodongnya tadi.

"Antarkan aku ke Tuan kalian sekarang juga." Kini Dave yang mengambil alih keadaan. Dia cukup jumawa dengan perhitungannya yang akurat.

Sampai-sampai anak buah orang tua Aaradya angkat tangan, takut pemuda asing ini memberi mereka hadiah kecil sebagai tanda perpisahan.

"Turunkan pistol itu. Akan aku antarkan kau ke Tuan besar." Alex mulai berucap gusar. Pria tiga puluh enam tahun itu pikir Dave bukanlah tandingannya.

"Semua tergantung padamu. Terlambat sedetik saja mengambil keputusan, nyawa kalian yang aku kirim ke neraka."

Girang sekali pria dengan tinggi seratus enam puluh sembilan itu menyaksikan raut ketakutan yang mereka perlihatkan. Ah, sudah lama juga dia tidak menunjukkan bakatnya dalam mengendalikan senjata api.

Dave maju selangkah demi menggertak manusia-manusia payah ini. Voila, mereka pun menyingkir sesegera mungkin, memberi Aaradya serta Dave akses untuk masuk. Tentu bersamaan dengan Alex yang merangsek maju, memberi petunjuk jalan.

Lorong demi lorong mereka lewati penuh debar. Terutama Alex serta Chan yang menuntun kedua tamu tak diundang ini. Bukan apa-apa pasti ada hadiah kecil yang tuannya berikan nanti melihat tindakan bodoh mereka kali ini.

Seakan-akan rintangan selalu menghalangi jalan keduanya seorang pria bertubuh tinggi bersama wajah orientalnya yang lumayan khas merebut pistol di tangan Dave secara brutal. Terpaksa senjata api itu menggelinding di lantai.

Ketika akan mengambilnya, Alan justru menginjak tangan Dave yang belum pulih. Otomatis erangan sakit mengisi sudut-sudut rumah. Sekuat tenaga Dave menahan rasa ngilu itu. Aaradya mengigit bibir bawahnya keras.

Alan, kakak laki-lakinya itu pasti tidak akan membiarkan mereka lolos kali ini.

"Siapa kau sebenarnya? Berani sekali mengganggu ketenangan di rumahku," ungkap pria berparas blasteran tersebut lebih keras menginjak punggung tangan Dave.

Retina penglihatan Alan per tiga detik lalu menangkap keberadaan sang adik, tetapi semua itu dia abaikan. Urusannya terletak pada laki-laki asing yang bersama Aaradya kali ini.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Tugas kalian hanya perlu mengantarkanku ke pemilik rumah ini."

Semakin keraslah kaki Alan menginjak tangan Dave. Kemarahannya benar-benar terpantik mendengar kalimat menantang barusan. Aaradya meringis dalam diam melihat Dave kesakitan.

'Inilah yang aku takutkan sejak tadi. Kakak pasti tidak akan segan-segan membunuh kami berdua di sini.'

Tidak sabar menghadapi pria di hadapannya, tanpa pikir panjang Alan menodongkan pistol mahalnya ke kepala Dave.

"Berani sekali kau memasuki kediaman Broto Seno! Apa kau tidak takut mati terbunuh di sini?" Geram Alan bersama gemeretak giginya.

Sedikit saja jarinya melesat peluru nan panas ini siap menembus sel-sel syaraf yang pria asing itu miliki. Dave yang telah mendongakkan kepalanya sama sekali tidak takut dengan ancaman itu. Dia justru tersenyum puas. Menurutnya Alan adalah lawan seimbang untuk pertarungan kali ini.

Adegan menengangkan itu rupanya disaksikan oleh seorang pria paruh baya di depan jendela kamarnya yang megah. Tubuhnya yang masih bugar di usia enam puluh tahun tersebut sertamerta keluar. Diikuti beberapa orang kepercayaannya.

"Berhati-hatilah, Nak. Jangan kotori tanganmu dengan membunuh seseorang yang tidak bersalah," larang Broto Seno, tidak lain dan tidak bukan adalah pemilik rumah mewah berlantai tiga ini.

Dave yang sudah bisa menebak siapa pria tua ini menarik ujung bibirnya. Berbeda dengan Aaradya yang menciut ketakutan.

"Katakan maksud tujuanmu ke sini?" To the point sekali seorang Broto Seno. Dave menyukainya. Toh, dia paling benci bertele-tele. "Apa kau ingin menyaksikan kematian gadis ini?"

Sebuah pistol berbalik mengarah ke Aaradya. Seolah tidak punya rasa kasihan, pria tua tidak berperikemanusiaan ini justru ingin menembak putrinya sendiri. Miris. Sangat berbeda dengan orangtuanya yang saling mengasihi.

"Tidak. Untuk apa aku membuang-buang waktu melihat kematian orang lain?" Senyum miring tercetak di bibir Dave. "Jika kau tidak menyanyanginya lagi, sebaiknya serahkan dia padaku. Aku bersedia menggantikan posisi calon menantumu yang kabur itu."

Sorot mata serius menghiasi bola mata terang tersebut. Dia tersenyum manis sekali menjawab pertanyaan laki-laki tua ini begitu yakin.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status