Share

Bagian 5

"Sialan, dia curang!" Andreas mengumpat keras. Emosinya mulai naik ke ubun-ubun melihat kecurangan yang Alan lakukan.

Jelas kakak Aaradya itu sengaja. Dia sama sekalo tidak membiarkan Dave memberikan perlawanan. Lebih parahnya, Alan malah menyerang titik kelemahan sahabatnya yang belum pulih tatkala menolong Aaradya tempo hari.

Tanpa pikir panjang Andreas menyuruh anak buahnya mengeluarkan Dave dari pertarungan curang tersebut. Namun, baru lima langkah maju, anggota tubuh sang bos bergerak.

Terlihat dari tangannya yang perlahan mengepal bersama kelopak mata yang mulai terbuka. Tanpa Andreas sadari, helaan napas Dave mulai teratur diikuti kekuatannya untuk berdiri.

Alan yang terlalu gembira tidak menyadari situasi ini dan semua itu Dave manfaatkan untuk menyerang titik syaraf sang rival. Kurang dari enam puluh detik sahabatnya itu sukses menumbangkan sang lawan.

"Kalahkan dia, Dave. Tunjukkan seberapa kuat dirimu," ucap Andreas mensugesti sahabat karibnya agar bangkit lalu memenangkan pertarungan ini.

Setelah sukses mengunci pergerakan Alan, Dave mulai membanting tubuh putra tersayang Broto Seno itu tanpa rasa kasihan sedikit pun. Puluhan kali bogeman dia layangkan ke wajah sombong itu.

Tidak kuasa menahan serangan bertubi-tubi ini, Alan mengangkat tangannya tanda menyerah. Pertarungan jalanan ini berakhir bersamaan dengan senyum congkak Dave yang terkembang.

****

Rangkaian mawar putih dikombinasikan dengan bunga baby breath menjuntai di sepanjang tangga, pintu masuk serta dinding-dinding rumah. Aroma harum dari bunga-bunga putih tersebut menyebar ke sepenjuru ruangan.

Tidak hanya di dalam rumah, halaman luas dari bangunan berlantai tiga ini tidak luput disulap menjadi altar pernikahan.

Kalian pasti bisa menebak apa yang terjadi setelah pertarungan itu dimenangkan oleh Dave. Tepat sesuai kesepakatan di antara kedua belah pihak, sudah bukan rahasia umum lagi kalau pernikahan akan segera digelar di kediaman mewah ini.

"Gila. Pria itu benar-benar sudah tidak waras," lirih Aaradya ketika iring-iringan mobil memasuki huniannya, membawa berbagai seserahan seharga puluhan juta.

Se-effort itu Dave mempersunting calon istrinya. Aaradya sampai tidak habis pikir melihatnya. Pun tidak butuh waktu berminggu-minggu bagi pria asing nan gila tersebut menentukan tanggal yang pas untuk acara sakral ini.

Bagi Dave, Aaradya bagai hadiah mahal yang mesti cepat-cepat dia ambil. Hadiah dari hasil mengusik harga diri Alan yang setinggi puncak himalaya.

Demi kelancaran acara ini Dave sampai harus mengirim orang-orang kepercayaannya untuk mengawasi. Enggan sekali dia membiarkan calon mertua serta kakak iparnya itu mengacau.

Meski sedang tidak berada di lokasi dirinya cukup puas melihat hasil kerja keras wedding organizer ini. Bagaimana Aaradya bisa mengetahui semua itu? Tidak cukup sulit menebak jalan pikiran pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.

"Bahkan, orang kepercayaannya terus mematai ayah dan kakak," lirih Aaradya mematung di depan jendela kamarnya, memperhatikan kesibukan yang terjadi di bawah sana.

Semua backdrop bertuliskan namanya dan sang calon suami pun telah berdiri kokoh. Sungguh sampai detik ini Aaradya tidak percaya akan takdir yang Tuhan tulis untuknya. Suratan takdir seolah menariknya ke lingkaran berbeda.

Walau keadaan perlahan membaik. Pun nama baik keluarganya sudah kembali karena pernikahan ini tetap saja dia masih mempertanyakan keputusan sebelah pihak Dave padahal laki-laki itu semula terlihat tidak percaya dengan semua yang dia katakan.

"Pasti ada sesuatu di balik pernikahan ini. Aku yakin sekali karena tidak mungkin ayah membiarkan laki-laki asing masuk ke keluarganya. Apalagi menjadi menantu."

Aaradya menghela napas panjang. Dia lelah sekali memikirkan semua yang terjadi. Selama lima detik dia melamun, membiarkan intensitas cahaya menembus retina matanya. Dejavu. Semua terasa sama walau di waktu yang berbeda.

"Sebaiknya habiskan sarapan anda dulu, Nona. Sebentar lagi orang spa akan datang." Seorang wanita berumur setengah abad membuyarkan lamunan Aaradya. Gadis muda itu hanya berdiri di tempatnya, menatap wanita yang sudah merawatnya sedari kecil.

"Apa yang masih nona pikirkan? Tersenyumlah. Semua akan baik-baik saja. Bukankah setelah hujan, pelangi akan muncul," hibur Maddeline membelai surai hitam anak asuhnya.

Mendengar itu, Aaradya menitikan air mata. Cuma Ibu Maddeline yang sangat memahami perasaan dara cantik itu. Bahkan, orang yang sedarah dengannya pun tidak seperti ini. Sakit? Tentu saja. Tidak ada yang lebih memilukan daripada dilukai keluarga sendiri.

***

Lain Aaradya, lain pula Dave. Sang calon pengantin pria tersebut nampak teramat bahagia menyadari tinggal hitungan hari lagi statusnya akan berubah. Begitu pula kehidupan yang bakal dia jalani. Mendekati hari H tidak terselip sedikit pun keraguan. Dave begitu yakin terhadap pilihannya.

Katakanlah dia bodoh karena menikahi gadis asing yang latar belakang keluarganya saja sangat pintar berbuat curang. Tapi, tidak apa-apa, dia sudah sering diperlakukan demikian.

Setumpuk kertas yang menggunung di atas meja pun perlahan mulai berkurang sejak jarum jam menunjukkan pukul 22.30 WIB. Sudah lebih lima jam dia terkurung di ruang kerja, menyelesaikan beberapa berkas yang perlu ditinjau. Akibat dari insiden di pantai serta pertarungan jalanan antara dirinya serta Alan.

"Entah kenapa aku baru memikirkan ide brilian ini sekarang? Kalau sedari lama aku merealisasikan rencana ini sudah pasti dia tidak sebahagia itu berdansa dengan kekasihnya," kata Dave tersenyum sumringah.

Bulan yang menggantung tinggi di atas sana terlihat sangat indah detik ini. Apalagi sinarnya yang membelai permukaan wajah Dave. Diikuti kencangnya angin yang berembus.

Sekarang Dave memang sedang berada di balkon. Melepas sedikit penat sekaligus mencari udara segar di luar. Seminggu belakangan entah mengapa perasaannya plong sekali. Seakan-akan ada beban yang lepas dari pundaknya sejak menyusun rencana licik tersebut.

Tahu bisa balas dendam semudah ini sudah lama dia merencanakan segalanya. Namun, lebih baik terlambat kan dibanding tidak sama sekali? Setidaknya, dendam itu terbalas sekarang. Perlahan-lahan tapi pasti dia akan menghancurkan hidup gadis itu.

"Kau di sini rupanya." Baru beberapa menit keluar mencari udara segar sesosok makhluk yang tidak lain, tidak bukan adalah partner bisnisnya, Andreas.

Pemuda berkaos navy itu melipat tangannya di depan dada, mengikuti arah pandang Dave. Pasti ada sesuatu yang ingin Andreas bahas. Terlihat dari ekspresi temannya itu.

"Ada apa? Apa ada masalah?" Dave langsung menodong sebuah pertanyaan. Tidak mungkin kehadiran Andreas di sini hanya iseng semata. Ikut melepas jenuh. Padahal setiap hari pria asal Palembang ini keluar rumah mengurus setiap hal.

Andreas terdiam beberapa saat. Entah, apa yang mulutnya itu ingin sampaikan. Membuat Dave sedikit cemas kalau-kalau calon mertua serta kakak ipar tersayangnya tersebut melakukan sesuatu. Jangan sampai acara pernikahan ini ditunda. Sungguh Dave akan mengutuk ayah dan anak itu.

"Bagaimana persiapan pernikahannya? Apa kedua ayah dan anak itu mengacau lagi?"

"Kau yakin Dave menikahi Aaradya? Apa ini tidak terlalu buru-buru? Ingatlah, kalian baru mengenal selama tiga minggu?"

Bukan jawaban yang Dave dapatkan, melainkan sebuah pertanyaan.

"Kau terlalu negatif thingking denganku. Bukankah harusnya kau senang karena aku mulai mempercayai sebuah hubungan?" jawab Dave membalas pertanyaan pria yang lebih muda dua tahun darinya.

"Bukan seperti itu. Aku cuma heran dengan keputusan mendadakmu. Menikah? Aku kira kau kesurupan," keluh Andreas bagai ibu-ibu yang mengomeli kelakuan anaknya. "Lagipula, kau baru mengenalnya. Bagaimana bisa menikah seolah-olah kalian sudah lama mengenal dan menjalin hubungan."

Dave terkekeh. Ungkapan hati Andreas benar-benar terdengar lucu di telinganya. "Kau belum pernah mendengar konsep perjodohan ya? Calonnya tidak saling mengenal dan mereka bisa menikah kan?"

Andreas mati kutu. Ya, benar konsep perjodohan itu ada tapi ada pihak keluarga yang saling mengenal sedangkan sahabatnya ini mengenal sang calon istri ketika menyelamatkan gadis itu dari aksi nekat bunuh diri.

"Kuharap kau serius dengan niat baikmu itu. Meski kehidupan kita tidak sebersih dulu, setidaknya jangan sakiti hati seorang perempuan."

Andreas menepuk pundak Dave, mengakhiri perdebatan barusan. Selagi niat teman masa kecilnya itu baik? Kenapa tidak dia dukung. Toh, bisa dibilang Andreas senang mengetahui Dave sudah pulih dari sakit hatinya.

Memilih membiarkan Dave melepas lelah di sini, dia pun berjalan keluar. Masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan. Ditambah persiapan pernikahan sang teman.

Sepeninggalan Andreas, Dave tersenyum tipis. "Aku tidak bisa menjamin gadis itu bahagia, Andreas biarlah takdir yang menentukan," lirih pemuda berambut lurus tersebut menatap secarik foto yang tergenggam di tangannya sejak tadi. Foto seorang perempuan yang sudah sangat lama dia benci.

***

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status