Share

Bagian 7

Hanya keheningan yang terdengar di kamar tiga kali tiga meter ini. Lilin yang menyala di sudut-sudut ruangan semakin membuat Aaradya gugup. Suasana kamar pengantinnya begitu romantis. Tapi, entah kenapa dia tidak tahan berada satu ruangan dengan Dave.

Pria yang sudah sah menjadi suaminya. Tanpa memboyong sang istri ke hotel, Dave lebih memilih memanfaatkan kamar Aaradya sebelum gadis itu benar-benar akan meninggalkan rumah orangtuanya.

"Tidurlah. Tidak perlu takut. Aku bukan pembunuh bayaran yang musuh ayahmu kirim," ucap Dave membuyarkan lamunan Aaradya.

Entah mengapa gadis itu betah sekali tidak beranjak dari duduknya. Dia diam sesekali mengedarkan pandangan ke segala arah. Masuknya Dave ke kamar ini membuat Aaradya bagai orang bodoh padahal ini adalah tempatnya beristirahat selama bertahun-tahun.

"Aku akan tidur di sofa kalau kau khawatir terjadi sesuatu," kata Dave lagi mulai mengambil selimut cadangan dari lemari. Wajahnya yang penuh senyuman semakin membuat Aaradya merasa aneh tinggal satu ruangan bersama pria asing.

Aaradya masih memperhatikan gerak-gerik Dave. Dia enggan bersuara sebab bingung harus berkata apa. Suasana ini terasa masih asing untuknya.

"Tidurlah, Aaradya. Besok kau akan pergi meninggalkan keluargamu dan tinggal bersamaku."

Setelah mengatakan itu, Dave dengan santainya tertidur. Enggan mempedulikan Aaradya yang sedikit kaget akan pernyataannya.

"Nasibku benar-benar sudah berubah sembilan puluh derajat," lirih gadis itu masih tidak menyangka akan takdir yang Tuhan gariskan untuknya.

Menduduki tepian ranjang, Aaradya tak sedikit pun berminat beranjak dari sana. Dia justru malah membayangkan tentang rumah tangganya ke depan. Apakah akan bahagia atau malah sengsara?

Lebih dari itu apakah pria asing yang baru dia temui di pantai ini akan memperlakukannya dengan baik?

"Berpikirlah positif Aaradya. Dialah yang menyelamatkanmu dari kematian."

Berikutnya Aaradya malah memandangi Dave lamat-lamat. Manik hitam putri Broto Seno itu tertuju ke satu titik dimana bulu mata Dave yang bergerak seirama dengan napasnya.

Pemandangan baru ini jujur membuatnya takjub. Aaradya yang tidak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun selain mantan tunangan, merasa disuguhkan sesuatu yang istimewa. Bahkan, dia tidak pernah melihat pria lain ketika tidur selain kakak serta sang ayah.

Kalau boleh jujur, Dave memiliki kharisma yang sangat kuat. Jantungnya sempat berdebar kencang mendengar lamaran kilat yang Dave katakan pada ayahnya. Secuil kenyataan yang Aaradya sangkal sebelumnya.

***

Aaradya merotasi bola matanya ke segala arah. Sungguh dia takjub memandangi bangunan di hadapannya. Bukan karena rumah ini besar seperti istana melainkan seni yang terlihat di setiap interiornya. Sungguh Aaradya tidak tahu rumah siapa ini.

Andreas tidak memberitahunya. Apalagi Dave. Pria itu acuh tak acuh. Terlebih ketika mendengar permohonannya. Berbeda dari Andreas yang kelihatan bingung menyaksikan raut panik Aaradya.

Beruntung keinginan wanita muda ini masih didengar. Dave berbaik hati memberinya tempat tinggal sementara waktu. Walau entah sampai berapa lama dia diizinkan tinggal di sini. Hanya Dave dan Andreas yang tahu.

"Silakan masuk, Nona. Perkenalkan saya

Armaya kepala pelayan di sini. Anda bisa memanggil saya Maya," ucap seseorang mengejutkan Aaradya. Tubuhnya hampir terlonjak kaget melihat seorang wanita seperempat abad berdiri di depannya.

Aaradya cuma mengangguk sebagai respon. Dia juga bingung harus menjawab seperti apa perkenalan diri super singkat dan datar itu. Sesungguhnya dia susah berbaur dengan orang baru. Ditambah Andreas sama sekali tidak memperkenalkannya.

Pemuda itu langsung pergi usai mengantar Aaradya kemari. Kini tersisa kecanggungan saja.

"Anda bisa menempati kamar ini. Kamarnya sudah saya bersihkan dan perlengkapan mandi serta pakaian ada di lemari," tunjuk Maya saat wanita empat puluh tahunan tersebut menuntun tamunya menaiki lantai atas.

Aaradya semakin takjub saja lantaran di lantai satu ini banyak patung dan lukisan bernilai tinggi. Bagaimana dia bisa tahu? Terlihat dari seninya yang cukup unik. Aaradya sampai tidak bisa mengalihkan perhatiannya.

"Saya pamit undur diri dulu, Nona. Kalau ada yang anda butuhkan bisa menghubungi saya lewat telepon di kamar." Perhatian Aaradya ditarik kembali oleh suara tegas Maya.

Kepalanya mengangguk lagi. Tampak tidak berani banyak bertanya atau merepotkan kepala pelayan Dave. Sepeninggalan Maya, Aaradya perlahan memasuki kamar yang sudah Andreas persiapkan untuk tamunya.

Reaksi pertama Aaradya saat masuk tentu terkejut lantaran interior bagian kamar pun tidak jauh berbeda. Terdapat beberapa patung dan lukisan seni abstrak. Mata gadis dua puluh empat tahun ini otomatis tersihir.

Bahkan kamarnya tidak seindah ini. Furniture yang dipakai pun terbilang klasik. Tampak si pemilik rumah memang seorang pencinta seni.

Aaradya menduduki tepian ranjang. Sekarang dia bingung harus melakukan apa di kamar asing ini. Mau berganti baju saja dia masih ragu. Apalagi membasuh tubuh yang sudah tidak mandi selama dua hari.

"Harusnya aku minta diantar ke hotel saja, tapi uang darimana?" Aaradya menertawakan nasibnya yang malang.

Mau langsung tidur pun badannya sudah sangat lengket sekarang. Bisa saja tidurnya tidak akan nyenyak malam ini. Sebisa mungkin Aaradya melawan rasa sungkan tersebut. Dia bangkit menuju kamar mandi yang terletak di ujung ruangan.

Setelah masuk ke dalam, Aaradya baru menyadari Dave memang sekaya ini. Kelihatan dari perlengkapan mandi yang berjajar di sana. Lantainya pun tidak licin seperti sering disikat padahal kamar ini diperuntukkan khusus tamu. Entah semewah apa kamar utamanya.

Namun, saat mencoba menghidupkan shower, tidak sedikit pun air keluar dari sana. Matanya mulai mencari sebuah ember atau bak air. Siapa tahu shower di kamar ini sedang rusak dan sebagai gantinya emberlah yang dijadikan alternatif.

Sayangnya ember atau pun bak air tidak terlihat dimana pun.

"Bagaimana caranya aku mandi," lirih Aaradya mulai mencari cara.

Seperti diingatkan sesuatu, Aaradya sontak keluar kamar. Tidak mungkin dia menunggu shower tersebut mengeluarkan air dengan sendirinya. Setelah tiba di ambang pintu perempuan berwajah khas Indonesia itu terdiam beberapa saat.

Apa dia minta bantuan Maya? Aaradya mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan kepala pelayan rumah ini.

Aradya sungguh lupa menggunakan telepon kabel yang berdiam diri di kamar. Kakinya tetap melanjutkan langkah, berusaha menemui Maya.

Selama berjalan di lorong lantai atas satu per satu kamar dia lewati. Aaradya juga melongokkan kepalanya ke bawah. Tapi, nihil. Maya pun tidak terlihat ada di sana.

Ketika melintas terdapat satu ruangan terbuka yang menarik perhatian Aaradya. Apa jangan-jangan Maya sedang berada di ruangan ini? Demi mengobati rasa penasarannya Aaradya bersiap melangkah ke dalam.

"Sedang apa anda di sini, Nona?" Suara itu mengejutkan Aaradya kembali. Secepat kilat dia menoleh ke belakang. Untuk pertama kalinya wajah datar Mayalah yang membias di pupil mata gadis muda ini.

"A-aku membutuhkan bantuanmu, Nyonya. Shower di kamar rusak," jawab Aaradya agak terbata-bata.

"Sudah saya bilang jika butuh sesuatu gunakan telepon kabel di kamar. Anda tidak perlu keluar mencari saya."

Aaradya memejamkan matanya sejenak. Dia merutuk kebodohannya. Astaga, bagaimana pula bisa dia lupa tentang telepon kabel.

"Anda bisa pakai kamar mandi di kamar tamu lain. Di sana shower-nya menyala. Dan saya harap anda tidak datang kemari lagi. Kalau butuh bantuan katakan saja lewat telepon," tukas Maya sembari mengunci pintu ruangan yang tadinya terbuka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status