Share

BAB 5 Aturan Rumah Orang Kaya

Penulis: Fazarardian
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-15 10:41:51

“Besok kalau gue nggak mati berdiri, gue minta piagam ‘Survivor Rumah Sultan’,” gumam Raline pagi itu sambil mematut diri di cermin. Ia baru saja selesai sarapan sendirian di pantry kecil dekat kamar tamu; dia sengaja menghindari ruang makan utama karena belum siap menghadapi “uji mental” lagi.

Ia mengenakan blus sederhana dan celana panjang. “Katanya jadi istri CEO, harus glamor. Ya kali gue ke dapur pakai gaun Oscar,” ia berceloteh sendiri. Cermin hanya memantulkan wajahnya yang setengah panik setengah geli. “Santai, Lin. Ini cuma rumah orang kaya, bukan Hunger Games.”

Di luar, halaman rumah besar Al-Mahendra tampak sibuk. Staf keluar-masuk membawa berkas, sopir menyiapkan mobil, tukang kebun memangkas bunga. Semuanya bergerak seperti mesin raksasa. Raline berdiri di balkon, memperhatikan pemandangan itu seperti anak kecil melihat parade.

Suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Seorang perempuan muda berpenampilan rapi masuk. “Bu Raline, saya Lita, sekretaris pribadi Pak Raffa. Beliau meminta Anda bersiap untuk makan siang bersama klien keluarga.”

“Klien? Maksudnya kayak… rapat bisnis?” tanya Raline, terkejut.

Lita tersenyum sopan. “Hanya jamuan santai. Tapi media mungkin juga hadir.”

Raline menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Tuhan. Gue baru belajar atur sendok-garpu kemarin.”

Lita menahan tawa. “Tenang saja, Bu. Pak Raffa tahu Anda masih beradaptasi. Beliau bilang Anda bisa jadi diri sendiri.”

Kata-kata itu sedikit menenangkan Raline, tapi juga membuat perutnya mules. Diri sendiri? Diri sendiri gue kan hobi bercanda. Ntar kalau gue salah ngomong, wartawan bikin headline ‘Istri CEO Ngakak di Meja Makan’.

Jamuan makan siang itu diadakan di paviliun taman belakang. Meja bundar penuh hidangan tradisional. Udara hangat, musik gamelan halus diputar. Di sekeliling, beberapa orang penting duduk rapi: direktur anak perusahaan, konsultan hukum, bahkan seorang wartawan lifestyle.

Raline duduk di samping Raffa. Di seberang, Sri dan Herman sudah siap dengan senyum masing-masing. Raffa mengenakan batik modern, wajahnya seperti biasa: tenang, dingin, sulit ditebak.

Sri membuka percakapan. “Raline, sayang, apa kamu sudah terbiasa dengan aturan jamuan seperti ini?”

Raline mengangkat sendok sup sambil tersenyum. “Belum Tante. Tapi tenang aja, saya nggak bakal minum sup pakai sedotan.”

Beberapa orang di meja menahan tawa. Raffa menoleh sebentar, sudut bibirnya terangkat. Sri sendiri hanya mengerjap.

Herman masuk dengan nada santai tapi menyindir. “Humor yang menarik. Semoga tidak muncul saat pertemuan resmi.”

Raline menatapnya sekilas. “Bapak tenang saja. Saya tahu kapan harus serius, kapan harus lucu. Saya kan lulusan komunikasi, bukan stand-up comedy.”

Kali ini Raffa benar-benar tertawa kecil, suara rendah yang jarang keluar. “Dia lebih siap daripada yang kalian kira,” katanya tenang.

Atmosfer meja makan yang tadi tegang jadi sedikit cair. Wartawan yang hadir malah mencatat sesuatu dengan senyum. Headline: Istri CEO Rajawali, Luwes dan Humoris. Raline menahan tawa sendiri.

Seusai jamuan, Raline berjalan bersama Raffa menuju kolam ikan koi di samping paviliun. Udara sore lebih sejuk. Ia menghela napas panjang. “Aku merasa kayak ujian skripsi tiap kali duduk sama Tante Sri dan Pak Herman.”

Raffa menyelipkan tangan di saku celana, tatapannya lurus ke kolam. “Mereka memang begitu. Mereka menganggap semua orang harus lewat ujian mental dulu sebelum diakui.”

Raline menoleh, separuh heran separuh kesal. “Dan kamu? Kamu juga nguji aku?”

Raffa menatapnya sebentar. “Kalau aku ingin menguji, aku tidak akan membawamu ke jamuan itu.”

Ada jeda hening. Raline menatap ikan koi yang berenang pelan. “Tadi kamu ketawa,” katanya pelan. “Baru kali ini aku lihat CEO Rajawali ketawa.”

Raffa menahan senyum. “Jangan besar kepala. Itu cuma refleks.”

Raline menepuk dadanya sendiri dengan gaya dramatis. “Refleksnya CEO bikin aku terharu.”

Mereka berdua tertawa kecil. Sesaat suasana jadi lebih ringan, seperti bukan lagi istri kontrak dan CEO dingin, tapi dua orang yang sedang berkenalan di taman.

Sore menjelang, Raline masuk ke ruang baca untuk mencari udara. Dia menemukan Nadine menelepon lewat video call. “Kak, aku baca berita. Ada fotomu di jamuan Rajawali. Kamu kelihatan keren banget!” kata Nadine bersemangat.

Raline meringis. “Keren apanya. Kakak deg-degan setengah mati. Tapi tenang, semua baik-baik saja. Kamu fokus kuliah, ya?”

Nadine mengangguk. “Aku senang lihat Kakak kelihatan… lebih tenang.”

Setelah menutup telepon, Raline duduk termenung. Bener juga kata Nadine. Gue agak lebih tenang. Mungkin karena Raffa tidak seburuk yang ia kira. Mungkin.

Malamnya, Raline turun ke dapur untuk minum. Ia mendengar suara percakapan dari ruang tamu. Sri dan Herman berbicara pelan, tapi cukup jelas terdengar.

“…anak itu terlalu percaya diri. Kalau terus begini, Raffa makin melunak,” suara Sri.

Herman menjawab, “Kita harus bergerak cepat. Aku sudah siapkan opsi legal untuk membatasi peran dia.”

Raline berhenti di balik pintu, menahan napas. Mereka ngomongin gue. Jantungnya berdegup kencang. Ia mundur pelan, tidak ingin ketahuan.

Saat ia berbalik, langkahnya bertemu seseorang. Raffa berdiri di sana, menatapnya tajam tapi bukan marahlebih seperti mengerti. “Kamu dengar mereka bicara?”

Raline menelan ludah. “Sedikit.”

Raffa menatapnya beberapa detik. “Jangan khawatir. Aku yang hadapi mereka.”

Raline nyaris menjawab “Kenapa kamu peduli?” tapi ia urungkan. Wajah Raffa kali ini bukan wajah CEO dingin, tapi seseorang yang siap berdiri di sisinya.

Ia hanya berkata lirih, “Makasih.”

Raffa mengangguk kecil, lalu melangkah ke ruang tamu. Dari balik dinding, Raline mendengar suaranya yang tenang tapi tegas, “Tante, Paman. Urusan rumah ini biar aku yang atur.”

Keheningan panjang menyusul. Raline kembali ke kamarnya, jantungnya masih berdegup. Dia benar-benar melindungi gue. Tapi sampai kapan?


Di kamarnya, Raline membuka ponsel. Ada email baru dari pengacara yang dulu mengurus kasus rumah sakit ibunya. Judulnya: “Data Baru Mengenai Rajawali Group”.

Ia menatap layar, tangannya gemetar. Apakah ini awal jawaban yang ia cari… atau awal masalah baru?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 27 Bayangan dari Masa Lalu

    Hujan masih deras ketika pintu gudang terbuka separuh. Raline menatap pria itu dengan napas tertahan, sedangkan Raffa nyaris tak bisa percaya dengan matanya sendiri.“Pak… Ardan?” suaranya bergetar, antara kaget dan marah.Pria itu mengangguk pelan, matanya tajam menembus gelap. “Kau ingat rupaku. Itu pertanda baik.”Raline menatap keduanya bergantian. “Kamu kenal dia, Raffa?”Raffa mengangguk perlahan. “Dia… mantan penasihat Ayahku. Dulu aku pikir dia sudah meninggal lima tahun lalu dalam kebakaran di kantor pusat.”Ardan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Air menetes dari ujung payungnya, suaranya lembut namun sarat tekanan.“Orang tidak selalu mati hanya karena keluarga Mahendra menginginkannya mati.”Raline menegang. “Maksud Anda?”Ardan menatapnya sejenak, lalu ke arah Raffa. “Aku datang bukan untuk bersembunyi. Aku datang karena waktunya kebenaran dibuka tapi tidak dengan cara yang kau kira.”Raffa berjongkok perlahan, menahan rasa sakit di sisi tubuhnya. “Kalau mem

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 26 Di Antara Hujan dan Dosa

    “Raffa, cepat! Ke sini!”Raline menarik tangan Raffa menembus semak basah, napasnya memburu. Hujan belum berhenti sejak sore. Di belakang mereka, suara mesin mobil dan langkah kaki berat masih terdengar samar di antara deru angin. Raffa menahan nyeri di perutnya, darahnya mulai mengering di bawah perban yang kusam. Tapi matanya tetap menatap ke depan pada satu tujuan yang tersisa: bertahan.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di bangunan tua di pinggir sungai bekas gudang kayu yang sudah lama ditinggalkan. Raline menendang pintunya perlahan, dan mereka masuk dalam gelap. Aroma debu, karat, dan hujan menyelimuti udara.“Duduk.” Suara Raline tegas tapi lembut. Ia menarik Raffa untuk duduk di lantai, lalu buru-buru membuka tas kecilnya. Dari dalam, ia mengeluarkan kain bersih dan sebotol air.Raffa meringis saat Raline membuka perbannya. “Jangan… aku bisa sendiri”“Diam.” Raline menatapnya tajam. “Kalau kamu mati karena sok kuat, aku sumpah aku bakal nyusul cuma buat marahin kamu.”

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 25 Bab Dosa yang Tersisa

    “Raffa, berhenti dulu! Lukamu”Raline menarik pergelangan tangan Raffa yang terus berjalan terhuyung-huyung. Napasnya berat, darah di sisi perutnya sudah merembes lewat perban. Tapi pria itu seolah tak peduli. Ia terus melangkah melewati jalan tanah yang licin, menembus kabut senja menuju rumah kayu tua di ujung hutan.“Aku harus tahu, Raline,” katanya di antara deru napas.“Harus tahu semuanya… sebelum mereka menghancurkan bukti terakhir.”Raline mengejarnya, wajahnya tegang tapi matanya dipenuhi kecemasan.“Kamu bahkan hampir nggak bisa berdiri, Raff! Setidaknya biar aku yang”“Terlambat kalau kita berhenti sekarang!” potong Raffa keras, tapi suaranya serak, nyaris putus. Ia menatap ke depan, ke rumah yang sudah lama ditinggalkan tempat Bu Sri dulu sering pergi diam-diam.Raline tahu, tidak ada gunanya membantah. Ia menahan air mata, menggandeng lengan Raffa agar tak jatuh. Mereka berdua melangkah pelan menaiki anak tangga kayu yang rapuh, pintu depan terbuka sedikit, menimbulkan bu

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 24 Di Antara Bayang dan Luka

    Raline hampir tidak ingat bagaimana ia bisa menyeret tubuh Raffa sejauh itu.Tangan kirinya berlumur darah, kemejanya sobek, tapi matanya tak lepas dari wajah pria yang terkulai di pelukannya.Suara tembakan masih bergema di kejauhan, bercampur dengan deru hujan yang turun tanpa ampun.Langit malam bagai menutup diri, menenggelamkan mereka dalam kegelapan dan napas yang memburu.“Raffa, tahan sebentar lagi, tolong…” bisiknya dengan suara bergetar.Tubuh Raffa dingin, napasnya berat dan terputus-putus.Peluru hanya menembus bahu, tapi darahnya terus keluar.Setiap kali Raline menekan luka itu dengan kain basah, ia merasakan perih di dada sendiri bukan karena luka, tapi karena rasa takut kehilangan.Setelah beberapa menit menembus hutan dan rawa kecil, mereka akhirnya sampai di sebuah pondok tua di pinggir danau.Bangunan kayu itu sudah lapuk, tapi masih cukup kokoh untuk menahan angin dan hujan.Raline membuka pintu dengan bahunya, menyeret Raffa masuk, lalu menutupnya rapat-rapat.Di

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 23 Luka yang Tak Terlihat

    “Raffa!”Raline menjerit di bawah derasnya hujan, suaranya tertelan angin malam. Tapi tak ada jawaban. Hanya bau mesiu dan tanah basah.Ia berlari lagi, melewati genangan air, tubuhnya menggigil. Ponsel di genggamannya masih menampilkan pesan dari “S.M.” inisial yang cukup untuk membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.Bu Sri.Ia tahu wanita itu punya pengaruh besar dalam keluarga Mahendra. Tapi mengapa sampai mengirim orang untuk menculiknya?Saat pikirannya berputar, cahaya redup lampu motor muncul dari arah tikungan. Raline spontan bersembunyi di balik tumpukan kayu, menahan napas. Dua pria berjaket hitam berhenti di dekat tubuh yang tergeletak.“Cepat, angkat dia!”“Masih hidup, kan?”“Masih. Tapi banyak darah. Bu Sri bilang jangan sampai dia mati sebelum bicara.”Raline menahan teriakannya. Raffa... mereka bawa Raffa!Ia menunggu sampai motor itu menjauh, lalu berlari ke arah yang berlawanan, menuju hutan kecil di belakang vila. Nafasnya tersengal, tapi tekadnya bulat ia haru

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 22 Dalam Kepungan Malam

    “Ada yang tidak beres.”Nada suara Raffa datar, tapi matanya penuh waspada. Ia berdiri di dekat jendela, mengintip ke luar vila. Jalanan gelap. Angin berhembus pelan, tapi ada sesuatu di udara yang terasa… salah.Raline menghampiri pelan. “Raff?”“Mobil di luar itu…” Raffa menunjuk sedikit, “tidak bergerak sejak sepuluh menit lalu.”Raline menegang. “Mungkin warga?”“Tidak. Lampunya padam tapi mesinnya menyala.”Raline menelan ludah. “Jadi mereka… sudah tahu kita di sini?”Raffa menarik napas panjang, lalu berbalik menghadapnya. “Dengar, aku butuh kamu tenang. Jangan panik, jangan keluar dari rumah ini.”“Dan kamu mau ke luar?” suara Raline meninggi. “Raff, mereka bersenjata.”“Aku tidak bisa diam menunggu.”“Kamu juga bukan Superman!” Raline setengah berbisik, setengah memohon. “Kita harus cari cara lain.”Raffa menatapnya dalam. “Kamu percaya aku?”“Percaya. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu.”Ucapan itu spontan, tapi jujur. Raffa sempat tertegun lalu perlahan tersenyum. “Kam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status