Blitz kamera meledak bagai kilatan petir begitu pintu konferensi terbuka. Cahaya-cahaya putih menyambar wajah Raline, membuat matanya silau dan kakinya sempat goyah. Ruangan penuh sesak oleh wartawan yang sudah menunggu sejak pagi, suara mereka meledak bersamaan bagaikan gelombang yang menelan semua kewarasan.
“Pak Raffa! Apa benar kabar pertunangan itu?” “Siapa perempuan di samping Anda?” “Apakah ini pernikahan kilat demi menyelamatkan Rajawali Group?” Suara-suara itu menusuk telinga. Raline merasa tubuhnya bagai boneka yang dipajang di etalase, ditatap dari segala arah tanpa bisa bersembunyi. Nafasnya pendek-pendek, dadanya bergetar. Seketika, jemari dingin Raffa menyentuh tangannya. Ia menggenggam erat, memberi tekanan yang membuat Raline sedikit sadar. “Tenang,” bisiknya, suaranya rendah namun tegas. Dengan langkah mantap, Raffa maju ke depan. Wajahnya tanpa senyum, namun karismanya menekan ruangan. Blitz kamera semakin brutal, menyalak seperti serangan beruntun. “Ya,” suaranya lantang memecah keributan. “Wanita ini calon istri saya.” Sekejap, ruangan mendidih. Wartawan saling berteriak, mikrofon didorong ke arah mereka, dan kamera menyorot tanpa henti. Raline membeku. Kata-kata itu menusuk telinganya, meski ia sudah tahu peran yang harus dimainkan. Seorang reporter mendorong ke depan, suaranya tajam. “Siapa nama Anda, Nona? Apa benar pernikahan ini hanya alasan bisnis?” Raline menoleh cepat pada Raffa, mencari pertolongan. Tapi pria itu tetap menatap lurus, dingin, tanpa memberi celah. Tidak ada pilihan. Ia menelan ludah, memaksa bibirnya bergerak. “Saya… Raline. Dan soal perusahaan…” ia menahan napas, mencari kata-kata. “Cinta tidak bisa diukur dengan alasan bisnis.” Kata-kata itu meluncur pelan, namun cukup untuk memancing reaksi. Ruangan langsung bergemuruh. Wartawan menulis cepat, kamera semakin menyorot wajah Raline. Raffa lalu mengangkat tangannya, menenangkan suasana. “Detail pernikahan akan diumumkan kemudian. Untuk sekarang, cukup tahu saya sudah memilih. Dan ini bukan keputusan yang bisa diganggu gugat.” Ia menoleh pada Raline, tatapannya menusuk namun bibirnya melengkung tipis. “Bukan begitu, sayang?” Jantung Raline berdegup liar. Seluruh tatapan wartawan menancap padanya. Ia tak bisa berbuat apa pun selain mengangguk. “Ya,” suaranya parau. Butuh waktu hampir sepuluh menit untuk keluar dari kerumunan itu. Begitu memasuki mobil hitam mewah yang menunggu di lobi, pintu tertutup rapat, dan dunia seolah berubah. Dari hiruk-pikuk bagaikan pasar malam, kini hanya tersisa hening yang menekan. Raline menarik tangannya dari genggaman Raffa, menatap tajam dengan wajah memerah. “Lo gila?!” suaranya pecah. “Lo tahu semua orang bakal nyambungin ini sama Rajawali Group?” Raffa menyandarkan tubuhnya ke jok, merenggangkan dasinya dengan santai. “Memang itu tujuannya.” “Tujuan?!” Raline hampir berteriak. “Jadi gue cuma pion buat ngejaga image perusahaan lo?” Tatapan Raffa kini dingin, menusuk, tidak lagi bercampur basa-basi. “Kalau gue nggak nikah, pamanku punya alasan buat ambil alih Rajawali Group. Dia selalu bilang gue belum pantas memimpin. Menurut dia, gue masih anak kecil yang nggak bisa diandalkan. Apalagi tanpa keluarga.” Raline terdiam. Ada getaran dalam suaranya, bukan sekadar dingin, tapi menyimpan luka lama yang dalam. Raffa melanjutkan, lebih pelan, seolah menahan emosi. “Pernikahan ini bukan pilihan. Ini satu-satunya cara bertahan. Kalau perusahaan jatuh ke tangan Herman… semua warisan bokap gue hilang.” Raline menunduk, menatap jemarinya sendiri yang bergetar. Ia ingin marah, tapi juga bisa merasakan kesepian di balik suara Raffa. Tetap aja, kenapa gue yang harus jadi tumbalnya? pikirnya. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Nadine terpampang di layar. Dengan jantung yang merosot, ia mengangkatnya. “Ka…” suara Nadine lirih, nyaris menangis. “Apa bener? Apa bener ka mau nikah sama dia? Semua orang ngomongin ini di kampus.” Raline terdiam. Bibirnya bergerak, tapi tak ada kata yang keluar. “Nadine…” suaranya bergetar. “Ini nggak seperti yang kamu pikir” “Tapi kenapa Ka nggak cerita dulu?” potong Nadine, kecewa. “Kenapa aku harus tahu dari berita?” Air mata Raline hampir pecah. Ia menutup mata rapat, berusaha menahan. “Aku bakal jelasin semuanya nanti. Percaya sama Kaka, ya?” Di ujung telepon, Nadine hanya terisak. Lalu sambungan terputus. Keheningan kembali menguasai mobil. Raline menatap jendela, menelan gumpalan sesak di dadanya. Raffa tetap diam, pandangannya lurus ke depan, wajahnya bagai tembok yang tak bisa ditembus. Mobil meluncur menuju pusat kota, meninggalkan kerumunan wartawan yang masih berteriak di belakang. Keesokan harinya, udara di lantai teratas Rajawali Group terasa lebih berat dari biasanya. Lift terbuka, memperlihatkan lorong panjang dengan pintu kayu besar di ujungnya. Raline berjalan di samping Raffa, tumit sepatunya mengetuk lantai marmer dengan suara kaku. Jantungnya berdetak tak beraturan, seolah tahu langkah ini akan membawanya ke dalam pusaran yang lebih dalam dari sekadar konferensi pers. “Lo yakin bisa hadapin mereka?” tanya Raline pelan, nyaris berbisik. Raffa tak menoleh. “Nggak ada pilihan.” Mereka memasuki ruang rapat utama Rajawali Group. Ruangan itu luas, berlapis panel kayu mahal dengan chandelier berkilauan di langit-langit. Di ujung meja panjang, duduk Herman Al Mahendra, pamannya Raffa, dengan jas abu-abu dan tatapan dingin penuh perhitungan. Di sampingnya, seorang wanita berwajah anggun namun menyimpan senyum sinis: Sri Al Mahendra, adik Herman, yang terkenal licik. Puluhan mata anggota keluarga dan dewan direksi menatap, sebagian berbisik-bisik, sebagian lagi menatap Raline dengan penuh curiga. Udara menegang, seolah setiap molekul udara ikut menahan napas. Raline menelan ludah, tubuhnya menegang. Ini bukan lagi sekadar permainan. Ini medan perang. Herman perlahan menegakkan tubuhnya, menatap lurus pada Raffa dan Raline. Senyap menyelimuti ruangan, hingga suara detik jam dinding pun terasa nyaring. Sidang keluarga resmi dimulai.“Aku keberatan! Tidak bisa begini caranya!” Suara Pak Bima pecah lantang, memotong suasana yang tadinya hening di ruang rapat utama Rajawali Group. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan dingin, membuat wajah-wajah yang duduk melingkar tampak semakin tegang. Herman mengetukkan palu kecil di meja panjang kayu mahoni, suaranya bergema hingga ke sudut ruangan. “Keberatanmu tidak berarti apa-apa, Bima. Semua sudah disepakati. Malam ini kita ambil keputusan. Tidak ada alasan menunda.” Sri menyilangkan tangan di dada, senyumnya tipis penuh tantangan. “Semakin lama menunggu, semakin rapuh posisi perusahaan. Kita butuh pemimpin yang benar-benar siap, bukan yang masih sibuk membuktikan diri.” Raffa yang duduk di kursi utama menatap mereka dengan rahang mengeras. Matanya dingin, tapi di balik itu amarah membara. “Kau bicara seolah Rajawali hanyalah kursi kekuasaan. Padahal ini warisan, darah, dan kerja keras ayahku. Bukan mainan.” “Lalu apa buktinya kau b
“Aku rasa… sudah cukup sandiwara ini.” Suara Herman terdengar dingin, menusuk seperti belati yang baru saja ditarik dari sarungnya. Diiringi gesekan kertas, ia mengeluarkan beberapa lembar dari map merah di tangannya. Gerakannya tenang, namun penuh wibawa yang sengaja dipertontonkan. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan setiap orang menahan napas dalam diam, menunggu kalimat berikutnya. “Lihatlah ini,” katanya lantang, sambil mengangkat lembaran itu agar semua mata dapat melihat. “Kontrak pernikahan yang ditandatangani Raffa Al Mahendra dengan… Raline.” “Tidak mungkin…” suara salah satu sepupu Raffa pecah, hampir menyerupai teriakan yang disusul bisikan gempar di sekeliling meja panjang ruang rapat Rajawali Group. “Jadi benar? Semua ini hanya pura-pura?” Raline merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Lututnya gemetar seolah tak mampu lagi menyangga tubuh. Pandangannya kabur sesaat, wajah-wajah di depannya berubah menjadi bayangan samar yang menindih dadanya. Setiap
Ketukan keras palu kayu menghantam meja panjang berlapis kaca. Suara itu bergema di seluruh ruangan, memecah bisikan-bisikan kecil yang sempat terdengar. Raline terlonjak sedikit di kursinya, dadanya langsung berdegup lebih cepat. “Sidang keluarga Rajawali Group, resmi dibuka.” Suara Herman Al Mahendra begitu tegas, dalam, dan menusuk. Tatapannya menyapu seisi ruangan seperti mata elang yang mencari mangsa. Lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya dingin, seakan menyorot wajah-wajah yang sedang menunggu tontonan. Di sisi kanan meja, para anggota keluarga besar Rajawali duduk berderet rapi, sebagian sudah menyiapkan berkas-berkas, sebagian lain hanya menyilangkan tangan dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Raline berusaha duduk tegak. Tangannya menggenggam ujung rok jas biru gelapnya begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di sampingnya, Raffa duduk dengan wajah setenang batu, tanpa sedikit pun ekspresi. “Jadi,” Herman membuka map cokelat di depannya, kertas berde
Blitz kamera meledak bagai kilatan petir begitu pintu konferensi terbuka. Cahaya-cahaya putih menyambar wajah Raline, membuat matanya silau dan kakinya sempat goyah. Ruangan penuh sesak oleh wartawan yang sudah menunggu sejak pagi, suara mereka meledak bersamaan bagaikan gelombang yang menelan semua kewarasan. “Pak Raffa! Apa benar kabar pertunangan itu?” “Siapa perempuan di samping Anda?” “Apakah ini pernikahan kilat demi menyelamatkan Rajawali Group?” Suara-suara itu menusuk telinga. Raline merasa tubuhnya bagai boneka yang dipajang di etalase, ditatap dari segala arah tanpa bisa bersembunyi. Nafasnya pendek-pendek, dadanya bergetar. Seketika, jemari dingin Raffa menyentuh tangannya. Ia menggenggam erat, memberi tekanan yang membuat Raline sedikit sadar. “Tenang,” bisiknya, suaranya rendah namun tegas. Dengan langkah mantap, Raffa maju ke depan. Wajahnya tanpa senyum, namun karismanya menekan ruangan. Blitz kamera semakin brutal, menyalak seperti serangan beruntun. “Ya,” suar
Selamat datang, Bu Raline.” Suara itu berat, dalam, dan menekan, seolah bisa menembus lapisan terdalam hati orang yang mendengarnya. Raline mendongak. Di ujung ruangan luas dengan dinding kaca setinggi langit-langit, seorang pria berdiri tegak. Pria itu mengenakan setelan hitam sempurna, dasi perak terikat rapi di leher. Rambutnya hitam pekat, disisir ke belakang tanpa satu helai pun lepas. Tatapannya dingin, setajam pisau, seakan hendak menguliti lawan bicara. Raffa. CEO Rajawali, sekaligus orang yang paling ia benci beberapa minggu terakhir karena video kritiknya. Kini berdiri di hadapannya, nyata, berwujud, dengan aura yang membuat seluruh ruangan seolah menunduk padanya. Raline menelan ludah, tapi berdiri tegak. “Saya Raline. Kita langsung saja, saya nggak suka basa-basi.” Alis Raffa terangkat tipis. Senyum samar melintas di bibirnya, lebih mirip ejekan daripada keramahan. “Langsung to the point. Saya suka orang seperti itu.” Niko yang tadi mengantar Raline ke ruanga
“Bukan jual diri. Lo jual pengaruh lo. Dengan harga yang bisa nolong lo dan Nadine lebih dari cukup.” Kata-kata Niko semalam masih berputar di kepala Raline. Matanya perih karena semalaman tak tidur. Surat kontrakan yang kusut masih tergeletak di meja, mie instan di panci sudah dingin, sementara di luar hujan subuh turun tanpa henti. Ia memejamkan mata. Bayangan Nadine menangis diam-diam kembali hadir, mengeluh tak bisa ikut praktikum karena tak ada biaya. Ingatan itu menekan dadanya seperti beban batu. Raline mendesah, lalu menatap langit-langit kamar kontrakan. Apa gunanya idealisme kalau adiknya sendiri hancur di depan mata? Suara langkah pelan terdengar dari kamar. Nadine keluar dengan wajah sembab, rambut acak-acakan. “Kak, kenapa nggak tidur?” tanyanya serak. Raline tersenyum tipis. “Lagi nggak ngantuk.” Nadine menggigit bibir, lalu tiba-tiba air matanya pecah. “Aku nggak bisa ikut praktikum, Kak. Semua mahasiswa wajib ikut. Biayanya mahal. Aku juga takut alergi ka