LOGIN“Jadi ini yang namanya rumah orang kaya, ya? Lebih besar dari kampus gue,” gumam Raline pelan sambil melirik pilar marmer setinggi dua lantai. Dalam hati ia ingin tertawa, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang.
Pagi itu ia resmi pindah ke rumah besar keluarga Al-Mahendra. Dua koper kecilnya terlihat seperti pengungsi di tengah aula. Seorang pelayan muda membantu membawakan tasnya, sementara Sri tante Raffa berdiri dengan senyum yang tampak lebih seperti garis lurus.
“Raline, kan?” suara Sri lembut tapi tajam. “Selamat datang. Semoga kamu cepat menyesuaikan diri. Rumah ini punya aturan yang jelas.”
“Iya, Tante. Makasih sudah… menerima saya,” jawab Raline sambil tersenyum kaku. Dalam hati ia menambahkan, atau mungkin lebih tepatnya mengawasi saya.
Di belakang Sri, Herman berdiri dengan tangan di saku. Tatapannya menyapu Raline dari atas ke bawah, seperti menilai barang lelang. “Kamu lulusan mana? Saya belum sempat membaca CV-mu.”
Raline langsung ingin menjawab dengan nada sinis, tapi ia menahan diri. “Lulusan komunikasi, Pak. Dulu aktif bikin konten ya semacam micro influencer gitu deh.”
Herman mengangkat alis. “Oh… menarik. Jadi sekarang influencer bisa jadi istri CEO.” Nada suaranya datar, tapi ada sindiran tipis yang membuat udara jadi pekat.
Raline menahan diri untuk tidak mengangkat bahu. “Influencer juga manusia, Pak,” ia bergumam pelan, lalu cepat menambahkan lebih keras, “Maksud saya, ya setiap orang punya jalan masing-masing.”
Di saat itu Raffa muncul dari ruang kerja. Kemeja putihnya digulung sampai siku, wajahnya tenang tapi tajam. “Sarapan sudah siap?” tanyanya pada pelayan. Lalu ia menoleh ke arah Raline, matanya sedikit melunak. “Kamu sudah dapat kamar?”
“Sudah, eh… belum sempat lihat. Baru masuk,” jawab Raline.
Raffa memberi isyarat pada pelayan. “Antar ke kamar tamu utama. Bantu bawa barangnya.” Lalu kepada Sri ia berkata tenang tapi tegas, “Tante, saya sudah jelaskan kemarin. Raline butuh waktu menyesuaikan diri. Jangan bombardir dengan pertanyaan dulu.”
Sri tersenyum kaku. “Oh tentu, Raffa. Tante hanya ingin tahu lebih dekat.”
Raline diam-diam merasa ada titik hangat di dadanya: Raffa, dengan semua ketegasan dinginnya, setidaknya menegur Sri untuknya. Ia menatapnya sekilas, dan mereka bertukar pandang sepersekian detik cukup untuk membuatnya merasa seperti sedang bersekongkol.
Di kamar barunya, Raline menjatuhkan diri ke ranjang empuk. “Ya Tuhan, kasur ini bisa jadi lapangan bulu tangkis,” gumamnya. “Besok gue jadi Cinderella tapi nggak ada sepatu kaca, cuma sendal jepit.” Ia tertawa kecil sendiri, humor konyol yang ia pakai untuk menghalau gugup.
Ponselnya bergetar: pesan dari Nadine.
Kak, baik-baik di sana ya. Aku udah berangkat kampus. Jangan mikirin aku.
Raline mengetik cepat, Tenang Din, Kakak baik. Fokus kuliah. Lalu ia meletakkan ponsel dan menatap langit-langit. Demi kamu semua ini, Din, batinnya.
Makan siang pertama di ruang makan keluarga terasa seperti ujian. Meja panjang penuh hidangan mewah. Sri duduk di ujung kiri, Herman di kanan, Raffa di kepala meja. Raline duduk di samping Raffa, merasa seperti murid baru di sekolah elit.
“Jadi, Raline,” Sri memulai sambil menaruh sendok sup. “Kamu sudah tahu aturan keluarga kita? Ada jam makan, ada kode berpakaian, dan terutama… ada reputasi yang harus dijaga.”
Raline tersenyum manis. “Iya, Tante. Saya belajar cepat kok. Lagian saya juga punya gengsi sendiri.” Ia menambahkan dengan nada bercanda, “Tenang aja, Tante. Saya nggak bakal joget TikTok di ruang makan ini.”
Beberapa pelayan menahan tawa. Bahkan bibir Raffa terangkat sedikit. Tapi Sri mengerjap, tak menyangka candaan itu. Herman justru menyahut dengan senyum miring, “Lucu juga ya. Semoga selucu ini kalau menghadapi wartawan.”
Raline hanya mengangkat alis. “Saya biasa menghadapi netizen, Pak. Wartawan mungkin lebih santai.”
Raffa menyandarkan tubuh ke kursi, memandang Raline sejenak sebelum berkata datar, “Dia lebih siap daripada yang Tante kira.”
Sri menoleh pada Raffa, wajahnya tetap ramah tapi rahangnya mengeras. “Baiklah. Kita lihat saja.”
Selesai makan, Raline menyelinap ke balkon belakang untuk menarik napas. Udara kota bercampur wangi bunga taman. Ia menyalakan ponsel, membuka catatan keuangan. Semua biaya Nadine ia susun rapi. Angkanya membuat dadanya berat, tapi setidaknya sekarang ada harapan.
“Kenapa di sini?” suara Raffa tiba-tiba dari belakang.
Raline terlonjak kecil. “Kaget gue. Eh… saya butuh udara.”
Raffa menyandarkan diri di pagar balkon, berdiri agak dekat. “Tante Sri itu orangnya keras. Herman lebih… licik. Jangan terlalu dimasukkan hati.”
Raline menatapnya. “Kenapa kamu bela saya? Bukannya ini cuma perjanjian?”
Raffa menoleh, matanya tenang tapi dalam. “Perjanjian tetap perjanjian. Tapi saya tidak suka orang diperlakukan tidak adil di rumah saya.”
Ada jeda. Angin menerpa rambut Raline. Untuk pertama kalinya ia melihat sisi Raffa yang lain—bukan CEO dingin di berita, tapi seseorang yang mengerti situasi orang lain.
Ia berusaha mencairkan suasana. “Wah, siapa sangka CEO Rajawali bisa ngomong kayak pahlawan Marvel.”
Raffa menghela napas kecil, hampir seperti tertawa. “Jangan lebay.”
Mereka berdua terdiam. Ada ketegangan aneh tapi hangat di udara. Raline menyadari jantungnya berdetak lebih cepat, dan ia buru-buru mengalihkan pandangan.
Sore itu, Sri memanggil Raline ke ruang tamu. “Ada dokumen kecil untukmu,” katanya lembut. “Tanda tangan saja, ini formalitas keluarga.”
Raline menatap kertas itu. Isinya daftar kewajiban istri CEO Rajawali. Banyak pasal yang terasa mengekangmulai dari pembatasan kegiatan hingga pengawasan ketat.
“Ini… sekarang?” Raline bertanya.
“Ya. Supaya jelas,” jawab Sri.
Raline menggigit bibir. Ia ingin memanggil Raffa, tapi Raffa sedang di telepon di ruang kerja. Dalam hatinya ia bergumam, Ini bukan cuma formalitas, ini jebakan.
“Kalau saya nggak tanda tangan sekarang?” tanya Raline pelan.
Sri tersenyum manis. “Oh, itu pilihanmu. Tapi konsekuensinya tentu… akan ada pembicaraan lebih lanjut dengan keluarga.”
Udara terasa menegang. Herman muncul di pintu, bersandar santai tapi matanya tajam.
Raline menahan napas. Ia harus memutuskan: tanda tangan sekarang atau menunggu Raffa. Tangannya sudah memegang pulpen.
Suara langkah terdengar mendekat. Raffa masuk ke ruang tamu. “Ada apa ini?” suaranya rendah tapi tegas.
Sri cepat menyimpan senyum. “Ah, Raffa. Tante hanya menjelaskan aturan.”
Raffa berjalan mendekat, menatap kertas di meja. “Ini tidak perlu sekarang,” katanya dingin. “Raline, ikut saya.”
Sri terdiam, wajahnya kaku. Herman menyipitkan mata. Raline bangkit, mengikuti Raffa keluar ruangan.
Di lorong, Raline berbisik, “Makasih…”
Raffa hanya mengangguk. “Kamu belum siap tanda tangan itu. Jangan biarkan mereka mendesak.”
Raline menatapnya. Untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar dilindungi. Dia mungkin dingin, tapi dia nggak jahat, batinnya.
Sementara di ruang tamu, Sri dan Herman saling pandang. “Anak itu mulai merepotkan,” gumam Sri.
Herman tersenyum tipis. “Kalau Raffa terus seperti ini, kita harus pakai cara lain.”
Raline malam itu berbaring di kamarnya. Ponselnya bergetar. Pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal: “Hati-hati dengan yang kamu percayai di rumah itu.”Ia menatap layar, jantungnya berdegup. Bukan ancaman horor, tapi jelas ada seseorang yang memperingatkannya. Siapa? Dan kenapa?
Hujan masih deras ketika pintu gudang terbuka separuh. Raline menatap pria itu dengan napas tertahan, sedangkan Raffa nyaris tak bisa percaya dengan matanya sendiri.“Pak… Ardan?” suaranya bergetar, antara kaget dan marah.Pria itu mengangguk pelan, matanya tajam menembus gelap. “Kau ingat rupaku. Itu pertanda baik.”Raline menatap keduanya bergantian. “Kamu kenal dia, Raffa?”Raffa mengangguk perlahan. “Dia… mantan penasihat Ayahku. Dulu aku pikir dia sudah meninggal lima tahun lalu dalam kebakaran di kantor pusat.”Ardan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Air menetes dari ujung payungnya, suaranya lembut namun sarat tekanan.“Orang tidak selalu mati hanya karena keluarga Mahendra menginginkannya mati.”Raline menegang. “Maksud Anda?”Ardan menatapnya sejenak, lalu ke arah Raffa. “Aku datang bukan untuk bersembunyi. Aku datang karena waktunya kebenaran dibuka tapi tidak dengan cara yang kau kira.”Raffa berjongkok perlahan, menahan rasa sakit di sisi tubuhnya. “Kalau mem
“Raffa, cepat! Ke sini!”Raline menarik tangan Raffa menembus semak basah, napasnya memburu. Hujan belum berhenti sejak sore. Di belakang mereka, suara mesin mobil dan langkah kaki berat masih terdengar samar di antara deru angin. Raffa menahan nyeri di perutnya, darahnya mulai mengering di bawah perban yang kusam. Tapi matanya tetap menatap ke depan pada satu tujuan yang tersisa: bertahan.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di bangunan tua di pinggir sungai bekas gudang kayu yang sudah lama ditinggalkan. Raline menendang pintunya perlahan, dan mereka masuk dalam gelap. Aroma debu, karat, dan hujan menyelimuti udara.“Duduk.” Suara Raline tegas tapi lembut. Ia menarik Raffa untuk duduk di lantai, lalu buru-buru membuka tas kecilnya. Dari dalam, ia mengeluarkan kain bersih dan sebotol air.Raffa meringis saat Raline membuka perbannya. “Jangan… aku bisa sendiri”“Diam.” Raline menatapnya tajam. “Kalau kamu mati karena sok kuat, aku sumpah aku bakal nyusul cuma buat marahin kamu.”
“Raffa, berhenti dulu! Lukamu”Raline menarik pergelangan tangan Raffa yang terus berjalan terhuyung-huyung. Napasnya berat, darah di sisi perutnya sudah merembes lewat perban. Tapi pria itu seolah tak peduli. Ia terus melangkah melewati jalan tanah yang licin, menembus kabut senja menuju rumah kayu tua di ujung hutan.“Aku harus tahu, Raline,” katanya di antara deru napas.“Harus tahu semuanya… sebelum mereka menghancurkan bukti terakhir.”Raline mengejarnya, wajahnya tegang tapi matanya dipenuhi kecemasan.“Kamu bahkan hampir nggak bisa berdiri, Raff! Setidaknya biar aku yang”“Terlambat kalau kita berhenti sekarang!” potong Raffa keras, tapi suaranya serak, nyaris putus. Ia menatap ke depan, ke rumah yang sudah lama ditinggalkan tempat Bu Sri dulu sering pergi diam-diam.Raline tahu, tidak ada gunanya membantah. Ia menahan air mata, menggandeng lengan Raffa agar tak jatuh. Mereka berdua melangkah pelan menaiki anak tangga kayu yang rapuh, pintu depan terbuka sedikit, menimbulkan bu
Raline hampir tidak ingat bagaimana ia bisa menyeret tubuh Raffa sejauh itu.Tangan kirinya berlumur darah, kemejanya sobek, tapi matanya tak lepas dari wajah pria yang terkulai di pelukannya.Suara tembakan masih bergema di kejauhan, bercampur dengan deru hujan yang turun tanpa ampun.Langit malam bagai menutup diri, menenggelamkan mereka dalam kegelapan dan napas yang memburu.“Raffa, tahan sebentar lagi, tolong…” bisiknya dengan suara bergetar.Tubuh Raffa dingin, napasnya berat dan terputus-putus.Peluru hanya menembus bahu, tapi darahnya terus keluar.Setiap kali Raline menekan luka itu dengan kain basah, ia merasakan perih di dada sendiri bukan karena luka, tapi karena rasa takut kehilangan.Setelah beberapa menit menembus hutan dan rawa kecil, mereka akhirnya sampai di sebuah pondok tua di pinggir danau.Bangunan kayu itu sudah lapuk, tapi masih cukup kokoh untuk menahan angin dan hujan.Raline membuka pintu dengan bahunya, menyeret Raffa masuk, lalu menutupnya rapat-rapat.Di
“Raffa!”Raline menjerit di bawah derasnya hujan, suaranya tertelan angin malam. Tapi tak ada jawaban. Hanya bau mesiu dan tanah basah.Ia berlari lagi, melewati genangan air, tubuhnya menggigil. Ponsel di genggamannya masih menampilkan pesan dari “S.M.” inisial yang cukup untuk membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.Bu Sri.Ia tahu wanita itu punya pengaruh besar dalam keluarga Mahendra. Tapi mengapa sampai mengirim orang untuk menculiknya?Saat pikirannya berputar, cahaya redup lampu motor muncul dari arah tikungan. Raline spontan bersembunyi di balik tumpukan kayu, menahan napas. Dua pria berjaket hitam berhenti di dekat tubuh yang tergeletak.“Cepat, angkat dia!”“Masih hidup, kan?”“Masih. Tapi banyak darah. Bu Sri bilang jangan sampai dia mati sebelum bicara.”Raline menahan teriakannya. Raffa... mereka bawa Raffa!Ia menunggu sampai motor itu menjauh, lalu berlari ke arah yang berlawanan, menuju hutan kecil di belakang vila. Nafasnya tersengal, tapi tekadnya bulat ia haru
“Ada yang tidak beres.”Nada suara Raffa datar, tapi matanya penuh waspada. Ia berdiri di dekat jendela, mengintip ke luar vila. Jalanan gelap. Angin berhembus pelan, tapi ada sesuatu di udara yang terasa… salah.Raline menghampiri pelan. “Raff?”“Mobil di luar itu…” Raffa menunjuk sedikit, “tidak bergerak sejak sepuluh menit lalu.”Raline menegang. “Mungkin warga?”“Tidak. Lampunya padam tapi mesinnya menyala.”Raline menelan ludah. “Jadi mereka… sudah tahu kita di sini?”Raffa menarik napas panjang, lalu berbalik menghadapnya. “Dengar, aku butuh kamu tenang. Jangan panik, jangan keluar dari rumah ini.”“Dan kamu mau ke luar?” suara Raline meninggi. “Raff, mereka bersenjata.”“Aku tidak bisa diam menunggu.”“Kamu juga bukan Superman!” Raline setengah berbisik, setengah memohon. “Kita harus cari cara lain.”Raffa menatapnya dalam. “Kamu percaya aku?”“Percaya. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu.”Ucapan itu spontan, tapi jujur. Raffa sempat tertegun lalu perlahan tersenyum. “Kam







