Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Di Antara Halaman yang Tak Pernah Usai

Share

Di Antara Halaman yang Tak Pernah Usai

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-10-11 18:43:05

Lima tahun berlalu sejak sore itu di bawah flamboyan panti asuhan.

Waktu berjalan pelan tapi pasti, membawa segala yang dulu terasa menyakitkan menjadi kenangan yang lembut — seperti luka yang sudah kering, tapi masih meninggalkan bekas bila disentuh.

Naira kini dikenal sebagai penulis.

Bukunya, Dalam Sunyi, Ada Nama yang Tak Hilang, telah diterbitkan dan menjadi salah satu karya yang paling banyak dibicarakan di dunia sastra. Bukan karena kisahnya megah, tapi karena kejujuran di setiap kalimatnya — kejujuran yang terasa seperti menatap diri sendiri di cermin.

Hari ini, ia diundang sebagai pembicara di Festival Sastra Nusantara, di kota yang sama tempat semua kisahnya dulu dimulai.

Ketika berdiri di atas panggung kecil, dengan mikrofon di tangan dan wajah-wajah asing di depannya, Naira merasa gugup, tapi juga damai.

“Buku ini,” ucapnya pelan, “adalah tentang kehilangan yang tidak ingin disembuhkan. Tentang seseorang yang hadir di hidup kita, bukan untuk menetap, tapi untuk menunjukkan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Musim yang Tidak Tergesa

    Pagi datang dengan langkah perlahan.Cahaya matahari menembus tirai jendela, jatuh di lantai kayu yang hangat, menyentuh ujung kaki Rani yang masih duduk di depan meja tulisnya. Di layar laptopnya, bab terakhir naskah itu telah selesai. Ia menatap kalimat penutupnya lama — bukan karena ragu, tapi karena hatinya tahu: tak semua akhir perlu tepuk tangan.Dari dapur, terdengar bunyi panci dan aroma roti panggang. Dimas sudah bangun.Ia selalu bangun lebih awal, seolah tubuhnya menolak berdiam meski hari libur. Dulu Rani sering mengeluh tentang kebiasaan itu. Sekarang, ia justru merasa aneh jika rumah terlalu sunyi di pagi hari.Ia menutup laptop, berdiri, dan berjalan ke dapur.Dimas sedang memutar sendok di dalam cangkir. Tatapannya terarah ke luar jendela, ke pohon jambu di halaman belakang yang sedang berbuah.“Kau sudah menulis?” tanyanya tanpa menoleh.“Sudah. Selesai.”Dimas tersenyum kecil. “Akhirnya.”Rani mengambil roti, duduk di kursi seberang. “Lucu, ya. Dulu aku berpikir menu

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Kembali dari Diam

    Sudah hampir tiga bulan sejak Rani memutuskan untuk tetap di rumah itu.Hari-hari mereka berjalan dengan ritme yang lambat tapi stabil — seperti aliran sungai kecil yang menemukan jalannya sendiri setelah lama tersumbat. Tak ada lagi pertengkaran, tak ada lagi denting pintu yang ditutup terburu-buru. Yang tersisa hanya dua orang yang belajar menghargai kesunyian satu sama lain.Namun pada suatu sore yang lembab, saat angin membawa aroma tanah basah dari kebun belakang, sesuatu yang tak terduga datang — bukan lewat kata, tapi melalui amplop krem yang terselip di bawah pintu.Rani menemukannya ketika sedang menyapu lantai ruang depan. Ia menunduk, mengambil amplop itu dengan ragu. Tak ada nama pengirim, hanya inisial sederhana di pojok kanan bawah: Y.A.Tangannya bergetar ringan. Ia tahu betul inisial itu.Yudha Ardi.Satu nama yang dulu sempat jadi cahaya — sekaligus bayangan.Rani menatap amplop itu lama, lalu berjalan ke dapur. Dimas sedang memperbaiki engsel lemari, dan seperti bias

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Di Antara Dua Keheningan

    Hari itu langit tampak berat. Awan abu menggantung rendah, seolah enggan bergerak. Udara mengandung aroma tanah yang menunggu hujan.Rani berdiri di depan jendela ruang tamu, memandangi halaman yang mulai berubah warna oleh musim. Lavender yang ditanam Dimas beberapa minggu lalu kini mulai berbunga — kecil, rapuh, tapi wangi.Ia menyesap teh jahe yang sudah mulai dingin. Di belakangnya, terdengar langkah kaki Dimas dari dapur, disusul suara peralatan dapur yang ditata.Sejak beberapa waktu terakhir, mereka mulai menjalani pagi dengan ritme yang tak lagi kaku. Tidak selalu penuh percakapan, tapi ada kehadiran di antara mereka yang terasa cukup.“Pagi ini agak dingin,” ujar Dimas sambil membawa roti panggang di piring kecil.Rani menoleh. “Kau akhirnya belajar membuat sarapan juga?”Dimas tersenyum samar. “Belajar dari kesalahan masa lalu.”“Kau belajar memasak karena rasa bersalah?”“Karena rasa ingin memperbaiki.”Rani terdiam. Di wajah Dimas ada sesuatu yang dulu jarang ia lihat — ke

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Tersisa dari Sebuah Janji

    Pagi datang dengan cahaya pucat.Matahari belum sepenuhnya naik, tapi tirai jendela sudah menampakkan semburat jingga samar. Rani duduk di meja dapur, secangkir kopi hitam di tangan, buku catatan di samping. Di halaman depan tertulis tanggal hari ini — tapi belum ada kata apa pun di bawahnya.Ia menatap halaman kosong itu lama, mendengarkan bunyi langkah Dimas di kamar sebelah. Bunyi sederhana, tapi nyata. Dulu, suara itu sering membuatnya cemas. Kini, entah bagaimana, justru membuat rumah terasa hidup.Dimas muncul dengan rambut berantakan, mengenakan kaus abu dan celana kain. “Kau sudah bangun sepagi ini lagi?”Rani menoleh, tersenyum kecil. “Kau pikir aku bisa tidur lama setelah matahari terbit?”Ia mengangkat bahu. “Kebiasaan lama ternyata tidak berubah.”“Beberapa hal memang tidak perlu diubah,” balas Rani pelan.Ada jeda kecil di antara mereka — jeda yang bukan lagi tentang jarak, tapi tentang kebiasaan menyesuaikan diri dengan kehadiran yang dulu terasa asing.Dimas duduk di se

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Kembali dari Senyap

    Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa seperti berjalan di antara dua musim — belum benar-benar hangat, tapi tidak lagi sedingin dulu.Rani kembali ke rumah. Tidak dengan dentuman langkah penuh emosi, tapi dengan keheningan yang menandakan sesuatu telah berubah. Rumah itu tidak menyambutnya dengan aroma kopi atau suara pintu yang berdecit seperti biasa, tapi dengan keheningan yang berbeda — tenang, tapi hidup.Di meja makan, ada dua cangkir teh.Satu masih mengepul, satu lagi dibiarkan kosong, seolah menunggu isi yang tepat.Dimas sedang menata piring.Ketika Rani masuk, ia menoleh pelan. Tidak ada kata sambutan, tidak ada pelukan — hanya tatapan yang cukup lama untuk mengatakan semua hal yang tak terucap.“Pagi,” ucap Rani, suaranya lembut, sedikit ragu.“Pagi,” jawab Dimas. “Kau belum makan?”Ia menggeleng. “Belum. Aku pikir… aku ingin makan di rumah.”Dimas menunduk, menahan sesuatu di tenggorokan yang hampir ingin keluar tapi tak tahu harus berupa apa. Ia lalu berkata pelan,

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Tertinggal di Meja Sarapan

    Pagi datang tanpa ketukan.Udara dingin menelusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah yang lembap dan sisa embun yang enggan pergi. Dimas terbangun lebih awal dari biasanya, dengan kepala berat dan dada yang terasa sesak entah karena apa. Mungkin karena mimpi yang samar, mungkin karena sesuatu yang ia belum berani akui.Ia bangkit perlahan, meraba sisi ranjang yang dingin.Kosong.Rani sudah tidak di sana.Untuk sesaat, Dimas hanya duduk diam. Matanya menatap dinding tanpa makna, pikirannya berlari ke mana-mana — mengingat malam terakhir mereka, percakapan yang tak selesai, dan diam yang terasa lebih menusuk daripada pertengkaran apa pun.Ia turun ke dapur, dan di sanalah ia melihatnya.Secangkir kopi yang masih hangat.Dan selembar kertas di sampingnya.Huruf-huruf di atas kertas itu dikenalnya dengan sangat baik — tulisan Rani, bersih dan tenang, tapi kali ini terasa seperti luka yang dipahat perlahan.> Dimas,Aku tidak akan pergi. Tapi aku juga tidak akan tinggal dalam diam.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status