LOGINMalam itu, hujan turun tanpa suara.Tidak deras, tidak juga lembut—hanya cukup untuk membuat kaca jendela dipenuhi bintik-bintik air yang mengaburkan pandangan ke luar. Rani duduk di ruang kerja kecilnya, lampu meja menyala redup, layar laptop terbuka menampilkan halaman kosong yang belum disentuh sejak sore.Ia menatap kursor yang berkedip-kedip seperti detak jantung yang menunggu keputusan.Sudah tiga jam ia duduk di sana, tapi tak satu kalimat pun keluar.Bukan karena ia kehabisan ide—tapi karena kali ini, yang ingin ia tulis adalah sesuatu yang terlalu dekat, terlalu nyata, dan mungkin terlalu berisiko untuk disebut dengan nama yang sebenarnya.Dari ruang tamu, suara Dimas terdengar samar. Ia sedang memeriksa motor tua yang entah sudah berapa kali dibongkar dan disatukan lagi. Seperti hubungan mereka—selalu rusak di tempat yang sama, tapi selalu juga diperbaiki dengan keyakinan bahwa kali ini akan lebih baik.Rani mengembuskan napas panjang, memejamkan mata.Di kepalanya, suara-su
Sejak kepulangan Rani dari Jakarta, rumah itu terasa berbeda.Bukan karena ada yang berubah secara nyata—meja makan tetap rapi, selimut di kursi masih sama, wangi sabun di kamar mandi pun tak berganti—tapi karena sesuatu di udara seolah bergerak pelan, menandakan pergeseran kecil yang tidak bisa dijelaskan.Dimas merasakannya pertama kali saat Rani mulai lebih sering menatap langit sore dari jendela dapur. Tatapan itu bukan tatapan kosong, tapi tatapan seseorang yang sedang mendengarkan sesuatu yang hanya ia yang bisa dengar. Seperti ada suara lain di kepalanya, mungkin kenangan, mungkin juga harapan yang belum selesai.Rani tidak banyak bercerita tentang acara peluncuran bukunya. Hanya potongan kecil—orang-orang yang ia temui, pertanyaan dari wartawan, aroma bunga di meja podium. Tapi Dimas tahu, ada sesuatu yang tidak diucapkan.Ia melihatnya dari cara Rani menulis lebih sering di malam hari, dari caranya menatap kosong sebelum mulai mengetik, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjun
Pagi datang dengan langkah perlahan.Cahaya matahari menembus tirai jendela, jatuh di lantai kayu yang hangat, menyentuh ujung kaki Rani yang masih duduk di depan meja tulisnya. Di layar laptopnya, bab terakhir naskah itu telah selesai. Ia menatap kalimat penutupnya lama — bukan karena ragu, tapi karena hatinya tahu: tak semua akhir perlu tepuk tangan.Dari dapur, terdengar bunyi panci dan aroma roti panggang. Dimas sudah bangun.Ia selalu bangun lebih awal, seolah tubuhnya menolak berdiam meski hari libur. Dulu Rani sering mengeluh tentang kebiasaan itu. Sekarang, ia justru merasa aneh jika rumah terlalu sunyi di pagi hari.Ia menutup laptop, berdiri, dan berjalan ke dapur.Dimas sedang memutar sendok di dalam cangkir. Tatapannya terarah ke luar jendela, ke pohon jambu di halaman belakang yang sedang berbuah.“Kau sudah menulis?” tanyanya tanpa menoleh.“Sudah. Selesai.”Dimas tersenyum kecil. “Akhirnya.”Rani mengambil roti, duduk di kursi seberang. “Lucu, ya. Dulu aku berpikir menu
Sudah hampir tiga bulan sejak Rani memutuskan untuk tetap di rumah itu.Hari-hari mereka berjalan dengan ritme yang lambat tapi stabil — seperti aliran sungai kecil yang menemukan jalannya sendiri setelah lama tersumbat. Tak ada lagi pertengkaran, tak ada lagi denting pintu yang ditutup terburu-buru. Yang tersisa hanya dua orang yang belajar menghargai kesunyian satu sama lain.Namun pada suatu sore yang lembab, saat angin membawa aroma tanah basah dari kebun belakang, sesuatu yang tak terduga datang — bukan lewat kata, tapi melalui amplop krem yang terselip di bawah pintu.Rani menemukannya ketika sedang menyapu lantai ruang depan. Ia menunduk, mengambil amplop itu dengan ragu. Tak ada nama pengirim, hanya inisial sederhana di pojok kanan bawah: Y.A.Tangannya bergetar ringan. Ia tahu betul inisial itu.Yudha Ardi.Satu nama yang dulu sempat jadi cahaya — sekaligus bayangan.Rani menatap amplop itu lama, lalu berjalan ke dapur. Dimas sedang memperbaiki engsel lemari, dan seperti bias
Hari itu langit tampak berat. Awan abu menggantung rendah, seolah enggan bergerak. Udara mengandung aroma tanah yang menunggu hujan.Rani berdiri di depan jendela ruang tamu, memandangi halaman yang mulai berubah warna oleh musim. Lavender yang ditanam Dimas beberapa minggu lalu kini mulai berbunga — kecil, rapuh, tapi wangi.Ia menyesap teh jahe yang sudah mulai dingin. Di belakangnya, terdengar langkah kaki Dimas dari dapur, disusul suara peralatan dapur yang ditata.Sejak beberapa waktu terakhir, mereka mulai menjalani pagi dengan ritme yang tak lagi kaku. Tidak selalu penuh percakapan, tapi ada kehadiran di antara mereka yang terasa cukup.“Pagi ini agak dingin,” ujar Dimas sambil membawa roti panggang di piring kecil.Rani menoleh. “Kau akhirnya belajar membuat sarapan juga?”Dimas tersenyum samar. “Belajar dari kesalahan masa lalu.”“Kau belajar memasak karena rasa bersalah?”“Karena rasa ingin memperbaiki.”Rani terdiam. Di wajah Dimas ada sesuatu yang dulu jarang ia lihat — ke
Pagi datang dengan cahaya pucat.Matahari belum sepenuhnya naik, tapi tirai jendela sudah menampakkan semburat jingga samar. Rani duduk di meja dapur, secangkir kopi hitam di tangan, buku catatan di samping. Di halaman depan tertulis tanggal hari ini — tapi belum ada kata apa pun di bawahnya.Ia menatap halaman kosong itu lama, mendengarkan bunyi langkah Dimas di kamar sebelah. Bunyi sederhana, tapi nyata. Dulu, suara itu sering membuatnya cemas. Kini, entah bagaimana, justru membuat rumah terasa hidup.Dimas muncul dengan rambut berantakan, mengenakan kaus abu dan celana kain. “Kau sudah bangun sepagi ini lagi?”Rani menoleh, tersenyum kecil. “Kau pikir aku bisa tidur lama setelah matahari terbit?”Ia mengangkat bahu. “Kebiasaan lama ternyata tidak berubah.”“Beberapa hal memang tidak perlu diubah,” balas Rani pelan.Ada jeda kecil di antara mereka — jeda yang bukan lagi tentang jarak, tapi tentang kebiasaan menyesuaikan diri dengan kehadiran yang dulu terasa asing.Dimas duduk di se







