LOGINRestoran itu masih penuh suara riuh ketika Aruna meninggalkan Rafka malam itu. Hujan deras menyapu kota, lampu jalan berpendar samar di balik kabut air. Langkah Aruna berat, tapi hatinya justru terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia tidak lagi menunduk di hadapan suaminya.
Jika dia sungguh mencintaiku, biar dia yang membuktikan. Aku sudah cukup menderita. --- Di dalam restaurant, Rafka masih duduk terpaku. Segelas wine di depannya tak tersentuh. Kata-kata Aruna terus terngiang di kepalanya: “Buktikan dengan tindakan. Kalau tidak... anggap saja pernikahan kita sudah berakhir.” Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Hatinya perih. Sejak kapan ia begitu bodoh membiarkan wanita yang selalu setia di sisinya merasa tidak berharga? Aruna... aku masih mencintaimu. Aku hanya terlambat menyadarinya. --- Sementara itu, di apartemen mewahnya, Melani duduk di depan cermin, menghapus riasan dengan gerakan kasar. Wajah cantiknya menegang, matanya penuh amarah. Ia baru saja mendapat kabar dari seorang kolega bahwa Rafka bertemu Aruna malam ini. Tangannya meremas botol parfum di meja rias hingga hampir pecah. “Dia masih menemui wanita itu...” bisiknya penuh kebencian. Melani menatap bayangan dirinya di cermin. “Tidak. Aku tidak boleh kalah. Rafka milikku. Hanya milikku.” Dengan cepat ia meraih ponsel, menekan nomor Rafka. --- “Melani...” suara Rafka terdengar berat saat menjawab. “Kau di mana?” suara Melani dingin. “Jangan tanya. Aku butuh waktu sendiri.” Keheningan sejenak, lalu Melani bertanya tajam, “Apa kau bersama Aruna?” Rafka tidak menjawab. Hanya diam. Itu sudah cukup bagi Melani. Tangannya bergetar menahan marah. “Kau tidak bisa terus menggantung antara aku dan dia, Raf. Kau harus memilih. Dan kau tahu aku pilihan yang lebih tepat.” Rafka menutup telepon tanpa berkata apa-apa. Melani terdiam, lalu tertawa kecil. Tawa itu terdengar getir, nyaris gila. “Baiklah. Kalau dia tidak bisa memilih... aku akan membuatnya memilih.” --- Keesokan paginya, toko bunga Dian sedang sepi ketika Aruna menerima paket. Seorang kurir datang dengan kotak besar berwarna hitam, tanpa pengirim yang jelas. “Untuk Bu Aruna,” katanya sambil menyerahkan. Aruna bingung, tapi menerimanya. Saat membuka kotak itu, jantungnya hampir berhenti. Di dalamnya ada setangkai mawar hitam yang layu, dengan secarik kertas bertuliskan: “Tinggalkan Rafka, atau hidupmu yang akan layu sepertinya.” Dian yang melihat isi kotak itu langsung terperanjat. “Astaga, Aruna! Siapa yang melakukan ini?” Aruna gemetar, tapi ia tahu pasti siapa dalangnya. “Melani...” --- Malamnya, Rafka datang ke toko. Wajahnya lelah, namun matanya penuh penyesalan. “Aruna, kita harus bicara.” Aruna menatapnya tajam. “Bicara? Tentang apa? Tentang bagaimana kekasihmu mengirimi ancaman?” Rafka terkejut. “Ancaman? Apa maksudmu?” Aruna menunjukkan kotak hitam itu. Rafka menatapnya lama, wajahnya mengeras. “Melani...” gumamnya penuh kemarahan. Aruna bersuara tegas. “Lihat, Raf. Inilah wanita yang kau biarkan masuk ke hidup kita. Dia tidak hanya merebutmu, tapi juga mencoba menyingkirkanku. Masihkah kau buta?” Rafka terdiam, dadanya naik turun. Untuk pertama kalinya, ia merasakan amarah bukan pada Aruna, melainkan pada Melani. --- Sementara itu, Melani duduk di bar mewah, meneguk minuman dengan mata liar. Ia tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ponselnya bergetar—sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal. [?:] Apa kau yakin dia akan memilihmu? Kadang cinta yang dipaksakan justru berakhir menghancurkan segalanya. Melani mendengus, lalu membalas cepat. [Melani]: Aku tidak peduli. Aku akan punya dia, dengan cara apa pun. --- Beberapa hari berlalu, Rafka mulai sering datang ke toko bunga. Ia tidak selalu bicara banyak, hanya duduk diam sambil memperhatikan Aruna bekerja. Dian sempat menggoda, “Dia mulai sadar siapa yang sebenarnya berharga.” Aruna hanya tersenyum hambar. “Aku tidak bisa percaya begitu saja, Dian. Aku sudah terlalu sering disakiti.” Namun jauh di lubuk hatinya, ia merasakan sesuatu. Sebuah cahaya kecil dari cinta lama yang belum sepenuhnya padam. --- Suatu sore, ketika toko hampir tutup, Dira datang lagi. Kali ini ia membawa sekotak cokelat kecil. “Untukmu,” katanya sambil tersenyum. “Aku tahu kau sering lupa makan karena sibuk bekerja.” Aruna terharu, menerima dengan tangan gemetar. “Kau terlalu baik, Dira.” Dira menatapnya dalam-dalam. “Bukan soal baik. Aku hanya tidak tahan melihatmu terus terluka. Kau pantas bahagia, Aruna. Dengan atau tanpa Rafka.” Kata-kata itu membuat hati Aruna bergetar. Ia menunduk, tak sanggup menatap balik. Di luar toko, dari dalam mobil mewahnya, Melani mengamati. Matanya menyipit saat melihat Aruna tertawa kecil bersama Dira. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” gumamnya dengan suara penuh kebencian. --- Malam itu, Aruna menerima telepon tak dikenal. Suaranya samar, tapi ia bisa mengenali nada dingin itu. “Kalau kau berani terus mendekat ke Rafka,” bisik Melani, “aku pastikan hidupmu akan jauh lebih sengsara dari sekarang.” Aruna menggenggam ponsel erat. Namun kali ini ia tidak menangis. Ia menjawab dengan suara bergetar tapi tegas, “Lakukan apa pun yang kau mau, Melani. Aku tidak takut lagi.” Klik. Telepon terputus. Di balik ketakutannya, Aruna merasa anehnya lega. Ia telah menghadapi musuhnya langsung. Dan ia tahu, ini baru awal dari perang yang lebih besar. --- Di sisi lain kota, Rafka berdiri di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota. Hatinya diliputi dilema. Ia tahu harus memilih, dan hatinya tahu siapa yang benar-benar ia cintai. Aruna... maafkan aku. Aku akan menebus semuanya. Namun ia tidak sadar, Melani sudah menyiapkan langkah berikutnya—langkah yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar ancaman bunga layu. ---Pagi itu, langit tampak berwarna kelabu muda — tidak sepenuhnya suram, tapi cukup membuat udara terasa berat.Di Rumah Cahaya, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara air yang menetes dari talang terdengar seperti detak waktu yang berjalan dengan enggan.Laras baru saja membuka jendela ruang kerja ketika seseorang mengetuk pintu depan.Suara itu pelan tapi tegas — tiga ketukan, lalu diam.Ia mengira itu mungkin salah satu tamu baru, atau pengantar paket dari kota. Tapi ketika ia membuka pintu, dunia seolah berhenti sejenak.Di ambang pintu berdiri seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel krem, wajahnya letih tapi matanya tajam.“Maaf,” katanya, suaranya tenang tapi bergetar di ujung. “Apakah ini Rumah Cahaya?”“Iya,” jawab Laras lembut. “Apa saya bisa membantu?”Perempuan itu tersenyum tipis. “Namaku Ayla. Aku datang… mencari seseorang.”Laras mengerutkan dahi. “Seseorang?”Ayla mengangguk. “Reza.”---Nama itu menggantung di udara, seperti angin dingi
Pagi itu, Rumah Cahaya diselimuti kabut tipis.Aroma tanah basah dan daun yang baru disapu hujan masih tercium di udara. Burung-burung gereja berkicau di dahan mangga tua, dan dari dapur, terdengar bunyi lembut panci disentuh sendok kayu.Reza duduk di meja makan, menatap jendela besar yang terbuka sebagian.Cahaya pagi menyelinap pelan, menembus tirai putih, memantul di wajahnya yang tenang.Di depannya, secangkir kopi hangat mengepulkan aroma yang menenangkan — pahit dan manis, seperti hidup yang sedang berusaha ia pahami kembali.Laras keluar dari dapur membawa piring kecil berisi roti panggang dan potongan buah. Rambutnya dibiarkan terurai, masih sedikit basah setelah mandi. Di tangannya, ada sebuah amplop putih yang tampak usang.“Aku menemukan ini di antara buku catatan ibuku,” katanya pelan sambil duduk.Reza menatapnya. “Apa itu?”“Surat. Tapi tidak pernah dikirim.”Laras tersenyum tipis, seolah tak yakin apakah ia ingin membacanya atau tidak.---Amplop itu bertuliskan tinta
Malam itu, angin berembus dari laut membawa aroma asin yang lembut.Langit mendung, tapi di sela-sela awan, bulan berusaha menampakkan dirinya — redup, namun setia.Reza duduk di beranda Rumah Cahaya, kamera di pangkuannya, segelas kopi dingin di meja, dan setumpuk kertas tua di sampingnya.Ia baru saja membersihkan gudang kecil di belakang rumah sore tadi — tempat mereka menyimpan barang-barang yang “belum sanggup dibuang”.Di antara tumpukan bingkai kayu, potongan tripod rusak, dan album foto yang sudah menguning, ia menemukan sebuah kotak besi kecil yang tertutup debu. Di dalamnya ada sepucuk surat — kertasnya sudah pudar, lipatannya rapuh, dan di bagian atasnya tertulis:> “Untuk Ayah (tapi mungkin tidak akan pernah kukirim).”Reza menatap tulisan tangannya sendiri, nyaris tak percaya bahwa ia pernah menulis itu — mungkin dua puluh tahun lalu, ketika usia dan amarahnya sama-sama muda.Ia membuka perlahan, takut kertas itu hancur di tangannya.---> Ayah,Aku menulis ini bukan kare
Hari itu, hujan turun pelan, seperti rintik yang tak ingin mengganggu siapa pun.Laras duduk di meja kayu dekat jendela, di mana tetesan air menelusuri kaca seperti urat halus di tubuh bumi. Di hadapannya, secangkir teh melati mengepulkan aroma tenang.Rumah Cahaya masih lengang. Reza sedang keluar untuk memotret di desa sebelah, dan Surya tertidur di ruang baca.Hujan membuat waktu berjalan lebih lambat — cukup lambat untuk membuat Laras menyadari suara detak jam dinding yang biasanya ia abaikan.Lalu sesuatu di atas meja menarik perhatiannya:sebuah amplop berwarna krem, tanpa perangko, tanpa alamat, hanya satu tulisan kecil di depan:> “Untuk Laras.”Tulisan tangan itu lembut, nyaris gemetar, seolah ditulis dengan ragu atau dengan rasa yang terlalu dalam untuk dikatakan.Laras memandang amplop itu lama, jantungnya berdegup aneh.Ia membukanya perlahan.Di dalamnya ada selembar kertas berlipat dua, dan aroma samar lavender yang sudah pudar.---> “Laras,Mungkin kau tak mengenal nam
Pagi itu laut tampak berbeda.Tidak ada ombak besar, tidak ada burung camar yang berkejaran di langit. Hanya air yang mengalun pelan, seperti napas panjang setelah tangis yang lama.Reza berdiri di depan jendela studionya, memandangi garis horizon yang tak pernah berubah, namun selalu membawa sesuatu yang baru untuk dirasakan.Mira sudah pergi dua hari yang lalu, meninggalkan secangkir teh yang masih disimpan Laras di rak kayu — seolah kenangan bisa diawetkan seperti aroma daun mint yang menggantung di udara.Ia memutar kamera di tangannya.Lensa itu sudah berdebu.Selama beberapa bulan terakhir, Reza tak lagi memotret manusia. Ia lebih memilih benda-benda sunyi: piring yang pecah di dapur, kain basah di tali jemuran, kursi yang tak pernah digunakan.Baginya, setiap benda memiliki suara yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata.Namun pagi itu, ada dorongan aneh yang membuatnya ingin keluar — bukan untuk mencari gambar, tapi untuk mendengar kembali diam yang lain.---Ia menuruni t
Angin laut membawa aroma asin pagi itu, menyusup pelan melalui jendela kayu yang belum sempat ditutup sempurna.Laras baru saja selesai menyeduh teh ketika suara langkah kaki terdengar dari arah gerbang.Langkah yang ragu, terhenti dua kali sebelum akhirnya benar-benar mendekat.Ia menoleh, dan di antara kabut tipis yang menggantung di jalan setapak, tampak sosok perempuan muda — mengenakan mantel krem yang basah di ujungnya, dengan koper kecil di tangan kanan dan wajah yang tampak letih, seperti seseorang yang sudah berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke mana sebenarnya akan tiba.“Selamat pagi,” sapa Laras, lembut.Perempuan itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Apakah ini… Rumah Cahaya?”“Ya. Silakan masuk.”Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap memendam sesuatu yang tak bisa disembunyikan — semacam bayangan yang menolak pergi meski pagi sudah datang.Namanya, seperti yang kemudian ia sebutkan di dapur kecil mereka, adalah Mira.---Mira datang tanpa reservasi, tanpa t







