Hari itu, toko bunga Dian sedang ramai. Aruna sibuk melayani pelanggan, tangannya lincah merangkai buket berwarna pastel. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Ada rasa damai yang perlahan tumbuh, rasa bahwa ia bisa berdiri kembali.
Namun kedamaian itu tidak berlangsung lama. Pintu toko tiba-tiba terbuka keras, suara bel kecil berdenting nyaring. Seorang wanita masuk dengan langkah anggun, namun sorot matanya penuh tantangan. Melani. Aruna membeku sejenak, sementara Dian yang baru keluar dari gudang langsung menyipitkan mata. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya kaku. Melani mengabaikan Dian. Tatapannya langsung tertuju pada Aruna. Bibir merahnya melengkung membentuk senyum penuh kemenangan. “Akhirnya aku menemukanmu di sini,” ucapnya. Aruna menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Apa maumu, Melani?” “Tidak banyak,” jawab Melani sambil berjalan mendekat. “Aku hanya ingin memastikan kau tahu tempatmu sekarang. Kau bukan lagi pendamping Rafka. Kau hanya... penghalang.” Beberapa pelanggan yang masih ada di toko mulai melirik penasaran. Dian buru-buru menepuk bahu Aruna. “Ayo ke belakang. Jangan pedulikan dia.” Tapi Aruna menggeleng. Matanya menatap tajam pada Melani. “Aku tidak akan lari lagi.” Melani terkekeh pelan. “Oh? Jadi sekarang kau ingin melawan? Bukankah dulu kau hanya bisa menangis di rumah, menunggu suamimu pulang?” Aruna mengepalkan tangannya. Suaranya bergetar, tapi penuh tekad. “Ya. Dulu aku lemah. Tapi tidak sekarang. Kau tidak bisa lagi menginjakku semaumu.” Beberapa pelanggan saling berbisik, suasana tegang makin terasa. Melani mendekat, suaranya lebih rendah namun tajam. “Dengar, Aruna. Rafka sudah memilih. Kau bissa menyesatkan dirimu sendiri dengan keyakinan palsu, tapi pada akhirnya, dia akan tetap bersamaku. Jadi berhentilah mempermalukan dirimu.” Aruna menatapnya lekat-lekat. “Kalau benar dia sudah memilihmu, kenapa kau masih merasa perlu datang ke sini untuk menghinaku? Bukankah itu artinya kau sendiri belum yakin pada dirimu?” Kata-kata itu membuat wajah Melani menegang. Sekilas ia kehilangan kendali, namun segera tersenyum tipis kembali. “Mulutmu mulai tajam rupanya. Tapi ingat, kau tidak sekuat yang kau kira.” Aruna menegakkan tubuhnya. “Mungkin aku belum sekuat itu. Tapi aku belajar. Dan satu hal yang pasti—aku tidak akan pernah membiarkanmu merampas kebahagiaanku lagi.” Hening sejenak. Suasana dalam toko bisa dipotong dengan pisau. Akhirnya Melani berbalik, melangkah keluar dengan angkuh. Namun sebelum pintu tertutup, ia menoleh sekali lagi. “Kau akan menyesal menantangku, Aruna.” --- Setelah Melani pergi, Dian buru-buru menutup pintu dan menarik napas panjang. “Astagaa... wanita itu benar-benar tidak tahu malu.” Aruna masih berdiri kaku, tapi wajahnya tidak lagi hancur seperti dulu. Ada api di matanya. “Dia bisa menghina sesuka hatinya. Tapi kali ini, aku tidak akan jatuh karena kata-katanya.” Dian menepuk bahunya dengan bangga. “Itu baru sahabatku.” --- Malamnya, Aruna duduk sendirian di balkon apartemen Dian. Angin malam berhembus lembut, namun hatinya masih bergejolak. Kata-kata Melani bergema di kepalanya, tapi juga tekadnya sendiri. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. [Rafka]: Kita harus bicara. Tolong temui aku besok malam. Aruna menatap layar lama. Bagian dari dirinya ingin menghapus pesan itu, pura-pura tidak pernah menerimanya. Tapi bagian lain ingin tahu apa sebenarnya yang ada di hati Rafka. Ia mengetik balasan singkat. [Aruna]: Baik. Besok malam. --- Keesokan harinya, Dira kembali datang ke toko bunga. Ia membeli buket mawar putih. Saat membayar, ia menatap Aruna dengan serius. “Kau terlihat gelisah,” katanya. Aruna tertegun. “Bagaimana kau tahu?” “Matamu,” jawab Dira singkat. “Orang yang terluka biasanya berusaha tersenyum, tapi matanya tak bisa berbohong.” Aruna terdiam, hatinya tersentuh. Ia tidak tahu mengapa pria ini, yang baru ia kenal, bisa melihat dirinya begitu jelas. “Kalau kau butuh seseorang untuk mendengar, aku ada,” lanjut Dira. “Bukan untuk menghakimi, hanya untuk mendengar.” Aruna menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih.” --- Malam itu, Aruna mempersiapkan diri untuk bertemu Rafka. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru, merapikan rambutnya, dan berdiri lama di depan cermin. Apa aku masih terlihat seperti istrinya? Atau hanya bayangan yang sudah ia tinggalkan? Dengan hati berdebar, ia pergi menuju restoran tempat mereka janjian. Rafka sudah menunggu di sana. Wajahnya terlihat lelah, matanya sayu. Saat melihat Aruna, ia berdiri. “Aruna...” Aruna duduk tanpa banyak bicara. “Katakan. Apa yang kau inginkan?” Rafka menatapnya lama, seolah mencari kata yang tepat. “Aku... aku merindukanmu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.” Aruna menahan napas. “Seperti dulu? Kau pikir itu mungkin setelah semua yang terjadi?” Rafka menunduk. “Aku tahu aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.” Air mata menggenang di mata Aruna, tapi ia cepat menghapusnya. “Kalau kau benar mencintaiku, kenapa kau membiarkan Melani masuk ke hidup kita? Kenapa kau biarkan dia menghancurkan rumah tangga kita?” Rafka terdiam, tidak punya jawaban. Aruna berdiri, tubuhnya bergetar namun penuh tekad. “Aku sudah cukup terluka, Raf. Jika kau benar mencintaiku, buktikan dengan tindakan. Kalau tidak... anggap saja pernikahan kita sudah berakhir.” Ia berbalik pergi, meninggalkan Rafka yang terdiam membisu di kursinya. Di luar restoran, hujan turun deras. Aruna menatap ke langit, membiarkan butiran air membasahi wajahnya. Tapi kali ini, ia tidak merasa lemah. Ia merasa bebas. ---Perahu nelayan kecil itu menepi di sebuah teluk tersembunyi. Ombak berdebur pelan, seakan ikut menyembunyikan rahasia malam itu. Aruna bergegas melompat turun, membantu Rafka yang setengah pingsan, tubuhnya basah oleh darah dan keringat dingin.“Pegang aku, Rafka. Sedikit lagi,” ucap Aruna sambil menopang bahunya.Rafka hanya mengerang lirih, matanya redup. Napasnya tersengal, seakan setiap tarikan udara adalah perjuangan panjang.Surya turun terakhir, menatap sekeliling dengan waspada. “Ikuti aku. Tempat ini aman, setidaknya untuk sementara.”Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. Hutan kecil mengelilingi sisi teluk, dedaunan bergemerisik diterpa angin laut. Di kejauhan, lampu redup sebuah rumah panggung kayu tampak berdiri di antara pepohonan, sederhana tapi kokoh.Aruna merasakan detak jantungnya berpacu, bukan hanya karena kekhawatiran pada Rafka, tapi juga rasa takut akan rahasia yang akan ia temui.---Pintu rumah terbuka begitu mereka tiba. Seorang pria paruh baya mun
Api dari gudang yang terbakar menjilat langit malam, memantulkan cahaya oranye ke permukaan laut yang berombak. Bau besi, garam, dan asap bercampur menjadi satu, membuat udara di pelabuhan terasa mencekik.Aruna memeluk Rafka erat-erat di balik kontainer berkarat. Bahu Rafka terus berdarah, wajahnya pucat, tapi matanya tetap menatap ke arah depan dengan keberanian yang nyaris gila.“Kau harus bertahan, Rafka. Jangan paksakan dirimu,” suara Aruna bergetar, air mata jatuh ke tangannya yang menekan luka pria itu.Rafka tersenyum samar, meski bibirnya berdarah. “Aku… sudah berjanji padamu. Aku tidak akan jatuh di sini.”Di samping mereka, Surya menodongkan pistol, mengintip celah kontainer. “Mereka mengepung kita dari dua sisi. Kalau kita tetap di sini, kita mati.”Aruna menoleh cepat. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”Surya menarik napas dalam. “Kita harus keluar lewat jalur perahu nelayan di sisi timur. Itu satu-satunya jalan.”Aruna terdiam. Jalur timur berarti mereka harus melewati
Hujan sudah mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk indera. Aruna masih berdiri di tepi sungai, tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak kencang ketika suara ledakan kedua menggema dari arah pelabuhan. Langit malam seakan memantulkan api merah yang menyala di kejauhan.“Rafka…” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa kaku. Ketakutan menahan langkahnya, sekaligus rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada.---Di gudang pelabuhan, api mulai merambat ke tiang-tiang kayu. Asap hitam pekat membuat pandangan kabur. Rafka tersungkur, darah menetes dari pelipisnya. Anak buah Adrian mengelilinginya, siap memberi pukulan terakhir.Namun sebelum tangan mereka terayun, sebuah suara berat menggema:“Berhenti.”Semua kepala menoleh. Dari balik pintu yang hangus, Surya muncul dengan langkah mantap. Parut di wajahnya semakin jelas diterangi cahaya api. Tangannya menggenggam senjata api tua, tapi sorot matanya jauh lebih berbahaya dari pelurunya.“L
Hujan turun deras malam itu, menyelimuti kota dengan suara ritmis yang seolah menyembunyikan rahasia gelap di balik setiap tetesnya. Aruna berdiri di depan cermin kamarnya, wajahnya pucat, matanya sembab setelah semalaman tak tidur. Kata-kata Surya terus terngiang, menghantam hatinya tanpa henti: Melani… pengkhianat… ayahmu…Ia menggenggam liontin kecil di lehernya—satu-satunya warisan dari ibunya. “Apa benar semua ini, Bu?” bisiknya parau. “Atau aku hanya dipermainkan?”Pintu kamarnya diketuk. Suara lembut namun penuh beban terdengar.“Aruna, boleh aku masuk?”Itu suara Dira.Aruna cepat-cepat menyeka air matanya dan membuka pintu. Dira berdiri dengan jas setengah basah, rambutnya menempel karena hujan. Tatapannya langsung jatuh pada wajah Aruna yang tampak rapuh.“Kau menangis lagi,” ucapnya lirih.Aruna memaksakan senyum tipis. “Aku hanya lelah.”Dira masuk, lalu menutup pintu. Ia menatap Aruna dalam-dalam, seolah berusaha membaca isi hatinya. “Aku tahu sesuatu mengganggumu. Jangan
Aruna menatap pria misterius itu, napasnya tercekat. Bayangan bulan di gudang tua membuat wajahnya tampak semakin suram, seolah keluar dari kisah kelam.“Apa maksudmu?” suara Aruna bergetar.Pria itu mendekat, lalu berhenti tepat di depan cahaya bulan. Wajahnya mulai jelas—parut tipis di pelipis kiri, sorot mata tajam, dan senyum getir yang samar.“Namaku Surya.” Ia menunduk sedikit. “Aku mantan tangan kanan ayahmu.”Aruna membelalak. “Itu… tidak mungkin. Ayah tidak pernah menyebutmu.”Surya tersenyum pahit. “Karena aku bagian yang tidak boleh disebut. Aku tahu rahasia yang bisa menghancurkan semua orang. Termasuk dia.”Aruna mundur selangkah. “Kau bilang tahu siapa yang menghancurkan keluargaku. Katakan sekarang.”Surya menatapnya tajam. “Itu bukan Rafka. Bukan pula hanya Adrian. Ada seseorang lain yang jauh lebih dekat denganmu.”Aruna menahan napas. “Siapa?”Suara Surya turun, nyaris seperti bisikan. “Melani.”Aruna terpaku, dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar.---Di temp
Matahari pagi menembus tirai kamar, namun Aruna masih duduk di meja belajarnya, menatap map hitam yang belum ia buka. Matanya sembab, tapi ada ketegasan baru yang jarang muncul sebelumnya.Ia menarik napas panjang, lalu membuka map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen: laporan keuangan perusahaan ayahnya, kontrak penjualan saham, dan tanda tangan yang mencurigakan.Matanya membelalak ketika melihat nama yang tertera di salah satu dokumen: Rafka Adinata.“Tidak mungkin…” bisiknya, bibirnya bergetar.Namun ada sesuatu yang aneh. Tanda tangan itu memang mirip Rafka, tapi ada detail kecil yang tidak cocok. Garis akhir tanda tangan tampak kaku, tidak natural.Aruna meraba kertas itu. “Ini bisa saja dipalsukan…”---Sementara itu, Rafka duduk di kantor pengacaranya. Wajahnya tegang, matanya menatap layar komputer yang menampilkan data transaksi lama.“Dokumen-dokumen itu beredar di luar,” kata pengacaranya. “Banyak yang percaya kau terlibat langsung dalam keban