Share

Serangan Balik

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-09-18 15:10:30

Hari itu, toko bunga Dian sedang ramai. Aruna sibuk melayani pelanggan, tangannya lincah merangkai buket berwarna pastel. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Ada rasa damai yang perlahan tumbuh, rasa bahwa ia bisa berdiri kembali.

Namun kedamaian itu tidak berlangsung lama.

Pintu toko tiba-tiba terbuka keras, suara bel kecil berdenting nyaring. Seorang wanita masuk dengan langkah anggun, namun sorot matanya penuh tantangan.

Melani.

Aruna membeku sejenak, sementara Dian yang baru keluar dari gudang langsung menyipitkan mata. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya kaku.

Melani mengabaikan Dian. Tatapannya langsung tertuju pada Aruna. Bibir merahnya melengkung membentuk senyum penuh kemenangan.

“Akhirnya aku menemukanmu di sini,” ucapnya.

Aruna menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Apa maumu, Melani?”

“Tidak banyak,” jawab Melani sambil berjalan mendekat. “Aku hanya ingin memastikan kau tahu tempatmu sekarang. Kau bukan lagi pendamping Rafka. Kau hanya... penghalang.”

Beberapa pelanggan yang masih ada di toko mulai melirik penasaran. Dian buru-buru menepuk bahu Aruna. “Ayo ke belakang. Jangan pedulikan dia.”

Tapi Aruna menggeleng. Matanya menatap tajam pada Melani. “Aku tidak akan lari lagi.”

Melani terkekeh pelan. “Oh? Jadi sekarang kau ingin melawan? Bukankah dulu kau hanya bisa menangis di rumah, menunggu suamimu pulang?”

Aruna mengepalkan tangannya. Suaranya bergetar, tapi penuh tekad. “Ya. Dulu aku lemah. Tapi tidak sekarang. Kau tidak bisa lagi menginjakku semaumu.”

Beberapa pelanggan saling berbisik, suasana tegang makin terasa.

Melani mendekat, suaranya lebih rendah namun tajam. “Dengar, Aruna. Rafka sudah memilih. Kau bissa menyesatkan dirimu sendiri dengan keyakinan palsu, tapi pada akhirnya, dia akan tetap bersamaku. Jadi berhentilah mempermalukan dirimu.”

Aruna menatapnya lekat-lekat. “Kalau benar dia sudah memilihmu, kenapa kau masih merasa perlu datang ke sini untuk menghinaku? Bukankah itu artinya kau sendiri belum yakin pada dirimu?”

Kata-kata itu membuat wajah Melani menegang. Sekilas ia kehilangan kendali, namun segera tersenyum tipis kembali. “Mulutmu mulai tajam rupanya. Tapi ingat, kau tidak sekuat yang kau kira.”

Aruna menegakkan tubuhnya. “Mungkin aku belum sekuat itu. Tapi aku belajar. Dan satu hal yang pasti—aku tidak akan pernah membiarkanmu merampas kebahagiaanku lagi.”

Hening sejenak. Suasana dalam toko bisa dipotong dengan pisau.

Akhirnya Melani berbalik, melangkah keluar dengan angkuh. Namun sebelum pintu tertutup, ia menoleh sekali lagi. “Kau akan menyesal menantangku, Aruna.”

---

Setelah Melani pergi, Dian buru-buru menutup pintu dan menarik napas panjang. “Astagaa... wanita itu benar-benar tidak tahu malu.”

Aruna masih berdiri kaku, tapi wajahnya tidak lagi hancur seperti dulu. Ada api di matanya. “Dia bisa menghina sesuka hatinya. Tapi kali ini, aku tidak akan jatuh karena kata-katanya.”

Dian menepuk bahunya dengan bangga. “Itu baru sahabatku.”

---

Malamnya, Aruna duduk sendirian di balkon apartemen Dian. Angin malam berhembus lembut, namun hatinya masih bergejolak. Kata-kata Melani bergema di kepalanya, tapi juga tekadnya sendiri.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

[Rafka]: Kita harus bicara. Tolong temui aku besok malam.

Aruna menatap layar lama. Bagian dari dirinya ingin menghapus pesan itu, pura-pura tidak pernah menerimanya. Tapi bagian lain ingin tahu apa sebenarnya yang ada di hati Rafka.

Ia mengetik balasan singkat.

[Aruna]: Baik. Besok malam.

---

Keesokan harinya, Dira kembali datang ke toko bunga. Ia membeli buket mawar putih. Saat membayar, ia menatap Aruna dengan serius.

“Kau terlihat gelisah,” katanya.

Aruna tertegun. “Bagaimana kau tahu?”

“Matamu,” jawab Dira singkat. “Orang yang terluka biasanya berusaha tersenyum, tapi matanya tak bisa berbohong.”

Aruna terdiam, hatinya tersentuh. Ia tidak tahu mengapa pria ini, yang baru ia kenal, bisa melihat dirinya begitu jelas.

“Kalau kau butuh seseorang untuk mendengar, aku ada,” lanjut Dira. “Bukan untuk menghakimi, hanya untuk mendengar.”

Aruna menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih.”

---

Malam itu, Aruna mempersiapkan diri untuk bertemu Rafka. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru, merapikan rambutnya, dan berdiri lama di depan cermin.

Apa aku masih terlihat seperti istrinya? Atau hanya bayangan yang sudah ia tinggalkan?

Dengan hati berdebar, ia pergi menuju restoran tempat mereka janjian.

Rafka sudah menunggu di sana. Wajahnya terlihat lelah, matanya sayu. Saat melihat Aruna, ia berdiri. “Aruna...”

Aruna duduk tanpa banyak bicara. “Katakan. Apa yang kau inginkan?”

Rafka menatapnya lama, seolah mencari kata yang tepat. “Aku... aku merindukanmu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”

Aruna menahan napas. “Seperti dulu? Kau pikir itu mungkin setelah semua yang terjadi?”

Rafka menunduk. “Aku tahu aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”

Air mata menggenang di mata Aruna, tapi ia cepat menghapusnya. “Kalau kau benar mencintaiku, kenapa kau membiarkan Melani masuk ke hidup kita? Kenapa kau biarkan dia menghancurkan rumah tangga kita?”

Rafka terdiam, tidak punya jawaban.

Aruna berdiri, tubuhnya bergetar namun penuh tekad. “Aku sudah cukup terluka, Raf. Jika kau benar mencintaiku, buktikan dengan tindakan. Kalau tidak... anggap saja pernikahan kita sudah berakhir.”

Ia berbalik pergi, meninggalkan Rafka yang terdiam membisu di kursinya.

Di luar restoran, hujan turun deras. Aruna menatap ke langit, membiarkan butiran air membasahi wajahnya.

Tapi kali ini, ia tidak merasa lemah. Ia merasa bebas.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Rumah yang Menyimpan Rahasia

    Pagi itu, langit tampak berwarna kelabu muda — tidak sepenuhnya suram, tapi cukup membuat udara terasa berat.Di Rumah Cahaya, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara air yang menetes dari talang terdengar seperti detak waktu yang berjalan dengan enggan.Laras baru saja membuka jendela ruang kerja ketika seseorang mengetuk pintu depan.Suara itu pelan tapi tegas — tiga ketukan, lalu diam.Ia mengira itu mungkin salah satu tamu baru, atau pengantar paket dari kota. Tapi ketika ia membuka pintu, dunia seolah berhenti sejenak.Di ambang pintu berdiri seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel krem, wajahnya letih tapi matanya tajam.“Maaf,” katanya, suaranya tenang tapi bergetar di ujung. “Apakah ini Rumah Cahaya?”“Iya,” jawab Laras lembut. “Apa saya bisa membantu?”Perempuan itu tersenyum tipis. “Namaku Ayla. Aku datang… mencari seseorang.”Laras mengerutkan dahi. “Seseorang?”Ayla mengangguk. “Reza.”---Nama itu menggantung di udara, seperti angin dingi

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Ketika Langit Tak Lagi Abu-abu

    Pagi itu, Rumah Cahaya diselimuti kabut tipis.Aroma tanah basah dan daun yang baru disapu hujan masih tercium di udara. Burung-burung gereja berkicau di dahan mangga tua, dan dari dapur, terdengar bunyi lembut panci disentuh sendok kayu.Reza duduk di meja makan, menatap jendela besar yang terbuka sebagian.Cahaya pagi menyelinap pelan, menembus tirai putih, memantul di wajahnya yang tenang.Di depannya, secangkir kopi hangat mengepulkan aroma yang menenangkan — pahit dan manis, seperti hidup yang sedang berusaha ia pahami kembali.Laras keluar dari dapur membawa piring kecil berisi roti panggang dan potongan buah. Rambutnya dibiarkan terurai, masih sedikit basah setelah mandi. Di tangannya, ada sebuah amplop putih yang tampak usang.“Aku menemukan ini di antara buku catatan ibuku,” katanya pelan sambil duduk.Reza menatapnya. “Apa itu?”“Surat. Tapi tidak pernah dikirim.”Laras tersenyum tipis, seolah tak yakin apakah ia ingin membacanya atau tidak.---Amplop itu bertuliskan tinta

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Malam itu, angin berembus dari laut membawa aroma asin yang lembut.Langit mendung, tapi di sela-sela awan, bulan berusaha menampakkan dirinya — redup, namun setia.Reza duduk di beranda Rumah Cahaya, kamera di pangkuannya, segelas kopi dingin di meja, dan setumpuk kertas tua di sampingnya.Ia baru saja membersihkan gudang kecil di belakang rumah sore tadi — tempat mereka menyimpan barang-barang yang “belum sanggup dibuang”.Di antara tumpukan bingkai kayu, potongan tripod rusak, dan album foto yang sudah menguning, ia menemukan sebuah kotak besi kecil yang tertutup debu. Di dalamnya ada sepucuk surat — kertasnya sudah pudar, lipatannya rapuh, dan di bagian atasnya tertulis:> “Untuk Ayah (tapi mungkin tidak akan pernah kukirim).”Reza menatap tulisan tangannya sendiri, nyaris tak percaya bahwa ia pernah menulis itu — mungkin dua puluh tahun lalu, ketika usia dan amarahnya sama-sama muda.Ia membuka perlahan, takut kertas itu hancur di tangannya.---> Ayah,Aku menulis ini bukan kare

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat dari Langit yang Tak Pernah Sampai

    Hari itu, hujan turun pelan, seperti rintik yang tak ingin mengganggu siapa pun.Laras duduk di meja kayu dekat jendela, di mana tetesan air menelusuri kaca seperti urat halus di tubuh bumi. Di hadapannya, secangkir teh melati mengepulkan aroma tenang.Rumah Cahaya masih lengang. Reza sedang keluar untuk memotret di desa sebelah, dan Surya tertidur di ruang baca.Hujan membuat waktu berjalan lebih lambat — cukup lambat untuk membuat Laras menyadari suara detak jam dinding yang biasanya ia abaikan.Lalu sesuatu di atas meja menarik perhatiannya:sebuah amplop berwarna krem, tanpa perangko, tanpa alamat, hanya satu tulisan kecil di depan:> “Untuk Laras.”Tulisan tangan itu lembut, nyaris gemetar, seolah ditulis dengan ragu atau dengan rasa yang terlalu dalam untuk dikatakan.Laras memandang amplop itu lama, jantungnya berdegup aneh.Ia membukanya perlahan.Di dalamnya ada selembar kertas berlipat dua, dan aroma samar lavender yang sudah pudar.---> “Laras,Mungkin kau tak mengenal nam

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Cahaya yang Tertinggal di Mata Reza

    Pagi itu laut tampak berbeda.Tidak ada ombak besar, tidak ada burung camar yang berkejaran di langit. Hanya air yang mengalun pelan, seperti napas panjang setelah tangis yang lama.Reza berdiri di depan jendela studionya, memandangi garis horizon yang tak pernah berubah, namun selalu membawa sesuatu yang baru untuk dirasakan.Mira sudah pergi dua hari yang lalu, meninggalkan secangkir teh yang masih disimpan Laras di rak kayu — seolah kenangan bisa diawetkan seperti aroma daun mint yang menggantung di udara.Ia memutar kamera di tangannya.Lensa itu sudah berdebu.Selama beberapa bulan terakhir, Reza tak lagi memotret manusia. Ia lebih memilih benda-benda sunyi: piring yang pecah di dapur, kain basah di tali jemuran, kursi yang tak pernah digunakan.Baginya, setiap benda memiliki suara yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata.Namun pagi itu, ada dorongan aneh yang membuatnya ingin keluar — bukan untuk mencari gambar, tapi untuk mendengar kembali diam yang lain.---Ia menuruni t

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Tamu Pertama Rumah Cahaya

    Angin laut membawa aroma asin pagi itu, menyusup pelan melalui jendela kayu yang belum sempat ditutup sempurna.Laras baru saja selesai menyeduh teh ketika suara langkah kaki terdengar dari arah gerbang.Langkah yang ragu, terhenti dua kali sebelum akhirnya benar-benar mendekat.Ia menoleh, dan di antara kabut tipis yang menggantung di jalan setapak, tampak sosok perempuan muda — mengenakan mantel krem yang basah di ujungnya, dengan koper kecil di tangan kanan dan wajah yang tampak letih, seperti seseorang yang sudah berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke mana sebenarnya akan tiba.“Selamat pagi,” sapa Laras, lembut.Perempuan itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Apakah ini… Rumah Cahaya?”“Ya. Silakan masuk.”Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap memendam sesuatu yang tak bisa disembunyikan — semacam bayangan yang menolak pergi meski pagi sudah datang.Namanya, seperti yang kemudian ia sebutkan di dapur kecil mereka, adalah Mira.---Mira datang tanpa reservasi, tanpa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status