MasukHujan turun perlahan di pagi yang tenang.Langit berwarna abu muda, seperti lembar kertas kosong yang menunggu ditulisi. Di ujung jalan kecil yang diteduhi pohon mangga tua, berdiri sebuah rumah sederhana dengan papan kayu bertuliskan:“Ruang Rani & Dimas — Tempat Kata Beristirahat.”Laras membuka pintu rumah itu dengan hati-hati.Udara di dalamnya mengandung aroma buku tua, teh, dan sesuatu yang sulit dijelaskan — semacam keheningan yang hidup. Sudah dua bulan sejak ia menerima kunci rumah ini, warisan tak langsung dari Dimas, lelaki tua yang dulu menjadi pembimbingnya di universitas.Setiap hari, ia datang untuk membuka jendela, menyalakan lampu, dan membiarkan cahaya pagi menyentuh meja kayu tempat dua cangkir teh selalu diletakkan.Ia tak pernah memindahkan apa pun di ruang itu.Buku-buku masih tersusun rapi, surat-surat masih diselipkan di antara halaman, dan di dinding tergantung satu foto besar — foto langit kelabu dengan cahaya menembus awan: Langit yang Menyimpan Janji.Laras
Sudah seratus dua puluh hari sejak Rani pergi.Musim berganti tanpa banyak perubahan. Pohon mangga di halaman tetap berdiri, hanya sedikit lebih rindang, seolah menolak ikut berduka. Angin sore masih datang dari arah yang sama, membawa bau tanah, rumput, dan kenangan.Dimas duduk di teras, mengenakan kemeja putih yang sudah agak lusuh. Di pangkuannya, buku catatan Rani yang kini sudah usang di tepinya.Ia tidak lagi membacanya dengan air mata — melainkan dengan ketenangan yang aneh, seperti seseorang yang membaca doa, bukan cerita.Setiap pagi, ia membuat dua cangkir teh.Satu untuk dirinya, satu lagi diletakkan di meja kayu kecil di depan kursi kosong.Kebiasaan itu tidak pernah berhenti, bukan karena Dimas tidak bisa melepas, tapi karena ia percaya: ada yang datang setiap kali aroma teh melayang di udara.Dan di dalam sunyi itu, kadang ia merasa — Rani masih di situ.Dalam bentuk cahaya yang menempel di dinding. Dalam desir daun. Dalam tiap baris tulisan yang belum sempat selesai.-
Pagi itu, Rani duduk di meja kayu yang menghadap jendela.Udara musim kemarau masuk perlahan, membawa aroma kering daun dan debu yang menempel di dedaunan. Matahari belum tinggi, tapi sinarnya sudah menelusup lembut ke dalam ruangan, menyentuh wajah Rani dengan kehangatan yang seolah datang dari masa lalu.Di hadapannya, secarik kertas kosong dan pena tua.Ia menatapnya lama, tidak tahu dari mana harus memulai.Bukan karena ia tidak punya kata—justru sebaliknya. Terlalu banyak yang ingin ia tulis, terlalu banyak yang ingin ia simpan, tapi ia tahu tak semuanya butuh tempat di dunia ini. Beberapa perasaan lebih pantas beristirahat dalam diam.Namun pagi itu berbeda. Ada sesuatu dalam udara yang menuntunnya untuk menulis.Mungkin karena mimpi semalam—mimpi tentang laut, tentang seseorang yang memanggil namanya dari kejauhan, lalu menghilang sebelum sempat dijawab.Rani menarik napas panjang, lalu mulai menulis.> Kepada seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca surat ini,Aku tida
Pagi datang tanpa suara.Hujan semalam meninggalkan jejak di daun-daun mangga di halaman belakang, menetes satu-satu seperti sisa ingatan yang enggan hilang. Rani membuka jendela, membiarkan udara lembap masuk ke dalam rumah yang kini terasa lebih sepi dari biasanya.Dimas masih tertidur di ruang tamu. Di sampingnya, secangkir kopi yang sudah dingin, dan buku catatan yang terbuka setengah.Rani mendekat perlahan, membacanya tanpa niat untuk mencuri rahasia.Tulisan tangan itu tidak rapi, tapi jujur:> Aku ingin belajar diam dengan cara Rani—diam yang tidak berarti menyerah, tapi menerima bahwa tidak semua pertanyaan butuh jawaban.Rani menatap kalimat itu lama.Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergerak pelan, semacam getar kecil antara cinta dan iba.Ia tahu Dimas tidak menulis untuknya; Dimas menulis untuk dirinya sendiri—cara paling lembut yang dimiliki seseorang untuk berdamai dengan kesunyian yang tumbuh di antara mereka.---Hari-hari berikutnya berjalan seperti musim yang tak p
Malam itu, hujan turun tanpa suara.Tidak deras, tidak juga lembut—hanya cukup untuk membuat kaca jendela dipenuhi bintik-bintik air yang mengaburkan pandangan ke luar. Rani duduk di ruang kerja kecilnya, lampu meja menyala redup, layar laptop terbuka menampilkan halaman kosong yang belum disentuh sejak sore.Ia menatap kursor yang berkedip-kedip seperti detak jantung yang menunggu keputusan.Sudah tiga jam ia duduk di sana, tapi tak satu kalimat pun keluar.Bukan karena ia kehabisan ide—tapi karena kali ini, yang ingin ia tulis adalah sesuatu yang terlalu dekat, terlalu nyata, dan mungkin terlalu berisiko untuk disebut dengan nama yang sebenarnya.Dari ruang tamu, suara Dimas terdengar samar. Ia sedang memeriksa motor tua yang entah sudah berapa kali dibongkar dan disatukan lagi. Seperti hubungan mereka—selalu rusak di tempat yang sama, tapi selalu juga diperbaiki dengan keyakinan bahwa kali ini akan lebih baik.Rani mengembuskan napas panjang, memejamkan mata.Di kepalanya, suara-su
Sejak kepulangan Rani dari Jakarta, rumah itu terasa berbeda.Bukan karena ada yang berubah secara nyata—meja makan tetap rapi, selimut di kursi masih sama, wangi sabun di kamar mandi pun tak berganti—tapi karena sesuatu di udara seolah bergerak pelan, menandakan pergeseran kecil yang tidak bisa dijelaskan.Dimas merasakannya pertama kali saat Rani mulai lebih sering menatap langit sore dari jendela dapur. Tatapan itu bukan tatapan kosong, tapi tatapan seseorang yang sedang mendengarkan sesuatu yang hanya ia yang bisa dengar. Seperti ada suara lain di kepalanya, mungkin kenangan, mungkin juga harapan yang belum selesai.Rani tidak banyak bercerita tentang acara peluncuran bukunya. Hanya potongan kecil—orang-orang yang ia temui, pertanyaan dari wartawan, aroma bunga di meja podium. Tapi Dimas tahu, ada sesuatu yang tidak diucapkan.Ia melihatnya dari cara Rani menulis lebih sering di malam hari, dari caranya menatap kosong sebelum mulai mengetik, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjun







