LOGINSudah hampir dua tahun sejak pameran terakhir di “Ruang Rani & Dimas”.Waktu berjalan seperti ombak — datang dan pergi, membawa cerita-cerita kecil yang larut bersama senja.Tempat itu kini sepi lagi, bukan karena dilupakan, tapi karena telah menunaikan tugasnya.Laras menutup pintu terakhirnya dengan senyum kecil. Ia tahu, beberapa tempat memang diciptakan untuk menjadi perhentian sementara — bukan rumah, tapi ruang perantara antara kehilangan dan penerimaan.Reza menunggu di luar dengan mobil yang sudah dipenuhi kotak kayu berisi foto, buku, dan lembaran kertas bertuliskan tangan pengunjung yang dulu mereka simpan.“Apa sudah semuanya?” tanyanya, membetulkan tali kamera di lehernya.“Sudah. Hanya ruangnya yang kita tinggalkan, bukan maknanya.”“Dan kau yakin tentang ini?”Laras mengangguk. “Aku ingin melihat laut yang pernah kau ceritakan. Yang langitnya tidak pernah tidur.”Mobil meluncur meninggalkan kota. Jalanan memanjang seperti garis waktu — menuntun mereka ke tempat yang belu
Hujan telah lama berhenti, tapi aroma tanah basah masih menggantung di udara.Di luar jendela, pohon mangga di halaman meneteskan air dari ujung daunnya, satu per satu, seperti waktu yang menurunkan kenangan perlahan agar tak terlalu menyakitkan.Laras menyalakan lampu kecil di pojok ruangan Ruang Rani & Dimas. Cahaya kuningnya menyentuh dinding-dinding tua yang kini dipenuhi jejak pameran — foto-foto Reza yang masih tergantung, catatan pengunjung yang disematkan di papan kayu, dan tanda tangan-tanda tangan kecil di buku tamu, kebanyakan disertai kalimat: “Aku juga pernah mencintai seperti ini.”Sejak malam penutupan pameran itu, banyak hal berubah di hidup Laras.Tempat yang dulu ia rawat sendirian kini mulai hidup lagi.Setiap minggu ada orang yang datang membawa buku, puisi, lukisan, atau hanya diam — dan itu cukup.Karena tempat itu tidak menuntut kata-kata, hanya kejujuran.Reza sering datang, tapi tidak setiap hari.Kadang ia muncul tiba-tiba dengan kamera di tangan dan wajah ya
Hujan turun perlahan di pagi yang tenang.Langit berwarna abu muda, seperti lembar kertas kosong yang menunggu ditulisi. Di ujung jalan kecil yang diteduhi pohon mangga tua, berdiri sebuah rumah sederhana dengan papan kayu bertuliskan:“Ruang Rani & Dimas — Tempat Kata Beristirahat.”Laras membuka pintu rumah itu dengan hati-hati.Udara di dalamnya mengandung aroma buku tua, teh, dan sesuatu yang sulit dijelaskan — semacam keheningan yang hidup. Sudah dua bulan sejak ia menerima kunci rumah ini, warisan tak langsung dari Dimas, lelaki tua yang dulu menjadi pembimbingnya di universitas.Setiap hari, ia datang untuk membuka jendela, menyalakan lampu, dan membiarkan cahaya pagi menyentuh meja kayu tempat dua cangkir teh selalu diletakkan.Ia tak pernah memindahkan apa pun di ruang itu.Buku-buku masih tersusun rapi, surat-surat masih diselipkan di antara halaman, dan di dinding tergantung satu foto besar — foto langit kelabu dengan cahaya menembus awan: Langit yang Menyimpan Janji.Laras
Sudah seratus dua puluh hari sejak Rani pergi.Musim berganti tanpa banyak perubahan. Pohon mangga di halaman tetap berdiri, hanya sedikit lebih rindang, seolah menolak ikut berduka. Angin sore masih datang dari arah yang sama, membawa bau tanah, rumput, dan kenangan.Dimas duduk di teras, mengenakan kemeja putih yang sudah agak lusuh. Di pangkuannya, buku catatan Rani yang kini sudah usang di tepinya.Ia tidak lagi membacanya dengan air mata — melainkan dengan ketenangan yang aneh, seperti seseorang yang membaca doa, bukan cerita.Setiap pagi, ia membuat dua cangkir teh.Satu untuk dirinya, satu lagi diletakkan di meja kayu kecil di depan kursi kosong.Kebiasaan itu tidak pernah berhenti, bukan karena Dimas tidak bisa melepas, tapi karena ia percaya: ada yang datang setiap kali aroma teh melayang di udara.Dan di dalam sunyi itu, kadang ia merasa — Rani masih di situ.Dalam bentuk cahaya yang menempel di dinding. Dalam desir daun. Dalam tiap baris tulisan yang belum sempat selesai.-
Pagi itu, Rani duduk di meja kayu yang menghadap jendela.Udara musim kemarau masuk perlahan, membawa aroma kering daun dan debu yang menempel di dedaunan. Matahari belum tinggi, tapi sinarnya sudah menelusup lembut ke dalam ruangan, menyentuh wajah Rani dengan kehangatan yang seolah datang dari masa lalu.Di hadapannya, secarik kertas kosong dan pena tua.Ia menatapnya lama, tidak tahu dari mana harus memulai.Bukan karena ia tidak punya kata—justru sebaliknya. Terlalu banyak yang ingin ia tulis, terlalu banyak yang ingin ia simpan, tapi ia tahu tak semuanya butuh tempat di dunia ini. Beberapa perasaan lebih pantas beristirahat dalam diam.Namun pagi itu berbeda. Ada sesuatu dalam udara yang menuntunnya untuk menulis.Mungkin karena mimpi semalam—mimpi tentang laut, tentang seseorang yang memanggil namanya dari kejauhan, lalu menghilang sebelum sempat dijawab.Rani menarik napas panjang, lalu mulai menulis.> Kepada seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca surat ini,Aku tida
Pagi datang tanpa suara.Hujan semalam meninggalkan jejak di daun-daun mangga di halaman belakang, menetes satu-satu seperti sisa ingatan yang enggan hilang. Rani membuka jendela, membiarkan udara lembap masuk ke dalam rumah yang kini terasa lebih sepi dari biasanya.Dimas masih tertidur di ruang tamu. Di sampingnya, secangkir kopi yang sudah dingin, dan buku catatan yang terbuka setengah.Rani mendekat perlahan, membacanya tanpa niat untuk mencuri rahasia.Tulisan tangan itu tidak rapi, tapi jujur:> Aku ingin belajar diam dengan cara Rani—diam yang tidak berarti menyerah, tapi menerima bahwa tidak semua pertanyaan butuh jawaban.Rani menatap kalimat itu lama.Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergerak pelan, semacam getar kecil antara cinta dan iba.Ia tahu Dimas tidak menulis untuknya; Dimas menulis untuk dirinya sendiri—cara paling lembut yang dimiliki seseorang untuk berdamai dengan kesunyian yang tumbuh di antara mereka.---Hari-hari berikutnya berjalan seperti musim yang tak p







