Share

5. Diskusi

"Mas, untuk menjadi anggota kepolisian 'kan ga mudah. Apa kata orang tuaku nanti jika mendadak aku mengundurkan diri?" 

 

"Ya, kamu bilang apalah gitu. Mau fokus urus rumah tangga."

 

"Mas, jangan egois. Pangkat kita saja berbeda. Lebih tinggi pangkatku."

 

Dada Arsa kembang kempis menahan amarah saat Prita membahas tentang pangkat. Tidak usah disebutkan tentang pangkat. Sejak awal semua sudah tahu jika Prita Yuliana lulusan Akademi Kepolisian dengan nilai kelulusan yang sangat baik. Arsa kesal setiap kali membahas masalah pangkat.

 

"Maksud kamu, aku yang harus keluar?!"

 

"Mas? Kita semua tahu dari awal masalah kita sangat pelik saat ini. Aku ga bisa kalo harus mundur dari keanggotaan kepolisian ini."

 

"Terserah kamu. Kalo karirku hancur, kamu juga harus ikut menanggungnya!"

 

Arsa mematikan panggilan itu karena jika dilanjutkan perdebatan mereka tidak akan selesai. Sosok ayah tiga anak itu menjambak rambut cepaknya dengan kasar. Masalah yang dihadapinya tidak akan selesai begitu saja. Uang? Apakah solusi untuk menyelesaikan masalah ini?

 

Arsa akhirnya meninggalkan kantornya dan menuju ke rumah. Jam di tangannya menunjukkan pukul tiga sore. Sangat jarang ia berada di rumah saat hari masih terang. Beberapa waktu lalu, ia lebih sering menghabislan waktunya dengan Prita.

 

Suara deru mesin mobil saling bersahutan sore ini. Mereka saling berlomba dan berebut jalanan. Ada kalanya Arsa harus memutar otak agar segera sampai rumah. Sampai rumah dengan cepat? Untuk apa?

 

Kurang lebih satu setengah jam membelah jalanan dan mengalahkan kemacetan akhirnya sampai di rumah. Arsa melihat pemandangan yang beberapa tahun ini selalu dilewatkan begitu saja. Amelia sedang bermain dengan ketiga anaknya dan menyuapi anak bungsu mereka--Aron. Mendadak dada Arsa menghangat hanya dengan melihat senyum wanita yang telah menemaninya sejak dirinya belum menjadi apa-apa di kepolisian dulu.

 

"Hai, Papa, pulang?" Arsa menyapa ketiga anaknya dan membuat kedua anak kembarnya hanya bengong saja. 

 

Mereka seolah tidak percaya jika sang papa pulang saat hari masih sore. Amelia berusah bersikap biasa saja di depan papa kandung ketiga anaknya. Amelia lupa jika bekas kelima jari tangan mertuanya masih ada di pipinya. Arsa melihat itu dan memicingkan matanya.

 

"Pipi kamu kenapa, Ma?" tanya Arsa dan membuat Amelia langsung memundurkan tubuhnya beberapa langkah dari sosok sang suami.

 

Tangan Arsa melayang di udara. Ia terkejut saat Amelia memilih menghindar dari sentuhannya. Arsa menyadari jika sikap sang istri berubah padanya. Amelia kini bersikap dingin meski masih menyiapkan semua keperluannya.

 

"Oh? Enggak, tadi kepeleset aja." Amelia memberikan kode kepada anak-anaknya agar tidak mengatakan apapun pada papa mereka. 

 

"Jatuh? Mana aku lihat." Arsa mendekat ke arah sang istri.

 

"Enggak usah. Nanti juga akan sembuh sendiri." Amelia menghindar dari Arsa. "Ayo, kita lanjut dulu makannya," kata Amelia pada Aron yang sejak tadi sangat lama saat mengunyah.

 

Arsa mengembuskan napasnya perlahan. Sepertinya akan sangat sulit untuk mempertahankan rumah tangganya. Arsa bahkan tidak ingat lagi kapan mereka bersama. Prita seolah mengambil semua waktunya.

 

"Gimana kalo setelah Papa mandi, kita semua jalan-jalan?" Arsa mencoba menawarkan sesuatu hal yang telah lama tidak mereka lakukan.

 

"Enggak, ah, Pa. Aku habis ini mau kerjakan PR." Arusha menjawab ucapan sang papa dengan cepat. "Lagian aku sama Sashi banyak PR dan harua belajar karena sebentar lagi banyak ulangan. Iya, 'kan, Sas?" tanya Aru pada saudara kembarnya itu.

 

Sashi mengangguk dengan mantap sebagai jawaban. Mereka tidak mau kecewa karena setiap kali sudah membuar rencana harus gagal dan dibatalkan. Ada saja pekerjaan Arsa yang mendadak datang. Kali ini mereka tidak ingin kembali merasakan kecewa itu.

 

Arsa mendesah pasrah kali ini. Amelia bahkan tidak mau melihat wajahnya lagi. Sakit hati wanita berhati emas itu sudah terlalu dalam. Terlebih perlakuan keluarga Arsa juga menyakitkan hatinya.

 

Arsa akhirnya masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai. Penolakan Arusha membuat hatinya terusik saat ini. Kedua anak kembarnya pun seolah menghindar darinya. Ketidakadaan waktu yang membuat mereka semua saling menjauh.

 

Arsa memutuskan untuk langsung mandi. Semoga saja setelah membersihkan tubuhnya, otaknya kembali fresh. Penat karena beban pikirannya membuat tubuh Arsa mendadak lemas. Bayangan cecaran pertanyaan oleh penyidik membuatnya benar-benar kehabisan energi dalam tubuhnya.

 

Prita tidak akan tahu bagaimana rasanya dicecar oleh bagian penyidik. Entahlah, apakah pertanyaan mereka sama? Atau istri keduanya lebih cerdas saat menjawab pertanyaan dari bagian penyidik. Arsa meremas rambutnya dengan kasar di bawah kucuran shower.

 

Hampir setengah jam Arsa berada di dalam kamar mandi. Kali ini kulit tangannya sudah berkerut karena terlalu lama dibawah guyuran air shower. Arsa menyudahi acara mandinya. Ia kemudian berganti pakaian dan langsung menuju ke bawah.

 

Perut yang lapar membawa Arsa menuju ke ruang makan. Ada banyak masakan di sana. Amelia memang sangat suka memasak. Apapun yang dimasak oleh sang istri akan terasa lezat. Sudah lama sekali ia tidak makan masakan sang istri. Arsa lebih sering makan bersama dengan Prita dengan memesan masakan pada aplikasi online. 

 

"Kamu temani aku makan, ya," pinta Arsa pada sang istri yang kebetulan baru saja selesai menyuapi Aron.

 

"Aku sudah makan tadi." Amelia meninggalkan Arsa dan menuju ke wastafel dan mencuci piring yang kotor.

 

Arsa menatap punggung sang istri dengan perasaan sedih. Sudah sangat terlambat bagi Arsa untuk memperbaiki hubungannya dengan Amelia. Arsa juga tidak bisa melepaskan Prita begitu saja. Hatinya memang sudah terbagi sejak empat setengah tahun yang lalu.

 

Adilkah itu semua untuk Amelia? Wanita itu hanya bisa menerima nasibnya. Istri pertama yang harus merasakan menjadi istri kedua. Arsa bahkan tidak menemani dirinya saat melahirkan Aron, empat tahun silam. 

 

Kala itu, Arsa beralasan ada tugas di luar kota. Memang benar Arsa keluar kota, tetapi tidak sedang bertugas. Ia berbulan madu bersama dengan wanita simpanannya. Kala itu, Amelia sama sekali tidak tahu.

 

Amelia sangat mempercayai suaminya dan patuh. Arsa sudah mulai bosan dengan Amelia yang hanya itu dan itu saja kegiatannya. Tidak pernah berdandan cantik dan selalu memakai daster saat di rumah. Andai Arsa tahu, pekerjaan menjadi ibu rumah tangga sangatlah berat.

 

"Mel, bisa kita bicara sebentar," kata Arsa yang melihat kedatangan sang istri.

 

"Ada apa?" tanya Amelia dengan wajah datar.

 

Arsa memberanikan diri menggenggap tangan mungil Amelia. Telapak tangan yang selalu bekerja keras itu sangatlah kasar. Amelia lupa kapan terakhir kalinya menggunakan lotion. Ibu tiga anak itu melepaskan genggaman Arsa dengan perlahan.

 

"Mel, bisakah kamu memberikan aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini? Aku janji akan adil." Ucapan Arsa langsung mendapatkan tatapan tajam dari Amelia.

 

Amelia langsung meninggalkan Arsa tanpa menjawab ucapan sang suami. Adil katanya? Bahkan sejak awal Arsa sudah membohonginya. Keadilan seperti apa yang akan dilakukan oleh Arsa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status