Share

Bab 3

Author: Yeni
Hampir sebulan lamanya, Lorenzo tidak menghubungiku.

Dia seolah mengabdikan seluruh waktunya untuk Sophia.

Akun Facebook yang biasanya tidak pernah aktif, mulai sering memunculkan jejak mereka berdua.

Mereka seperti pasangan biasa, menonton opera, pergi ke pulau pribadi, melakukan semua hal yang dulu Lorenzo anggap tidak berarti.

Unggahan terakhirnya adalah foto pernikahan yang diambil bersama Sophia, di mana dia tampak mengenakan setelan jas khusus.

Keterangannya: [Ingin sekali melihat wanita yang kucintai mengenakan gaun pengantin.]

Aku tersenyum miris dan menekan tombol suka.

Kemudian, mematikan ponsel.

Keesokan harinya.

Lorenzo meneleponku dengan nada kesal. Suaranya terdengar enggan.

"Chiara, bawa dokumen identitasmu. Satu jam lagi, temui aku di gereja tua."

Belum sempat aku menjawab, sambungan sudah diputus.

Selama lima tahun, untuk pertama kalinya, Lorenzo sendiri yang meminta untuk pergi ke gereja.

Aku hendak menulis pesan penolakan, tiba-tiba aku teringat cincin peninggalan ayahku masih ada padanya.

Sebelum pergi, aku harus mengambilnya kembali.

Aku pun menuju ke gereja tua keluarga itu. Jalanan di sekitarnya terasa begitu familier, selama lima tahun ini, aku telah melaluinya entah berapa kali.

Untuk pertama kalinya, tidak terjadi apa pun di sepanjang perjalanan.

Di bawah pilar batu gereja yang dipenuhi bekas peluru, aku menunggu Lorenzo selama satu jam, hingga akhirnya sosoknya muncul di hadapanku.

Lingkar hitam di bawah matanya begitu jelas, dan aroma tembakau dari tubuhnya makin pekat.

Setelah bertahun-tahun bersama, aku tahu, dia hanya merokok saat hatinya sedang kacau.

Setelah sebulan tidak bertemu, dia terlihat terkejut saat melihatku.

"Kenapa kamu jadi seperti ini?"

Hanya dalam sebulan, rasa sakit akibat penyakit dan efek kemoterapi telah membuatku begitu kurus.

Tanpa dia mengatakannya pun aku tahu, penampilanku sekarang pasti sangat buruk.

Melihatku tidak menjawab, Lorenzo berkerut kesal. "Hari ini, hari kita menandatangani akta pernikahan. Kamu yakin mau tampil seperti ini di foto pernikahan kita?"

"Aku bukan datang untuk mengikat janji pernikahan. Aku hanya ingin mengambil cincin peninggalan ayahku," ujarku datar sambil mengulurkan tangan padanya.

Lorenzo menatapku dengan heran, seolah menganggapku sedang membuat ulah.

Kemudian, dia tertawa sinis, lalu meraih pergelangan tanganku dan menarikku masuk ke gereja tanpa memberi aku kesempatan menolak.

"Nggak perlu memainkan siasat tarik-ulur di depanku. Apa kamu pikir, aku akhirnya akan menyerah pada hutang budi ini dan menikahimu?"

"Baik, aku akui kamu menang. Ayo masuk dan selesaikan upacaranya, lalu tentukan waktu untuk mengadakan pernikahan." Lorenzo berkata dengan nada nyaris putus asa.

Ketika melihat kami datang, pastor di gereja dengan sigap menyiapkan dokumen dan perlengkapan yang diperlukan untuk upacara pernikahan.

"Mohon kalian berdua menunjukkan identitas dan menandatangani surat permohonan pernikahan."

Lorenzo mengeluarkan cincin berukir lambang keluarganya. Saat dia menyerahkannya, ujung lengan bajunya tersingkap sedikit, memperlihatkan sebuah tato baru di bagian dalam pergelangan tangannya.

Itu adalah inisial nama Sophia, dengan setangkai mawar merah yang melilit di atasnya.

Pastor yang tidak memahami situasinya, berusaha mencairkan suasana.

"Kalian benar-benar pasangan yang serasi, sampai menato nama pasangan di tubuh sendiri. Kelihatan sekali kalian begitu bahagia."

Lorenzo sempat tertegun, lalu dengan canggung menarik kembali lengan bajunya.

Tanpa sadar, dia menoleh ke arahku. Melihat aku masih berdiri tanpa ekspresi, nada suaranya menjadi penuh sindiran.

"Kenapa? Takut di jalan terjadi insiden lagi sampai kamu lupa membawa dokumen identitasmu?"

Melihat sikapnya yang seperti itu, aku menarik napas dalam-dalam. "Aku sudah bilang, aku datang bukan untuk menikah. Tolong kembalikan cincin..."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, telepon satelit Lorenzo berdering nyaring.

Begitu tersambung, dari seberang terdengar suara anak buahnya yang panik.

"Ketua! Gawat! Nona Sophia menelan banyak pil tidur di vila, sepertinya keadaannya kritis!"

"Selain itu... kami menemukan surat wasiat. Di dalamnya tertulis... tertulis bahwa Nona Chiara yang memaksanya!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan yang Ketiga Puluh Tiga   Bab 8

    Nyonya Elisa membawaku ke sebuah pusat perawatan kelas atas yang sangat tersembunyi di Suitczer untuk menjalani perawatan.Setelah aku dipaksa menelan banyak obat tidur, tubuhku yang sudah lemah karena kanker hampir sepenuhnya kolaps.Beruntung, Nyonya Elisa datang tepat waktu dan menyelamatkanku.Hari itu, aku masih ingat, nyonya Keluarga Corsica yang selalu anggun dan tegas itu berlutut di hadapanku sambil menangis, memohon ampun padaku dan pada orang tuaku yang telah tiada.Namun, bagiku, semua itu sudah tidak penting lagi.Tumor di otaknya bagaikan bom yang tersembunyi jauh di dalam tubuhnya.Aku bisa meninggal kapan saja.Satu-satunya penyesalanku hanyalah, cincin peninggalan ayahku telah pecah.Pecahan-pecahannya kukumpulkan dengan hati-hati dan kusimpan dalam sebuah kotak beludru.Namun, sekeras apa pun dia berusaha memperbaikinya, cincin itu tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.Tiga bulan setelah aku menjalani perawatan, Lorenzo akhirnya menemukan tempat ini.Aku tahu

  • Pernikahan yang Ketiga Puluh Tiga   Bab 7

    Lorenzo kembali ke rumah sakit.Begitu melihatnya, mata Sophia langsung berbinar. Dia tersenyum dan berkata lembut, "Lorenzo, aku tahu kamu nggak akan meninggalkanku."Dia hendak meraih tangan Lorenzo, tetapi pria itu dengan dingin menghindar.Lorenzo menatapnya, tidak ada lagi kehangatan di matanya seperti dulu, yang tersisa hanyalah tatapan dingin yang penuh penilaian."Benarkah Chiara yang memaksamu untuk bunuh diri?"Sophia tidak menyangka Lorenzo akan menyinggung hal itu lagi. Dia berusaha menjawab dengan tenang, "Benar! Lorenzo, kamu nggak boleh memercayai orang lain, wanita seperti dia...""Aku sudah menyelidikinya." Suara Lorenzo memotong perkataannya. Suaranya datar dan tanpa emosi, hanya menyisakan kelelahan dan kekecewaan yang dalam."Chiara nggak memiliki kontak langsung denganmu. Jadi, bagaimana caranya dia bisa menekanmu sampai kamu memilih bunuh diri tepat di hari aku memutuskan pergi ke gereja?""Dokter mengatakan kadar obat dalam darahmu bahkan nggak cukup untuk mengan

  • Pernikahan yang Ketiga Puluh Tiga   Bab 6

    Lorenzo mengerahkan lebih banyak orang, dia hampir menyisir seluruh jaringan bawah tanah kota, tetapi tetap tidak menemukan jejak apa pun tentang Chiara.Seolah-olah gadis itu tidak pernah ada.Akhirnya, dia terpaksa menemui ibunya, salah satu pengendali sejati di balik Keluarga Corsica."Ibu, apakah Ibu tahu di mana Chiara? Dia menghilang dan aku nggak bisa menemukannya." Suara Lorenzo tanpa sadar mengandung kecemasan.Nyonya Elisa menatapnya dingin. "Nggak perlu mencarinya lagi. Aku sudah mewakili Keluarga Corsica untuk membatalkan pertunanganmu dengan Chiara. Sekarang, dia sudah nggak ada hubungannya lagi denganmu."Ucapan itu seperti palu yang menghantam dada Lorenzo.Dia seketika merasa pusing, lalu berseru tanpa kendali, "Membatalkan pertunangan? Atas dasar apa? Itu janji yang ditebus dengan nyawa Keluarga Moreto! Kami sudah bersumpah darah!"Nyonya Elisa mengejek dengan senyum dingin. "Sumpah darah? Kamu masih ingat itu sumpah yang kamu ikrarkan dengan darahmu? Lalu apa yang kam

  • Pernikahan yang Ketiga Puluh Tiga   Bab 5

    Mendengar jawaban itu, wajah Lorenzo seketika pucat pasi.Sudah hampir dua jam sejak Sophia dibawa ke ruang gawat darurat.Dosis yang dia paksa minumkan... cukup untuk membuat seseorang dalam waktu dua jam...Lorenzo mendorong anak buahnya dan berlari keluar dari rumah sakit dengan langkah tergesa, lalu naik ke mobil dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi menuju vila milik Sophia.Sepanjang jalan, jantungnya berdebar tidak terkendali.Terlalu tenang. Ponselnya tidak menerima pesan apa pun. Dia berulang kali menelepon nomor Chiara, tapi yang terdengar hanyalah nada sibuk tanpa jawaban.Pintu vila masih setengah terbuka.Ruang tamu masih berantakan.Di lantai, selain botol obat kosong dan pecahan cincin, tidak ada siapa pun di sana.Dengan terengah-engah, Lorenzo berteriak dengan suara parau, "Chiara!"Tidak ada jawaban.Seseorang yang menelan setengah botol obat tidur bisa pergi ke mana?Lorenzo terpaku di tempat, firasat buruk membanjiri pikirannya.Lorenzo memijat pelipisnya

  • Pernikahan yang Ketiga Puluh Tiga   Bab 4

    Begitu anak buahnya selesai berbicara, Lorenzo tiba-tiba berdiri.Seluruh akal sehatnya lenyap tanpa jejak, menyisakan kepanikan di wajahnya."Chiara! Berani-beraninya kamu...!"Dia menatapku dengan rahang mengeras.Meskipun telah mengenalnya bertahun-tahun, ini pertama kalinya aku melihat Lorenzo kehilangan kendali seperti itu.Tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan apa pun, Lorenzo langsung memberi isyarat kepada para pengawal di belakangnya untuk menyeretku dengan kasar ke dalam mobil dan membawaku ke kediaman Sophia.Di dalam vila begitu berantakan. Semua foto dirinya bersama Lorenzo pecah dan berserakan di lantai.Sophia terbaring di atas ranjang dengan wajah pucat pasi, tanpa tanda-tanda kehidupan. Dada yang nyaris tidak bergerak menunjukkan betapa lemah napasnya.Kedua kaki Lorenzo melemas. Dia hampir terjatuh saat berlari ke arah Sophia. Dengan tangan bergetar, dia menggenggam erat tangan Sophia yang dingin."Sophia! Lihat aku! Aku nggak akan menikah lagi! Bukalah matamu

  • Pernikahan yang Ketiga Puluh Tiga   Bab 3

    Hampir sebulan lamanya, Lorenzo tidak menghubungiku.Dia seolah mengabdikan seluruh waktunya untuk Sophia.Akun Facebook yang biasanya tidak pernah aktif, mulai sering memunculkan jejak mereka berdua.Mereka seperti pasangan biasa, menonton opera, pergi ke pulau pribadi, melakukan semua hal yang dulu Lorenzo anggap tidak berarti.Unggahan terakhirnya adalah foto pernikahan yang diambil bersama Sophia, di mana dia tampak mengenakan setelan jas khusus.Keterangannya: [Ingin sekali melihat wanita yang kucintai mengenakan gaun pengantin.]Aku tersenyum miris dan menekan tombol suka.Kemudian, mematikan ponsel.Keesokan harinya.Lorenzo meneleponku dengan nada kesal. Suaranya terdengar enggan."Chiara, bawa dokumen identitasmu. Satu jam lagi, temui aku di gereja tua."Belum sempat aku menjawab, sambungan sudah diputus.Selama lima tahun, untuk pertama kalinya, Lorenzo sendiri yang meminta untuk pergi ke gereja.Aku hendak menulis pesan penolakan, tiba-tiba aku teringat cincin peninggalan ay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status