Se connecterPagi datang perlahan.
Kiara menyiapkan sarapan dengan senyum yang nyaris seperti topeng. Roti panggang, telur mata sapi, dan kopi hangat. Aris keluar kamar dengan kemeja hitam. Wangi parfumnya memenuhi ruangan. Kiara menatap, berharap ada kata manis, atau sekedar ucapan selamat pagi. Tapi Aris hanya duduk, mengambil roti, lalu berkata datar, “Ada jadwal operasi siang ini. Mungkin aku pulang agak malam.” Tak lama, Aris bangkit dari duduknya. Kiara mengantar sampai teras depan. Suara mobilnya menjauh, meninggalkan keheningan yang terasa akrab. “Hati-hati ya,” ucap Kiara pelan. Kiara berdiri lama di depan pintu, ingin sekali rasanya menahan suaminya, tapi buat apa? pasti akan percuma Ia menghela nafas, melihat jam tangan dan bergegas untuk bersiap mengantarkan pesanan. Satu-satunya rutinitas yang membuat hatinya sedikit terhibur. Kotak-kotak kue sudah siap: Brownies, cheesecake, dan cookies. Semua tertata rapi dalam satu keranjang besar. Ada senyum puas saat Kiara melihat hasil kerjanya. Tanpa buang waktu, tangannya cepat meraih kunci dan mengangkat keranjang, membawanya ke mobil kecil yang setia menemaninya. Saat menyalakan mesin mobil, Kiara sempat melirik cermin kecil di dasbor. Ia tersenyum pada bayangan dirinya, seolah memberi semangat sebelum hari dimulai. Tangannya meraih setir dan siap melaju. Dalam hitungan menit, papan nama kafe "City Garden" sudah terlihat dari kejauhan. Kiara masuk dengan langkah percaya diri. Aroma kopi dan mentega bercampur hangat menyambutnya. “Mbak Kiara! Bos udah nanyain kue nya tuh!” sapa pelayan ramah. “Nggak terlambat kan?,” jawab Kiara tersenyum. "Nggak kok mbak. Aman." "Syukurlah." Ia meletakkan kotak di meja, lalu membantu pelayan memasukan kue-kuenya ke dalam display kaca. Kiara melirik wajah pelayan sekilas yang seperti tidak nyaman. "Kamu kenapa? Sakit?" "Aduh, mbak boleh jagain sebentar nggak ya. Sepertinya aku harus ke toilet," ucapnya dengan tangan yang memegangi perut. "Iya, sudah sana." "Makasih mbak." Tak lama pintu kafe terbuka. Seorang pelanggan masuk. Kiara reflek menyambutnya menggantikan pelayan. "Selamat datang di City Gar..." Ucapannya terhenti. Kiara tercekat saat tiba-tiba tangan pelanggan itu menarik rambutnya. "Aduh... Sakit, apa-apaan ini! Lepas!" Kiara terpekik, tubuhnya spontan mundur. Tangannya berusaha melepaskan genggaman kasar itu. Beberapa pelanggan langsung menoleh, sebagian berdiri, bingung melihat keributan yang tiba-tiba terjadi. Wanita itu menatap Kiara dengan mata merah dan napas penuh emosi. "Jadi ini kamu, ya?! Dasar perebut suami orang. "Apa maksud Anda?" Suaranya bergetar, antara takut dan tak percaya. Namun tangan wanita itu justru mendorong bahunya keras, membuat keranjang kue di meja terjatuh, isinya jatuh berserakan. "Jangan pura-pura polos! Aku tadi lihat isi pesan W******p kamu sama suamiku. Kamu bilang kamu shift pagi dan akan kasih kopi spesial buat suamiku!" Kiara hanya menggeleng pelan dengan merapikan rambutnya yang berantakan. "Saya nggak tau apa-apa, Mbak. Sumpah, Mbaknya salah orang!" "Halah... Ngak usah bohong!" Tepat saat bibir Kiara akan menjawab. Tiba-tiba sebuah suara berat terdengar lebih dulu. Nadanya tenang tapi cukup untuk membuat semua kepala menoleh. "Dia nggak bohong!" "Kamu siapa ikut campur?!" "Saya bukan siapa-siapa, saya cuma pelanggan yang sering ke sini," Ucapnya tenang namun tegas. "Tadi saya sempat dengar, suami anda ada janji sama seseorang yang bekerja di kafe? Tapi sepertinya anda salah orang. Karena orang yang mbak serang bukan pelayan barista di sini." Ucapan itu membuat wajah wanita tadi sedikit malu. "Mbak nggak apa-apa?" Pria itu berjongkok membantu Kiara memungut kue yang berserak di lantai. "Jadi kalau bukan dia, terus di mana orangnya?! Mana pelayan shift paginya!!" Seorang pelayan yang tadi ke toilet baru saja datang dan kaget melihat kekacauan yang terjadi. Wajahnya sontak panik. Dia tidak berani muncul. Bersembunyi di balik tembok. "Sudah cukup, kalau anda masih mau bikin ribut di tempat usaha orang. Anda bisa di laporkan polisi!" Ucap pria itu yang sudah tidak tahan melihat wanita yang bersikap bar-bar. Mendengar kata polisi. Wanita itupun pergi dengan ekspresi kesal. "Terima kasih ya," bisik Kiara pelan. Nadanya rendah dan sedikit malu. Malu akan kekacauan tadi. Pelayan tadi muncul ikut membantu Kiara memungut Kue. "Ya ampun Mbak, maafin aku ya." gumamnya pelan, merasa bersalah. Kiara tidak menjawab, hanya tersenyum getir dan fokus mengambil kue nya yang jadi sedikit hancur. Sesaat Kiara menoleh ke Arah lelaki tadi yang sudah berjalan menjauh darinya. Kiara berdiri dan memanggilnya. "Permisi..." Pria itu menoleh. Kiara berjalan mendekat. Entah kenapa dadanya berdetak lebih cepat. Seolah ada firasat bahwa dirinya baru saja akan membuka pintu menuju ruang yang belum siap ia hadapi. -Dewi menatap Rani dengan antusias. “Kamu udah tahu belum, Ran, siapa teman spesial Kiara? Kalian kan udah dekat banget. Pasti dia udah cerita lah ke kamu?”Kiara langsung tersedak.“Dew—”Kini Kiara dan Dewi sama-sama menatap Rani, seperti menunggu kalimat apa kira-kira yang akan keluar dari mulutnya.Tapi Rani tak langsung merespon, ia justru menaikkan alis — pura-pura bingung.“Teman spesial?”Ia menatap Kiara sambil mengerutkan kening.“Emang iya, Mbak? Sekarang kamu punya teman spesial?”Nada suaranya lugu, seolah benar-benar tidak tahu apa-apa.Dewi langsung manyun.“Hmmm, Kirain kamu tahu.”Rani menahan senyum tipis—bukan mengejek, tapi seperti sengaja memberi Kiara waktu untuk bicara sendiri.“Wahh, aku baru dengar malah,” katanya ringan. "Kenapa Mbak Dewi tiba-tiba tanya tentang hal ini?""Hehe karena sebenarnya, aku pernah salah ngira kalau Mbakmu itu ada hubungan sama Erwin.""Owh, Mbak Dewi past cumai salah duga aja."Dewi memeluk bantal sofa dan cemberut lucu.“Ya ampuun,
Erwin akhirnya menyerah dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar membalikkan badan, ia masih sempat memanggil pelan—hampir seperti helaan napas yang putus asa.“Ran….”Rani berpaling cepat. Air matanya menggantung di ujung mata; ia tak berani menatap Erwin. Bukan karena benci—justru karena rasa rindu itu ternyata masih ada dan lebih kuat dari yang ingin ia akui.Kiara yang melihat keduanya hanya bisa menarik napas pelan. Ada sesuatu dalam cara mereka saling menghindar, tapi tetap saling menahan, yang terasa terlalu familiar baginya. Sebuah sisa cinta yang keras kepala—persis seperti hubungannya sendiri dengan Arhan yang tak pernah benar-benar sederhana.Dengan hati yang enggan, akhirnya pelan-pelan Erwin melangkah menjauh dari sana.Setelah Erwin benar-benar pergi, Rani buru-buru mengusap pipinya yang masih basah. Suasana kafe juga mulai kembali normal; para pengunjung yang tadi sempat menoleh kini sudah tenggelam lagi dalam urusan masing-masing.Kiara langsung merangkul Rani s
Di dalam mobil, Arhan menyetir dengan menyandarkan kepala, keningnya sedikit berkerut, seperti baru saja mengingat sesuatu."Kiara...." ucapnya pelan. "Wanita tadi, wanita yang hamil itu ..., bukannya dia yang pernah kerja di kafe dekat kantor, kan?"Kiara yang tadi masih menatap ke luar jendela, kini menatap Arhan. "Iya, dia Rani yang itu."Arhan hanya mengangguk, tak berani berkata lebih banyak."Kenapa? Kamu khawatir?""Enggak." Arhan langsung menggelengkan kepala. "Aku justru tadi sempat khawatir, kalau dia itu saudara kamu atau—" ucapannya menggantung, bibirnya bahkan terasa kaku jika ia harus melanjutkan sampai dengan kata 'suami'.""Dia bisa dipercaya, kok," tambah Kiara.Keheningan kembali turun, tapi perlahan tangan kiri Arhan menggenggam jemari Kiara. Dan tersenyum ke arahnya, seolah mengatakan, "kalau ada apa-apa. Aku akan selalu ada buat kamu."Kiara membalas senyum itu. Ia menggeser duduknya sedikit, mendekat ke arah Arhan, lalu menyandarkan kepalanya di bahunya.-Keesok
Kembang api masih mekar satu per satu di langit Jakarta—merah, hijau, ungu—semuanya memantul di mata Kiara, membuat malam itu seperti terasa jauh lebih berwarna.Arhan berdiri tepat di belakangnya,ia merangkul Kiara dari belakang.Pelan, dan penuh keromantisan. Kiara tidak menjauh.Kedua tangannya justru terangkat, menyentuh lengan Arhan yang melingkar di bahunya.Keduanya sama-sama diam, hanya menatap langit.Cincin di jari mereka—dua cincin berbeda—berkilat tipis terkena cahaya kembang api.Kesadaran itu menampar mereka seketika.Perlahan, Kiara menurunkan tangan Arhan dari bahunya.Namun jari mereka masih saling menggenggam—erat, seperti enggan dilepas.Dan ketika Kiara akhirnya menatap Arhan, hatinya terjun bebas begitu saja. Tak terhitung sudah berapa kali ia jatuh pada pria ini …, jatuh tanpa bisa menahan dirinya sendiri.“Kiara….” suara Arhan memanggil dengan lembut. “Aku ingin tinggal bersamamu.”Dunia Kiara berhenti.Kalimat itu bukan angin lalu. Bukan sekadar luapan emosi s
Kiara pulang ke rumah, dan seperti yang sudah ia duga, Aris tidak ada. Dalam keadaan begini, mustahil suaminya pulang. Ia pasti ikut Lestari untuk menenangkan Dinda. Kiara berdiri di ruang tamu, merasa benar-benar kehilangan arah. Tangannya sempat bergerak membuka kontak ponsel, hampir menekan nama Arhan, tapi ia berhenti. Jam segini Arhan pasti sudah di rumah bersama istrinya. Akhirnya, ia menekan nama yang sudah lama tidak ia hubungi. Ibunya. Sudah lama ia tidak bercerita apa pun kepada orang tuanya. Ia selalu bilang semuanya baik-baik saja, seolah hidupnya tetap selalu rapi tanpa masalah, tapi malam ini, ia merasa benar-benar mentok. Ada dorongan untuk sekadar mendengar suara ibunya, meski ia sendiri tidak tahu harus bercerita dari mana. “Assalamualaikum, Bu ..., Ibu lagi apa?” tanyanya pelan. “Waalaikumsalam, Ra. Ini ibu lagi masak buat nanti malam. Ada apa, Nak? Suara kamu kok kayak kurang sehat? Kamu baik-baik saja, kan?” “Kiara sehat kok, Bu." Ia berusaha tersenyum mes
Aris tiba di depan menimarket dengan napas terengah, wajahnya pucat. Begitu melihat kiara berdiri tanpa Dinda, ia langsung menghampiri dengan wajah yang terlihat emosi."Kiara! Mana dinda?! Di mana anak saya?!"Kiara membuka mulut, tapi suara tak keluar. "Mas, aku—""Kalau kamu nggak suka sama Dinda, bilang! Kalau tadi kamu sakit hati dengan omongannya bilang! Jangan malah sengaja bikin anak saya hilang kayak gini."Beberapa pengunjung yang akan masuk ke sana menoleh. Dua kasir ikut saling pandang, kaget. Suara Aris menggema di pelataran minimarket.Kiara mematung, tak bisa menjawab, bahkan hampir seperti bernapas. Kata-kata Aris seperti menampar keras.Lalu sebuah mobil berhenti mendadak di depan minimarket. Pintu terbuka cepat.Lestari turun dengan langkah buru-buru, wajahnya panik. Begitu sampai, tatapannya langsung menusuk Kiara."Mana Dinda? Ia mendekat, memeriksa sekeliling, lalu mentatap Aris.Lestari mendecak sinis, "aku udah percayain Dinda ke kamu ya, Ris. Malah kamu sembara







