Share

Bab 3- Cheesecake

Author: Wee Daevii
last update Last Updated: 2025-10-15 16:30:22

Punggung pria itu terlihat hangat. Kemeja putih yang ia kenakan membuatnya semakin terlihat tenang.

Kiara berdiri dan memberanikan diri memanggil.

"Permisi..."

Pria itu menoleh. Saat berbalik, garis rahangnya tampak tegas dari samping.

"Iya..."

Tatapan mereka sempat bertemu. Cepat-cepat Kiara mengalihkan tatapannya.

"Sekali lagi, terima kasih." Kiara mengulurkan tangannya, memberikan sekotak cheescake.

Pria itu memiringkan kepalanya, tampak heran.

"Ah... Ini sebagai ucapan terima kasih. Mohon untuk diterima," ujar cepat Kiara.

"Oke, aku terima. Makasih ya." Tangannya cukup besar saat menerima kotak cheescake. sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Kiara, meninggalkan senyuman manis yang membuat hati Kiara sedikit berdesir.

Senyum itu masih tersisa di benaknya bahkan setelah sosok pria itu benar-benar melangkah pergi.

Kiara menarik napas pelan, lalu kembali ke arah kasir.

Saat melihat Rani, pelayan kafe tadi. Rasanya Kiara ingin menanyakan kesalapahaman yang bar saja tertadi. Tapi niatnya ia urungkan. Baginya, itu bukan urusannya.

Ia mengambil kembali keranjangnya, lalu berpamitan pulang.

Perjalanan terasa hening. Pohon-pohon di tepi jalan masih basah sisa hujan. Anak-anak berlarian ke sekolah, tawa mereka memenuhi pandangan.

Kiara menatap dengan getir.

Seandainya aku bisa jadi bagian dari pemandangan itu.

Mengantar anak ke sekolah, menyiapkan bekal, mengepang rambut mungilnya, dan mendengar panggilan ‘Mama’.

“Seandainya aku punya satu saja...” gumamnya pelan tanpa sadar.

Tak lama mobilnya berhenti di depan pagar. Di seberang jalan, Bu Retno tampak sedang menyapu halaman.

“Baru pulang ngantar kue ya, Kiara?”

“Iya, Bu. Pesanan rutin.”

“Wah, hebat. Kalau nanti punya anak pasti bangga, ibunya pintar bikin kue, bapaknya jadi dokter.”

Ucapan sederhana yang terdengar biasa untuk sebagian orang, kini terasa menancap dalam.

“Amin, Bu. Doain aja ya.” Kiara tersenyum kaku. "Kalau begitu saya masuk dulu ya bu."

Begitu masuk rumah, ia bersandar di dinding, menutup mata.

Kapan orang-orang berhenti membicarakan hal itu?

Kedua tangannya mengusap wajah. Saat usapan itu sampai di telinganya, Kiara menyadari sesuatu. Satu antingnya hilang.

"Huh, ini pasti jatuh saat kejadian tadi."

Ia sempat berfikir untuk kembali ke kafe. Tapi tubuhnya terasa terlalu letih. Bukan hanya karena keributan tadi. Tapi juga perasaan campur aduk yang selalu ia rasakan saat ada yang orang lain yang membahas tentang anak.

Tak lama ponselnya berdering.

"Halo."

"Mbak Kiara, ini aku, Rani."

"Iya, ada apa Ran?"

"Aku minta maaf ya Mbak atas kejadian tadi. Rasanya aku malu banget," ucapnya penuh rasa sesal. "Mbak Kiara nggak mau tanya apa-apa sama aku?"

Kiara sempat terdiam. "Sebenarnya ada beberapa yang ingin Mbak tanyakan, tapi aku rasa, itu urusan bukan mbak. jadi kalau kamu nggak mau cerita, Mbak nggak akan tanya."

Tak ada jawaban. Kiara melanjutkan, suaranya lebih lembut. "Tapi... Itu hanya kesalapahaman kan? Bukan kamu yang wanita itu maksud?"

Lagi-lagi tak ada jawaban.

"Kalau ini sulit untuk kamu jawab. Mbak nggak maksa."

Akhirnya Rani bersuara lirih. "Apa boleh Rani nanti cerita langsung saja ke Mbak Kiara?"

"Hm.... Tentu saja."

"Ya sudah Mbak, sekali lagi, Rani minta maaf ya," nada suaranya terdengar sungkan.

Sebelum sambungan terputus, Kiara teringat sesuatu.

" Oh ya Ran, kamu lihat ada anting jatuh di dana nggak?"

"Anting?"

"Iya, sepertinya anting Mbak jatuh di sana. Nanti aku kirim fotonya, ya."

"Oke mbak Kiara."

Panggilan berakhir.

Kiara menatap Cermin. Melihat pantulan dirinya yang kini hanya mengenakan satu anting.

Sementara itu, di salah satu lantai gedung perkantoran. Seorang pria duduk di ruang kerja bertuliskan Manajer Keuangan.

Ia baru akan membuka laptop ketika pandangannya tertuju pada lengan kemejanya. Ada sesuatu yang berkilai kecil tersangkut di sana.

Ia memungutnya, memutar benda itu di antara jari. Sebuah anting mungil berbentuk daun semanggi.

Sudut bibirnya terangkat pelan.

"Apa ini milik wanita cheesecake?" gumamnya, nyaris seperti tawa yang ditahan.

Ia membuka laci meja, meletakkan anting itu di dalamnya, di samping sebuah kartu nama bertuliskan Arhan Saputra.

hari itu pekerjaan tak terlalu banyak. Arhan pulang lebih awal. Saat melewati depan kafe, langkahnya terhenti sejenak. Tangannya sempat merogoh saku, menyentuh mengeluarkan anting. Ada niat untuk menitipkannya. Tapi, entah kenapa, pikirannya berubah begitu saja. Arhan kembali menyimpannya, seolah benda ini bisa ia jadikan alasan untuk bertemu lagi dengan wanita tadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 8 - Diam-Diam Takdir Memulainya

    Arhan masih berdiri di tempat, pandangannya tak lepas dari Kiara yang terisak di tepi jalan. Dunia di sekitarnya terasa hening, hanya suara tangisnya yang terdengar samar di antara angin.Haruskah ia mendekat?Atau justru pergi saja, pura-pura tak melihat?Jari-jarinya mengepal pelan. Dengan wajah bimbang, ia akhirnya meraih ponsel dan menekan panggilan ke nomor Kiara.Di depan sana, Kiara menatap layar ponselnya. Ada panggilan masuk. Ia buru-buru mengapus air mata. "Halo." Suaranya berpura-pura normal, namun masih terdengar sedikit bergetar.Suara di seberang telepon, hening. Tak ada jawaban. Kiara menurunkan ponselnya dari telinga, menatap layar, memastikan apa masih tersambung panggilannya.Samar-samar, suara gemuruh kereta terdengar. Bukan hanya di telinganya, tapi juga dari seberang telepon.Keningnya berkerut, ia menoleh ke kanan, ke kiri, mencari sumber suara.Sampai akhirnya pandangan itu berhenti pada sosok pria yang berdiri tak jauh darinya, dengan ponsel yang masih di tel

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 7 - Dibalik Kata Demi Anak

    Malam perlahan turun. Kiara meringkuk di ranjang, masih mengenakan sweater kuning yang diberikan Arhan. Matanya setengah terpejam ketika suara pintu terbuka pelan. Aris pulang, membawa aroma wangi mobil dan udara dingin dari luar. “Kiara?” suaranya terdengar pelan, sedikit serak. Kiara membuka mata, berusaha tersenyum. “Kamu baru pulang?” tanyanya lirih.Aris mengangguk sambil menaruh tas di kursi. “Iya. Tadi jalanan macet.” Ia mendekat ke sisi ranjang, duduk di tepi tempat tidur. “Kamu kenapa? Sakit?”"Iya, sedikit demam. Soalnya punggungku muncul ruam herpes."Kiara ingin melanjutkan jawabanya dan bercerita lebih banyak dengan nada lembut, sedikit manja, berharap Aris akan memegang tangannya, atau sekadar menunjukkan rasa khawatir. Namun saat ia baru membuka mulut, Aris sudah menimpali lebih dulu, “Syukurlah kalau cuma demam. Herpes memang suka begitu, kadang bikin panas tinggi, tapi itu normal kok. Minum obat, nanti juga sembuh sendiri.” Kiara terdiam. Senyumnya pelan-pela

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 6 - Tangan yang Mendebarkan

    "Biar saya bantu..." Kiara sempat ingin menolak. Tapi Arhan sudah lebih dulu membantu. Dengan hati-hati, ia memakaikan sweater kuning itu. Jarak keduanya begitu dekat, hingga Kiara mampu mencium wangi parfum yang menempel di baju Arhan. Inilah saat melodi romantis biasanya mengalun. Mengiringi gerakan demi gerakan yang penuh kehatian-kehatian dan rasa canggung yang mendebarkan. "Oh ya... Panggil saja Kiara." ucap Kiara berusaha terlihat tenang. Sekali lagi mereka bertemu pandang. "Hm.. oke. Kiara," sahut Arhan dengan senyum tipis, senyum yang lagi-lagi membuat Kiara menunduk malu. "Kalau begitu berikan nomer HP-mu. Nanti aku akan ganti biaya rumah sakitnya." Arhan menerima ponsel yang Kiara sodorkan dan menuliskan nomornya. Merekapun berjalan keluar beriringan dalam diam. Di depan rumah sakit, Arhan membukakan pintu taksi untuk Kiara. Kiara menatapnya ragu, alisnya sedikit terangkat. “Silakan,” ucap Arhan tenang. “Aku akan mengantarmu pulang.” Kiara menggeleng pelan. “Hah?

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 5 - Sweater kuning

    Arhan berlari menyeberang tanpa memperdulikan kendaraan yang melintas. Rintik hujan yang makin deras membasahi bahunya, tapi matanya hanya terfokus pada tubuh Kiara yang terkulai di trotoar. Ia berlutut, mengguncang pelan bahu perempuan itu. Wajah Kiara tampak pucat, bibirnya kering, napasnya dangkal. Tanpa pikir panjang, Arhan melepaskan jaket yang ia kenakan dan menutupinya agar tak semakin basah. “Mbak... dengar aku, kan?” ucapnya pelan tapi cemas. Arhan menatap sekeliling dengan panik, lalu melambaikan tangan ke arah taksi yang baru berhenti di depan minimarket. “Pak, tolong bantu saya! Dia pingsan!” Dengan bantuan sopir taksi yang membukakan pintu, Arhan mengangkat tubuh Kiara ke dalam mobil. Gerimis makin deras saat pintu mobil tertutup, menyisakan suara hujan yang membasahi kaca. Di dalam taksi, Arhan menatap wajah Kiara yang terpejam di pangkuannya. Ada rasa takut yang ia sendiri tak sepenuhnya paham. 'Kenapa aku secemas ini pada seseorang yang bahkan belum aku tahu n

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 4 - Rintik Hujan yang Mulai Deras

    Pagi itu langit tampak muram. Gerimis lagi-lagi turun sejak subuh, menetes lembut di balik jendela kamar.Kiara membuka mata dengan tubuh yang terasa lemah. Wajahnya pucat, tanpa energi.Di sebelahnya, Aris, suaminya, masih terlelap. Hari itu hari Sabtu, hari di mana ia bisa bangun sedikit siang karena tidak ada jadwal di rumah sakit.Kiara beranjak perlahan, berniat menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat ponsel di meja samping tempat tidur bergetar pelan.Layar menyala, menampilkan satu nama kontak yang kini sudah tak asing lagi di matanya."Mamanya Dinda." > “Hari ini jadi kan? Dinda sejak kemarin sudah merengek minta ke rumah neneknya. Sekalian ke Puncak.” Kiara menatap layar itu tanpa ekspresi. Tapi ketika ponsel kembali bergetar, matanya refleks melirik. > “Kalau bisa jangan ajak istrimu. Takut Dinda jadi kurang nyaman menghabiskan waktu liburannya.” Jemarinya langsung menegang mengepal. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya cepat, mencoba menahan sesu

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 3- Cheesecake

    Punggung pria itu terlihat hangat. Kemeja putih yang ia kenakan membuatnya semakin terlihat tenang. Kiara berdiri dan memberanikan diri memanggil. "Permisi..." Pria itu menoleh. Saat berbalik, garis rahangnya tampak tegas dari samping. "Iya..." Tatapan mereka sempat bertemu. Cepat-cepat Kiara mengalihkan tatapannya. "Sekali lagi, terima kasih." Kiara mengulurkan tangannya, memberikan sekotak cheescake. Pria itu memiringkan kepalanya, tampak heran. "Ah... Ini sebagai ucapan terima kasih. Mohon untuk diterima," ujar cepat Kiara. "Oke, aku terima. Makasih ya." Tangannya cukup besar saat menerima kotak cheescake. sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Kiara, meninggalkan senyuman manis yang membuat hati Kiara sedikit berdesir. Senyum itu masih tersisa di benaknya bahkan setelah sosok pria itu benar-benar melangkah pergi. Kiara menarik napas pelan, lalu kembali ke arah kasir. Saat melihat Rani, pelayan kafe tadi. Rasanya Kiara ingin menanyakan kesalapahaman yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status