LOGINPunggung pria itu terlihat hangat. Kemeja putih yang ia kenakan membuatnya semakin terlihat tenang.
Kiara berdiri dan memberanikan diri memanggil. "Permisi..." Pria itu menoleh. Saat berbalik, garis rahangnya tampak tegas dari samping. "Iya..." Tatapan mereka sempat bertemu. Cepat-cepat Kiara mengalihkan tatapannya. "Sekali lagi, terima kasih." Kiara mengulurkan tangannya, memberikan sekotak cheesecake. Pria itu memiringkan kepalanya, tampak heran. "Ah... Ini sebagai ucapan terima kasih. Mohon untuk diterima," ujar cepat Kiara. "Oke, aku terima. Makasih ya." Tangannya cukup besar saat menerima kotak cheescake. sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Kiara, meninggalkan senyuman manis yang membuat hati Kiara sedikit berdesir. Senyum itu masih tersisa di benaknya bahkan setelah sosok pria itu benar-benar melangkah pergi. Kiara menarik napas pelan, lalu kembali ke arah kasir. Saat melihat Rani, pelayan kafe tadi. Rasanya Kiara ingin menanyakan kesalapahaman yang bar saja tertadi. Tapi niatnya ia urungkan. Baginya, itu bukan urusannya. Ia mengambil kembali keranjangnya, lalu berpamitan pulang. Perjalanan terasa hening. Pohon-pohon di tepi jalan masih basah sisa hujan. Anak-anak berlarian ke sekolah, tawa mereka memenuhi pandangan. Kiara menatap dengan getir. Seandainya aku bisa jadi bagian dari pemandangan itu. Mengantar anak ke sekolah, menyiapkan bekal, mengepang rambut mungilnya, dan mendengar panggilan ‘Mama’. “Seandainya aku punya satu saja...” gumamnya pelan tanpa sadar. Tak lama mobilnya berhenti di depan pagar. Di seberang jalan, Bu Retno tampak sedang menyapu halaman. “Baru pulang ngantar kue ya, Kiara?” “Iya, Bu. Pesanan rutin.” “Wah, hebat. Kalau nanti punya anak pasti bangga, ibunya pintar bikin kue, bapaknya jadi dokter.” Ucapan sederhana yang terdengar biasa untuk sebagian orang, kini terasa menancap dalam. “Amin, Bu. Doain aja ya.” Kiara tersenyum kaku. "Kalau begitu saya masuk dulu ya bu." Begitu masuk rumah, ia bersandar di dinding, menutup mata. Kapan orang-orang berhenti membicarakan hal itu? Kedua tangannya mengusap wajah. Saat usapan itu sampai di telinganya, Kiara menyadari sesuatu. Satu antingnya hilang. "Huh, ini pasti jatuh saat kejadian tadi." Ia sempat berfikir untuk kembali ke kafe. Tapi tubuhnya terasa terlalu letih. Bukan hanya karena keributan tadi. Tapi juga perasaan campur aduk yang selalu ia rasakan saat ada yang orang lain yang membahas tentang anak. Tak lama ponselnya berdering. "Halo." "Mbak Kiara, ini aku, Rani." "Iya, ada apa Ran?" "Aku minta maaf ya Mbak atas kejadian tadi. Rasanya aku malu banget," ucapnya penuh rasa sesal. "Mbak Kiara nggak mau tanya apa-apa sama aku?" Kiara sempat terdiam. "Sebenarnya ada beberapa yang ingin Mbak tanyakan, tap takut kamu malah mengira mbak ingin tahu urusan orang. Jadi... kalau kamu nggak cerita, Mbak nggak akan tanya." Tak ada jawaban. Kiara melanjutkan, suaranya lebih lembut. "Tapi... Itu hanya kesalapahaman kan? Bukan kamu yang wanita itu maksud?" Lagi-lagi tak ada jawaban. "Kalau memang sulit untuk kamu jawab. Mbak nggak maksa." Akhirnya Rani bersuara lirih. "Apa boleh Rani nanti cerita langsung saja ke Mbak Kiara?" "Hm.... Tentu saja." "Ya sudah Mbak, sekali lagi, Rani minta maaf ya," nada suaranya terdengar sungkan. Sebelum sambungan terputus, Kiara teringat sesuatu. " Oh ya Ran, kamu lihat ada anting jatuh di sana nggak?" "Anting?" "Iya, sepertinya anting Mbak jatuh di sana. Nanti aku kirim fotonya, ya." "Oke mbak Kiara." Panggilan berakhir. Kiara menatap Cermin. Melihat pantulan dirinya yang kini hanya mengenakan satu anting. Sementara itu, di salah satu lantai gedung perkantoran. Seorang pria duduk di ruang kerja bertuliskan Manajer Keuangan. Ia baru akan membuka laptop ketika pandangannya tertuju pada lengan kemejanya. Ada sesuatu yang berkilau kecil tersangkut di sana. Ia memungutnya, memutar benda itu di antara jari. Sebuah anting mungil berbentuk daun semanggi. Sudut bibirnya terangkat pelan. "Apa ini milik wanita cheesecake?" gumamnya, nyaris seperti tawa yang ditahan. Ia membuka laci meja, meletakkan anting itu di dalamnya, di samping sebuah kartu nama bertuliskan Arhan Saputra. hari itu pekerjaan tak terlalu banyak. Arhan memutuskan pulang lebih awal. Saat melewati depan kafe, langkahnya sempat terhenti. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan anting itu. Ada niat untuk menitipkannya. Tapi, entah kenapa, pikirannya berubah begitu saja. Arhan kembali menyimpannya, seolah benda kecil itu bisa ia jadikan alasan, untuk bertemu lagi dengan wanita tadi. -Dewi menatap Rani dengan antusias. “Kamu udah tahu belum, Ran, siapa teman spesial Kiara? Kalian kan udah dekat banget. Pasti dia udah cerita lah ke kamu?”Kiara langsung tersedak.“Dew—”Kini Kiara dan Dewi sama-sama menatap Rani, seperti menunggu kalimat apa kira-kira yang akan keluar dari mulutnya.Tapi Rani tak langsung merespon, ia justru menaikkan alis — pura-pura bingung.“Teman spesial?”Ia menatap Kiara sambil mengerutkan kening.“Emang iya, Mbak? Sekarang kamu punya teman spesial?”Nada suaranya lugu, seolah benar-benar tidak tahu apa-apa.Dewi langsung manyun.“Hmmm, Kirain kamu tahu.”Rani menahan senyum tipis—bukan mengejek, tapi seperti sengaja memberi Kiara waktu untuk bicara sendiri.“Wahh, aku baru dengar malah,” katanya ringan. "Kenapa Mbak Dewi tiba-tiba tanya tentang hal ini?""Hehe karena sebenarnya, aku pernah salah ngira kalau Mbakmu itu ada hubungan sama Erwin.""Owh, Mbak Dewi past cumai salah duga aja."Dewi memeluk bantal sofa dan cemberut lucu.“Ya ampuun,
Erwin akhirnya menyerah dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar membalikkan badan, ia masih sempat memanggil pelan—hampir seperti helaan napas yang putus asa.“Ran….”Rani berpaling cepat. Air matanya menggantung di ujung mata; ia tak berani menatap Erwin. Bukan karena benci—justru karena rasa rindu itu ternyata masih ada dan lebih kuat dari yang ingin ia akui.Kiara yang melihat keduanya hanya bisa menarik napas pelan. Ada sesuatu dalam cara mereka saling menghindar, tapi tetap saling menahan, yang terasa terlalu familiar baginya. Sebuah sisa cinta yang keras kepala—persis seperti hubungannya sendiri dengan Arhan yang tak pernah benar-benar sederhana.Dengan hati yang enggan, akhirnya pelan-pelan Erwin melangkah menjauh dari sana.Setelah Erwin benar-benar pergi, Rani buru-buru mengusap pipinya yang masih basah. Suasana kafe juga mulai kembali normal; para pengunjung yang tadi sempat menoleh kini sudah tenggelam lagi dalam urusan masing-masing.Kiara langsung merangkul Rani s
Di dalam mobil, Arhan menyetir dengan menyandarkan kepala, keningnya sedikit berkerut, seperti baru saja mengingat sesuatu."Kiara...." ucapnya pelan. "Wanita tadi, wanita yang hamil itu ..., bukannya dia yang pernah kerja di kafe dekat kantor, kan?"Kiara yang tadi masih menatap ke luar jendela, kini menatap Arhan. "Iya, dia Rani yang itu."Arhan hanya mengangguk, tak berani berkata lebih banyak."Kenapa? Kamu khawatir?""Enggak." Arhan langsung menggelengkan kepala. "Aku justru tadi sempat khawatir, kalau dia itu saudara kamu atau—" ucapannya menggantung, bibirnya bahkan terasa kaku jika ia harus melanjutkan sampai dengan kata 'suami'.""Dia bisa dipercaya, kok," tambah Kiara.Keheningan kembali turun, tapi perlahan tangan kiri Arhan menggenggam jemari Kiara. Dan tersenyum ke arahnya, seolah mengatakan, "kalau ada apa-apa. Aku akan selalu ada buat kamu."Kiara membalas senyum itu. Ia menggeser duduknya sedikit, mendekat ke arah Arhan, lalu menyandarkan kepalanya di bahunya.-Keesok
Kembang api masih mekar satu per satu di langit Jakarta—merah, hijau, ungu—semuanya memantul di mata Kiara, membuat malam itu seperti terasa jauh lebih berwarna.Arhan berdiri tepat di belakangnya,ia merangkul Kiara dari belakang.Pelan, dan penuh keromantisan. Kiara tidak menjauh.Kedua tangannya justru terangkat, menyentuh lengan Arhan yang melingkar di bahunya.Keduanya sama-sama diam, hanya menatap langit.Cincin di jari mereka—dua cincin berbeda—berkilat tipis terkena cahaya kembang api.Kesadaran itu menampar mereka seketika.Perlahan, Kiara menurunkan tangan Arhan dari bahunya.Namun jari mereka masih saling menggenggam—erat, seperti enggan dilepas.Dan ketika Kiara akhirnya menatap Arhan, hatinya terjun bebas begitu saja. Tak terhitung sudah berapa kali ia jatuh pada pria ini …, jatuh tanpa bisa menahan dirinya sendiri.“Kiara….” suara Arhan memanggil dengan lembut. “Aku ingin tinggal bersamamu.”Dunia Kiara berhenti.Kalimat itu bukan angin lalu. Bukan sekadar luapan emosi s
Kiara pulang ke rumah, dan seperti yang sudah ia duga, Aris tidak ada. Dalam keadaan begini, mustahil suaminya pulang. Ia pasti ikut Lestari untuk menenangkan Dinda. Kiara berdiri di ruang tamu, merasa benar-benar kehilangan arah. Tangannya sempat bergerak membuka kontak ponsel, hampir menekan nama Arhan, tapi ia berhenti. Jam segini Arhan pasti sudah di rumah bersama istrinya. Akhirnya, ia menekan nama yang sudah lama tidak ia hubungi. Ibunya. Sudah lama ia tidak bercerita apa pun kepada orang tuanya. Ia selalu bilang semuanya baik-baik saja, seolah hidupnya tetap selalu rapi tanpa masalah, tapi malam ini, ia merasa benar-benar mentok. Ada dorongan untuk sekadar mendengar suara ibunya, meski ia sendiri tidak tahu harus bercerita dari mana. “Assalamualaikum, Bu ..., Ibu lagi apa?” tanyanya pelan. “Waalaikumsalam, Ra. Ini ibu lagi masak buat nanti malam. Ada apa, Nak? Suara kamu kok kayak kurang sehat? Kamu baik-baik saja, kan?” “Kiara sehat kok, Bu." Ia berusaha tersenyum mes
Aris tiba di depan menimarket dengan napas terengah, wajahnya pucat. Begitu melihat kiara berdiri tanpa Dinda, ia langsung menghampiri dengan wajah yang terlihat emosi."Kiara! Mana dinda?! Di mana anak saya?!"Kiara membuka mulut, tapi suara tak keluar. "Mas, aku—""Kalau kamu nggak suka sama Dinda, bilang! Kalau tadi kamu sakit hati dengan omongannya bilang! Jangan malah sengaja bikin anak saya hilang kayak gini."Beberapa pengunjung yang akan masuk ke sana menoleh. Dua kasir ikut saling pandang, kaget. Suara Aris menggema di pelataran minimarket.Kiara mematung, tak bisa menjawab, bahkan hampir seperti bernapas. Kata-kata Aris seperti menampar keras.Lalu sebuah mobil berhenti mendadak di depan minimarket. Pintu terbuka cepat.Lestari turun dengan langkah buru-buru, wajahnya panik. Begitu sampai, tatapannya langsung menusuk Kiara."Mana Dinda? Ia mendekat, memeriksa sekeliling, lalu mentatap Aris.Lestari mendecak sinis, "aku udah percayain Dinda ke kamu ya, Ris. Malah kamu sembara







