Pagi itu langit tampak muram. Gerimis lagi-lagi turun sejak subuh, menetes lembut di balik jendela kamar.
Kiara membuka mata dengan tubuh yang terasa lemah. Wajahnya pucat, tanpa energi. Di sebelahnya, Aris, suaminya, masih terlelap. Hari itu hari Sabtu, hari di mana ia bisa bangun sedikit siang karena tidak ada jadwal di rumah sakit. Kiara beranjak perlahan, berniat menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat ponsel di meja samping tempat tidur bergetar pelan. Layar menyala, menampilkan satu nama kontak yang kini sudah tak asing lagi di matanya. "Mamanya Dinda." > “Hari ini jadi kan? Dinda sejak kemarin sudah merengek minta ke rumah neneknya. Sekalian ke Puncak.” Kiara menatap layar itu tanpa ekspresi. Tapi ketika ponsel kembali bergetar, matanya refleks melirik. > “Kalau bisa jangan ajak istrimu. Takut Dinda jadi kurang nyaman menghabiskan waktu liburannya.” Jemarinya langsung menegang mengepal. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya cepat, mencoba menahan sesuatu yang sejak lama ia pendam. Bola matanya memutar menahan rasa muak. Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Kiara memaksakan diri menyiapkan sarapan. Bau roti panggang dan telur yang hampir gosong memenuhi seisi dapur. Tak lama, Aris keluar dari kamar dengan pakaian santai, kaus polos dan celana panjang. Namun Kiara tahu dari raut wajah dan jam tangannya yang sudah terpasang, suaminya sedang bersiap untuk bepergian. Dengan langkah pelan, Kiara meletakkan sarapan di meja makan. Aris duduk tanpa menoleh, matanya sibuk menatap ponsel. “Hari ini aku mau ke tempat Dinda. Sekalian mampir ke rumah Ibu,” katanya datar. Kiara hanya mengangguk kecil, mencoba menyembunyikan sesak yang mulai naik di dadanya. “Kamu mau ikut?” tanyanya, suaranya terdengar seperti basa-basi. Lalu tanpa menunggu jawaban, ia menambahkan, “Tapi sepertinya kamu ada pesanan kue dari tetangga, kan?” Kiara menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Bilang saja, ajakan itu cuma basa-basi. Aku tahu, kamu memang tak ingin aku ikut. Di tengah Aris menikmati sarapan, ponselnya kembali berdering. Suara anak perempuan terdengar samar dari ujung telepon. riang, manja. “Iya, Sayang. Sebentar lagi Papa ke rumah, ya. Tunggu Papa.” Nada lembut itu menampar ruang sepi di dada Kiara. Aris meneguk minumannya cepat, lalu berdiri. Ia mengambil kunci mobil di atas meja. “Kalau begitu, aku berangkat dulu,” ucapnya singkat tanpa menatap Kiara yang kini terlihat pucat, keringat halus menetes di pelipisnya. Bahkan ia tak tak menyadari bahwa istrinya kehilangan antingnya. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan keheningan yang hanya diisi detak jam dan suara gerimis yang belum juga reda. Kiara memejamkan mata, mencoba menelan rasa yang entah sudah berapa lama ia pendam. Sementara tanpa ia tau. Ada seorang Pria yang diam-diam menanti kedatangannya. Arhan sudah cukup lama duduk berdiam di kafe menunggu Kiara muncul. "Apa hari ini tidak ada pesanan?" gumamnya dengan melihat jam di tangannya. Di waktu yang sama, wanita yang ditunggu Arhan masih merasakan tubuhnya semakin lemah. Meski begitu, ia tetap memaksakan diri untuk menyelesaikan pesanan. Ia sudah terlanjur mengiyakan permintaan tetangganya yang akan mengadakan arisan sore ini, dan menolak bukan pilihan. Namun ketika membuka lemari dapur, ia menyadari sesuatu. Butter-nya habis. Kiara menatap kosong sejenak, lalu menghela napas panjang. 'it's oke, beli sebentar saja,' pikirnya. Tangannya sempat meraih kunci di atas meja, tapi segera terhenti. Pandangannya kabur membuatnya sedikit limbung. Ia menatap kunci sebentar, lalu menurunkannya pelan, memilih memesan taksi menuju minimarket terdekat. Di dalam taksi, ia duduk bersandar, matanya terpejam setengah, mencoba menenangkan denyut jantungnya yang tak beraturan. Setelah berbelanja, langkahnya terasa kian berat. Dunia di sekelilingnya tampak berputar pelan, warnanya memudar. Keringat dingin mulai membasahi wajah dan lehernya. Dari seberang jalan, Arhan, yang kebetulan baru keluar dari kafe, melihat sosok Kiara. Sudut bibirnya perlahan terangkat, ada kilau hangat di matanya, seperti seseorang yang akhirnya menemukan sosok yang telah lama ia tunggu. Dengan refleks ia melambaikan tangan. Namun Kiara tak membalas. Pandangannya mulai buram, napasnya tersengal, dan sebelum sempat menyeberang, tubuhnya ambruk begitu saja di tepi trotoar. Tanpa pikir panjang, Arhan langsung berlari menyeberangi jalan. Wajahnya yang tadi merekah seketika menegang panik, langkahnya menembus suara kendaraan dan rintik hujan yang mulai deras.Arhan masih berdiri di tempat, pandangannya tak lepas dari Kiara yang terisak di tepi jalan. Dunia di sekitarnya terasa hening, hanya suara tangisnya yang terdengar samar di antara angin.Haruskah ia mendekat?Atau justru pergi saja, pura-pura tak melihat?Jari-jarinya mengepal pelan. Dengan wajah bimbang, ia akhirnya meraih ponsel dan menekan panggilan ke nomor Kiara.Di depan sana, Kiara menatap layar ponselnya. Ada panggilan masuk. Ia buru-buru mengapus air mata. "Halo." Suaranya berpura-pura normal, namun masih terdengar sedikit bergetar.Suara di seberang telepon, hening. Tak ada jawaban. Kiara menurunkan ponselnya dari telinga, menatap layar, memastikan apa masih tersambung panggilannya.Samar-samar, suara gemuruh kereta terdengar. Bukan hanya di telinganya, tapi juga dari seberang telepon.Keningnya berkerut, ia menoleh ke kanan, ke kiri, mencari sumber suara.Sampai akhirnya pandangan itu berhenti pada sosok pria yang berdiri tak jauh darinya, dengan ponsel yang masih di tel
Malam perlahan turun. Kiara meringkuk di ranjang, masih mengenakan sweater kuning yang diberikan Arhan. Matanya setengah terpejam ketika suara pintu terbuka pelan. Aris pulang, membawa aroma wangi mobil dan udara dingin dari luar. “Kiara?” suaranya terdengar pelan, sedikit serak. Kiara membuka mata, berusaha tersenyum. “Kamu baru pulang?” tanyanya lirih.Aris mengangguk sambil menaruh tas di kursi. “Iya. Tadi jalanan macet.” Ia mendekat ke sisi ranjang, duduk di tepi tempat tidur. “Kamu kenapa? Sakit?”"Iya, sedikit demam. Soalnya punggungku muncul ruam herpes."Kiara ingin melanjutkan jawabanya dan bercerita lebih banyak dengan nada lembut, sedikit manja, berharap Aris akan memegang tangannya, atau sekadar menunjukkan rasa khawatir. Namun saat ia baru membuka mulut, Aris sudah menimpali lebih dulu, “Syukurlah kalau cuma demam. Herpes memang suka begitu, kadang bikin panas tinggi, tapi itu normal kok. Minum obat, nanti juga sembuh sendiri.” Kiara terdiam. Senyumnya pelan-pela
"Biar saya bantu..." Kiara sempat ingin menolak. Tapi Arhan sudah lebih dulu membantu. Dengan hati-hati, ia memakaikan sweater kuning itu. Jarak keduanya begitu dekat, hingga Kiara mampu mencium wangi parfum yang menempel di baju Arhan. Inilah saat melodi romantis biasanya mengalun. Mengiringi gerakan demi gerakan yang penuh kehatian-kehatian dan rasa canggung yang mendebarkan. "Oh ya... Panggil saja Kiara." ucap Kiara berusaha terlihat tenang. Sekali lagi mereka bertemu pandang. "Hm.. oke. Kiara," sahut Arhan dengan senyum tipis, senyum yang lagi-lagi membuat Kiara menunduk malu. "Kalau begitu berikan nomer HP-mu. Nanti aku akan ganti biaya rumah sakitnya." Arhan menerima ponsel yang Kiara sodorkan dan menuliskan nomornya. Merekapun berjalan keluar beriringan dalam diam. Di depan rumah sakit, Arhan membukakan pintu taksi untuk Kiara. Kiara menatapnya ragu, alisnya sedikit terangkat. “Silakan,” ucap Arhan tenang. “Aku akan mengantarmu pulang.” Kiara menggeleng pelan. “Hah?
Arhan berlari menyeberang tanpa memperdulikan kendaraan yang melintas. Rintik hujan yang makin deras membasahi bahunya, tapi matanya hanya terfokus pada tubuh Kiara yang terkulai di trotoar. Ia berlutut, mengguncang pelan bahu perempuan itu. Wajah Kiara tampak pucat, bibirnya kering, napasnya dangkal. Tanpa pikir panjang, Arhan melepaskan jaket yang ia kenakan dan menutupinya agar tak semakin basah. “Mbak... dengar aku, kan?” ucapnya pelan tapi cemas. Arhan menatap sekeliling dengan panik, lalu melambaikan tangan ke arah taksi yang baru berhenti di depan minimarket. “Pak, tolong bantu saya! Dia pingsan!” Dengan bantuan sopir taksi yang membukakan pintu, Arhan mengangkat tubuh Kiara ke dalam mobil. Gerimis makin deras saat pintu mobil tertutup, menyisakan suara hujan yang membasahi kaca. Di dalam taksi, Arhan menatap wajah Kiara yang terpejam di pangkuannya. Ada rasa takut yang ia sendiri tak sepenuhnya paham. 'Kenapa aku secemas ini pada seseorang yang bahkan belum aku tahu n
Pagi itu langit tampak muram. Gerimis lagi-lagi turun sejak subuh, menetes lembut di balik jendela kamar.Kiara membuka mata dengan tubuh yang terasa lemah. Wajahnya pucat, tanpa energi.Di sebelahnya, Aris, suaminya, masih terlelap. Hari itu hari Sabtu, hari di mana ia bisa bangun sedikit siang karena tidak ada jadwal di rumah sakit.Kiara beranjak perlahan, berniat menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat ponsel di meja samping tempat tidur bergetar pelan.Layar menyala, menampilkan satu nama kontak yang kini sudah tak asing lagi di matanya."Mamanya Dinda." > “Hari ini jadi kan? Dinda sejak kemarin sudah merengek minta ke rumah neneknya. Sekalian ke Puncak.” Kiara menatap layar itu tanpa ekspresi. Tapi ketika ponsel kembali bergetar, matanya refleks melirik. > “Kalau bisa jangan ajak istrimu. Takut Dinda jadi kurang nyaman menghabiskan waktu liburannya.” Jemarinya langsung menegang mengepal. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya cepat, mencoba menahan sesu
Punggung pria itu terlihat hangat. Kemeja putih yang ia kenakan membuatnya semakin terlihat tenang. Kiara berdiri dan memberanikan diri memanggil. "Permisi..." Pria itu menoleh. Saat berbalik, garis rahangnya tampak tegas dari samping. "Iya..." Tatapan mereka sempat bertemu. Cepat-cepat Kiara mengalihkan tatapannya. "Sekali lagi, terima kasih." Kiara mengulurkan tangannya, memberikan sekotak cheescake. Pria itu memiringkan kepalanya, tampak heran. "Ah... Ini sebagai ucapan terima kasih. Mohon untuk diterima," ujar cepat Kiara. "Oke, aku terima. Makasih ya." Tangannya cukup besar saat menerima kotak cheescake. sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Kiara, meninggalkan senyuman manis yang membuat hati Kiara sedikit berdesir. Senyum itu masih tersisa di benaknya bahkan setelah sosok pria itu benar-benar melangkah pergi. Kiara menarik napas pelan, lalu kembali ke arah kasir. Saat melihat Rani, pelayan kafe tadi. Rasanya Kiara ingin menanyakan kesalapahaman yang