Hari-hari terus berlalu. Entah bagaimana, hubungan Safira dan Gilang semakin akrab.
Mereka sering chatingan. Gilang selalu menghubungi Safira lebih dulu dan Safira tak pernah ada alasan untuk tidak membalas pesan lelaki itu meski pun dia sibuk.
Jujur, jauh dari orang tua membuat Safira kekurangan perhatian, meski pun ibunya sesekali menelepon dan menanyakan keadaannya tiap kali. Tetap berbeda dengan jika dia serumah dengan orang tuanya. Dan perhatian-perhatian kecil yang Gilang berikan padanya membuatnya lebih nyaman. Dan yang paling membuatnya nyaman adalah cara Gilang menyikapinya. Lelaki itu memperlakukannya dengan sangat baik.
Berbeda dengan lelaki-lelaki yang Safira kenal sebelumnya. Semakin ke sini Safira semakin menyadari kalau Gilang tak seburuk yang dia pikir.
Entah kenapa Safira sering merasa senang setiap kali mendapat pesan dari lelaki itu. Meski pun awalnya dia risi dengan pesan-pesan Gilang.Mereka saling curhat, bertukar cerita satu
Kira2 nanti Viona ketemu Gilang lagi nggak ya? Apakah yang akan Viona lakukan selanjutnya? Ikuti terus kisahnya ya teman-teman. Makasih.
Viona berjalan tergesa hingga tangannya menyenggol gelas teh es entah milik siapa yang ada di tepi meja, menyebabkan isi gelas tersebut tumpah membasahi baju dan celana Gilang yang tengah sibuk makan. Tentu, tak ada yang tahu kalau Viona melakukan itu dengan sengaja. Beberapa siswi di kantin itu menoleh ke arahnya. Gilang yang tengah makan terkejut bukan main tatkala dia merasa tubuhnya dingin karena ketumpahan air dari gelas yang ada di dekatnya.Dua teman Gilang, Gio dan Farhan hanya menggeleng-geleng. "Eh, Kak, maaf, Kak. Gue nggak sengaja. Aduh maaf banget," Dan Gilang lebih terkejut lagi melihat perempuan yang tak dia kenali tiba-tiba muncul di hadapannya dan meminta maaf. Ternyata perempuan itu yang menyebabkan bajunya basah.Belum sempat Gilang menyahut, Viona dengan sigap mengusap-usap baju Gilang dengan jemarinya. "Oh, nggak papa. Serius, nggak papa," elak Gilang ketika tangan Viona terarah ke celananya lagi. Lelaki itu menj
Bel tanda pulang baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Koridor menuju pintu ke luar tampak penuh oleh siswa yang hendak pulang. Terdengar suara bercakap-cakap, sesekali tertawa. "Ciee ...." Riri tak henti-hentinya menggoda Safira yang hanya bisa tersenyum simpul. Riri sempat melihat kedekatan Safira dan Gilang di koridor depan toilet tadi. Hal itulah yang membuatnya terus menggoda sahabatnya yang selama ini di kenal tak pernah dekat dengan cowok karena pemalu. Tapi tadi Riri bisa melihat bagaimana raut wajah Safira saat berinteraksi dengan Gilang. Dia jadi semakin yakin kalau sahabatnya itu telah jatuh cinta. "Apaan, sih, biasa, aja, deh," sahut Safira, tapi dia sendiri masih tak bisa menyembunyikan wajahnya yang malu dan tak dapat dimungkiri bahwa perasaannya memang senang setiap kali mengingat moment-moment-nya bersama Gilang. Setelah memakai sapu tangannya, Gilang tak langsung mengembalikannya. Katanya, dia ingin mencucinya sendiri sebagai be
Safira menemukan bungkusan hitam menggantung di pagar kosannya. Isinya terdapat bungkusan dan teh gelas--bungkusan itu sepertinya bungkusan nasi. Gilang membelikan semua untuknya. Safira mengamati sekitarnya. Mencari keberadaan Gilang, tapi sepertinya lelaki itu memang sudah tak ada. Cewek itu pun masuk ke dalam dengan membawa bungkusan itu. Di dalam kamar, Safira mengirimi Gilang pesan. Safira: Makasih nasi gorengnya. Tau aja gue laper. Gilang: Tau dong ... Aku kan malaikat penolongmu ...Safira terpaku membaca kalimat di pesan itu.Gilang menggunakan kata 'aku kamu'. Untuk sesaat, jantungnya berdegup kencang. Tapi dia berusaha menetralkan perasaannya dan membalas pesan itu dengan tenang. Safira: Tapi sebenarnya lo nggak perlu repot-repot ngasi makanan segala. Gue jadi nggak enak. Gilang: Nggak pa-pa. Itu sebagai ucapan terima kasih gue ke lo. Gilang kembali menggunakan 'lo gue'. Safira: Terima kasih buat a
Viona menatap kerumunan para senior yang tengah asyik bercanda ria di kantin. Di sana juga ada Gilang. Lelaki itulah yang menjadi sasarannya. Viona menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Kali ini dia sendiri, tidak ada Shasa yang biasa setia menemani. "Gue harus berani. Ya, kali ini harus berhasil," ucapnya meyakinkan dirinya. Dengan segenap keberanian, perempuan itu pun berjalan mendekati kerumunan itu--seiring dengan jantungnya yang bertalu-talu--lebih tepatnya mendekat ke posisi di mana Gilang berada.Bau asap rokok yang menyatu dengan aroma makanan menguar tatkala Viona tiba di depan pintu kantin. "Kak Gilang!!" Teriakan itu menarik perhatian semua yang ada di kantin. Gilang yang tengah bersantai sambil nge-teh bersama Gio dan Farhan, seketika menatap gadis yang memanggil namanya itu. Dia lagi, dia lagi. Gilang berdiri dan mendatangi gadis itu. Keningnya berkernyit. "Lo ini kenapa, sih? Ada perlu apa la
"Gimana? Deal?" Gilang menatap Viona intens. Sementara Viona menatap lelaki itu takut-takut. Gilang menaikkan alisnya ketika melihat tak ada tanda-tanda Viona akan menjawab. "A-apa nggak ada cara lain, Kak?" tanya Viona akhirnya. Dia tampak keberatan dengan syarat yang Gilang ajukan. "Nggak ada." Gilang menjawab tegas. "Kalau lo mau jadi pacar kakak syarat yang harus lo penuhi, ya, itu. Kalau nggak mau, ya, terserah. Nggak ada yang maksa. Tapi lo juga nggak bisa maksa kakak buat jadi pacar lo, kan?" Viona terdiam menatap ke lain arah. Menimbang-nimbang syarat yang Gilang ajukan. Melihat Viona yang hanya terdiam, Gilang memutuskan untuk pergi dari tempat itu. "Kak ...." Namun panggilan dan pegangan tangan Viona pada pergelangan tangannya menghentikan langkahnya. Gilang menoleh, "gimana?" "Iya, Kak, gue mau." "Mau apa? Yang jelas, dong." "Gue mau lakuin apa yang kakak minta." Gilang mengernyit, t
"Habis ini nggak kemana-mana lagi, kan?" tanya Gilang menoleh ke Viona yang duduk di atas motornya. Gilang bisa melihat Viona yang menggeleng. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Tiwi, teman Viona. Ketika mendekati kawasan SMA Tunas Bangsa, Gilang melambatkan laju motornya. "Mampir ke sekolah dulu, yuk," ajaknya. "Ngapain?" heran Viona. Gilang hanya tersenyum miring menatap jalanan di depannya. Tiba di depan sekolah, dia langsung membelokan motornya ke gerbang sekolah, melajukannya hingga ke parkiran. Di malam hari, gedung sekolah itu tampak benderang di sebagian koridor. Sedangkan koridor lain terlihat gelap. Tidak semua lampu dihidupkan oleh penjaga sekolah. Hanya koridor tertentu yang terdapat ruang-ruang penting yang tampak terang. Viona menatap gedung itu dalam kebingungan dan tanda tanya. Setelah turun dari motornya, Gilang langsung menarik lengannya untuk masuk ke sekolah yang gelap itu. Viona yang tak kuasa bertanya
Baru saja Safira ingin bilang ke Gilang kalau dia mau menerima ajakannya untuk jalan. Namun urung. Safira rasa waktunya tidak pas. Safira juga merasa sikap Gilang agak berbeda belakangan ini, entah karena apa? Atau mungkin hanya perasaannya saja? Safira lalu melemparkan pandangan ke luar kelas, para siswa nampak berlalu-lalang bersamaan dengan Evan yang masuk ke kelas. "Lo tadi ngapain, sih? Lama banget lagi. Muka lo kenapa kusut gitu?" Safira langsung melemparkan pertanyaan beruntun tatkala lelaki itu meletakkan tas di bangkunya. Wajah Evan memang tampak kusut seperti sedang memikirkan masalah. "Lo ada masalah?" tanya Safira lagi. Tubuhnya berbalik menghadap Evan yang duduk di belakangnya. "Iya. Gue emang lagi ada masalah," sahut Evan. "Cerita aja ke gue." Safira tersenyum menatap Evan yang justru terdiam. Evan memang ada masalah dengan Fajar dan Tino, tapi dia tidak mau menceritakannya pada Safira. Safira tak boleh tahu masalahnya yang menyang
Safira termenung menatap tembok kamarnya. Pikirannya dipenuhi berbagai praduga tentang apa yang dia lihat di parkiran tadi siang. Masih terekam jelas di ingatannya, Gilang memboncengi seorang cewek menuju ke luar gerbang sekolah. Dan cewek itu sama dengan yang memanggilnya tadi pagi. Dugaan Safira bahwa cewek itu ada hubungannya dengan perubahan sikap Gilang jadi semakin kuat. Benak Safira bertanya-tanya. Siapa cewek itu? Apakah cewek itu pacarnya? Perasaan Safira seketika mencelos membayangi pertanyaan terakhir itu. Tapi, kalau dipikir-pikir rasanya tak mungkin Gilang mempunyai pacar secepat itu. Selama ini dia juga tak pernah melihat Gilang dekat dengan perempuan mana pun. Lantas siapa cewek yang diboncenginya itu? Apakah keluarganya? Atau teman biasa? Sungguh praduga-praduga tentang Gilang memenuhi otaknya sejak dia pulang sekolah tadi. Safira tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. "Apa aku tanya Gilang aja kali, ya? Dari pada pen