Share

Teror

Sepanjang perjalanan pulang, air mataku tak henti mengalir. 

Tak lagi kuhiraukan pandangan orang-orang yang menatapku penuh tanya tatkala berpapasan denganku. 

Hatiku remuk redam, namun di sudut hati yang lain, ada rasa lega disana. 

Himpitan dan tekanan yang selama ini mendera, perlahan menghilang, seiring cucuran air mata yang menganak sungai. 

Sesampai di kamar kos, kulihat Ningrum, sahabatku disana. 

Aku menghambur kearahnya, tergugu dalam pelukannya. 

"Ranti ... kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya setelah tangisku reda. 

Dia menautkan kedua alisnya,  menatap diriku yang mungkin tampak begitu acak-acakan di matanya. 

"Ningrum ... aku sudah putus dengan Zen."

Kembali aku menangis setelah menjawab pertanyaan Ningrum. 

Lalu, ku buka telepon genggamku dan memberikan padanya. 

Tampak, Ningrum begitu terkejut setelah dia membaca percakapanku dengan Aprillia. 

Apalagi setelah kuberitahu tentang statusnya yang masih sah sebagai suami April. 

"Aku tidak ingin jadi orang ke tiga, dan aku juga tidak mau dimadu," ucapku lirih. 

"Benar-benar kurang ajar. Berani sekali Zen membohongimu," Ningrum berkata sambil mengepalkan tangannya. 

Tampak sekali dia begitu marah terhadap Zen. 

"Maafkan aku, Ranti. Karena aku, kamu harus mengalami ini semua." Ningrum meraih tanganku.

"Kamu tidak salah, dan tidak perlu minta maaf. Aku yang salah, karena tidak menelusuri latar belakang Zen sebelum aku menerima lamarannya. Sungguh ... aku tidak marah atau menyalahkanmu." 

Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana aku menjelaskan kepada keluarga besarku tentang semua ini. 

Aku begitu malu untuk berhadapan dengan mereka. 

"Ranti, lihat ini!" 

Ningrum menyodorkan telepon genggamnya padaku. 

Tampak dilayar, sebuah status unggahan dari Shiva. 

Shivaroy

"Jika memang sudah ada yang lain, tak perlu mencari alasan"

Apa maksud dari status Zen? 

Apakah dia berusaha mencari kambing hitam untuk menutupi kebusukannya? 

kuserahkan kembali telepon genggam Ningrum, namun belum lagi dia menerima nya, sebuah pesan masuk kedalam teleponnya. 

Terpampang nama Zen sebagai pengirim pesan tersebut. 

Degh.... 

Jantungku berdegub lebih kencang, saat kubaca namanya. 

Ada apa dia mengirim pesan ke Ningrum. 

Ditengah kebimbangan hati, kubuka pesan tersebut. 

Dan aku lagi-lagi dibuat terkejut, sekaligus begitu marah tatkala mengetahui isi pesan tersebut. 

Sebuah foto resit pembayaran makanan yang dipesan secara online. 

Dengan tulisan yang membuat darahku mendidih. 

"Ningrum, kamu lihat ini. Aku akan membuktikan bahwa temanmu selama ini tak sebaik yang kamu pikirkan."

Beberapa detik kemudian, kembali masuk pesan yang lain dari Zen. 

Kali ini sebuah bukti tranfer sejumlah uang yang pernah dia kirim padaku. 

Jangan berpikir berjumlah puluhan juta, karena jelas tertera di resit tersebut nominal angka sebesar 150.000 rupiah. 

Aku ingat, waktu itu dia memberikan uang itu untuk membeli makanan lewat gofood. 

Melihat wajahku yang memerah, Ningrum mendekat dan melihat apa yang aku lihat di dalam pesannya. 

"Benar-benar keterlaluan. Ngasih uang receh buat mentraktir calon istrinya pun dia ungkit dan sebarkan ke semua orang!"

Ningrum berkata setengah berteriak saking geramnya. 

Sementara aku, masih termangu. Seolah tak percaya dengan semua yang baru saja terjadi. 

Laki-laki seperti apa sebenarnya dirimu, Zen. 

Saat aku telah mengambil keputusan untuk meninggalkanmu, kamu justru mulai menerorku dengan pesan yang kamu kirim ke teman-temanku. Apa yang dia inginkan dariku? 

Ku buka telepon genggamku, bermaksud mengecek apa saja yang dia tulis tentangku di media sosial. 

Mataku terbelalak tak percaya, saat sebuah status lewat berandaku. 

Sebuah status yang di unggah beberapa menit yang lalu.

Shivaroy

"Wanita picik, setelah dapat pengganti, dia campakkan aku"

Status singkat Zen, yang membuat aku bertanya-tanya dan diliputi perasaan tidak nyaman. 

Untuk siapa status itu dia tujukan? 

Bukankah aku adalah wanita yang baru saja memutuskan hubungan dengannya?

***

Dua hari setelah kuputuskan hubungan dengan Zen, saat itu pula, kubulatkan tekadku untuk membuang semua kenangan tentangnya.

Kututup semua akses komunikasi dengan nya, termasuk memblokir akun-akun media sosial yang dia punya. 

Namun sepertinya aku harus menunda keinginanku tersebut. 

Walau aku sudah menutup semua komunikasi dengan Zen, ternyata hal tersebut tidak membuatnya sadar dan mengakui kesalahannya. 

Justru, hal tersebut dijadikan alat untuk melakukan teror terhadapku. 

Pernah suatu hari, Ningrum menunjukkan screen shot sebuah postingan yang dia unggah di salah satu akun media sosialnya. 

"Apa yang kamu banggakan? Dasar perempuan matre?"

Tulisnya.

Kucoba untuk tidak menghiraukan postingan ataupun sindiran Zen di media sosial, namun kesabaran sekali lagi diuji tatkala dia mulai meneror temanku satu persatu.

"Ranti, maaf, ya, aku sekarang jarang nimbrung di status kamu. Bukannya sombong, tapi aku hanya ingin menjaga persahabatan kita."

Sebuah pesan dari Rudi, salah satu temanku saat itu. 

"Hey ... apa maksudnya ini. Kamu tidak sedang menjaga jarak denganku, kan?" balasku. 

Beberapa saat kemudian, sebuah pesan dengan gambar pesan yang dia screenshot aku terima. 

Ternyata, Zen mengirim pesan kepada Rudi untuk menjauhiku. 

Bahkan, dalan pesan tersebut terdapat kata-kata kasar yang dia tujukan kepada Rudi, dan menuduhnya sebagai biang kerok atas keputusanku meninggalkannya. 

Sebuah tuduhan yang membabi buta dia tujukan pada Rudi, hanya karena kami sering bercanda di komen. 

"Maaf kan aku, ya Rud. Gara-gara aku, kamu jadi terseret dalam masalahku."

Kukirim pesan balasan pada Rudi, sekaligus meminta maaf atas ketidak nyamanan yang dia terima karena ulah Zen. 

****

Minggu pertama tanpa Zen, tak ada yang berubah dalam hidupku. 

Walau masih tersisa perih luka karena kebohongannya.

Drrttt....drrtt...

Sebuah pesan masuk.

Ternyata dari Ningrum, yang dia kirim kedalam chat grup. 

"Gimana nich, apakah ada dari kalian yang mendapat teror dari seseorang?"  tulis Ningrum. 

"Aku dapat, mau tau ga kalian?" Rudi membalas. 

"Aku juga dapat nich, banyak makiannya woii ...." Andika ikutan membalas. 

"Kalian bahas apa sih?" tanyaku polos.

"Mantan kamu yang gagal move on, meneror kami, Ranti." Andika menjelaskan.

Degh....

Walau aku sudah menduga ini akan terjadi, namun tetap saja aku tak bisa menyembunyikan rasa kaget yang bercampur kesal dan amarah. 

"Ranti, coba cek komen di postingan baru kamu, Zen berantem sama Andika tuh," perintah Ningrum. 

Tak sabar, ku klik akun media sosialku. 

Kulihat, ada beberapa komen di status yang belum lama aku posting. 

Kulihat, teman-temanku mengisi kolom komen dengan candaan mereka, menyemangatiku untuk melanjutkan hidup dan melupakan masa lalu, sesuai dengan tulisan yang aku unggah barusan. 

"Sepandai-pandai menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga" 

Tulisku dalam sebuah postingan. 

Namun, ada satu akun yang baru kali ini kulihat. 

Ternyata, itu adalah akun baru milik Zen. 

Lagi-lagi, dia menggunakan akun lain untuk mengikuti dan memantauku melalui media sosial. 

Dan yang lebih memalukan, Zen memaki semua teman-temanku dengan mengatakan bahwa mereka semua munafik. 

Bahkan dia tak segan menuduh Andika sebagai selingkuhanku.

"Kalau kamu mau jalan sama Miranti, pastikan kantong kamu tebal," sindir Zen dalam komen.

"Sebagai laki-laki, wajib mentraktir gadis yang diajak jalan atau keluar, Bang. Kalau perlu, belanjakan dia. Jangan disuruh bayar sendiri-sendiri," balas Andika. 

Karena perdebatan di komen makin panas, maka, aku mengunci postinganku. 

Sungguh, aku sangat malu dengan apa yang dilakukan Zen. 

Bahkan sekarang, dia mengungkit apa-apa yang pernah dia beri padaku. 

Bahkan sekedar membelikan makanan pun dia beberkan di publik

Maka, ku buka blokiran di aplikasi pesan. 

Aku ingin menuntaskan masalah yang sepertinya belum dianggap tuntas olehnya. 

"Mas Zen, tolong hentikan terormu pada teman-temanku. Ini adalah masalah kita berdua."

Ku tekan tombol kirim. 

Tak berapa lama, terlihat dua contreng biru disana. 

Ting.... 

"Akhirnya kamu membuka blokirannya."

Balasnya. 

"Apa maumu, Mas?" balasku lagi. 

"Aku ingin kita kembali seperti semula. Beri aku kesempatan sekali lagi." 

"Maaf, tidak bisa. Sudah bilang, bahwa aku tidak mau menjadi orang ketiga ataupun dimadu. Keluargaku tidak akan pernah setuju."

"Baiklah kalau begitu, kamu lihat saja."

"Kamu mengancamku?"

"Menurutmu?"

Kukepalkan tanganku, dengan gigi gemeletuk, mencoba menahan amarah yang terasa sampai ke ubun-ubun. 

Berani-beraninya dia mengancamku. 

Pesan terakhirnya tidak aku balas, namun aku kembali memencet tombol blokir di pengaturan. Karena aku tidak akan membuat kesepakatan apapun dengan Zen. 

Kusimpan semua bukti percakapanku dengan Zen, sebelum kuhubungi nomer pengacara keluarga kami.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status