BAGIAN 46
POV ZULAIKA
GARA-GARA ANTING
Setelah makan bersama dan memberiku hadiah, Jo kemudian mengajak jalan-jalan mengitari mall. Cowok itu dengan pedenya menggandeng tanganku. Aku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bagiku ini adalah bonus buatnya sebab sudah terlalu baik di siang Minggu yang begitu menyenangkan.
“Kita beli baju mau nggak?” Jo tiba-tiba bertanya saat kami melewati sebuah retail yang menjual segala jenis pakaian serta sepatu. Retail tersebut memiliki harga standar dan kualitas yang tidak buruk-buruk amat. Aku juga sering dibelikan Papi baju-baju di sini saat orangtuaku belum berpisah.
“Nggak usah. Uangmu nanti habis,” cegahku sambil menarik tangan Jo. Cowok i
BAGIAN 47POV ZULAIKASASARAN SELANJUTNYA ADALAH KIKAN Dengan perasaan takut-takut, aku melangkah pelan ke arah Mami. Kuberanikan diri untuk duduk di sebelahnya, meski jantungku deg-degan luar biasa. Tampak wajah Mami sudah jutek. Kedua matanya menatap tajam ke arahku, seakan tak mau melepaskan aku dari terkamannya. “Dapat anting dari mana, kamu?” Mami menyibak rambutku. Memegang ujung daun telinga sambil mendekatkan wajahnya. “Ini anting-anting jualannya mama Kikan, Mi. Bahan silver. Aku dikasih sama beliau tadi.” Kujawab pertanyaan Mami dengan mencoba untuk tetap tenang dan percaya diri. Kuberanikan diri untuk menatap kedua matanya yang menelisik tajam, meski sempat terbesit r
BAGIAN 48POV ZULAIKASEBUAH IDE CEMERLANG Dengan uang hasil pemberian Jo, aku mengirimkan Kikan dua cetak pizza ukuran besar dengan topping super lengkap. Tak lupa juga kukirimkan beberapa minuman ringan dan salad buah. Semoga dengan makanan yang kukirim, Kikan bakalan semakin lengket. Aku akan berusaha mati-matian mengambil hati anak itu. Sudah terususun ragam rencana di kepala untuk memanfaatkan Kikan semaksimal mungkin. Kalau perlu, dia hanya dekat kepadaku, tak perlu dekat dengan Dinda. Terkecuali, si Dinda mau diajak kerja sama. Dinda sih, anaknya fleksibel sebenarnya. Sama seperti Kikan. Orangnya baik, penuh kepositifan, berprestasi, dan lembut. Sama polosnya seperti si Kikan. Akan tetapi, Dinda punya banyak teman di luar sekolah kami. Takutnya, kalau terjadi sesuatu hal kepada D
Bagian 49POV ZULAIKAMENDADAK JANTUNGAN AKIBAT KEDATANG DADDY“Iya, sudah aku maafin,” jawabku dengan nada lembut sambil mengarahkan senyum kepada Kikan maupun Dinda. Tampak keduanya bermuka lega. Mereka sama-sama mengeratkan rangkulannya ke tubuhku, seakan takut kalau-kalau aku marah lagi.“Kita langsung ke kantin, ya. Aku juga mau bagi-bagi barang, nih. Kemarin ditraktir banyak barang sama Papi, tapi kayanya aku nggak bisa bawa semua ke rumah. Takut Mami tahu,” ujarku kepada Kikan, karena dia yang tahu awal kebohongan yang kuutarakan semalam. Gadis berambut keriting yang dikuncir kuda itu langsung mengangguk paham.“Lho, Ika. Ini kan, pemberian papimu. Masa kamu mau bagi-bagikan ke kita? Lagian, kenapa mamimu harus marah segala?” Dinda melayangkan protes kritisnya. Kikan pun buru-buru menyela sang sahabat.“Hus, kamu belum paham ceritanya, Din!” bentak Kinan dengan nada yang ag
BAGIAN 50POV ZULAIKABARA ASMARA “Keterlaluan kamu, Ika! Sekasar itu kamu berucap kepada Mami!” Mami memukul meja dengan telapak tangannya. Seketika menimbulkan bunyi krompyang akibat kaca meja yang menghentak beberapa perlengkapan makan di atasnya. “Percayalah padaku. Jiwa Mami memang sedang terganggu.” Setelah puas mengucapkan kalimat tersebut, aku buru-buru masuk ke kamar. Membanting pintu kuat-kuat hingga rasanya rumah ini seketika menggelegar seperti kena gempa. Kurampas tas dari atas meja belajar, memanggulnya di atas kedua pundak, kemudian keluar dari kamar secepat kilat. Sebelum pergi,
BAGIAN 51POV ZULAIKAJO MEMBONGKAR SEMUANYA Hampir pukul setengah satu siang aku tiba di depan gedung apartemen milik Daddy. Langkahku rada gontai tatkala turun dari taksi yang kutumpangi. Bukan karena hendak berjumpa dengan lelaki itu, tapi sebab pikiran ini tertuju kepada banyak hal yang tiba-tiba saja membuatku super galau. Satu sisi aku ingin sekali mengabari Jo kalau aku tengah berada di apartemen. Aku mau jumpa dengannya, sebab minggu lalu adalah kali terakhir pertemuan kami. Namun, di satu sisi lainnya, aku masih saja teringat akan perlakuan manis dari Bara, si ketua kelas. Meskipun masalahnya sepele, tapi mengapa sangat membekas di hati, ya? Ah, sialan! Aku memasuki lantai satu dan berjalan di ruang lobi dengan perasaan takut-takut. Tumben sekali ada banyak orang di sini. Beber
BAGIAN 52POV ZULAIKATEBUSAN UNTUK NYAWA PAPI Ponsel yang tergeletak di atas karpet tersebut bergetar lagi. Diriku yang tengah syok luar biasa dengan napas yang tercekat, semakin merasa gelisah tatkala memperhatikan benda pipih dengan softcase warna hitam tersebut. Tertera nama Jo pada layar ponselku. Ya Tuhan, anak itu …. Dia benar-benar membuatku seakan tak mampu berpijak lagi ke dunia ini. Jawaban apa yang harus kuberikan kepadanya? Kubiarkan ponsel itu terus bergetar. Berharap jikalau Jo menghentikan panggilannya. Akan tetapi, dugaanku sungguh meleset. Lelaki itu pantang menyerah dan terus menelepon. Kegelisahanku sudah berada di puncaknya. Dengan tangan yang gemetar, kuraih ponsel yang berada beberapa j
BAGIAN 53POV ZULAIKADUA KALI DITIMPA MALAPETAKA “T-ti-dak, Dad. A-aku … akan mengusahakannya,” ucapku tergagap-gagap seraya berjanji kepada Daddy. Pria tua bangka yang telah menindih tubuhku tersebut kini menatap dengan mata elangnya. Tajam sekali. Aku kini semakin gemetar ketakutan. “Nyawamu akan melayang kalau kamu berbohong! Ingat itu, Sweetheart,” ancam Daddy sambil meremas kedua pipiku dengan jemari gendutnya. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Air mata ini belum juga kering, sementara kedua kakiku sudah lemas luar biasa. Belum lagi sesaknya napas akibat dadaku yang tertindih oleh t
BAGIAN 54POV ZULAIKAKIKAN MASUK PERANGKAP “Bee, maafkan aku ….” Jo berkata lirih sambil merangkul tubuhku. Aku hanya diam saja. Menatap nanar pada langit-langit kamarnya yang dipasangi lampu kristal besar bewarna hangat. Hatiku sudah telanjur beku karena perlakuan Jo lima menit lalu. Tanpa pemanasan, tanpa cumbu rayu yang mesra, dia melakukannya begitu saja dengan tempo yang sangat cepat. Kata maaf yang dia ucapkan barusan menurutku sangat tak relevan dengan tingkah lakunya yang menyebalkan. Apa gunanya minta maaf setelah nasi menjadi bubur? “Hei, kamu memaafkanku, kan?” Jo mendekatkan wajahnya kepadaku. Lelaki itu mengecup pipiku mesra, seolah aku mengizinkan dia untuk melakukan semua tindakan tak terpujinya tersebut.&nbs