“Al, Za. Mau ikut gak, kita mau pergi ke luar buat cuci mata!” ujar Mama dari balik pintu.Reza melihat ke arahku dan menggeleng.“Iya, Ma. Kita ikut!” teriakku dari dalam. Reza menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Aku terkikik geli melihat dia yang seperti anak kecil.“Ayo cepet, Nak. Putrimu sudah menunggu!” ujar Mama lagi.Aku bercermin merapikan penampilanku. Mengoles lipstik yang sudah mulai memudar. Mengambil tas yang tergeletak di atas kasur, lalu berjalan menghampiri pintu.“Al, di sini sajalah, biarkan mereka saja yang pergi.” Reza memegang sebelah tanganku. Aku menggeleng.“Aku ingin cuci mata,” kataku dengan mengedipkan sebelah mata.Pada akhirnya, aku dan Reza pun keluar. Ternyata Mama, Papa dan Thalita sudah hendak berangkat dengan menggunakan mobil Papa.“Hey, kalian mau ikut juga?” tanya Papa.“Iya, Aletta yang pengen,” ujar Reza.“Yasudah, pakai mobil Papa saja. Kamu yang nyetir, Za. Biar Papa duduk di belakang sama Thalita dan Mamamu.”Semakin ditekuklah wajah su
Jatuh cinta lagi atau mungkin puber kedua yang saat ini aku rasakan. Duniaku kembali berwarna setelah beberapa waktu mendung menyerang. Kini kabut hitam telah pergi berganti oleh indahnya pelangi.“Al.”“Hmm.”“Kau tidur?”“Tidak.”“Kenapa diam saja, apa yang sedang kau pikirkan? Jangan terlalu memikirkan aku, Al. Aku di sini dan akan tetap seperti ini,” ujar Reza yang langsung menggenggam tanganku.“Jangan begini, Za. Kamu sedang menyetir.” Kutarik kembali tanganku dari genggamannya.“Tahu, siapa bilang aku lagi berkuda. Aku hanya ingin merasakan indahnya menggenggam masa depan.” Aku terkekeh dan Reza mengambil lagi tanganku dan menautkan jarinya dengan jariku.Jalanan mulai menggelap karena kami pulang dari rumah Mama sehabis magrib, dan kami hanya pulang berdua, karena Thalita yang menolak untuk dibawa pulang. Dia bersikeras ingin menginap di rumah Mama, meski aku dan Reza sudah membujuknya.“Aku harus ke klinik sebentar, Al. Apa kau mau ikut, atau mau menungguku di apartemen?” Set
Pagi-pagi sekali sekali aku dan Reza sudah kembali ke rumah. Aku bersiap untuk pergi ke kantor, dan Reza pun bersiap untuk pergi ke kliniknya.“Al, ingat ya nanti kita harus pergi ke acara reuniku. Kamu harus ikut,” ujar Reza disela sarapan kita.“Tidak bisa janji, Za. Akan banyak pekerjaan hari ini. Apalagi kemarin aku tidak masuk kerja, pastinya pekerjaanku akan sangat menumpuk, mungkin aku akan lembur,” kataku menjelaskan.“Lembur kerja, apa lembur tidur di atas rooftop?”Aku berhenti mengunyah saat Reza bertanya. Aku menyimpan sendok dan garpu di atas piring. Kedua tangan aku lipat di atas meja dengan mata melihat ke arah Reza.“Kamu tahu waktu itu aku berada di atas rooftop?”Reza mengangguk.“Kamu tahu aku tidur?” tanyaku lagi, dan Reza kembali mengangguk.“Kamu datang ke sana, dan melihatnya sendiri?”“Iya, aku tahu kamu di sana, tahu kamu tidur di sana, dan tahu kalau dirimu ditemani oleh seorang pria yang setia menjagamu,” ucapnya dengan menyimpan sendok yang sedari tadi dia
“Aletta tunggu, Al!”Tidak aku pedulikan Reza yang terus berteriak memanggilku. Yang aku inginkan adalah pergi sejauh mungkin. Mengubur semua rasa yang telah tumbuh untuk Reza. Baru kemarin dia membisikkan kata cinta di telingaku, dan kini dia sudah menyakitiku.Jadi ini alasan dia ingin aku datang menghadiri pesta reuninya. Bukan untuk memperkenalkanku pada semua kawannya, tapi ingin menunjukkan bahwa dia telah berhasil menipuku.Mengatakan cinta padahal dia ingin aku terluka. Mengatakan rindu, padahal nyatanya semua palsu. Sayang yang dia katakan mampu membuatku candu, tapi pada akhirnya candu itu membunuhku.Aku mengusap pipiku yang basah karena air mata. Aku berlari ke parkiran dan mencari di mana mobilku berada.“Pak, Pak Ari buka!” Aku berteriak dengan menggedor kaca mobil, tapi rupanya Pak Ari tertidur dan tidak bisa mendengar teriakanku.“Al, tunggu!” Reza memegang pergelangan tanganku.“Lepas.” Aku menepis tangan Reza dengan kasar. Rasanya aku muak berhadapan dengan pria muna
Tidak ada kata balasan lagi dari luar. Mungkin dia lelah dan akhirnya pergi? Itu lebih baik. Entah berapa lama aku berada di dalam kamar mandi. Rasanya air hangat pun sudah tidak menghangatkan tubuhku. Aku mulai kedinginan dan sebentar lagi akan menggigil. Aku membuka bajuku dan memakai kimono handuk yang aku bawa. Aku keluar dari kamar mandi dengan mata yang memerah karena menangis. “Al, kamu kedinginan, Sayang?” Rupanya dia masih berada di sini. Pakaian yang basah tadi, sudah dia tanggalkan dan menggantinya dengan yang kering. Reza menghampiriku hendak merangkul tubuhku. Namun, dengan cepat aku menghindar dan menjauh darinya. “Sudah aku bilang, pergi dari sini,” kataku penuh dengan penekanan. “Aku akan menjelaskan semuanya, Al. Aku tidak mau kamu salah paham. Apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu bayangkan. Wanita tadi bukan Lolita, dia Dokter Lita temanku.” “Cukup! Aku tidak mau mendengarnya lagi. Pergi, atau aku akan berteriak sekencang mungkin.” Aku menatap mata Rez
Aku bangkit dari dudukku dan berlari ke depan.“Thalita!!”Aku mengembuskan napas kasar saat sudah tidak ada lagi mobilku di sana. Mereka benar-benar meninggalkanku. Aku kembali ke meja makan, rupanya Reza sudah bersiap untuk pergi ke klinik.“Ayo berangkat, biar aku yang mengantarmu ke kantor,” ajak Reza. Aku melihatnya sebentar lalu kembali fokus pada ponsel.“Aku tidak ingin pergi ke kantor. Berangkat saja,” kataku tanpa menoleh.Reza mendesah, “Gara-gara tidak ingin satu mobil denganku, kamu lebih memilih untuk tidak pergi ke kantor, Al? Kamu kekanak-kanakan, Aletta.”Setelah berucap, Reza bangkit dan pergi. Aku menatap kepergiannya dengan menekuk wajah. Dia tidak lagi membujukku, apa dia benar-benar sudah lelah menghadapiku?“Bu, tidak baik mendiamkan masalah, masalah itu harus dihadapi, bukan ditinggal pergi. Selesaikan dengan bicara dari hati ke hati.”Aku mendongak melihat Bi Wati yang sedang membereskan piring bekas makanku.“Bibi tahu dari mana, saya dan suami saya sedang pu
Tanpa kata lagi, aku pun duduk di kursi yang ditunjuk oleh wanita muda tadi.“Ibu, Ibu Aletta ingin bertemu Bapak?” tanya seorang lelaki yang baru saja masuk.“Iya,” kataku dengan senyum ke arahnya. Dia adalah Dimas, supir ambulan di sini. Dia mengenaliku karena dulu dia yang membawa almarhum suamiku ke rumah sakit.“Mbak Lani, ini Ibu Aletta, istrinya Dokter Reza,” ujar Dimas pada si resepsionis.“Oh, maaf Ibu, saya tidak tahu kalau Ibu istrinya Dokter Reza. Mari, Bu saya antar ke ruangan Bapak,” ujarnya tidak enak. Dia keluar dari mejanya dan menghampiriku.Aku pun mengikuti langkahnya yang membawaku ke ruangan Reza. Setelah sampai di depan ruangan suamiku, Lani pamit untuk kembali ke tempat kerjanya.Aku membuka perlahan pintu dan masuk ke dalam. Kursi dan meja kerjanya kosong, Reza tidak ada di sana. Tapi aku bisa mendengar suara seseorang dari balik tirai penyekat.Dadaku bergemuruh saat telingaku menangkap ada suara seorang perempuan juga di balik tirai itu.“Kamu, kok waktu itu
“Permisi,” ucap seorang pria yang masuk ke dalam ruangan. Kami semua melihat ke arah pria paruh baya itu. Dia tercengang saat tatapan kami beradu. Dia kan ....“Ibu Aletta ada di sini? Maaf, saya lancang telah masuk tanpa mengetuk pintu,” ujar pria itu membungkukkan badan.Dia adalah Pak Handi—salah satu satpam di kantorku. Yang aku herankan ialah, kenapa dia datang ke sini?“Tidak apa-apa. Apa Pak Handi sakit?” tanyaku pada pria tua itu.“Oh, tidak, Bu. Saya kemari ingin menjemput Lita, dia anak saya. Maaf, saya tidak bisa masuk kerja karena harus mengantarkan anak saya berobat dulu,” ujar Pak Handi menjelaskan.“Tidak apa-apa, saya mengerti, Pak.” Aku memberikan senyum ramah kepada karyawanku ini.Aku melihat Lita yang wajahnya berubah tidak suka saat Pak Handi datang, apalagi Pak Handi berkata begitu sopan padaku. Ternyata wanita angkuh di sampingku ini adalah anak dari karyawanku. Aku kira dia anak pengusaha atau konglomerat, karena sikap dan penampilannya yang jauh dari kata sede