Share

Masa lalu

Begitu spesialkah tamu itu sampai harus dimasak begini banyak. Bi Inem tersenyum kala melihatku terbengong di dekat meja. "Non, kenapa bengong?" tegur Bi Inem. 

"Jarang-jarang Bibi masak menu segini banyak, lauknya juga istimewa. Enak banget, Bi!" pujiku sambil mengambil sepotong daging lalu memakannya. 

"Biasa aja, Non! Oh iya, Non Ayu ambilkan makan untuk ibu sekarang. Jangan sampai dilihat Nyonya," pinta Bi Inem. 

"Oke, makasih Bi," ucapku segera mengambil piring beserta nasi dan lauknya. Sengaja aku ambil sepiring lagi lauknya agar Ibu kenyang memakannya. 

Keluar dapur belum nampak batang hidung mertua. Aman, aku masuk ke kamar ibu dan meletakkan nasi di meja. Aku tuntun beliau ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudhu. Mengurus ibu dulu sebelum tamu datang, keluar dari kamar mandi kembali aku tuntun. 

Berpapasan dengan mertua yang akan ke dapur, melihatku menuntun ibu. Kemudian berhenti lalu berkata, "Ingat yang Mama bilang tadi!" tegurnya. 

Aku mengangguk kemudian membantu ibu duduk di kursi dan memakai mukena. Ibu sholat sambil duduk, sambil menunggunya hingga selesai aku pun keluar mengambil air minum. 

Terdengar bel berbunyi dan salam dari luar. Kulihat mertua dan Mas Lucky berjalan menuju pintu. Setelah pintu terbuka, aku mendengar suara wanita. Jangan-jangan memang Maya, penasaran lalu mengintip dan syukurlah bukan Maya. Mas Lucky celingukan keluar dan saat tamu sudah masuk semua ke dalam, wajah Mas Lucky tertunduk kecewa. 

Dari jauh aku cekikan melihat Mas Lucky, rasain! Emang enak dibohongi, batinku menyengir. Kembali aku perhatikan tamu, sepertinya satu keluarga. Seorang wanita dan lelaki paruh baya lalu wanita muda di sebelahnya mungkin anaknya. 

Tunggu! Wanita itu, bukankah itu dia? gumamku shock. 

Menggosok mataku agar bisa melihat dengan jelas. Ya, itu benar-benar dia. Tapi ngapain dia kesini, bareng orangtuanya lagi. Dia-kah tamu spesial yang dibilang mertua. Oh Tuhan, tak mungkin kalo mertua ada hubungan dengannya. 

Soalnya selama menikah dengan Mas Lucky, baru kali ini aku melihatnya. Kalo tau dari dulu, aku pasti akan berpikir ulang saat Mas Lucky mau menikahiku. Nasi sudah menjadi bubur, daripada mundur aku hadapi saja. 

"Ayu! Ngapain kamu melamun di situ?" tegur Mas Lucky menepuk bahuku. 

Sesaat aku gelagapan, lalu menoleh padanya. "Nggak apa-apa, cuma ingin lihat tamu yang datang. Maya kok nggak ada ya!" kataku pura-pura celingukan. 

"Ah, kamu udah bohongin Mas. Ternyata Om Haris dan Tante Mona yang datang," keluh Mas Lucky kecewa. 

Aku terkekeh melihat raut wajah Mas Lucky, tapi aku penasaran apa hubungan tamu itu dengan mereka. Lantas, sebelum Mas Lucky kembali keluar aku cekal tangannya. 

"Mas, siapa sebenarnya tamu itu kok aku nggak pernah lihat?" tanyaku ingin tau. 

"Oh, mereka sepupu jauh Mama. Satu kakek lain nenek, ayo ke depan biar kenal sendiri," ajak Mas Lucky. 

"Mas duluan aja, aku masih mau ambilkan ibu minum," kataku menolak seraya berjalan ke dapur padahal aku ingin menghindar. Jika bisa tidak bertemu dia. 

Saat tamu akan ke ruang makan, cepat-cepat aku masuk ke kamar ibu. Gawat kalo sampai wanita itu tau aku di sini. Bisa-bisa rencana gagal kalo dia ikut campur. 

Pintu kubuka lalu menutupnya pelan dan mengunci. Ups, syukurlah! Ibu yang melihat gelagat aneh diriku heran. "Kenapa, Yu? Kok ngumpet-ngumpet gitu?" 

"Nggak apa-apa, Bu! Hanya Ayu nggak ingin ketemu tamu yang datang itu," jawabku sambil meletakkan jari di telunjuk agar ibu tidak bersuara keras. 

"Memang siapa tamu itu?" tanya Ibu lagi. 

"Seseorang yang sangat Ayu benci, Bu! Dia __" 

"Ayu ... Kemari, kenalkan tamunya!" teriak mertua memanggil dari luar sebelum aku sempat melanjutkan bicara. 

Huh, Mama mengganggu saja. Kenapa mesti memanggilku sih! Pakai teriak segala, kan malu tuh sama tamu, batinku dongkol. 

"Sudah sana temui tamunya, biar besan nggak marah," tukas Ibu menyuruh. 

Aku mengangguk lalu membuka pintu, mertua masih berdiri di depan pintu dengan mata melotot seakan mau menerkam. 

"Kamu ini gimana, sih! Udah tau ada tamu bukannya menyambut malah ngumpet!" protesnya. 

"Apa Mama nggak melarang Ayu keluar seperti ibu?" tanyaku pura-pura polos. 

"Nggak, cuma ibumu yang Mama larang. Sudah sana, mereka pada tanyain kamu. Awas jangan ungkit soal ibumu dan kejadian tadi!" ancamnya sambil melengos pergi. 

Setelah menutup pintu, aku tenangkan debaran jantung sebelum melangkah. Semoga saja wanita itu tidak mengenalku. Tiba-tiba, aku dapat ide lalu bergegas mengambil sesuatu di lemari kecil. 

Dengan tersenyum aku mendekati meja makan, di situ mereka sudah duduk. Mertua mendelik melihatku, begitu juga Mas Lucky.  

"Saya Ayu, Om Tante dan ini siapa?" tanyaku sambil menyalami mereka. 

"Ini anak saya, Terry. Kamu kenapa pake masker?" tanya Om Haris heran. 

"Maaf Om, saya lagi flu. Nggak enak kalo nanti menular pada kalian," kataku sedih lalu duduk di sebelah Mas Lucky. 

"Sejak kapan kamu flu? Bukankah tadi baik-baik aja," lirih Mas Lucky heran. 

Mendengar Mas Lucky bicara, semua melihat ke arahku. Jangan sampai mereka tau aku cuma bersandiwara. Terlebih mertua terlihat tidak senang karena terus melototi diriku. 

Demi menutup penyamaran agar sempurna, aku pun batuk dan batuk. Suasana makan jadi tidak nyaman karena suara batuk yang keluar dari mulutku. 

"Kalo batuk, pergi sana! Jangan di sini, membuat hilang selera makan aja!" keluh Terry dengan kasar. 

"Hust, kamu nggak boleh gitu! Malu sama Bude Ratna," tegur Tante Mona pada Terry. 

"Ayu, kalo kamu nggak enak badan istirahat aja di kamar," kata Om Haris menengahi. 

"Baiklah, Om! Saya akan ke kamar dulu. Kalian nikmati aja makan malamnya," ucapku sambil bangun. 

Saat aku menuju kamar, terdengar percakapan mereka. Sepertinya mertua pun marah dan tidak menyangka aku akan menemui tamu dengan memakai masker. Om dan Tante hanya menjawab singkat dan Terry ngedumel tak jelas. Sedangkan Mas Lucky cuma diam saja, hatinya pasti merindukan Maya. 

Aku bisa bernafas lega saat sudah di kamar. Hampir saja ketahuan kalo aku tidak cepat dapat ide. Gara-gara Mas Lucky yang terlalu kepo juga, untungnya mereka percaya kalo aku benar batuk. 

Berdiri dekat jendela yang terbuka membuat rambutku tergerai terkena hembusan angin. Teringat kembali masa lalu, saat itu aku yang dipercaya bos menjadi manajer di sebuah perusahaan barang impor. Dengan senang hati aku pun menerima jabatan itu. 

Sudah tiga tahun aku bekerja sebagai kepala bagian gudang. Kerja kerasku membuahkan hasil, hingga diangkat sebagai manajer. Teman-teman kerja begitu senang dan memberi selamat padaku. Namun, tanpa kuduga ada seseorang yang tidak menyukai. 

Entah bagaimana, dia memfitnah diriku telah menggelapkan barang yang memang hilang dalam jumlah banyak. Tak ayal, bos pun marah besar dan memecat diriku. 

Belakangan aku baru tau setelah teman dekatku, Desi memberitahu siapa sebenarnya yang memfitnahku. Sore itu aku kembali mengunjungi perusahaan untuk bertemu Desi. 

Desi lalu menarik tanganku dan menunjuk seseorang yang sedang bicara pada mantan bos. "Lihat, Yu! Dia yang sudah memfitnah kamu. Sekarang dia mendekati dan merayu bos agar naik jabatan." 

Tanganku mengepal geram, memandang wanita itu tak berkedip. Jadi dia orangnya yang sudah membuat hidupku hancur. Aku mengutarakan pada Desi akan membalas perbuatannya, tapi Desi melarang. 

"Jangan, Yu! Kamu nggak tau siapa orang tuanya. Nanti kamu akan lebih sengsara bila berhubungan dengannya," ujar Desi mencekal. 

"Memang siapa orang tuanya?" 

"Orang tuanya terkenal sebagai pebisnis yang punya hubungan dengan bos kita. Makanya dengan hubungan itu, dia terus merayu agar naik jabatan. Apalagi sekarang ini terdengar orang tuanya sering datang kemari," jelas Desi panjang lebar. 

Penuturan Desi membuatku lemas, aku bisa apa sebagai orang susah. Selama tiga tahun walaupun aku kerja tapi demi membantu keuangan keluarga, aku tetap tak bisa menaikkan taraf hidup keluarga. 

Jadi, sewaktu bos mengangkatku menjadi manajer aku sangat senang karena berharap sedikit bisa menabung. Namun, baru beberapa bulan saja harapanku pupus semua. Bapak yang kecewa pun sampai jatuh sakit hingga meninggal. 

Tak terasa air mataku menetes. Tidak, kamu harus kuat Ayu. Balas perbuatan mereka padamu agar bisa merasakan hal yang sama. Aku akan berjuang demi ibu, tidak akan kubiarkan ibu hidup menderita lagi. Tunggulah Bu, kelak kita akan hidup senang dan bahagia, gumamku berapi-api. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status