Pagi itu, saat aku sedang menyiram bunga, terlihat seorang wanita tua berdiri celingukan di depan gerbang. Aku pun mengamati dan menghampiri sambil memastikan siapa gerangan.
Setelah dekat aku terkejut, wanita itu menatapku dengan senyum lembutnya. Senyum yang selama ini selalu membuatku rindu."Ibu!" panggilku senang dan memeluknya erat."Ayu, bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Ibu usai melepas pelukan."Ayu baik, Bu! Ibu sehatkan, kenapa Ibu kemari?" tanyaku heran sambil memperhatikan keadaannya."Ibu kangen sama kamu, Yu! Ibu kesepian semenjak ditinggal Bapakmu, jadi Ibu kemari. Apa Ibu boleh menginap beberapa hari di sini?"Mataku berkaca-kaca mendengar penuturan ibu, rasa kasihan gegas menyelinap dalam hatiku. Wanita yang melahirkan diriku kini tampak rapuh sejak belahan jiwanya pergi untuk selamanya."Boleh, Bu! Ayo kita masuk dulu."Sambil menggandeng tangan ibu, aku mengajaknya masuk ke dalam rumah, beliau hanya membawa tas kecil untuk tempat baju.Belum juga sampai di depan pintu, Ratna-- mertuaku keluar dengan dandanan modis lalu memicingkan mata melihatku bersama Ibu."Eh, tunggu dulu! Ini sapa yang kamu ajak masuk?" tegur Mama mertua."Ma, ini ibuku. Beliau datang menjengukku dan ingin menginap beberapa hari di sini. Boleh 'kan?" tanyaku meminta ijin.Mertuaku menatap ibu dari kepala sampai ujung kaki, kemudian menggeleng dan memencet hidung lalu mengibaskan tangannya."Sudah sana masuk, tapi suruh ibumu mandi dulu! Baunya sungguh bikin muntah," ujar Mama mertua kemudian berlalu."Mama mau kemana?" tanyaku saat terlihat beliau pergi dan akan naik mobil."Mama mau arisan, ingat jangan sampai ibumu masuk kamar Mama atau tempat lainnya. Suruh ibumu tidur di kamar pembantu," perintahnya menyindir.Hatiku sakit mendengar mertua menyinggung ibu. Apa salahnya jika miskin, toh ibuku juga tidak pernah menyusahkan orang dan mengemis.Kulihat mendung di wajah ibu, tapi beliau tetap tersenyum kala masuk ke dalam rumah. Pandangannya terus mengitari ruangan yang besar. Maklum, rumah besar yang kami tempati bersama suami adalah rumah mertua. Suamiku sendiri sudah berangkat ke kantor.Aku mengajak ibu naik lantai atas, untuk masuk ke kamarku, tapi beliau terlihat enggan untuk naik."Nak, Ibu di bawah aja nanti mertuamu marah," tolak Ibu halus."Nggak apa-apa, Bu! Mumpung beliau lagi pergi, Ayu nggak akan bilang pada Mama," kataku tetap memaksa ibu naik.Akhirnya ibu mau juga setelah aku janji tidak akan mengadu pada mertua. Toh, aku juga tidak mungkin mencelakakan orang tua kandung sendiri.Setiba di kamar, aku menyuruh ibu mandi terlebih dahulu. Saat beliau di kamar mandi, aku mengambil sehelai daster untuk dipakainya. Tidak mungkin aku biarkan ibu memakai baju lusuhnya.Selesai mandi, aku semprotkan parfum ke daster yang Ibu kenakan. Ibu terlihat senang, aku pun memeluknya bahagia."Kita makan dulu ya Bu, Ibu pasti udah lapar kan!" ajakku sambil menuntunnya turun dari tangga.Asisten rumah tangga, Bi Inem segera mengeluarkan lauk pauk di meja. Ibu dengan ramah mengenalkan dirinya pada Bi Inem. Selama ini Bi Inem sungguh baik padaku, jadi mudah akrab dengan Ibu."Silahkan dimakan, Bu!" tawar Bi Inem."Ya, terima kasih. Ayo makan bareng, nggak apa-apa!" ajak Ibu."Saya udah makan, Ibu makan aja bareng Non Ayu," tolaknya halus lalu berlalu ke belakang.Ibu menggeleng lalu menatapku. "Yu, kenapa dia segan makan bersama kita? Padahal Ibu juga berasal dari kampung.""Bu, semua yang kerja di rumah ini segan makan bareng dengan tamu tuan rumah, apalagi dengan tuan rumah sendiri," jawabku sambil mengambil nasi ke piring Ibu.Ibu mengangguk dan tidak bertanya lagi kemudian matanya berbinar saat memandang lauk yang banyak. "Ibu mau lauk yang mana?" tanyaku."Lauknya sebanyak ini, Yu? Sampai sore juga nggak bakal habis," seru Ibu nervous.Aku tertawa. "Lauk ini hanya untuk sekali makan, Bu! Nanti saat makan malam beda lagi," kataku tersenyum."Bener itu, jadi sisanya ini bagaimana?" tanya Ibu heran."Ya, biasa pekerja sini yang habiskan. Sebentar lagi mereka makan, Bu! Jadi, ayo kita makan dulu."Ibu tersenyum lalu membaca doa sebelum makan. Aku bahagia melihat Ibu di sini, apalagi saat beliau makan dengan lahap. Sepertinya ibu memang jarang makan terlihat badannya kurus. Ah, betapa berdosa aku tak bisa merawat Ibu.Bukannya aku tidak mau, tapi memang aku tak bisa pulang menjenguk ibu. Mertuaku melarang aku keluar, apalagi sampai menginap berhari-hari. Kalo aku melanggar maka harus bersiap-siap tidak balik lagi ke rumah ini.Suamiku? Jangan ditanya, dia anak yang patuh pada Mamanya, apa yang dikatakan mertua suami pasti percaya. Terkadang kami ribut juga karena masalah sepele. Mertua suka ikut campur jadi masalah tambah runyam.Seperti kali ini, kedatangan Ibu ternyata menorehkan luka dan benci di hatiku pada mertua. Ibu dari suamiku itu tanpa mendengar penjelasan dariku, langsung menuduh Ibu pencuri.Aku tau persis, ibu tidak mencuri karena saat itu lagi di belakang rumah bersama Bi Inem. Tuduhan itu dilaporkan Maya pada mertua, lalu dengan emosi dan kasar mertua menarik ibu hingga ke dalam rumah."Besan, sungguh saya nggak mencuri kalung. Dari tadi saya ada di belakang bersama Inem," ungkap Ibu cemas."Nggak usah bohong kamu, dari awal saya nggak suka dan nggak percaya kamu masuk ke rumah ini. Ayo, ambil dan buka tas kamu!" hardik mertua.Aku yang melihat ibu diseret segera menghampiri dan melerai mereka. "Ma, apa yang Mama lakukan pada ibuku?""Tanya aja sama ibu kamu!""Yu, Ibu nggak tau! Ibu nggak ada mencuri kalung besan, sungguh Ibu nggak melakukannya," Isak Ibu menangis.Aku memeluknya, kasihan Ibu. Kenapa mertuaku semakin beringas, tanpa rasa belas kasihan sama sekali."Sudah, Tante! Kita periksa aja tasnya biar lihat langsung," anjur Maya mengompori mertua.Aku menatap tajam Maya, dia orang luar tapi seenaknya saja ikut campur. Mertua lalu merampas tas dan membuka isinya dengan kasar. Lalu saat mengeluarkan tangannya bersamaan dengan kalung yang dicarinya.Aku begitu shock, begitu juga ibuku. Beliau menggeleng tak mengerti, tak mungkin. Bagaimana bisa kalung itu ada dalam tas ibu."Ini apa, hah? Masih juga nggak mengaku!" bentak mertua.Suara azan Subuh mengalun merdu, membangunkan tidurku yang lelap. Saat mataku terbuka kulihat Mas Adit masih tertidur di sampingku. Wajah tampannya begitu sempurna, alis tebal dan hidung mancung ditambah kulit yang bersih. Aku mengelus pipi dan mengecup keningnya. "Mas, bangun! Kita sholat Subuh berjamaah yuk!" bisik ku ditelinga suamiku. "Hum, sudah pagi, Yang?" ujarnya bergumam. Tanpa menunggu Mas Adit yang belum bangun, aku masuk ke kamar mandi duluan membersihkan diri sambil keramas. Saat mandi, aku tersenyum mengingat sebagai pengantin baru mulai ijab qobul, resepsi hingga malam pertama semua berseliwaran dimata. Keluar dari kamar mandi, Mas Adit sudah duduk di tepi ranjang dengan mata mengantuk. Aku terkekeh melihat wajahnya yang masih capek. "Mas, sudah sana mandi keburu siang!" ujarku sambil mengelap rambut yang basah. "Yang, sini peluk dong!" ucapnya manja sambil merentangkan tangannya. "Mandi dulu, Mas! Sholat bareng kita, baru deh peluk," jawabku tersenyum sambil mem
Kasus persidangan Mas Lucky pun bergulir. Setelah memberi keterangan di kantor polisi, aku dan Mas Adit hadir di pengadilan sebagai saksi. Turut di temani Ibu dan Om Seno yang ingin melihat langsung jalannya persidangan. Selain kami, datang juga istri pria gembul itu dan juga rekan-rekannya. Menurut kabar pria gembul itu tidak akan diperkarakan. Tapi, orang tua Maya sudah menuntut balik atas perzinahan yang dilakukannya. Malangnya, istri pria gembul itu tidak percaya perbuatan mesum suaminya. Untuk membantu orang tua Maya, aku akan laporkan kepala HRD itu atas kasus korupsi penggelapan uang proyek. Pengacara yang sudah ku sewa juga turut hadir. Selain membantu orang tua Maya, aku ingin meringankan hukuman Mas Lucky. Bagaimanapun dia sudah menyesali perbuatannya dan berjanji akan merubah sikap dan hidupnya. Begitu hakim masuk, semua yang hadir berdiri memberi hormat. Seperti sidang yang sudah-sudah, kali ini prosesnya juga sama. Jaksa penuntut umum membacakan segala rentetan kejadia
POV Author Saat masih dalam kamar mayat itulah, terbuka pintu dari luar. Kemudian terdengar suara keras bersamaan masuk beberapa pria berseragam. "Itu dia orangnya yang sudah membunuh, Pak!" ujar pria gembul itu menunjuk Lucky. Lucky dan kedua orang tua Maya terkejut dengan kedatangan polisi. Beberapa pria berseragam itu segera berlari mendekati Lucky dan menangkapnya, tanpa perlawanan dari pelaku. Tangan Lucky segera diborgol dan dibawa keluar. Ramai para pengunjung rumah sakit berkerumun ingin tau. Komandan polisi lalu bertanya pada orang tua Maya. "Anda siapanya korban?" tanya komandan polisi. "Kami orang tuanya, Pak!" "Berdasarkan saksi mata, kami menangkap pelaku. Jadi, saat interogasi dan sidang nanti kalian wajib datang untuk diminta keterangan!" jelas komandan polisi itu. Setelah menerangkan polisi itu keluar dengan pria gembul itu. Akan tetapi, orang tua Maya segera memanggilnya. "Tunggu!" Komandan polisi dan pria gembul itu berhenti dan menoleh. Bapak Maya maju untu
"Apa kamu bilang?" Mas Lucky akan menaikkan tangannya ke atas, seperti ingin menampar lagi. Tiba-tiba sebuah tangan gembul menghentikan tangan Mas Lucky. "Cukup! Jangan sakiti wanitaku dan anakku!" hardiknya menepis tangan Mas Lucky. Kami semua menoleh ke arah pria itu dan terkejut. Dia kan kepala HRD di perusahaanku, juga pacar gelapnya Maya. Berani benar dia terang-terangan mengaku di hadapan semua orang kalo anak yang dikandung Maya itu anaknya. "Oh, jadi kamu yang sudah menghamili istriku! Dasar tua bangka!" hardik Mas Lucky meninju pria gembul itu hingga tersungkur. Dengan susah payah Maya berdiri dan menghalangi Mas Lucky memukul pacarnya. Namun, Mas Lucky sudah sangat marah hingga saat akan menyerang lagi Maya yang berada di depannya pun terkena pukulan kuat hingga terjatuh. "Aaaawww, aduh!" teriak Maya kesakitan sambil memegang perutnya. Darah merembes keluar mengalir ke kakinya. Kami lagi-lagi terkejut, pria gembul itu segera bangkit dan mendekati Maya. "Aduh, Om! Tolon
"Tante nggak berhak melarang, awas aja kalo sampai Tante menyakiti Bi Inem, Ayu nggak tinggal diam!" ancamku. Tante Ratna tertawa. "Eh, perempuan miskin jangan belagu jadi orang. Mentang-mentang punya pacar kaya berani main ancam. Berkaca dulu, yang kaya itu pacarnya bukan kamu!" ledek Tante Ratna angkuh. Saat aku mau membalas lagi, Mas Adit mencegah. "Sudah, Yang! Kita pulang aja, nggak perlu memamerkan siapa diri kita. Ntar Tante Ratna akan tau juga." Kulihat Tante Ratna hanya mencibir. Mantan mertuaku itu masih dengan sikap sombongnya. Aku ada akal ingin memberinya kejutan, sambil celingukan ke dalam aku bertanya pada Bi Inem. "Bi, Maya kemana kok nggak nampak?" "Anu, Non Ayu! Maya kalo siang gini sering pergi keluar dan nggak mau berdiam di rumah katanya bosan," jawab Bi Inem sambil melirik majikannya yang mendelik. "Eh, Ayu! Untuk apa tanya-tanya Maya? Menantuku itu nggak seperti kamu, yang cuma ndekam di rumah. Maya keluar untuk menghibur diri biar gak bosenan," cetus Tant
Esoknya, pagi-pagi setelah sarapan Lik Slamet dan keluarganya mulai berkemas. Ibu masih menyuruh mereka untuk sarapan sebagai etika tuan rumah. Walaupun dengan perasaan malu, mereka tetap makan untuk mengganjal perut di jalan. Saat Bulik Marni dan Risa di kamar berkemas, Ibu memanggil Lik Slamet. "Slamet, ini Mbak ada sedikit pemberian untuk kamu. Ambil, gunakan untuk buka usaha." "Nggak usah, Mbak! Saya nggak enak menerimanya!" tolak Lik Slamet tidak enakan. "Sudah ambil aja, kalo akangmu masih hidup Mbak yakin pasti akan memberimu. Pemberian ini sebagai rasa syukur Mbak dan Ayu dengan kehidupan sekarang. Ambillah, ingat Ayu masih butuh kamu sebagai wali nikahnya nanti," ujar ibu sambil menyerahkan amplop berisi uang. "Terima kasih banyak, Mbak! Saya akan gunakan uang ini dengan baik," kata Lik Slamet terharu dan menyimpannya di saku baju. "Jangan tau Marni dan Risa, bungkusan yang ini baru beri pada istrimu. Semoga hidup kalian semakin bagus nanti." Lik Slamet mengangguk. "Aam