Hatiku berkata kalaupun benar perkataan Mba Zara dan Mba Tia barusan, rasanya bukan menjadi wilayah kami untuk turut campur.
Aku berharap, semoga Bang Rafi lebih waspada dan berhati-hati menyikapi masalah kedua kakaknya itu."Raf, biarkan Mba masuk dulu ..." ujar Mba Zara lagi."Mba Zara dan Mba Tia silahkan pulang dulu. Nanti Rafi yang akan tanya dan cari tau informasi tentang Kiya dan Mas Dika,""Ta–tapi Raf! Kamu harus segera cari keberadaan Mas Dika!" sela Mba Tia yang terlihat ingin cepat selesai urusannya."Mba kan punya nomor kontak Mas Dika? Hubungi aja dulu! Ayo Dek, masuk!" suamiku itu segera mengajakku masuk kedalam, tanpa menoleh lagi ke pintu gerbang."Rafi! Jangan gitu dong sama sodara!" teriak Mba Zara."Ck! Gitu tuh, kalo sudah kemakan omongan Fiza! Jadi gak mau bantu sodara kandungnya sendiri!" Mba Tia ikut protes.***"Kalo soal Kiya, adekBang Rafi meminta penjelasan kepada Mas Dika soal kakaknya itu. "Ya udah Raf, sejam lagi jam istirahat. Mas Juga siang ini udah kelar shif nya. Kita ngobrol di kedai kopi lantai atas ya? Sekalian nanti Dika ambilkan ukuran dress ini. Rafi sama Fiza belanja aja dulu ..." seraya tersenyum, Mas Dika gegas mencari ukuran yang tadi kucari.Bang Rafi menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Lalu mengajakku mencari baju untuk Mama mertua, karena baju untuk Putra sudah Bang Rafi dapatkan.Berpindah ke area pakaian dewasa wanita, aku langsung memilih baju untuk Mama mertua. Alhamdulillah ada dua stel pakaian yang menurutku cocok untuk Mamanya Bang Rafi.Tak lama, Mas Dika menemui kami dekat area kasir. Lalu menyerahkan dress cantik yang kupesan untuk Dinda.Lengkap sudah semuanya, aku bergegas membayar barang belanjaan. Bang Rafi masih tampak ngobrol sebentar dengan Mas Dika, dan beberapa saat sebelum giliran
"Mba! Apa-apaan sih?! Malu-maluin!" hardik Bang Rafi dengan suara kesal dan dongkol serta matanya melototi Mba Tia."Ra–Rafi! Kok kamu disini?" suara gemetar itu jelas aku kenal.Ku intip dari balik gerobak bagian tengah, dan memastikan suara manja bin aneh barusan adalah suara Mba Tia.Dan dugaanku benar!Mas Dika tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap tajam manik hitam milik wanita yang masih berstatus sebagai istri sah nya."Mas Dika, kamu disini Mas?! Ngapain?"Mata Mba Tia naik turun kearah Mas Dika, lalu sekilas melirik ke gerobak nasi goreng.Mata nya menangkap kepala ku yang masih nyembul dibalik gerobak. Bibir dan kepalanya berbarengan mengangguk seolah mendapat sebuah kesimpulan."Ohh, aku tau sekarang! Kalian sekongkol ya selama ini! pantas saja tak ada yang bersuara tentang keberadaanmu Mas!" Mba Tia mulai kembali aneh dengan ocehannya.
"Raf, tolong Mba Raf! Bilangin Mas Dika, batalkan lamarannya!" rengek Mba Tia.Hari ini memang kami lagi sibuk persiapan acara lamaran Mas Dika. Mas Dika meminta kami turut hadir dalam acara lamarannya nanti.Bukannya apa-apa, Mas Dika masih menganggap Mama mertua sebagai ibunya. Waktu Mba Tia mau meminjam uang sama Bang Rafi untuk acara pulang kampung acara ibu mertuanya, ternyata itu hanya kedok belaka.Mas Dika sendirian pulang ke kampung halamannya karena sang nenek meninggal. Maka nya ia mendapat warisan saat itu untuk membangun rumah diatas tanah yang sudah ia beli. Ibunya Mas Dika hendak dibawa ke kota agar tinggal bersama Mas Dika, tapi ditolak oleh Mba Tia.Makin lama, sikap Mba Tia yang egois dan tak pernah mau mengikuti perintah suaminya makin menjadi-jadi.Mas Dika tak begitu perduli, sampai akhirnya ibu kandungnya itu meninggal di rumah saudaranya yang lain di kampung.
Mba Tia sudah berdiri didepan pintu pagar rumah Pak Harjo. Dengan gerakan yang terlihat ragu-ragu, Mba Tia sesekali menunduk kebawah dan sesekali menatap kearah kami yang bertanya-tanya sedang apa berdiri disitu?Bang Rafi mulai mengambil langkah seribu menuju kakaknya itu. Sementara aku dan Mama mertua bergegas pamit agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan disini.Setelah sedikit menjauh dari rumah Pak Harjo, aku masih bisa melihat Bang Rafi yang menarik kasar tangan Mba Tia menjauh lebih dulu dari rumah itu. Mama mertua memegang tangan Mas Dika sambil berjalan menuju kontrakannya.“Kamu jangan ambil pusing dengan sikap Tia ya, Nak Dika? Biar jadi urusan Mama dan Rafi!”“Iya, Ma. Makasih ya, Ma? Maafkan Dika soal Tia yang tak panjang jodohnya bersama Dika …” balas Mas Dika yang sering kali diucapkannya kalimat ini.Masih ku dengar dengan nada lirih ucapan Mama mertua dan Mas Dika. Dalam hati aku berdoa,
"Jangan sok suci, Fiza! Kau memang wanita licik!" lanjutnya terus memaki tak karuan."Bukan urusanku, Mba! Silahkan pergi dari sini!" bentak ku mulai kesal.Aku sudah malas menanggapinya. Saat itu, aku sudah memberinya kesempatan agar sertifikat yang ia curi itu biar dikembalikan ke Mas Dika.Tapi dia sendiri yang memaksa tetap dengan pendiriannya yang konyol itu. Bukankah konsekuensinya sudah pula ku ingatkan padanya saat itu?"Pak, jagain gerbangnya ya. Jangan sampai dia masuk!" ujarku pada Pak Didin."Baik, Bu!" Pak Didin mengangguk dengan perintahku barusan.Aku mulai beranjak dari depan gerbang karena mau mengajak anak-anak dan Mama mertua sarapan. Sementara Bang Rafi sudah berangkat lebih pagi, karena akan ada tamu dari perusahaan luar yang akan visit."Fiza, tunggu! Jangan kabur seenaknya! Kembalikan uang penjualan rumahku!" Mba Tia masih saja teriak disana.Ak
“Mas … kenapa kau berubah jadi kasar padaku? Mengapa kau jahat sekarang, Mas?” ujar Mba Tia sambil menangis dengan deraian air mata penuh amarah.“Aku kasar? Aku jahat? Hhhh! Lalu bagaimana dengan dirimu yang berkhianat padaku? Kau selingkuh dibelakang dan didepan ku, Tia? Kau curangi kesetiaan ku? Sekarang mengapa baru kau tanyakan kenapa aku berubah?!” “Seandainya kau bisa membuat ku senang dan bahagia, aku tak akan melakukannya! Tapi apa yang ku dapat? Uang bulanan ku kurang, rumah mengontrak, dan tiba-tiba kau dipecat dari kerjaan mu! Lantas aku tak mendapatkan apa-apa? Dan sekarang rumah ini pun kau jual! Itu semua harusnya yang kau pikirkan, Mas! Pikirkan bagaimana cara membahagiakan ku!” balas Mba Tia dengan kondisi yang masih kacau balau.“Aku tak peduli! Silahkan kau cari laki-laki yang mau dengan wanita macam dirimu! Menikah hanya ingin morotin harta suami tanpa mau berbuat baik layaknya tugas seorang istri yang selalu setia mend
“Zara? Kamu disini? Ngapain?” tanya Mama mertua keheranan, anak nya yang satu ini bisa-bisa nya berada di toko bunga.“Zara lagi nyusul Farah. Mama sama siapa?!” tanya Mba Zara pula dengan bingung.Suara Mba Zara berbincang dengan Mama nya masih bisa kudengar dari sini. “Oh begitu? Mba Zara kerja sama kamu sekarang?” kataku pada Farah.Farah hanya mengangguk sambil tersenyum meyeringai. “Oke, baiklah. Aku akan pulang. Kasihan Mama nya Bang Rafi kakinya sudah kena tanah bekas pot yang kau senggol tadi. Nanti deh, aku certain semua sama Bang Rafi kejadiannya,” lanjutku, lalu melangkah menuju Mama mertua.“Mama nya Rafi? I-itu Mama nya Rafi dan Zara?” suara Zara masih memintaku menjelaskan.Aku menoleh kebelakang, lalu melayangkan senyuman lebar pada Farah. Lalu mengangguk mengiyakan pertanyaannya.Farah terlihat bingung dengan wajah bersalahnya itu. Tentu saja, karean Farah telah mengulang kesalahan yang sama se
Uhuk! Uhuk!Batuk kali ini memang benar-benar alami, reflek keluar karena terkejut dengan bisikan pelan namun penuh penahanan volume suara yang berisi amarah Mba Zara. Ingin tertawa tapi takut dosa. “Kamu gak papa, Fiza?” tanya Diandra dengan suara lembut dan khas miliknya yang khatir dengan batuk ku tadi.Aku menggeleng, ingin rasanya tertawa keras tapi kutahan. Khawatir Mba Zara makin jadi saja tingkah nya yang konyol dan bo*oh itu, dan semakin ingin aku tertawa nanti nya.Aku juga baru sadar apa yang Kiya ucapkan tadi, Mba Zara sangat kacau penampilannya. Karena sibuk meladeninya ngomong, aku sampai lupa mau menanyakan soal penampilannya itu?Aku memberi kode menggunakan tangan agar Diandra dan Mas David segera masuk ke dalam saja. Biar Mba Zara menjadi urusan ku dan Bang Rafi.Dengan sedikit bingung, akhirnya Diandra dan Mas David mulai paham, lalu segera masuk ke dalam rumah.“Fiza!!! Kau sengaja meledek ku depan D