Share

Bab 3

Author: AliceLin
last update Last Updated: 2025-06-25 19:10:12

“Kya!” Sherin memekik histeris, memejamkan matanya erat-erat,

Ia mengira ajalnya telah tiba. Namun, sepasang tangan besar tiba-tiba mengambil alih setir, memutarnya tajam ke kiri dan membawa mobil mereka masuk ke jalan sempit.

Mobil berguncang keras. Tubuh mereka terpental beberapa kali karena jalan yang tidak mulus. Setelah beberapa saat, jalur mobil kembali ke jalan utama.

Sherin membuka matanya kembali dan melihat pria asing di sebelahnya inilah yang telah mengambil kendali kemudinya.

“Rem!” titah pria tersebut.

Sherin langsung mematuhinya, menginjak pedal rem di kakinya dan mobil tersebut pun berhenti di sisi jalan area perkantoran yang padat.

Selama beberapa waktu, hanya tersisa suara napas keduanya yang memburu dan deru mesin yang masih menyala. Ketegangan yang baru saja terjadi masih membekas jelas di udara.

“Kamu tahu … kamu hampir membunuh kita berdua,” desis pria itu dengan nada geram. 

Rambut hitamnya yang semula tersisir rapi kini berantakan. Tangannya masih mencengkeram setir kuat-kuat, seolah khawatir Sherin akan melakukan hal nekat yang mengancam jiwanya lagi.

“Dasar gadis gila,” umpat pria itu, mengembuskan napas kasar.

Mendengar makian tersebut, Sherin menoleh dan membalas dengan tatapan berapi-api, “Kalau bukan karena kamu terus menuduhku mencuri, aku pasti bisa fokus dan menghindari truk itu, Paman!” 

“Paman?” Alis pria itu terangkat tinggi, nyaris menyentuh garis rambut depannya.

Melihat kemarahan yang terpancar dari netra biru pria asing itu, Sherin pun menyadari bahwa ia baru saja memantik api, tetapi ia tidak peduli karena pria itu juga berulang kali menudingnya dan terus bersikap arogan.

Sherin menilik penampilan pria berjanggut tipis tersebut. Wajahnya memang dewasa, tetapi jelas usianya belum lewat tiga puluh lima. Perbedaan usia mereka kemungkinan juga berkisar sembilan atau sepuluh tahun saja.

Sherin melirik name tag di dada seragam hotel yang dikenakan pria itu. “Arnold?” gumamnya, lalu tersenyum remeh. “Nama yang bagus, tapi … kamu tetap lebih cocok dipanggil ‘Paman’.”

Pria bernama Arnold itu terdiam. Rahangnya mengeras. Selang beberapa detik, seringai tipis tersungging di bibirnya. Tubuhnya mendadak condong ke arah Sherin.

Refleks, gadis itu bergerak mundur. Tubuhnya menegang dengan penuh kewaspadaan.

“A-apa yang mau kamu lakukan?” hardik Sherin dengan panik. Dengan cepat ia melepaskan sabuk pengaman di tubuhnya, bersiap kabur.

Akan tetapi, ternyata Arnold bergerak lebih cepat. Ia menarik tengkuk Sherin sehingga gerakan gadis itu tertahan. Jarak mereka terlalu dekat hingga Sherin bisa merasakan hembusan napas hangat pria itu di wajahnya.

“Ka-kamu mau apa?” selidik Sherin, takut.

“Sebagai ‘Paman’, aku rasa perlu mengajari gadis nakal sepertimu. Bukankah begitu?” bisik Arnold dengan penuh intimidasi, membuat jantung Sherin bergetar hebat.

“Ka-kalau kamu berani macam-macam, aku akan─!”

Tiba-tiba, suara dering ponsel memotong kalimat Sherin. Ia melirik ke arah ponselnya. Nama ayahnya terpampang jelas pada layar tersebut. 

Arnold mengikuti arah pandangnya. Sebelum Sherin meraih gawainya, Arnold telah mendahuluinya.

“Hei! Kembalikan handphoneku!” hardik Sherin. Ia bergegas merebut gawainya saat Arnold melepaskan cengkeraman dari tengkuknya.

Namun, tangan Arnold lebih sigap. Pria itu menahan pergelangan tangannya dan mengangkat ponsel tinggi-tinggi, menjauh dari jangkauan gadis itu dan kembali bersandar pada tempat duduknya.

“Sebenarnya kamu mau apa?” Sherin berteriak frustrasi saat melihat jari Arnold hendak menggulir tombol penjawab.

“Aku hanya ingin tahu ...,” jawab Arnold tenang, tetapi nada suaranya dipenuhi ancaman, “apakah ayahmu tahu kalau putrinya ternyata adalah seorang penipu dan pencuri?”

Sherin membelalak. Ia berpikir untuk menghentikan Arnold sebelum mempersulit situasinya saat ini.

Namun terlambat. Panggilan sudah terjawab. 

“Gadis Sialan! Di mana kamu?! Beraninya kamu kabur setelah mempermalukan keluarga kita!”

Bentakan David Scarlet yang terdengar meledak dari seberang ponsel tersebut membuat Arnold tersentak kaget.

Sherin pun mengambil kesempatan untuk merebut kembali ponselnya dan dengan cepat memutus sambungan telepon tersebut. Namun, belum sempat bernapas lega, pesan masuk dari ayahnya membuat darahnya mendidih.

[Kembali sekarang dan minta maaf pada Marco, atau Papa akan menjual Clover!]

Sherin tercekat. Kilatan amarah menghiasi matanya. ‘Tidak boleh! Clover adalah milik Mama!’

Gadis itu pun tertegun. Ia yakin Penelope yang menghasut ayahnya untuk membuat keputusan ini. Dengan dalih bahwa Clover tidak menghasilkan keuntungan, ibu tirinya itu telah berulang kali meminta agar galeri tersebut dijual saja.

Meskipun ayahnya tidak pernah memenuhi permintaan Penelope, tetapi Sherin mengetahui bahwa Penelope telah menjual beberapa karya peninggalan mendiang ibunya yang tersimpan di dalam galeri tersebut.

Hasil penjualannya bahkan digunakan untuk kepentingan pribadi Penelope dan putrinya. Hal ini baru Sherin ketahui tiga bulan lalu saat ia melakukan penyelidikan secara diam-diam.

Ia pun melaporkan kepada ayahnya, tetapi sang ayah tidak mengambil tindakan apa pun. Itulah kenapa akhirnya Sherin menerima lamaran Marco tiga bulan lalu.

Ia bertekad mengambil alih hak kelola Clover karena dalam surat wasiat ibunya, Clover akan menjadi haknya sepenuhnya jika ia sudah menikah. Namun, sekarang ... Marco malah mengkhianatinya!

‘Aku tidak akan membiarkan mereka menjual Clover,’ gumam Sherin di dalam hati. Pandangannya terhenti pada gedung kantor catatan sipil di seberang jalan.  

‘Aku harus segera menikah!’ putus gadis itu di dalam hati. Akan tetapi, ke mana ia harus mencari seorang pria untuk menjadi suaminya?

“Apa kamu bukan putrinya?” 

Suara Arnold memotong lamunannya. Pria itu menatapnya curiga, masih terganggu dengan bentakan yang baru saja ia dengar.

Sherin tidak menjawab. Sebaliknya, ia menatap pria itu dengan intens. “Kamu sudah menikah atau punya pacar?” tanyanya cepat.

Arnold tampak bingung. “Be … lum,” jawabnya, nyaris berbisik.

Mata Sherin berbinar cerah. “Kalau begitu, jadilah suamiku!” serunya.

“Apa?!” Arnold ternganga syok.

Belum sempat pria itu memprotes lebih lanjut, Sherin sudah turun dari mobil, membuka pintu di sisi penumpang, dan menarik lengan Arnold. “Ayo kita menikah sekarang!” 

Arnold mendelik tidak percaya. “Jangan bercanda,” geramnya, lalu menepis tangan gadis itu. Ia keluar dari mobil, memutari kendaraannya, berniat mengambil alih tempat kemudi.

Namun, Sherin berdiri menghadang langkahnya, membentangkan kedua tangannya.

“Minggir,” titah Arnold, dingin.

Sherin bergeming. “Aku akan membayarmu berapa pun yang kamu mau, Paman,” bujuknya.

“Membayarku?” Arnold berkacak pinggang. “Kamu pikir kamu sanggup?”

“Aku─!” Belum selesai Sherin menjawab, Arnold telah menggeser pundaknya hingga gadis itu terhuyung ke samping.

“Aku tidak punya waktu bermain denganmu, Kucing Nakal,” ucap pria itu, dingin. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun, Sherin tidak menyerah.

Baru saja Arnold membuka pintu mobil, gadis itu tiba-tiba terisak kecil. Gerakan Arnold pun terhenti. Pria itu menoleh dan melihat Sherin telah tertunduk dengan tubuh sedikit bergetar.

Arnold mendesah panjang. “Hentikan dramamu. Aku tidak akan tertipu," cibirnya.

Namun, Sherin tiba-tiba berteriak dengan suara lirih yang menyayat hati, “Kamu benar-benar tidak punya hati! Kamu kejam, Arnold!” 

Sontak, orang-orang di sekitar langsung menoleh. Beberapa bahkan mulai mendekat, penasaran dengan keributan yang tengah terjadi.

Arnold tercengang. Ia tampak kehilangan kata-kata dengan drama yang dilakukan gadis itu.

“Teganya kamu menyuruhku melahirkan dan membesarkan anak ini sendiri,” lanjut Sherin sembari mengusap perut ratanya.

Beberapa orang mulai berbisik-bisik, dan seorang wanita tua mendekat, menatap Arnold dengan tatapan menghakimi. “Kamu menelantarkannya setelah menodai gadis malang ini, Nak?!”

“Aku tidak—dia bukan—aku bahkan tidak kenal dia!” Arnold panik, mencoba membela diri.

Sherin menutup wajahnya dengan tangan. Tangisnya semakin pecah. “Padahal kamu janji mau menikahiku! Tapi sekarang ... hiks ... kamu memang pria brengsek!” ucapnya, sengaja mengeraskan suara agar semua orang bisa mendengar.

“Dasar pria tak bertanggung jawab!” teriak salah satu wanita muda dari kerumunan.

“Harusnya kamu malu!” imbuh yang lain.

Arnold makin terdesak. Ia mundur beberapa langkah, dikelilingi tatapan penuh kecaman. Sementara itu, Sherin mengintip reaksi Arnold dari sela jari-jarinya dan diam-diam tersenyum puas.

Saat Arnold ingin membela diri, ponselnya berdering. Dengan wajah kesal, ia merogoh gawainya dari saku celananya dan menjawab panggilan tersebut.

Raut wajahnya tampak tertekan saat mendengar pembicara di seberang teleponnya. Setelah panggilan tersebut berakhir, pria itu tampak berpikir keras, lalu menatap Sherin dengan tajam. 

“Baiklah. Ayo kita menikah!” seru Arnold tiba-tiba.

Tangisan palsu Sherin terhenti seketika. Ia tampak kaget dan bertanya-tanya dengan alasan perubahan keputusan pria itu. Namun, ia tidak akan membuang kesempatan emas tersebut!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Eli
makin menarik
goodnovel comment avatar
Koirul
berhasil Sherin. mungkin Arnold juga di suruh nikah
goodnovel comment avatar
LuckyStar
setelah dapat telp kok langsung iya saja ini si Arnold jadi penasaran sama perkataan orang disebrang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 145

    “Gila?” Alih-alih merasa tersinggung dengan kata itu, Ryan malah terkekeh geli. “Mungkin kamu benar," desisnya seraya mengulas seringai kecil di bibirnya. "Sayangnya, di dunia ini tidak ada obat yang dapat menyembuhkan kegilaanku selain … pertumpahan darah." Suara Ryan terdengar lebih dingin dan menekan. Namun, Arnold masih bergeming. Ia hanya menghela napas panjang, memutar gelas kristalnya dengan santai. Siapa pun yang mendengar ucapan Ryan mungkin akan mengira pria itu benar-benar kehilangan kewarasannya. Akan tetapi, Arnold yang sudah mengenalnya cukup lama, tidak sedikit pun terkejut mendengar pernyataan itu. Arnold sudah terlalu sering menyaksikan sisi tergelap Ryan. Bukan karena pria itu haus darah, melainkan karena ada kepuasan aneh yang Ryan rasakan setiap kali melihat pertumpahan darah di sekitarnya—seolah kekerasan membuatnya merasa lebih hidup. Padahal Arnold sempat percaya, setelah bertahun-tahun terapi, Ryan sudah bisa mengendalikan emosinya. Namun, melihat sorot

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 144

    "Kamu sudah temukan mata-mata itu?" selidik Arnold tanpa basa-basi.Ryan tersenyum miring. “Mantan hostess yang terbunuh waktu itu adalah salah satunya. Dia adalah kaki tangan mereka,” jawab Ryan atas informasi yang ia temukan.Sudut bibir Arnold ikut terangkat naik, tetapi ia tidak berkomentar apa pun."Gadis itu adalah perantara transaksi Benard Murray dengan Shadow Eagle. Karena Bernard tertangkap, gadis itu akhirnya dibungkam untuk menutupi jejak," lanjut Ryan.Arnold masih terdiam. Hanya ada ketenangan dingin di wajahnya, sementara pikirannya bergerak cepat, menyusun potongan teka-teki yang berserakan di pikirannya. Awalnya, dari informasi yang ia dapatkan dari Sophia, Arnold sempat tidak memahami mengapa Clara sampai harus dibunuh sekeji itu, bahkan tubuhnya dimutilasi agar dapat menyamarkan jejaknya.Namun, sekarang, dengan informasi tambahan yang diberikan Ryan, potongan puzzle yang membingungkannya mulai terhubung.“Hanya itu?” Arnold mengangkat satu alisnya, suaranya terden

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 143

    “Tuan … Fang?”Oliver terperangah, menatap sosok yang tidak lain adalah ketua Black Fang, Ryan Fang.Kepalan tangannya yang tadi hampir melayang seketika melonggar. Cengkeramannya pada kerah Ryan pun langsung dilepas. “Kenapa Anda—”“Memangnya aneh kalau aku muncul di sini?” potong Ryan santai, seolah ia sedang masuk ke mobil miliknya sendiri tadi.“Ma-maafkan saya, Tuan Fang,” gumam Oliver dengan suara terdengar gugup.Perlahan ia menunduk dengan wajah bersalah, menyadari tindakan tidak sopannya kepada pria itu. “Tadi saya pikir Anda bagian dari komplotan pembunuh bayaran yang kemarin.”“Wah, tega sekali kamu, Oliver.” Ryan berdecak malas sambil merapikan kerahnya sendiri. “Memangnya wajah tampanku ini seperti pembunuh apa?”Oliver buru-buru menggeleng. “Bukan begitu, Tuan Fang. Tapi─”“Yang salah itu kamu sendiri,” potong Arnold, melirik sahabatnya dengan tajam, lalu kembali mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Siapa suruh kamu menyelinap seperti pencuri, Ryan?”Ryan mendengus p

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 142

    Tiga hari kemudian. Berkat perawatan intensif dan pengawasan yang ketat dari para tim medis profesional, kondisi Arnold pulih jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Ia sudah bisa kembali berjalan normal dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Kemarin Arnold sudah diperbolehkan pulang. Dan, hari ini, sepulang dari kantor, ia ingin pergi menjenguk istri kecilnya yang masih dirawat di rumah sakit.“Letakkan saja laporannya di mejaku. Besok baru saya tinjau,” ucap Arnold tanpa menoleh.Jari-jarinya masih mengetuk layar ponsel ketika Oliver masuk membawa setumpuk berkas yang harus ditandatangani. Oliver meletakkan dokumen-dokumen tersebut dengan rapi, lalu mengamati atasannya yang telah beranjak dari kursi dan menyambar mantel panjangnya."Anda sudah mau pulang, Tuan Muda?" tanya Oliver, merasa sedikit lega. Ia sempat khawatir atasannya itu akan memaksakan diri bekerja hingga larut.Arnold hanya mengangguk sambil mengenakan mantelnya. "Memang seharusnya Anda pulang beristirahat, T

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 141

    “Tidak ada apa-apa. Semalam Sherin ingin menyelamatkanku dari kebakaran itu, tapi malah dia yang ….”Arnold sengaja menggantungkan kalimatnya, membiarkan ibunya menafsirkan sendiri maksudnya. Ia terpaksa membohongi ibunya, bukan karena tidak percaya, tetapi tidak ingin menambah kekhawatiran ibunya.Apalagi masalah penyerangan itu masih belum menemukan titik terang. Ia tidak ingin melibatkan ibunya ke dalam bahaya bersamanya.“Kamu ini …,” Beatrice mendesah panjang, menatap putranya tajam namun penuh kecewa, “sebagai suami, bukannya melindunginya dengan baik, kamu malah membuat dia yang harus melindungi kamu.”Arnold terdiam. Tidak ada bantahan yang bisa ia ucapkan, karena perkataan itu benar adanya. Ia sudah gagal menjadi seorang suami.Tatapan sendu Beatrice kembali tertuju kepada Sherin. “Gadis bodoh yang malang, cepatlah sadar dan pukullah anak sialan ini karena sudah membuatmu menjadi seperti ini,” gumamnya lirih.“Ma, sebenarnya aku ini anak kandungmu atau bukan?” keluh Arnold, be

  • Pesona Berbahaya Suami Dadakanku   Bab 140

    “Jadi waktu Mama tahu kalau menantu Mama akan datang ke acara gala amal J-Charity, Mama langsung meminta undangan dari salah satu kenalan Mama,” lanjut Beatrice, nada suaranya terdengar santai seakan tidak merasa bersalah sedikit pun. Rahang Arnold mengatup rapat. Ia tidak tahu harus mulai berkomentar dari mana. Yang jelas, Arnold benar-benar tidak menduga ibunya ada di sana sejak awal. "Tapi, bagaimana Mama bisa tahu aku yang mana?" selidik Arnold, masih meragukan pengakuan ibunya. Padahal ia sudah menyamar sebaik mungkin, memakai topeng agar tidak dikenali oleh orang dekatnya. Bahkan, ia berhasil mengecoh Sherin meskipun sebelumnya gadis itu sempat mencurigainya. "Apa ...," Pandangan Arnold kembali bergeser kepada Oliver, lalu dengan suara dipenuhi curiga, ia melanjutkan, "apa dia yang memberitahu Mama?" Oliver sontak menggeleng. Sebelum ia sempat membuka mulut, Beatrice telah menyambar lebih dulu. “Jangan salahkan Oliver. Mama tidak butuh bantuan siapa pun untuk mengenali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status