“Kya!” Sherin memekik histeris, memejamkan matanya erat-erat,
Ia mengira ajalnya telah tiba. Namun, sepasang tangan besar tiba-tiba mengambil alih setir, memutarnya tajam ke kiri dan membawa mobil mereka masuk ke jalan sempit.
Mobil berguncang keras. Tubuh mereka terpental beberapa kali karena jalan yang tidak mulus. Setelah beberapa saat, jalur mobil kembali ke jalan utama.
Sherin membuka matanya kembali dan melihat pria asing di sebelahnya inilah yang telah mengambil kendali kemudinya.
“Rem!” titah pria tersebut.
Sherin langsung mematuhinya, menginjak pedal rem di kakinya dan mobil tersebut pun berhenti di sisi jalan area perkantoran yang padat.
Selama beberapa waktu, hanya tersisa suara napas keduanya yang memburu dan deru mesin yang masih menyala. Ketegangan yang baru saja terjadi masih membekas jelas di udara.
“Kamu tahu … kamu hampir membunuh kita berdua,” desis pria itu dengan nada geram.
Rambut hitamnya yang semula tersisir rapi kini berantakan. Tangannya masih mencengkeram setir kuat-kuat, seolah khawatir Sherin akan melakukan hal nekat yang mengancam jiwanya lagi.
“Dasar gadis gila,” umpat pria itu, mengembuskan napas kasar.
Mendengar makian tersebut, Sherin menoleh dan membalas dengan tatapan berapi-api, “Kalau bukan karena kamu terus menuduhku mencuri, aku pasti bisa fokus dan menghindari truk itu, Paman!”
“Paman?” Alis pria itu terangkat tinggi, nyaris menyentuh garis rambut depannya.
Melihat kemarahan yang terpancar dari netra biru pria asing itu, Sherin pun menyadari bahwa ia baru saja memantik api, tetapi ia tidak peduli karena pria itu juga berulang kali menudingnya dan terus bersikap arogan.
Sherin menilik penampilan pria berjanggut tipis tersebut. Wajahnya memang dewasa, tetapi jelas usianya belum lewat tiga puluh lima. Perbedaan usia mereka kemungkinan juga berkisar sembilan atau sepuluh tahun saja.
Sherin melirik name tag di dada seragam hotel yang dikenakan pria itu. “Arnold?” gumamnya, lalu tersenyum remeh. “Nama yang bagus, tapi … kamu tetap lebih cocok dipanggil ‘Paman’.”
Pria bernama Arnold itu terdiam. Rahangnya mengeras. Selang beberapa detik, seringai tipis tersungging di bibirnya. Tubuhnya mendadak condong ke arah Sherin.
Refleks, gadis itu bergerak mundur. Tubuhnya menegang dengan penuh kewaspadaan.
“A-apa yang mau kamu lakukan?” hardik Sherin dengan panik. Dengan cepat ia melepaskan sabuk pengaman di tubuhnya, bersiap kabur.
Akan tetapi, ternyata Arnold bergerak lebih cepat. Ia menarik tengkuk Sherin sehingga gerakan gadis itu tertahan. Jarak mereka terlalu dekat hingga Sherin bisa merasakan hembusan napas hangat pria itu di wajahnya.
“Ka-kamu mau apa?” selidik Sherin, takut.
“Sebagai ‘Paman’, aku rasa perlu mengajari gadis nakal sepertimu. Bukankah begitu?” bisik Arnold dengan penuh intimidasi, membuat jantung Sherin bergetar hebat.
“Ka-kalau kamu berani macam-macam, aku akan─!”
Tiba-tiba, suara dering ponsel memotong kalimat Sherin. Ia melirik ke arah ponselnya. Nama ayahnya terpampang jelas pada layar tersebut.
Arnold mengikuti arah pandangnya. Sebelum Sherin meraih gawainya, Arnold telah mendahuluinya.
“Hei! Kembalikan handphoneku!” hardik Sherin. Ia bergegas merebut gawainya saat Arnold melepaskan cengkeraman dari tengkuknya.
Namun, tangan Arnold lebih sigap. Pria itu menahan pergelangan tangannya dan mengangkat ponsel tinggi-tinggi, menjauh dari jangkauan gadis itu dan kembali bersandar pada tempat duduknya.
“Sebenarnya kamu mau apa?” Sherin berteriak frustrasi saat melihat jari Arnold hendak menggulir tombol penjawab.
“Aku hanya ingin tahu ...,” jawab Arnold tenang, tetapi nada suaranya dipenuhi ancaman, “apakah ayahmu tahu kalau putrinya ternyata adalah seorang penipu dan pencuri?”
Sherin membelalak. Ia berpikir untuk menghentikan Arnold sebelum mempersulit situasinya saat ini.
Namun terlambat. Panggilan sudah terjawab.
“Gadis Sialan! Di mana kamu?! Beraninya kamu kabur setelah mempermalukan keluarga kita!”
Bentakan David Scarlet yang terdengar meledak dari seberang ponsel tersebut membuat Arnold tersentak kaget.
Sherin pun mengambil kesempatan untuk merebut kembali ponselnya dan dengan cepat memutus sambungan telepon tersebut. Namun, belum sempat bernapas lega, pesan masuk dari ayahnya membuat darahnya mendidih.
[Kembali sekarang dan minta maaf pada Marco, atau Papa akan menjual Clover!]
Sherin tercekat. Kilatan amarah menghiasi matanya. ‘Tidak boleh! Clover adalah milik Mama!’
Gadis itu pun tertegun. Ia yakin Penelope yang menghasut ayahnya untuk membuat keputusan ini. Dengan dalih bahwa Clover tidak menghasilkan keuntungan, ibu tirinya itu telah berulang kali meminta agar galeri tersebut dijual saja.
Meskipun ayahnya tidak pernah memenuhi permintaan Penelope, tetapi Sherin mengetahui bahwa Penelope telah menjual beberapa karya peninggalan mendiang ibunya yang tersimpan di dalam galeri tersebut.
Hasil penjualannya bahkan digunakan untuk kepentingan pribadi Penelope dan putrinya. Hal ini baru Sherin ketahui tiga bulan lalu saat ia melakukan penyelidikan secara diam-diam.
Ia pun melaporkan kepada ayahnya, tetapi sang ayah tidak mengambil tindakan apa pun. Itulah kenapa akhirnya Sherin menerima lamaran Marco tiga bulan lalu.
Ia bertekad mengambil alih hak kelola Clover karena dalam surat wasiat ibunya, Clover akan menjadi haknya sepenuhnya jika ia sudah menikah. Namun, sekarang ... Marco malah mengkhianatinya!
‘Aku tidak akan membiarkan mereka menjual Clover,’ gumam Sherin di dalam hati. Pandangannya terhenti pada gedung kantor catatan sipil di seberang jalan.
‘Aku harus segera menikah!’ putus gadis itu di dalam hati. Akan tetapi, ke mana ia harus mencari seorang pria untuk menjadi suaminya?
“Apa kamu bukan putrinya?”
Suara Arnold memotong lamunannya. Pria itu menatapnya curiga, masih terganggu dengan bentakan yang baru saja ia dengar.
Sherin tidak menjawab. Sebaliknya, ia menatap pria itu dengan intens. “Kamu sudah menikah atau punya pacar?” tanyanya cepat.
Arnold tampak bingung. “Be … lum,” jawabnya, nyaris berbisik.
Mata Sherin berbinar cerah. “Kalau begitu, jadilah suamiku!” serunya.
“Apa?!” Arnold ternganga syok.
Belum sempat pria itu memprotes lebih lanjut, Sherin sudah turun dari mobil, membuka pintu di sisi penumpang, dan menarik lengan Arnold. “Ayo kita menikah sekarang!”
Arnold mendelik tidak percaya. “Jangan bercanda,” geramnya, lalu menepis tangan gadis itu. Ia keluar dari mobil, memutari kendaraannya, berniat mengambil alih tempat kemudi.
Namun, Sherin berdiri menghadang langkahnya, membentangkan kedua tangannya.
“Minggir,” titah Arnold, dingin.
Sherin bergeming. “Aku akan membayarmu berapa pun yang kamu mau, Paman,” bujuknya.
“Membayarku?” Arnold berkacak pinggang. “Kamu pikir kamu sanggup?”
“Aku─!” Belum selesai Sherin menjawab, Arnold telah menggeser pundaknya hingga gadis itu terhuyung ke samping.
“Aku tidak punya waktu bermain denganmu, Kucing Nakal,” ucap pria itu, dingin. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun, Sherin tidak menyerah.
Baru saja Arnold membuka pintu mobil, gadis itu tiba-tiba terisak kecil. Gerakan Arnold pun terhenti. Pria itu menoleh dan melihat Sherin telah tertunduk dengan tubuh sedikit bergetar.
Arnold mendesah panjang. “Hentikan dramamu. Aku tidak akan tertipu," cibirnya.
Namun, Sherin tiba-tiba berteriak dengan suara lirih yang menyayat hati, “Kamu benar-benar tidak punya hati! Kamu kejam, Arnold!”
Sontak, orang-orang di sekitar langsung menoleh. Beberapa bahkan mulai mendekat, penasaran dengan keributan yang tengah terjadi.
Arnold tercengang. Ia tampak kehilangan kata-kata dengan drama yang dilakukan gadis itu.
“Teganya kamu menyuruhku melahirkan dan membesarkan anak ini sendiri,” lanjut Sherin sembari mengusap perut ratanya.
Beberapa orang mulai berbisik-bisik, dan seorang wanita tua mendekat, menatap Arnold dengan tatapan menghakimi. “Kamu menelantarkannya setelah menodai gadis malang ini, Nak?!”
“Aku tidak—dia bukan—aku bahkan tidak kenal dia!” Arnold panik, mencoba membela diri.
Sherin menutup wajahnya dengan tangan. Tangisnya semakin pecah. “Padahal kamu janji mau menikahiku! Tapi sekarang ... hiks ... kamu memang pria brengsek!” ucapnya, sengaja mengeraskan suara agar semua orang bisa mendengar.
“Dasar pria tak bertanggung jawab!” teriak salah satu wanita muda dari kerumunan.
“Harusnya kamu malu!” imbuh yang lain.
Arnold makin terdesak. Ia mundur beberapa langkah, dikelilingi tatapan penuh kecaman. Sementara itu, Sherin mengintip reaksi Arnold dari sela jari-jarinya dan diam-diam tersenyum puas.
Saat Arnold ingin membela diri, ponselnya berdering. Dengan wajah kesal, ia merogoh gawainya dari saku celananya dan menjawab panggilan tersebut.
Raut wajahnya tampak tertekan saat mendengar pembicara di seberang teleponnya. Setelah panggilan tersebut berakhir, pria itu tampak berpikir keras, lalu menatap Sherin dengan tajam.
“Baiklah. Ayo kita menikah!” seru Arnold tiba-tiba.
Tangisan palsu Sherin terhenti seketika. Ia tampak kaget dan bertanya-tanya dengan alasan perubahan keputusan pria itu. Namun, ia tidak akan membuang kesempatan emas tersebut!
“Seperti dugaanmu, Bernard Murray memang orang yang cukup licik dan serakah. Sudah banyak beredar rumor buruk tentangnya, tetapi berkat seseorang, semua isu itu berhasil dialihkan. Dan kamu pasti tahu siapa orangnya,” imbuh Sophia lebih lanjut.Arnold memutar pelan gelas whiskey di tangannya. Jelas siapa yang Sophia maksud, kemungkinan besar Frans Langdon-lah yang yang berada di balik pergerakan calon politisi itu.Arnold menatap cairan keemasan di dalam gelasnya, seolah bisa membaca jejak langkah lawannya di sana. Alih-alih menggali informasi lebih lanjut, ia menyoroti Alvin yang tengah asyik bersenang-senang dengan para bawahannya yang lain.“Apa bocah itu masih sering memberikan masalah untukmu selama aku pergi, Madam Nolan?” tanya Arnold seraya menunjuk pemuda itu dengan dagunya.Sophia mengikuti arah pandang Arnold, lalu mendengus kecil. “Tiada hari dia tidak berulah. Bukannya bekerja, dia malah sibuk menggoda semua wanita yang ditemuinya. Entah mau jadi apa dia nanti.”“Walaupun
Musik hingar bingar memenuhi ruangan VIP Diamond. Terdengar suara tawa dari beberapa pria dan wanita yang sedang menikmati minuman berkelas, ditemani alunan musik live yang memekakkan telinga.Lampu kristal berpendar lembut, memantulkan kilau dari botol-botol champagne yang berjajar di atas meja marmer. Asap cerutu tipis menari di udara, bercampur dengan aroma alkohol yang menusuk.Tampak Alvin yang tengah memasang wajah serius, tangannya menggenggam stik biliar dengan penuh konsentrasi. Ia membungkuk, menatap bola putih seolah ingin menembusnya dengan sorot matanya. Satu kali pukulan, bola meluncur cepat namun berhenti beberapa sentimeter sebelum mengenai target.“Ah, sial!” gerutunya sambil mengumpat kecil, membuat pria-pria lain di sekitar meja tertawa.King, yang sejak tadi hanya berdiri santai dengan tangan terlipat di dada, melangkah maju dengan tenang. Ia mengambil stik biliarnya tanpa banyak bicara.Dengan gerakan sederhana, bola putih melesat mulus, memantulkan sisi meja, dan
Sherin masih terpaku di depan pintu hingga salah satu pria mengisyaratkannya untuk masuk. “Kemarilah, Kucing Manis. Ayo temani Kakak minum.”Tamu pria itu menepuk tempat kosong di sampingnya. Senyum lebarnya memperlihatkan deretan gigi yang sudah tak lagi rapi dan menguning.Mendengar tawaran itu, satu alis Sherin menukik naik. ‘Dasar tua bangka tidak tahu diri. Dia bilang apa? Kakak? Apa dia tidak berkaca dulu sebelum keluar rumah tadi?’Ia menahan lidahnya agar tidak menyemburkan umpatannya. Demi pekerjaannya, ia memilih diam. Dengan penuh keengganan, gadis itu mendorong trolinya dan berdiri di tengah ruangan.Ketiga tamu paruh baya itu tidak mengenakan topeng mereka sesuai aturan kelab sehingga Sherin bisa melihat jelas wajah mereka. Kening Sherin langsung mengernyit saat tatapannya tertuju pada salah seorang tamu.Pria berperut buncit itu duduk sambil memeluk pinggang dua wanita pendamping kelab berpakaian seksi di kedua sisinya. Terlihat beberapa bekas lipstik di wajah gempalnya
“Jack! Apa yang kamu lakukan di sana? Kemarilah!” Sophia Nolan tiba-tiba berteriak lantang padanya.Alvin mendengus kesal karena kesenangannya lagi-lagi diusik. “Dasar tante-tante cerewet,” gerutunya. Namun, ia tetap berjalan ke arah wanita itu.Sementara, Sherin masih terpaku di tempat, menatap King yang kini berdiri tegak di tengah ruangan dengan dikerumuni oleh para pengagumnya. Ia tidak dapat melepaskan tatapannya dari pria bertopeng perak itu.Aura yang terpancar dari sosok itu begitu kuat, hampir terasa seperti magnet yang memaksa semua mata menatap ke arahnya. Ketika tatapan dingin King tiba-tiba beradu dengan matanya, bulu kuduk Sherin meremang seketika.Napasnya nyaris tercekat saat melihat pria itu tersenyum tipis. Senyuman samar yang nyaris tidak terlihat, tetapi cukup untuk menimbulkan ribuan tafsir bagi siapa pun yang melihatnya.Ucapan Alvin sebelumnya bergema di dalam kepalanya, memunculkan ketakutannya. Namun, di sisi lain, Sherin merasa tatapan dingin pria itu sangat
Sherin mendorong troli minuman keluar dari ruang ganti, melangkah pelan menyusuri koridor. Setiap langkah terasa berat—bukan hanya karena pakaian yang membuatnya tidak nyaman, tetapi juga nyeri yang masih menusuk di kaki kanannya.Ia berhenti sejenak di depan pintu besar yang memisahkan area internal karyawan dengan ruang hiburan utama kelab. “Hei, Kucing Seksi,” goda penjaga yang berdiri di dekat pintu tersebut sembari bersiul. Namun, Sherin tidak menggubrisnya.“Pulang kerja nanti ikut denganku, bagaimana?” Pria berotot kekar tinggi itu masih mencoba merayunya.Sherin hanya melototinya dari balik topengnya dan segera mendorong pintu di depannya dengan punggungnya.Begitu pintu terbuka, dunia di hadapannya seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Cahaya lampu berwarna-warni menari liar di langit-langit, musik berdentum keras hingga terasa mengguncang dadanya, dan riuh tawa para tamu langsung menyergap telinganya.Jantung Sherin berdegup kencang, telinganya berdengung karena kebi
“Apa kamu belum selesai? Lama sekali!”Ketukan keras menggema dari balik pintu ruang ganti, disusul suara bentakan bernada kesal.Sherin hanya bisa menghela napas panjang, mengabaikan kemarahan Clara─hostess senior yang akan ia gantikan malam ini. Saat ini perhatiannya tersita sepenuhnya pada penampilannya sendiri.Keningnya mengernyit. Matanya menelusuri pantulan dirinya di depan cermin. Ia hampir tak percaya, gadis seksi di hadapannya ini adalah dirinya.Balutan kostum kucing serba hitam yang menempel ketat di tubuhnya, stoking jaring yang menutupi kaki jenjangnya, ekor panjang buatan yang menjuntai di belakang, serta telinga kucing yang bertengger manis di atas kepalanya membuatnya merasa ... tidak mengenal dirinya sendiri.Sherin meremas ujung rok mini ketat yang menempel di pinggangnya, berusaha menutupi rasa canggung yang kian menyesakkan. Napasnya terasa berat, seakan ruangan sempit itu menutup seluruh jalan keluar untuk bernapas.Gadis itu meneguk salivanya dengan bersusah paya