FAZER LOGIN“Berengsek!” Sherin menggeram kesal.
Napasnya memburu saat derap kaki beberapa pria berseragam hitam terdengar kian dekat di belakangnya.
“Mereka pikir bisa menangkap pelari handal sepertiku?” tukas gadis itu seraya berdecak kasar.
Ia menarik troli makanan dan menjatuhkan semua isinya, lalu kembali berlari sembari menjatuhkan benda apa pun yang bisa menghambat pengejaran para pengawal Marco.
Begitu mencapai lobi, ia langsung menembus pintu kaca dan menyapu pandangan ke sekelilingnya dengan panik hingga akhirnya berhenti pada sosok pria berseragam staf hotel yang baru saja keluar dari mobil yang diparkirkan di area valet.
Tanpa berpikir panjang, Sherin menghampirinya. Ia harus mendongak karena tubuhnya hanya setinggi pundak pria itu saja.
Sherin tertegun, menatap rupa petugas hotel tersebut. Mata biru tajam, alis tebal, garis rahang tegas, hidung tinggi, dan bibir maskulin yang menggoda. Benar-benar terlihat seperti keluar dari lukisan maha karya yang sempurna.
Sorot matanya begitu tenang dan berwibawa. Sherin merasa pria itu terlalu menawan dan berkelas untuk bekerja sebagai petugas valet. Namun, ia segera menggeleng pelan. Bukan saatnya mengagumi pria tampan, pikirnya.
“Maaf, saya tahu ini gila. Tapi … tolong bawa saya pergi dari sini. Saya akan membayar berapa pun!” ucap Sherin cepat, di sela-sela napas yang masih memburu.
Pria itu mengerutkan kening, menatapnya dari atas ke bawah dengan sorot mata penuh curiga.
Penampilan Sherin memang sangat kacau. Selain bertelanjang kaki, riasan wajahnya juga luntur, rambut emas bergelombangnya tergerai tidak beraturan dan gaun pengantin yang dikenakannya juga dipenuhi noda makanan yang dicecerkannya tadi.
Sikap diam pria itu mengikis kesabarannya. Akhirnya Sherin terpaksa merampas kunci mobil dari tangan petugas hotel itu.
“Nona, apa yang─”
Sherin tidak memberi pria itu kesempatan menyelesaikan kalimatnya. Ia segera masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi.
Baru saja ia menyalakan mesin, pintu sisi penumpang terbuka. Petugas itu langsung duduk di sampingnya. Dengan cepat pria itu mencengkeram kuat lengan Sherin yang hendak memindahkan gigi mobil.
“Apa yang kamu lakukan?” hardik Sherin, tersentak.
“Seharusnya saya yang bertanya seperti itu, Nona Pencuri.” Suara datar pria itu terdengar menusuk.
“Pe-Pencuri?” Sherin terbelalak. “Siapa yang mencuri?! Saya hanya—”
“Merampas kunci dan kabur dengan mobil yang bukan milikmu. Apakah tidak termasuk mencuri?” sela pria itu dengan dingin.
Sherin terdiam. Ia tahu ucapan pria itu benar. Akan tetapi, saat ini ia berada dalam situasi yang mendesak. Selain tidak memiliki waktu untuk menjelaskan, cekalan tangan pria itu juga semakin kuat.
Sherin meringis kesakitan. Namun, pria itu tidak menaruh sedikit pun belas kasihannya.
“Lepaskan tanganku atau kamu akan menyesal!” gertak Sherin, menahan sakit.
Alih-alih merasa takut, pria itu malah menaikkan satu alis tebalnya dan menyeringai remeh. Sikap angkuhnya membuat darah Sherin terasa mendidih. Namun, ia mencoba untuk mendinginkan kepalanya.
Otaknya mulai bekerja dengan cepat untuk mengalihkan perhatian pria itu. Akhirnya dengan satu gerakan spontan, tangan kirinya menarik kerah baju pria tersebut dan tanpa berpikir dua kali, ia mengecup bibir pria itu!
Mata dingin pria itu membulat syok. Tubuhnya membeku. Namun, tidak ada penolakan darinya.
Sherin sendiri juga ikut terpaku. Ia nyaris tak bisa bernapas saat merasakan kehangatan dan kelembutan dari bibir pria tersebut.
Aroma maskulin menyergap hidung Sherin—campuran woody dan mint yang begitu kuat, menyelinap ke indera penciuman dan menyulut sensasi aneh di tubuhnya. Sensasi yang seharusnya tak muncul dalam situasi genting seperti ini.
‘Fokus, Sherin!’ pekik gadis itu dalam hati.
Ia buru-buru memaksa pikirannya kembali ke tujuan awal. Ketika merasakan cengkeraman pria itu melemah, dengan cepat Sherin mendorongnya menjauh.
Akan tetapi, pria itu lebih cepat. Tangan kuatnya menarik pinggang Sherin, kembali memangkas jarak mereka, dan bisikan panas menggelitik telinga gadis itu.
“Ciumanmu sangat payah, Kucing Nakal. Biar kuajarkan cara yang benar.”
Sebelum Sherin sempat memberikan respon, bibirnya telah dibungkam. Tidak seperti kecupan kaku yang dilakukan Sherin sebelumnya, ciuman pria itu lebih menuntut, penuh gairah dan tidak terkendali.
Bibir Sherin dilumat tanpa ampun. Lidah pria itu menyapu celah bibirnya, meminta akses untuk menjelajah lebih jauh dan akhirnya berhasil mendesak masuk untuk menyentuh setiap inci ruang di dalam mulutnya.
Sherin terperanjat, tetapi tubuhnya membeku di bawah gelora mendebarkan yang menjalar cepat, seperti ribuan aliran listrik yang menyengat
Sherin tahu ini salah! Ini gila!
Akan tetapi, tubuhnya telah terperangkap dalam gairah yang perlahan membakar batas pertahanannya dan meruntuhkan sedikit demi sedikit akal sehatnya.
Untuk pertama kalinya gadis itu merasakan ciuman panas yang menggetarkan hati dan pikirannya.
Saat akhirnya lenguh kecil lolos dari bibirnya, Sherin sadar … pria ini tahu persis cara menaklukkannya.
‘Sial!’ rutuk Sherin di dalam hati.
“Di sana!”
Teriakan salah seorang pengawal Langdon menyadarkan Sherin kembali ke realita. Saat ia melirik ke arah spion, para pengawal tersebut telah berlari ke arahnya.
Sontak, Sherin melepaskan tautan bibirnya, mendorong dada pria itu dengan segenap kekuatannya. Tanpa membuang waktu, Sherin memindahkan persneling ke posisi drive, lalu─
BRUUM!
Mobil melesat meninggalkan hotel.
Sherin mencengkeram setirnya erat-erat. Jemarinya masih gemetar. Jantungnya pun masih berdetak liar—entah karena pengejaran yang menegangkan atau karena kehangatan yang masih tersisa di bibirnya.
Namun, Sherin tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal tersebut lebih jauh, khawatir para pengawal Marco masih belum menyerah.
Di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikirannya, tiba-tiba suara berat pria di sampingnya terdengar.
“Siapa mereka? Jangan bilang kalau kamu juga mencuri sesuatu dari mereka?” sindirnya.
Sherin menoleh. Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah pria di sampingnya itu. Padahal tadi pria itu telah memporakporandakan pertahanannya dengan ciuman yang bergelora.
Dengan gerakan tenang dan terasa memikat, pria itu mengusap bibir bawahnya dengan ibu jarinya.
Wajah Sherin memerah. Ia memalingkan pandangannya kembali ke depan. “Tu-tutup mulutmu! Aku tidak mencuri apa pun. Kalau tidak tahu, jangan asal bicara,” balasnya dengan gugup.
“Masih mau mengelak, huh?” Pria itu mencibir. Tidak ada sedikit pun rasa hormat yang ia berikan kepada Sherin. “Jelas-jelas sekarang kamu sedang duduk di mobil curianmu, Kucing Nakal.”
“Aku cuma pinjam sebentar. Dan berhenti memanggilku seperti itu!” balas Sherin. Suaranya semakin meninggi.
“Meminjam? Dengan merampas kunci?” Pria itu tertawa mengejeknya.
Sherin menggertakkan giginya. Ia tahu alasan apa pun yang ia berikan tidak akan mampu meyakinkan pria itu. Karena kesal, ia menginjak pedal gas lebih dalam, lalu mobil membelok tajam ke kanan. Alhasil─
BRAK!
Tubuh pria itu terhempas ke depan. Kepalanya membentur dashboard sebelum akhirnya terpental kembali ke sandaran kursinya.
“Gadis gila!” geram pria itu.
Sherin melirik dingin. “Kalau kamu masih ingin hidup, duduk diam dan berpeganganlah.”
“Beraninya kamu mengaturku! Apa kamu tahu siapa─”
Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya, Sherin telah membanting setirnya ke kiri. Mobil kembali berbelok tajam di tikungan. Suara klakson dan derit rem bersahutan di sekeliling mereka, tetapi Sherin tetap tidak melambat.
Pria di sampingnya tidak memiliki pilihan lain selain mencari pegangan untuk mempertahankan nyawanya. Ia tampak berusaha menahan diri untuk tidak mengumpat.
Sherin pun tersenyum puas saat melihat ia berhasil lolos dari pengejaran para pengawal Langdon. Namun, satu masalah lain masih menantinya.
“Berhenti sekarang atau aku akan menyerahkanmu ke polisi, Nona Pencuri!” ancam pria itu.
“Aku bukan pencuri! Apa kamu pernah melihat pencuri secantikku?!” bentak Sherin tanpa menoleh.
“Cantik?” Pria itu tersenyum mengejek. “Aku tidak melihat ada kecantikan apa pun darimu.”
Sherin mendelik tajam. “Kau─!”
TIN! TIN! TIN!
Klakson panjang yang nyaring menyela ucapan Sherin. Ia menoleh cepat ke depan.
Ternyata dari arah berlawanan, sebuah truk besar melaju ke arah mereka dengan kecepatan tinggi. Mata Sherin dan pria di sampingnya membulat besar.
“AWAS!”
Mobil yang dikemudikan Arnold memasuki kawasan vila elit di kaki gunung. Jalanan sangat lengang, tetapi hanya diterangi cahaya lampu temaram yang berderet di kedua sisi, menciptakan suasana sunyi dan dingin.Sherin menoleh ke sekeliling. Keningnya lantas berkerut. “Arnold, kenapa kamu membawaku ke sini?”Arnold tetap menatap lurus ke depan. “Bukankah kamu bilang ingin bicara?”“Iya, tapi—” Sherin terhenti, rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. ‘Jangan bilang dia mau ….’Glek!Sherin menelan salivanya dengan kasar. Ucapan yang pernah Alvin katakan mengenai sosok “King” yang merupakan sosok pembunuh berdarah dingin, tiba-tiba saja melintas di dalam kepalanya.‘Astaga, aku ini ngelantur apa sih .…’Sherin segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menepis pikiran konyolnya sendiri. Namun, kewaspadaannya tetap terjaga. Terlalu banyak rahasia tentang Arnold yang belum ia ketahui.Meskipun Arnold belum menjelaskan apa pun tentang identitasnya yang sebenarnya, tetapi kini, Sher
Tangan Arnold yang baru saja membuka pintu mobil seketika terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap Leon dengan sorot mata tajam dan tak bersahabat.“Apa ucapanku tadi kurang jelas?” cibir Arnold dengan dingin, “atau kamu memang terlalu bodoh untuk memahaminya, Leonard Hale?”Rahang Leon mengeras. Urat di pelipisnya tampak menegang, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang.“Tidak usah berpura-pura, Arnold. Aku tahu kalau kamu dan Sherin hanya menikah pura-pura,” cetusnya dengan tegas.Genggaman tangan Arnold pada pintu mobil perlahan mengencang. ‘Sherin yang memberitahunya?’ terkanya di dalam hati.Memikirkan keakraban istrinya dengan pria itu sampai membicarakan tentang rahasia pernikahan mereka membuat hati Arnold terasa panas. Namun, ia tidak ingin memperlihatkannya secara nyata, tidak untuk membuat Leon merasa senang.“Berpura-pura atau tidak, faktanya aku adalah suaminya, Leonard Hale,” desis Arnold seraya mendengus sinis. Tatapannya menyoroti pria itu dengan remeh, menunjukkan
'Ck! Pasti Hailey yang sudah membocorkannya,' sungut Sherin di dalam hati. 'Dasar mulut ember!'Ia mendengus pelan, menahan kekesalan yang mendadak memenuhi dadanya. Meski kecewa, Sherin tahu ia tidak sepenuhnya bisa menyalahkan sahabatnya itu.“Apanya yang benar?”Suara berat Arnold memecah keheningan yang menyesakkan. Tatapannya langsung tertuju pada Leon, dingin dan penuh tekanan.“Aku adalah suami Sherin,” ucap Arnold dengan tegas, lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan penekanan yang disengaja, “sah secara hukum.”Kata "sah" itu meluncur seperti pisau, menghunjam tepat ke sasaran. Dari sorot mata Leon, ia bisa melihat amarah yang tidak lagi mampu disembunyikan.Tanpa memberi Leon celah untuk menyela, Arnold kembali berbicara. Nada suaranya tetap tenang, tetapi setiap katanya mengandung tekanan yang menusuk.“Aku tidak keberatan jika tidak dianggap sebagai keluarga. Tapi kalau begitu, apakah itu berarti kalian juga menganggap Sherin sebagai orang luar?”Arnold sengaja me
“Kamu kenal dengan Tuan Muda Windsor, Leon?” tanya Natasha seraya menatap putranya dan Arnold secara bergantian. Namun, tidak ada satu pun di antara mereka yang menjawab pertanyaannya.Rasa penasaran membuat Sherin ikut menoleh ke arah suaminya. Baru saja ia hendak membuka mulut, suara Arnold telah lebih dulu menyelanya, “Oh?” Arnold melirik Leon sekilas—dingin dan singkat—lalu beralih menatap Sherin. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya, “Jadi … dia Kakak Leon yang sering kamu ceritakan itu, Sayang?”Mata Sherin terbelalak. Ucapan Arnold terdengar ringan, tetapi sindiran dingin yang terselip di dalamnya membuat Sherin salah tingkah.Gadis itu tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ia yakin Leon pasti sangat bingung dan syok dengan situasi saat ini. Ia mengira pria itu sama sekali tidak tahu bahwa dirinya telah menikah.Sherin hanya bisa menjawab dengan anggukan. Ia tahu jika Arnold masih belum bisa menerima kedekatannya dengan Leon. Sungguh, ia tidak menyangka jika keduanya terny
Arnold hanya tersenyum tipis, tidak merasa bersalah sedikit pun. “Maaf kalau aku keras kepala. Tapi, kita bersaing dengan adil. Bukankah begitu, Tuan Callen?”George berdeham, jelas masih kesal, tetapi ia hanya bisa mengangguk membenarkan.“Kalau begitu … kamu juga punya lukisan Mama?” selidik Sherin, menatap Arnold dengan tajam.Arnold terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. Ia tahu ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan apa pun.Melihat ekspresi kesal Sherin, Natasha yang sejak tadi tidak mencampuri pembicaraan, tiba-tiba menyipitkan matanya dengan tajam, menatap Arnold dengan penuh curiga. “Kenapa? Dia tidak pernah cerita padamu, Sherin?”Sherin menggigit bibir dengan erat, bingung harus menjawab apa. Sepemahamannya terhadap sikap Natasha, ia yakin wanita itu akan meledakkan amarahnya lagi jika tahu Arnold telah “menipu” identitasnya selama ini darinya.Sebelum Natasha menginterogasi lebih lanjut, para pelayan kembali masuk dengan membawakan hidangan penutup. Mereka meleta
Pelayan yang sebelumnya keluar melapor kembali masuk bersama tiga orang pria, dua di antaranya adalah staf keamanan internal dan satu lainnya adalah manajer restorannya.Namun, sebelum manajer itu sempat menanyakan apa pun, suara Arnold sudah lebih dulu memotong tajam, “Kalian … bawa pengacau ini keluar!”David terperanjat saat telunjuk Arnold mengarah padanya.Manajer restoran tampak hendak berbicara, tetapi Arnold kembali menyambar dengan nada dingin penuh wibawa, “Saya Arnold Windsor. Orang ini telah mengacaukan acara makan malam keluarga saya. Keluarkan dia… dan pastikan dia membayar semua tagihannya sebelum pergi.”Seketika ruangan diliputi keheningan yang menegang. Semua orang saling berpandangan dengan kaget sekaligus bingung dengan sikap otoriter Arnold.David langsung tergelak. “Arnold Windsor, aku tahu kamu hebat dan punya banyak uang. Tapi, jangan sok berlagak seperti pemilik restoran ini. Kamu pikir mereka akan menuruti perintahmu begitu saja?”“Kenapa tidak?” Arnold menye







