Masuk“Selamat ya. Dengan ini, kalian sudah resmi menjadi pasangan suami-istri.”
Senyum lega merekah di wajah Sherin saat menerima sertifikat pernikahan dari petugas catatan sipil yang duduk di hadapannya. Ia segera bangkit dari kursinya, hendak menyusul Arnold yang telah lebih dulu keluar ruangan.
Namun, langkahnya terhenti karena sang petugas memanggilnya kembali. Ia pun menoleh.
Dengan nada penuh keraguan, petugas itu berkata, “Nona, apakah suami Anda…?”
Dahi Sherin berkerut. “Ada apa dengan suami saya?”
Wanita paruh baya itu malah menggeleng. “Ah, tidak. Lupakan saja. Mungkin saya yang keliru.”
Meski merasa aneh, tetapi Sherin tidak ingin membuang waktu untuk bertanya lebih jauh.
Begitu Sherin keluar dari ruangan, petugas tersebut menatap salinan identitas yang tadi diberikan Arnold. Bibirnya menggumam pelan, “Nama mereka memang sama. Tapi … Arnold Windsor yang itu tidak mungkin berpenampilan seperti tadi, kan?”
Petugas itu pun menepis pikirannya dan kembali melanjutkan tugasnya.
***
Di luar gedung, Sherin menemukan Arnold berdiri di samping mobil. Pria itu terlihat sedang mengamati sertifikat pernikahan yang baru diterimanya. Wajahnya tampak serius seakan sedang menilai sesuatu hal.
“Kamu belum pergi?” tanya Sherin, menghampiri pria yang telah resmi menjadi suaminya tersebut..
Alih-alih menjawab, Arnold hanya melemparkan tatapan datar, lalu memalingkan wajahnya dengan acuh tak acuh.
Sherin hanya bisa menghela napas frustrasi. Sejak mereka memasuki gedung catatan sipil, Arnold terus bersikap dingin padanya. Namun, Sherin menyadari kesalahannya.
Siapa yang tidak marah, dipaksa menikah demi kepentingan gadis gila yang telah mempermalukannya di depan umum?
“Aku tahu kamu masih kesal,” ujar Sherin dengan hati-hati. “Tapi, kamu sendiri juga setuju untuk menikah. Aku─”
Tatapan tajam Arnold langsung membungkamnya. Dengan penuh keengganan, gadis itu pun terpaksa mengalah. “Oke. Aku minta maaf. Tapi, aku punya alasan!” cetusnya.
Arnold malah berdecih. “Apa maaf saja cukup?” cibirnya.
Sherin langsung menelan ludah ketika melihat goresan panjang pada spion mobil yang ditunjuk oleh Arnold. Saat melakukan pelarian diri tadi, Sherin akui jika ia tidak berpikir panjang. Ia tidak menyadari bahwa mobil yang “dicurinya” ini adalah mobil mewah edisi terbatas!
'Mampus! Pasti biaya perbaikannya sangat mahal,' batin Sherin, panik.
"Kenapa diam?" Satu alis Arnold terangkat. Seulas senyuman yang tampak remeh, tetapi juga terkesan angkuh tersungging di bibir pria itu.
"Jangan-jangan ... kamu ingin lepas tanggung jawab dan berpura-pura amnesia?" ejek Arnold.
“Aku bukan orang seperti itu!” sergah Sherin.
"Oh ya?" Pria itu masih meragukannya.
Amarah Sherin pun tersulut. "Aku akan bayar semuanya! Kompensasi, perbaikan mobil, biaya sewa, atau bahkan kalau kamu mau, aku bisa langsung bicara ke atasanmu!”
Alih-alih merasa puas, Arnold justru terkekeh pelan.
Dan Sherin sadar—lelaki itu benar-benar menikmati setiap detik penderitaannya. Meskipun kesal, tetapi Sherin tidak dapat berkata apa pun karena mobil itu memang rusak akibat ulahnya. Selain itu, ia masih membutuhkan pria itu─setidaknya untuk sekarang.
Merasa tidak ada hal yang dibicarakan lagi, Sherin memutuskan pergi. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya yang lebih penting. Namun, baru ia hendak berbalik badan, pergelangan tangannya dicekal.
“Mau ke mana?” tanya Arnold. Matanya menyipit penuh curiga.
“Bukan urusanmu," jawab Sherin dengan ketus.
“Kamu mau kabur?” sindir pria itu lagi.
Sherin pun membelalak. “Siapa bilang aku mau kabur? Aku─”
“Tapi, wajahmu mengatakan hal sebaliknya,” potong Arnold, cepat.
Sherin memejamkan mata, mencoba menahan emosi. “Baiklah. Kalau kamu takut aku kabur, antar saja aku pulang.”
Arnold menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya melepaskan cekalannya dan mengangguk setuju dengan sarannya.
“Dasar menyebalkan,” gerutu Sherin sambil membuka pintu mobil dengan kasar, lalu duduk di kursi penumpang tanpa menatap pria itu sedikit pun.
Sementara, Arnold masih berdiri diam di luar. Tatapannya jatuh pada salinan sertifikat pernikahan di tangannya. “Sherin... Scarlet?” gumamnya pelan.
Sebelum pikirannya larut terlalu jauh, suara nyaring klakson mobil mengagetkannya.
"Apa kamu mau nunggu sampai tahun depan baru mau masuk?" omel Sherin dengan nada tidak sabar.
Arnold akhirnya masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa, lalu melajukan kendaraan meninggalkan kantor catatan sipil.
Selang beberapa waktu kemudian, mereka tiba di kediaman keluarga Scarlet. Sherin turun lebih dulu. Ia tidak menunggu Arnold dan membiarkannya memarkir mobil sendiri.
Tidak ada pelayan yang menyambut gadis berstatus nona besar itu. Perlakuan asing seperti ini sudah biasa diterima oleh Sherin.
Selama sepuluh tahun terakhir, tempat itu sudah tidak pernah terasa seperti rumah baginya. Begitu ia menginjakkan kaki di ruang keluarga, atmosfer udara langsung terasa berat.
Penelope Smith, ibu tirinya, langsung menyambutnya dengan cibiran sinis. “Kamu masih punya muka untuk pulang ke rumah ini, Sherin?”
Sherin menyeringai. “Yang tidur dengan tunangan orang bukan aku, tapi putrimu. Kenapa harus aku yang malu?”
Penelope tersentak. Sebelum ia sempat membalas, tiba-tiba Paula menangis di sampingnya dan berseru dengan suara terisak, “Kak Sherin jahat. Gara-gara video editanmu, sekarang semua orang menghinaku. Aku … aku … mau mati saja!”
“Editan?” Sherin nyaris tertawa. “Siapa bilang video itu editan? Jelas-jelas kamu─”
“Paula-ku yang malang," Penelope menyela dengan cepat. Ia memeluk putrinya dan ikut menangis tersedu-sedu. "Sekarang nama baiknya jadi hancur karena ulah gadis tak tahu diri ini," lirihnya.
Sherin memutar bola matanya dengan malas. Ia sudah familiar dengan sandiwara Penelope dan Paula. Keduanya sudah sering melakukannya demi mendapatkan simpati dari orang-orang sekitarnya, terutama ayahnya.
Namun, Sherin tidak menyangka mereka masih tidak jera dan berusaha memutarbalikkan keadaan dengan menimpakan kesalahan padanya. Padahal jelas terbukti Paula telah bermain gila dengan tunangannya.
‘Benar-benar tidak masuk akal,’ batin Sherin seraya mengembuskan napasnya dengan kasar.
“Akuilah kesalahanmu, Sherin,” ujar sang ayah, yang kini telah berdiri di hadapannya.
Seperti biasa, David Scarlet selalu berada di pihak Penelope dan Paula. Biasanya Sherin sama sekali tidak peduli. Hanya saja, kali ini ia merasa sangat kecewa. Tatapan tajam ayahnya memperjelas bahwa apa pun pembelaannya tidak akan ada gunanya.
Kedua tangan Sherin terkepal erat. Amarah di dalam dadanya semakin bergejolak saat melihat Penelope dan Paula tersenyum penuh kemenangan di balik tangis pura-pura mereka.
Sherin mengatupkan rahangnya, lalu ia membalas dengan suara yang bergetar, tetapi tetap terlihat tegar, “Aku tidak bersalah.”
“Terlepas apakah video itu hasil editan atau bukan, perbuatanmu tadi bukan hanya merusak reputasi kita, tetapi juga keluarga Langdon, Sherin,” lanjut David, sama sekali tidak peduli dengan ucapan putrinya. “Tapi mereka bersedia mengampunimu, asal kamu mau minta maaf dan tetap menikah dengan Marco. Jadi─”
Sherin tertawa getir. “Wah, hati mereka benar-benar mulia, ya,” ejeknya.
Rahang David mengeras. Namun, ia masih mencoba untuk tidak mempedulikan ucapan putrinya dan berkata, “Telepon Marco sekarang. Katakan padanya kalau kamu bersedia menikah dengannya. Papa akan menjadwalkan pendaftaran pernikahan kalian di kantor catatan sipil besok.”
“Itu tidak mungkin,” timpal Sherin dengan suara dingin sekaligus tegas.
Matanya memicing tajam, menatap sang ayah dengan penuh kebencian. "Selama ini aku sudah cukup bersabar menjadi alat untuk mewujudkan ambisi dan keserakahan Papa. Kali ini aku tidak akan pernah membiarkan Papa mengatur hidupku lagi."
Rahang David mengatup rapat. “Dasar anak durhaka …,” geramnya.
Kesabarannya sudah habis. Pria paruh baya itu pun mengangkat tangannya, lalu─
PLAK!
Satu tamparan telak mendarat tepat di wajah Sherin. Rasa panas menyengat pipinya, tetapi rasa kecewa di dalam dadanya jauh lebih menyakitkan.
Keheningan menggantung sesaat, hingga suara dalam yang tenang memecah suasana. “Apa yang Anda lakukan?”
Semua mata menoleh ke arah pintu.
Arnold berdiri di sudut ruangan. Matanya mengedar ke seluruh ruangan, lalu terhenti pada wajah Sherin yang memerah. Namun, ekspresinya tetap datar.
“Siapa kamu?!” bentak David.
Arnold tidak menggubrisnya dan melangkah mendekati Sherin. Dengan penuh kehati-hatian, ia menyentuh bekas kemerahan pada pipi Sherin. Sikap tak terduganya itu membius semua orang di dalam ruangan tersebut, termasuk Sherin.
'Dia ...apa yang dia lakukan?' batin Sherin, tak percaya dengan tatapan lembut yang tertuju padanya.
Sementara itu, David kembali membentak, kesal karena diabaikan, “Saya tanya, siapa kamu?! Apa hubunganmu dengan putri saya?!”
Arnold pun menoleh. Tatapan tajamnya yang menusuk, membuat nyali David perlahan menciut.
Sebelum Arnold sempat menjawab pertanyaan ayahnya, Sherin yang telah menguasai rasa kagetnya, sudah angkat suara lebih dulu, “Dia adalah suamiku, Papa.”
Seisi ruangan seakan membeku dalam keheningan dengan pengakuan tersebut.
David terhenyak, sedangkan Penelope dan Paula saling berpandangan dengan syok.
Namun, di tengah kekagetan semua orang, seulas senyuman samar yang misterius terbit di bibir Arnold. Pria itu terlihat menikmati drama yang tengah berlangsung di tengah ruangan tersebut.
Mobil yang dikemudikan Arnold memasuki kawasan vila elit di kaki gunung. Jalanan sangat lengang, tetapi hanya diterangi cahaya lampu temaram yang berderet di kedua sisi, menciptakan suasana sunyi dan dingin.Sherin menoleh ke sekeliling. Keningnya lantas berkerut. “Arnold, kenapa kamu membawaku ke sini?”Arnold tetap menatap lurus ke depan. “Bukankah kamu bilang ingin bicara?”“Iya, tapi—” Sherin terhenti, rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. ‘Jangan bilang dia mau ….’Glek!Sherin menelan salivanya dengan kasar. Ucapan yang pernah Alvin katakan mengenai sosok “King” yang merupakan sosok pembunuh berdarah dingin, tiba-tiba saja melintas di dalam kepalanya.‘Astaga, aku ini ngelantur apa sih .…’Sherin segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menepis pikiran konyolnya sendiri. Namun, kewaspadaannya tetap terjaga. Terlalu banyak rahasia tentang Arnold yang belum ia ketahui.Meskipun Arnold belum menjelaskan apa pun tentang identitasnya yang sebenarnya, tetapi kini, Sher
Tangan Arnold yang baru saja membuka pintu mobil seketika terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap Leon dengan sorot mata tajam dan tak bersahabat.“Apa ucapanku tadi kurang jelas?” cibir Arnold dengan dingin, “atau kamu memang terlalu bodoh untuk memahaminya, Leonard Hale?”Rahang Leon mengeras. Urat di pelipisnya tampak menegang, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang.“Tidak usah berpura-pura, Arnold. Aku tahu kalau kamu dan Sherin hanya menikah pura-pura,” cetusnya dengan tegas.Genggaman tangan Arnold pada pintu mobil perlahan mengencang. ‘Sherin yang memberitahunya?’ terkanya di dalam hati.Memikirkan keakraban istrinya dengan pria itu sampai membicarakan tentang rahasia pernikahan mereka membuat hati Arnold terasa panas. Namun, ia tidak ingin memperlihatkannya secara nyata, tidak untuk membuat Leon merasa senang.“Berpura-pura atau tidak, faktanya aku adalah suaminya, Leonard Hale,” desis Arnold seraya mendengus sinis. Tatapannya menyoroti pria itu dengan remeh, menunjukkan
'Ck! Pasti Hailey yang sudah membocorkannya,' sungut Sherin di dalam hati. 'Dasar mulut ember!'Ia mendengus pelan, menahan kekesalan yang mendadak memenuhi dadanya. Meski kecewa, Sherin tahu ia tidak sepenuhnya bisa menyalahkan sahabatnya itu.“Apanya yang benar?”Suara berat Arnold memecah keheningan yang menyesakkan. Tatapannya langsung tertuju pada Leon, dingin dan penuh tekanan.“Aku adalah suami Sherin,” ucap Arnold dengan tegas, lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan penekanan yang disengaja, “sah secara hukum.”Kata "sah" itu meluncur seperti pisau, menghunjam tepat ke sasaran. Dari sorot mata Leon, ia bisa melihat amarah yang tidak lagi mampu disembunyikan.Tanpa memberi Leon celah untuk menyela, Arnold kembali berbicara. Nada suaranya tetap tenang, tetapi setiap katanya mengandung tekanan yang menusuk.“Aku tidak keberatan jika tidak dianggap sebagai keluarga. Tapi kalau begitu, apakah itu berarti kalian juga menganggap Sherin sebagai orang luar?”Arnold sengaja me
“Kamu kenal dengan Tuan Muda Windsor, Leon?” tanya Natasha seraya menatap putranya dan Arnold secara bergantian. Namun, tidak ada satu pun di antara mereka yang menjawab pertanyaannya.Rasa penasaran membuat Sherin ikut menoleh ke arah suaminya. Baru saja ia hendak membuka mulut, suara Arnold telah lebih dulu menyelanya, “Oh?” Arnold melirik Leon sekilas—dingin dan singkat—lalu beralih menatap Sherin. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya, “Jadi … dia Kakak Leon yang sering kamu ceritakan itu, Sayang?”Mata Sherin terbelalak. Ucapan Arnold terdengar ringan, tetapi sindiran dingin yang terselip di dalamnya membuat Sherin salah tingkah.Gadis itu tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ia yakin Leon pasti sangat bingung dan syok dengan situasi saat ini. Ia mengira pria itu sama sekali tidak tahu bahwa dirinya telah menikah.Sherin hanya bisa menjawab dengan anggukan. Ia tahu jika Arnold masih belum bisa menerima kedekatannya dengan Leon. Sungguh, ia tidak menyangka jika keduanya terny
Arnold hanya tersenyum tipis, tidak merasa bersalah sedikit pun. “Maaf kalau aku keras kepala. Tapi, kita bersaing dengan adil. Bukankah begitu, Tuan Callen?”George berdeham, jelas masih kesal, tetapi ia hanya bisa mengangguk membenarkan.“Kalau begitu … kamu juga punya lukisan Mama?” selidik Sherin, menatap Arnold dengan tajam.Arnold terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. Ia tahu ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan apa pun.Melihat ekspresi kesal Sherin, Natasha yang sejak tadi tidak mencampuri pembicaraan, tiba-tiba menyipitkan matanya dengan tajam, menatap Arnold dengan penuh curiga. “Kenapa? Dia tidak pernah cerita padamu, Sherin?”Sherin menggigit bibir dengan erat, bingung harus menjawab apa. Sepemahamannya terhadap sikap Natasha, ia yakin wanita itu akan meledakkan amarahnya lagi jika tahu Arnold telah “menipu” identitasnya selama ini darinya.Sebelum Natasha menginterogasi lebih lanjut, para pelayan kembali masuk dengan membawakan hidangan penutup. Mereka meleta
Pelayan yang sebelumnya keluar melapor kembali masuk bersama tiga orang pria, dua di antaranya adalah staf keamanan internal dan satu lainnya adalah manajer restorannya.Namun, sebelum manajer itu sempat menanyakan apa pun, suara Arnold sudah lebih dulu memotong tajam, “Kalian … bawa pengacau ini keluar!”David terperanjat saat telunjuk Arnold mengarah padanya.Manajer restoran tampak hendak berbicara, tetapi Arnold kembali menyambar dengan nada dingin penuh wibawa, “Saya Arnold Windsor. Orang ini telah mengacaukan acara makan malam keluarga saya. Keluarkan dia… dan pastikan dia membayar semua tagihannya sebelum pergi.”Seketika ruangan diliputi keheningan yang menegang. Semua orang saling berpandangan dengan kaget sekaligus bingung dengan sikap otoriter Arnold.David langsung tergelak. “Arnold Windsor, aku tahu kamu hebat dan punya banyak uang. Tapi, jangan sok berlagak seperti pemilik restoran ini. Kamu pikir mereka akan menuruti perintahmu begitu saja?”“Kenapa tidak?” Arnold menye







