sdh cukup sabarnya, sherin :'(
Melihat wajah masam istri kecilnya saat menerima kalung yang dimenangkannya dari pelelangan, kening Arnold mengernyit. “Kenapa? Bukannya kamu suka kalungnya?”“Siapa bilang aku suka? Aku ….” Sherin menghentikan ucapannya, lalu menghembuskan napas kasar sambil meletakkan kalung itu di atas meja.‘Sepertinya percuma saja aku bicara dengannya. Dia sama sekali tidak akan mengerti,’ sungut gadis itu di dalam hati.Arnold mengangkat alis. “Kalau memang ada barang yang kamu mau, tinggal katakan saja, aku akan mendapatkannya untukmu. Tidak usah sungkan.”Sherin memutar bola matanya dan mencebikkan bibirnya dengan malas. "Apa kamu takut aku tidak tahu kalau kamu sangat kaya?" cibirnya.Arnold nyaris tertawa karena tidak menyangka niat baiknya justru disalahartikan. Ia belum sempat membuka mulut ketika gadis itu menyipitkan matanya dengan penuh curiga.“Jangan bilang …," gumam gadis itu dengan nada menyelidik, “ ... kamu mengajakku ke acara ini, lalu memberikan kalung ini, cuma karena ingin men
“King … apa kamu sebenarnya adalah Arnold?” Namun, sebelum pertanyaan Sherin sempat terdengar jelas, suara gadis itu tenggelam dalam gemuruh tepuk tangan yang tiba-tiba menggema di seluruh aula. Arnold menoleh ringan. “Kamu bilang apa tadi?” tanyanya datar, tetapi dapat terdengar oleh gadis itu di tengah keriuhan yang terjadi. Sherin belum sempat menjawab ketika pria itu menambahkan cepat, dagunya sedikit terangkat ke arah panggung. “Kamu suka kalung itu?” Sherin sontak menoleh. Di panggung, sorotan lampu menari di sekitar seorang model bergaun putih yang memamerkan kalung berlian berdesain elegan. Cahaya lampu tersebut memantulkan kilau dingin dari permata bening yang sedang memukau seluruh ruangan. “Item ke tujuh malam ini—The Winter Serenade, karya maestro Vittore D’Alesi!” seru host acara, suaranya nyaring saat memperkenalkan barang lelang tersebut. Arnold mengangkat gelas wine-nya, menyesap perlahan sebelum berucap datar, “Kalau kamu suka, aku akan mendapatkannya untukmu.”
Senyum nakal Arnold langsung menghilang. Tatapannya sempat membeku sepersekian detik sebelum ia cepat-cepat berdeham dan menegakkan bahunya.“Aku bilang …” Suara Arnold terdengar lebih berat kali ini, “… lipstikmu berantakan.”Nada datarnya berusaha terdengar santai, tetapi ketegangan di ujung bibirnya tidak bisa sepenuhnya disembunyikan.Sherin memandangnya tak percaya. “Tadi jelas-jelas kamu—”“Sudahlah,” potong Arnold cepat sambil memalingkan wajah. “Acara pelelangan sebentar lagi dimulai. Ayo.”Tanpa menunggu respon gadis itu, ia melangkah lebih dulu menuju lantai dua, seolah tak terjadi apa-apa.Sherin masih berdiri di tempat, terpaku. “Apa aku salah dengar? Tidak mungkin … tapi jelas tadi dia ….”Sherin menggigit bibirnya. Keraguan yang memenuhi benaknya membuat pikirannya mendadak terasa kacau, tetapi mendengar host acara mengaungkan suaranya, ia pun bergegas mengikuti langkah pria bertopeng itu.Sementara itu, di ruang VIP yang remang di lantai atas, seseorang yang sejak tadi
Arnold berdiri tegak di tengah aula. Sorot matanya menyapu perlahan ke setiap sudut ruangan, ke arah para tamu yang masih terpaku, terperangah oleh apa yang baru saja mereka saksikan. “Sekarang …,” Suara Arnold yang dalam dan penuh percaya diri seakan menyadarkan mereka dari rasa kaget, “... masih ada lagi yang meragukan hubungan kami?” Tidak seorang pun bersuara. Hanya keheningan yang menjawab dengan semua pasang mata yang hanya saling berpandangan dengan gugup. Bahkan Felicia, yang beberapa menit lalu masih tampak percaya diri dan congkak, kini terpaku dengan ekspresi tak percaya. Bibirnya terbuka, tetapi tidak ada satu pun kata yang sanggup keluar. Frans di sisinya, hanya menatap kaku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun, tidak dapat dipungkiri jika ia merasa sangat kesal karena Sherin ternyata tidak jatuh seperti yang diharapkannya setelah mencampakkan putranya. Di tengah kecemasan dan ketakutan orang-orang, suara Arnold kembali bergema, “Saya tegaskan sekali lag
Felicia yang sempat dipaksa bungkam, akhirnya ikut menyambar dengan suara yang terdengar sopan, tetapi diselimuti nada sinis yang tajam. “Benar. Meskipun saya tidak tahu siapa Anda,” ujarnya, sambil menatap pria bertopeng itu penuh penilaian."Tapi jika Anda memang pria yang berstatus tinggi, saya rasa …," lanjut wanita itu, lalu melirik tajam ke arah Sherin, "gadis seperti dia tidak pantas untuk Anda, Tuan.”Kening Sherin semakin berkerut. Ia benar-benar tidak menyangka, bahkan setelah semua yang terjadi, kedua mantan calon mertuanya itu masih berusaha menjatuhkannya—kali ini dengan cara menghasut King?Sebelum Sherin sempat mengomentari ucapannya, Felicia kembali menambahkan, “Sejujurnya… saya masih sangat bingung. Saya cukup yakin suami Nona Scarlet berasal dari status rendahan." Satu alis Arnold terangkat perlahan di balik topengnya. “Jadi,” ujarnya dingin, “Anda ingin mengatakan bahwa saya berbohong? Bahwa gadis ini bukan istri saya?”Felicia terdiam sejenak. Ia menatap pria itu
“Hanya orang bodoh yang tidak tahu dengan siapa mereka berbicara,” ucap Arnold dingin.Nada suaranya dalam, lembut, namun setiap katanya seperti menampar udara di antara mereka. Tatapan birunya yang tajam menghujam Frans, membuat pria itu seolah kehilangan nyawanya karena syok.Kedua bahu Frans menegang. Wajahnya mendadak berubah pucat pasi.Ia mengenal nama itu—King—sosok yang selama ini disebut-sebut sebagai penguasa bayangan di dunia bisnis dan bawah tanah. Investor besar di balik konglomerat raksasa negeri ini. Pria misterius yang bahkan para petinggi negara enggan menyinggungnya secara langsung.‘Sial! Kenapa aku malah lupa kalau Tuan Jovan juga mengundangnya?’ rutuk Frans di dalam hati.Beberapa hari lalu, Charles Jovan memang sempat menyinggung nama besar itu, tetapi bahkan pria tua itu sendiri tampak ragu kalau sosok misterius itu benar-benar akan datang malam ini, terlebih setelah beberapa kali undangannya ditolak tanpa alasan.Namun kini, orang yang selama ini hanya disebut-