“Kamu bilang … dia … suamimu?”
Tatapan David Scarlet menusuk tajam ke arah putrinya dan gadis itu mengangguk dengan penuh percaya diri.
Pandangan David pun berpindah kepada pria bertubuh tinggi di samping Sherin. Sosok itu berdiri tenang, namun ada aura berbahaya yang sulit ia jelaskan dari pria tersebut. Ada ketegasan dari sorot matanya yang membuat David merasa terintimidasi.
Namun, pria paruh baya itu berusaha menekan perasaan tidak nyamannya tersebut dan berkata, “Jangan kamu kira Papa akan percaya begitu saja hanya karena kamu membawa sembarang orang untuk diakui sebagai suamimu!”
“Papamu benar,” timpal Penelope. “Walaupun kamu marah dengan Marco dan ingin membalasnya, tapi tidak harus asal memilih seperti ini.”
Paula ikut menimpali, menelusuri Arnold dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. “Seleramu sekarang turun kelas, Kak?”
Sherin sudah menduga ayahnya akan menampik pengakuannya. Namun, ia tidak menyangka Penelope dan Paula akan menghina pria pilihannya. Ia pun membalas dengan sengit, “Siapa bilang turun kelas? Menurutku, dia jauh lebih tampan dan menggoda daripada bajingan Langdon itu.”
Seulas senyuman samar muncul di wajah Arnold saat mendengar pembelaan sekaligus pujian Sherin. Namun, ekspresinya berubah datar kembali saat gadis itu menoleh padanya.
Paula terlihat kesal. Meski enggan mengakuinya, ia tahu pria itu memang memikat. Bahkan seragam hotel yang dikenakan Arnold tak mampu menyamarkan wibawa dan kharismanya. Ada sesuatu yang membuat Paula terkesima … sekaligus merasa takut.
“Belum puas merebut tunanganku? Sekarang kamu tertarik juga sama suamiku?” sindir Sherin saat melihat tatapan Paula yang tak lepas dari Arnold.
Wajah Paula memerah, tetapi ia buru-buru menenangkan diri, lalu memasang ekspresi polos. “Kak Sherin, fitnahmu itu keterlaluan.”
“Oh, ya?” Sherin mencibir.
“Cukup, Sherin!” bentak David dengan geram. “Marco sudah menyuruh orang menyelidiki rekaman itu. Mereka bilang itu cuma hasil editan!”
“Benar,” timpal Penelope dengan nada menyudutkan. “Kalau keluarga Langdon tahu kamu terus menyebar fitnah, mau ditaruh di mana muka ayahmu?”
Sherin terdiam. Untuk sesaat, kata-kata mereka membungkamnya. Bukan karena ia percaya, melainkan karena terkejut dengan kelicikan mereka dalam menutupi kebenaran.
David melirik sinis ke arah Arnold. “Kamu dibayar berapa sama anak saya? Saya bayar dua kali lipat!”
Sherin menegang, takut Arnold akan tergiur. Namun, pria itu hanya tersenyum dingin. “Saya tidak yakin Anda mampu, Tuan Scarlet,” jawabnya dengan santai.
“Kurang ajar!” maki David, merasa diremehkan.
Sherin melangkah maju, berdiri di depan Arnold. “Mau Papa bayar berapa pun, itu tidak akan ubah fakta kalau dia adalah suamiku,” cetusnya dengan angkuh.
Tiba-tiba Penelope tertawa mengejek. “Tolonglah. Kamu pikir kami bodoh? Jelas-jelas kamu menyewanya untuk bersandiwara agar bisa mendapatkan galeri bobrok itu, bukan?” sindirnya.
Sherin mendelik tajam, tetapi ibu tirinya itu tidak menggubrisnya.
“Jual saja galeri bobrok itu, David,” hasut Penelope lebih lanjut.
Kedua tangan Sherin terkepal erat. Amarah di dalam dadanya terasa mendidih. Dengan suara penuh intimidasi, ia berkata, “Berani kamu menyentuh Clover. Aku tidak akan segan merobek bibir oplasmu itu, Tante Pene.”
Penelope membelalak. Tangannya refleks menutupi bibir.
“Kak Sherin keterlaluan,” seru Paula, tak terima ibunya disudutkan. “Padahal Mamaku cuma khawatir tentang keuangan keluarga ini. Lagian Clover selalu merugi. Mau sampai kapan kita mempertahankannya?”
“Itu karena kalian tidak becus mengelolanya,” balas Sherin dengan sinis. “Dan jangan pikir aku tidak tahu bagaimana kalian jual satu per satu aset Mamaku secara diam-diam!”
Penelope dan Paula terdiam dan saling berpandangan. Terselip ketakutan di mata keduanya.
“Clover adalah jerih payah Mama. Dan sekarang, aku sudah memenuhi syarat untuk mengambil hak kelola,” lanjut Sherin.
“Mana buktinya?” tantang Penelope.
Tanpa ragu, Sherin memperlihatkan sertifikat pernikahannya yang sejak tadi dibawanya. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Clover!” tegasnya.
David pun menyambar lembaran dokumen tersebut. Penelope dan Paula mendekat, ikut melongok untuk memastikan kebenaran atas ucapan Sherin.
“Ar-Arnold … Windsor?” gumam Penelope saat membaca nama pria di dalam sertifikat tersebut.
Tatapan David tertuju pada Arnold, lalu dengan penuh keraguan, ia bertanya, “Kamu … bukan Windsor yang itu, kan?”
Arnold tetap diam.
“Tidak mungkin …,” bisik Penelope kepada David. “Ini pasti hanya kebetulan, Sayang.”
“Apa sih maksud kalian?” tanya Paula bingung.
“Namanya … mirip dengan pewaris utama keluarga Windsor,” jawab Penelope seraya berdeham pelan.
“Apa?” Paula terperangah. “Maksud Mama … Windsor yang sering masuk dalam sepuluh daftar keluarga terkaya itu?”
Penelope mengangguk dengan enggan. Sebelumnya mereka sering mendengar David membicarakan tokoh tersebut akhir-akhir ini.
Dari kabar yang beredar, Arnold Windsor baru kembali setelah sukses membangun kerajaan bisnisnya di luar negeri. Pria itu kembali untuk meresmikan perusahaan barunya dan mencari mitra bisnis di dalam negeri.
David sempat berencana mendekati Windsor Grup melalui keluarga Langdon. Keluarga Langdon dan Windsor sendiri masih memiliki hubungan kerabat. Itulah alasan David sangat mendukung pernikahan Sherin dengan Marco. Namun, sekarang semua rencana itu runtuh seketika.
Ruangan mendadak menjadi sunyi. Semua mata kini tertuju pada Arnold, termasuk Sherin.
‘Dia ... pewaris keluarga Windsor?’ batin Sherin, terguncang.
“Mana mungkin!” seru Paula, memutuskan keheningan di antara mereka.
“Jelas-jelas dia hanya pegawai hotel rendahan yang dibayar Kak Sherin untuk mengelabui kita. Jangan terkecoh!” tukas gadis itu.
Sherin berdecak. Meski kesal, tetapi sebagian hatinya sepakat dengan penilaian adik tirinya terhadap status Arnold tersebut. Rasanya terlalu mustahil kalau pria ini adalah Arnold Windsor yang mereka maksud sebelumnya.
Namun, sikap diam Arnold yang tidak memberikan penyangkalan ataupun pembenaran menimbulkan pertanyaan besar di dalam kepalanya.
“Aku rasa Paula ada benarnya,” sahut Penelope. “Tak mungkin Tuan Muda Windsor mau menikahi gadis seperti dia,” lanjutnya dengan nada mengejek.
Sherin tertawa hambar. Ia menarik kembali dokumen dari tangan ayahnya dan berkata, “Aku tidak peduli dia Arnold Windsor yang kalian maksud atau bukan. Yang jelas, kami suami istri. Dan sesuai syarat, hak kelola Clover sekarang milikku.”
“Tidak semudah itu, Sherin,” timpal David.
Mata Sherin membulat. “Pa─!”
“Papa akan serahkan Clover. Asalkan kamu menghentikan sandiwara konyolmu ini dan minta maaf kepada Marco,” potong David dengan nada tak terbantahkan. “Menikahlah dengannya. Jangan rusak peluang bisnis Papa!”
Arnold mengernyit dan menatap David dengan sorot mata tak bersahabat. Sebelum pria itu sempat mengatakan apa pun, Sherin telah mendahuluinya.
“Jelas-jelas Marco sudah berselingkuh dengan Paula, Pa!” seru Sherin dengan emosi yang meluap. Guratan kekecewaan yang mendalam menghiasi wajahnya.
“Sudah cukup, Pa. Aku tidak akan pernah melakukannya,” imbuh gadis itu seraya berbalik badan, hendak pergi dari hadapan ayahnya tersebut.
David, yang sudah kehilangan kendali, tidak membiarkan Sherin pergi begitu saja. Ia mencengkeram lengannya dengan kasar hingga gadis itu menoleh dan meringis kesakitan. Namun, sebelum ia sempat menarik putrinya lebih jauh, sebuah tangan kokoh menahan pergerakannya.
Arnold.
Aura dingin dan tekanan mengintimidasi yang dipancarkan pria itu membuat ruangan seketika membeku.
“Berani-beraninya kamu ikut campur!” bentak David, murka. “Kamu pikir kamu siapa, hah! Dasar bajingan─Akh!”
Rintihan kecil meluncur dari bibir David. Cengkeraman Arnold semakin erat hingga cekalan David pada tangan Sherin pun terlepas.
Semua orang terkesiap. Ketegangan mengunci seluruh ruangan. Tidak satu kata pun keluar dari mulut Arnold. Namun, ada kilatan ancaman dingin dari sorot matanya yang membuat siapa pun diam tak berkutik.
Sherin juga terpaku. Meskipun ia sangat bersyukur dengan perlindungan pria itu, tetapi anehnya, ada rasa takut yang menghimpit dadanya.
Aura berbahaya yang mendominasi dari sosok suami dadakannya itu, seakan menyiratkan bahwa pria itu memiliki kemampuan untuk melenyapkan siapa pun dalam satu tarikan napasnya!
“Seperti dugaanmu, Bernard Murray memang orang yang cukup licik dan serakah. Sudah banyak beredar rumor buruk tentangnya, tetapi berkat seseorang, semua isu itu berhasil dialihkan. Dan kamu pasti tahu siapa orangnya,” imbuh Sophia lebih lanjut.Arnold memutar pelan gelas whiskey di tangannya. Jelas siapa yang Sophia maksud, kemungkinan besar Frans Langdon-lah yang yang berada di balik pergerakan calon politisi itu.Arnold menatap cairan keemasan di dalam gelasnya, seolah bisa membaca jejak langkah lawannya di sana. Alih-alih menggali informasi lebih lanjut, ia menyoroti Alvin yang tengah asyik bersenang-senang dengan para bawahannya yang lain.“Apa bocah itu masih sering memberikan masalah untukmu selama aku pergi, Madam Nolan?” tanya Arnold seraya menunjuk pemuda itu dengan dagunya.Sophia mengikuti arah pandang Arnold, lalu mendengus kecil. “Tiada hari dia tidak berulah. Bukannya bekerja, dia malah sibuk menggoda semua wanita yang ditemuinya. Entah mau jadi apa dia nanti.”“Walaupun
Musik hingar bingar memenuhi ruangan VIP Diamond. Terdengar suara tawa dari beberapa pria dan wanita yang sedang menikmati minuman berkelas, ditemani alunan musik live yang memekakkan telinga.Lampu kristal berpendar lembut, memantulkan kilau dari botol-botol champagne yang berjajar di atas meja marmer. Asap cerutu tipis menari di udara, bercampur dengan aroma alkohol yang menusuk.Tampak Alvin yang tengah memasang wajah serius, tangannya menggenggam stik biliar dengan penuh konsentrasi. Ia membungkuk, menatap bola putih seolah ingin menembusnya dengan sorot matanya. Satu kali pukulan, bola meluncur cepat namun berhenti beberapa sentimeter sebelum mengenai target.“Ah, sial!” gerutunya sambil mengumpat kecil, membuat pria-pria lain di sekitar meja tertawa.King, yang sejak tadi hanya berdiri santai dengan tangan terlipat di dada, melangkah maju dengan tenang. Ia mengambil stik biliarnya tanpa banyak bicara.Dengan gerakan sederhana, bola putih melesat mulus, memantulkan sisi meja, dan
Sherin masih terpaku di depan pintu hingga salah satu pria mengisyaratkannya untuk masuk. “Kemarilah, Kucing Manis. Ayo temani Kakak minum.”Tamu pria itu menepuk tempat kosong di sampingnya. Senyum lebarnya memperlihatkan deretan gigi yang sudah tak lagi rapi dan menguning.Mendengar tawaran itu, satu alis Sherin menukik naik. ‘Dasar tua bangka tidak tahu diri. Dia bilang apa? Kakak? Apa dia tidak berkaca dulu sebelum keluar rumah tadi?’Ia menahan lidahnya agar tidak menyemburkan umpatannya. Demi pekerjaannya, ia memilih diam. Dengan penuh keengganan, gadis itu mendorong trolinya dan berdiri di tengah ruangan.Ketiga tamu paruh baya itu tidak mengenakan topeng mereka sesuai aturan kelab sehingga Sherin bisa melihat jelas wajah mereka. Kening Sherin langsung mengernyit saat tatapannya tertuju pada salah seorang tamu.Pria berperut buncit itu duduk sambil memeluk pinggang dua wanita pendamping kelab berpakaian seksi di kedua sisinya. Terlihat beberapa bekas lipstik di wajah gempalnya
“Jack! Apa yang kamu lakukan di sana? Kemarilah!” Sophia Nolan tiba-tiba berteriak lantang padanya.Alvin mendengus kesal karena kesenangannya lagi-lagi diusik. “Dasar tante-tante cerewet,” gerutunya. Namun, ia tetap berjalan ke arah wanita itu.Sementara, Sherin masih terpaku di tempat, menatap King yang kini berdiri tegak di tengah ruangan dengan dikerumuni oleh para pengagumnya. Ia tidak dapat melepaskan tatapannya dari pria bertopeng perak itu.Aura yang terpancar dari sosok itu begitu kuat, hampir terasa seperti magnet yang memaksa semua mata menatap ke arahnya. Ketika tatapan dingin King tiba-tiba beradu dengan matanya, bulu kuduk Sherin meremang seketika.Napasnya nyaris tercekat saat melihat pria itu tersenyum tipis. Senyuman samar yang nyaris tidak terlihat, tetapi cukup untuk menimbulkan ribuan tafsir bagi siapa pun yang melihatnya.Ucapan Alvin sebelumnya bergema di dalam kepalanya, memunculkan ketakutannya. Namun, di sisi lain, Sherin merasa tatapan dingin pria itu sangat
Sherin mendorong troli minuman keluar dari ruang ganti, melangkah pelan menyusuri koridor. Setiap langkah terasa berat—bukan hanya karena pakaian yang membuatnya tidak nyaman, tetapi juga nyeri yang masih menusuk di kaki kanannya.Ia berhenti sejenak di depan pintu besar yang memisahkan area internal karyawan dengan ruang hiburan utama kelab. “Hei, Kucing Seksi,” goda penjaga yang berdiri di dekat pintu tersebut sembari bersiul. Namun, Sherin tidak menggubrisnya.“Pulang kerja nanti ikut denganku, bagaimana?” Pria berotot kekar tinggi itu masih mencoba merayunya.Sherin hanya melototinya dari balik topengnya dan segera mendorong pintu di depannya dengan punggungnya.Begitu pintu terbuka, dunia di hadapannya seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Cahaya lampu berwarna-warni menari liar di langit-langit, musik berdentum keras hingga terasa mengguncang dadanya, dan riuh tawa para tamu langsung menyergap telinganya.Jantung Sherin berdegup kencang, telinganya berdengung karena kebi
“Apa kamu belum selesai? Lama sekali!”Ketukan keras menggema dari balik pintu ruang ganti, disusul suara bentakan bernada kesal.Sherin hanya bisa menghela napas panjang, mengabaikan kemarahan Clara─hostess senior yang akan ia gantikan malam ini. Saat ini perhatiannya tersita sepenuhnya pada penampilannya sendiri.Keningnya mengernyit. Matanya menelusuri pantulan dirinya di depan cermin. Ia hampir tak percaya, gadis seksi di hadapannya ini adalah dirinya.Balutan kostum kucing serba hitam yang menempel ketat di tubuhnya, stoking jaring yang menutupi kaki jenjangnya, ekor panjang buatan yang menjuntai di belakang, serta telinga kucing yang bertengger manis di atas kepalanya membuatnya merasa ... tidak mengenal dirinya sendiri.Sherin meremas ujung rok mini ketat yang menempel di pinggangnya, berusaha menutupi rasa canggung yang kian menyesakkan. Napasnya terasa berat, seakan ruangan sempit itu menutup seluruh jalan keluar untuk bernapas.Gadis itu meneguk salivanya dengan bersusah paya