3 tahun berlalu
Seorang pria dengan wajah murung sedang duduk di atas kursi roda, wajahnya dihiasi jambang yang lama tidak bercukur, badannya kurus seolah sakit parah. Aura suram di raut mukanya, seperti keadaan kamarnya yang tidak bercahaya. Urat-urat lengannya yang dulu timbul hanya dengan sedikit gerakan, sekarang seolah ikut menyusut bersama badannya yang semakin kurus kering.
Rambutnya panjang sebahu, sedikit acak-acakan, sorot matanya tajam tapi penuh kebencian. Menjalani hidupnya sekarang seolah tidak ada tujuan. Sudah dua kali ia mencoba mengakhiri hidupnya, mengores lengannya dengan pecahan kaca. Sudah dua kali juga kaca di dalam kamar besar itu diganti, dan sekarang tidak dipasang lagi.
“Tina...” Nyonya Margaret memanggil pembantunya yang sedang mencuci piring-piring kotor di dapur.
“Iya, Nyonya.” Tina datang setelah membersihkan tangannya dari busa sabun.
“Saya mau keluar, ada hal penting yang harus saya urus, kamu lihat-lihat keadaan tuan muda, ya. Ia baru saja selesai makan, sore saya pulang.” Nyonya Margaret mengambil ponselnya di atas meja dapur.
“Baik, Nyonya.” asisten rumah tangga yang sudah 10 tahun bekerja di rumah besar itu segera berjalan mendahului majikannya.
Zachary Stewart diam di depan jendela, suara ibunya yang terdengar oleh pendengarannya hanya seperti angin lalu, ia tidak mau peduli dengan itu semua, dunianya hanya ada di dalam kamar suram itu. Ia lebih suka diam di dalam kamar tanpa cahaya yang menerangi.
Tina membuka pintu kamar besar yang ditempati oleh tuannya, gelap. Tapi dari jendela yang sedikit terbuka ia bisa melihat majikan mudanya sedang duduk di tepi jendela, menatap celah itu dengan tatapan kosong tanpa kehidupan. Sudah 3 tahun tuan mudanya menghabiskan waktu di kamar yang selalu temaram tanpa cahaya terang.
“Tuan muda, kalau mau minta apa-apa nanti panggil saja saya, ya? Saya di luar mau bersihkan halaman,” pesan Tina di ambang pintu.
“Hmmmm” han,ya suara pelan dan berat yang didengar oleh Tina, wanita berumur setengah baya itu sangat kasihan melihat tuan mudanya yang sekarang. Sangat lain dibanding 3 tahun lalu.
Kehidupan sempurna seorang Zachary Stewart berubah 360 derajat setelah kecelakaan yang dialaminya, setelah vonis dokter kalau ia lumpuh. Tiga tahun lalu istri yang dicintainya telah mengkhianati cinta dan pernikahan mereka. Istrinya lebih memilih teman dekatnya sendiri, Adrian. Dibanding mempertahankan rumah tangga yang sudah mereka jalani selama 3 tahun.
Penghianatan itu telah membuat Zachary seperti hilang kendali, ia marah dan melampiaskan kemarahannya dengan minum. Dan malam tragis itu terjadi ketika Zachary hendak pulang ke rumah keluarganya dalam keadaan mabuk berat.
Kecelakaan yang membuatnya harus kehilangan segalanya, karena kelumpuhan ini juga, hak asuh putrinya telah jatuh pada bekas istrinya, kuasa seorang Zachary Stewart sudah hilang. Kekuatan Zachary Stewart, seorang CEO kerajaan Stewart Glory yang sebelum ini terkenal tegas dan tampan berakhir dengan ketidakberdayaan.
Abraham Stewart, ayah kepada Zachary pula menghembuskan napas terakhir setahun setelah kecelakaan tragis itu menimpa putra sulungnya, Abraham terkena serangan jantung. Sekarang yang mengendalikan perusahaan Stewart adalah nyonya besar Stewart yaitu Margaret Stewart.
Seorang wanita tegas dan penuh ambisi. Margaret yakin kecelakaan yang menimpa putranya adalah salah satu konspirasi besar untuk menghancurkan keluarganya.
Keluarga Stewart sebenarnya memiliki seorang putri, Emerald Stewart. Tapi pertengkaran dengan ibunya membuat Emerald harus meninggalkan rumah orangtuanya untuk ikut tinggal dan menetap di negara sang suami. Ia tidak peduli lagi dengan kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya.
****
Elaine Diaz menatap lagi lembaran kertas yang diberi oleh teman serumahnya, Ema.
“Kenapa, El, masih ragu?”
“Entahlah, Em. Apa aku mampu dengan tugas seberat itu?”
“El, semua tidak akan tahu kalau tidak dicoba, bukannya tadi kamu sudah menghubungi nyonya sombong itu?”
“Iya juga. Kami akan bertemu di cafe sebentar lagi.”
“Kamu harus semangat, El. Rumah keluargamu sudah menunggu pemilik sebenarnya. Apa kamu akan biarkan rumah itu dijadikan supermarket besar oleh pembelinya?” Ema membakar semangat temannya.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi kalau sampai kesempatan ini hilang, Ema. Ini kesempatan satu-satunya, uang segitu besar mana bisa aku peroleh dalam waktu secepat ini.”
“Berapa hari kau diberi waktu oleh orang itu, Ella?”
“Dua Minggu, uang itu terlalu banyak, Em, paman Edwin memang keterlaluan.” gadis bernama Elaine Diaz itu sangat marah jika diingatkan tentang pamannya yang pemabuk dan penjudi itu.
Ia harus mencari uang dalam jumlah yang tidak sedikit, dalam waktu secepatnya, karena pemilik baru dari rumah keluarganya meminta uang itu secepatnya. Rumah itu telah dijual oleh Edwin kepada seorang lintah darat bernama Robert.
Robert akan menjual rumah itu pada seorang jutawan karena lokasi strategis rumah telah menarik perhatian beberapa jutawan di kota itu. Tawaran sangat tinggi oleh calon pembeli. Jadi Elaine menemui Robert agar menunda niatnya itu, ia akan membayar berapapun, asal rumahnya tidak dijual.
Awal mulanya Robert memberi waktu pada Elaine sebulan, tapi harga yang ditawarkan oleh sang jutawan sangat menggiurkan, membuat Robert berubah pikiran, dan meminta Elaine untuk membayar secepatnya atau rumah itu akan dijual kepada jutawan tersebut.
“Pamanmu itu dimana sekarang, El?”
“Entahlah, sejak pertengkaran kami malam itu, aku tidak tahu lagi ia dimana.” Elaine Diaz membuang pandangan ke arah pintu, sebentar lagi ia harus keluar menemui pemilik nomor telepon yang tercatat pada kertas di tangannya.
“Aku selalu mendukungmu, El. Apapun yang kau lakukan. Tapi ingat, kamu harus selalu menjaga diri.” Ema menyentuh lengan sahabatnya. Elaine hanya tersenyum.
“Aku pergi dulu ya, Ema. Terima kasih selalu mendukungku.”
Setelah selesai menemui sahabat dekatnya, Elaine Diaz memutuskan untuk menemui orang yang akan menjadi majikan barunya. Suasana cafe terlihat agak sepi, hanya beberapa pengunjung saja yang datang. Sudah setengah jam lalu Nyonya Margaret sampai dan duduk di pojok ruangan.
“Selamat siang, Nyonya.” mata wanita yang sudah berumur tapi berpenampilan elegan itu menatap gadis yang baru saja menyapanya. Matanya turun naik memperhatikan sosok yang kini berdiri tegak di depannya.
“Kamu yang menelpon saya tadi? Duduklah!” Nyonya Margaret agak ragu melihat wajah gadis itu, tapi ia bisa melihat sorot mata percaya diri dan berani dari mata bundar bermanik cokelat itu. Cantik.
“Iya, Nyonya. Kenalkan saya Elaine Diaz. Yang menerima untuk bekerja dengan Nyonya.” Elaine duduk dan mengulurkan tangannya. Tapi tidak disambut oleh wanita berkacamata hitam itu. Elaine menarik lagi tangannya.
“Jadi kapan, kamu siap untuk datang ke rumah saya dan memulai tugasmu, Nona Elaine?”
“Ella, anda bisa memanggilku Ella, Nyonya.”
“Baiklah Ella, kamu tidak usah khawatir soal bayarannya, yang penting kamu akan melakukan semuanya dengan penuh tanggung jawab.”
“Kalau boleh saya tahu, pekerjaan apa yang harus saya lakukan, Nyonya? Bukan yang melanggar hukum atau sesuatu yang akan merugikan orang banyak, kan?” Nyonya Margaret tersenyum mendengar pertanyaan dari gadis di depannya.
“Tentu tidak, Nona! Kamu hanya perlu menjaga putraku, merawatnya dan melindunginya dari bahaya yang mengancam keselamatannya, kamu hanya perlu mengurus dia seperti mengurus dirimu sendiri.”
“Maksud, Anda?”
Nyonya Margaret mengeluarkan selembar foto. Meletakkannya di atas meja.
“Ia mengalami kelumpuhan dan depresi, sudah 3 tahun. Tidak mau bertemu dengan siapapun. Sudah 3 kali juga ganti perawat tapi tidak ada perubahan. Aku tahu kamu butuh uang yang banyak. Dan pekerjaan ini ku rasa bisa memberi apa yang kau butuhkan sekarang, Nona.”
Elaine tidak menjawab tapi ia terus menatap foto di depannya.
“Apa aku harus memandikan ia juga?”
“Tentu saja, kau harus merawatnya dengan baik, kubilang tadi kan? Rawat ia seperti kamu merawat dirimu sendiri.”
“Tapi, Nyonya.”
“Kalian akan menikah, tapi hanya untuk status saja, agar kau tidak risih saat memandikannya nanti.”
Nyonya Margaret menatap lekat wajah Elaine, ingin melihat reaksinya. Elaine terdiam beberapa saat, berpikir. Ponselnya berdering. Ia melihat nama Robert yang membuat panggilan.
“Baik, aku setuju. Dengan syarat aku minta uangnya di muka.” Nyonya Margaret tersenyum sinis, tangannya mengambil sebuah koper di bawah meja dan meletakkan di depan Elaine. Elaine menyentuh koper itu.
“Bukalah!” Gadis itu membuka koper berwarna cokelat dan berukuran sedang itu dengan berdebar-debar.
Klik
Mata Elaine terbeliak melihat tumpukan uang tersusun rapi dan penuh, berada dalam koper itu.
“Ini menjadi milikmu sekarang, Nona. Tapi syaratnya, kau harus bisa mengembalikan gairah hidupnya, membuat ia mau menjalani terapi, dan tidak boleh jatuh cinta padanya, karena pernikahan kalian hanya sementara.”
Elaine bungkam, ia kemudian membuka laci untuk mengambil beberapa perlengkapan yang harus dikenakan oleh Zachary. Jam tangan, kaos kaki, dasi dan juga blazer. Ia belum menjawab pertanyaan dari sang suami. "Bisa jawab aku siapa pemuda itu?" Zachary menegaskan pertanyaannya tadi. "Bukan siapa-siapa. hanya teman biasa saat kami masih di bangku sekolah dulu." mendengar jawaban yang tidak memuaskan itu membuat Zachary sedikit kesal. Ia merasa kalau istri di atas kertasnya ini tidak jujur. "Saya bantu pakai dasi," Elaine mengalihkan perhatian Zachary. "Jangan pikir aku bodoh dan tidak bisa mencari tahu siapa pemuda itu? Jawab dengan jujur dan katakan terus terang sebelum aku sendiri yang mencari tahu! Kamu tahu akibatnya kalau aku yang bertindak sendiri nanti El!" ancaman sekali lagi dilontarkan oleh Zachary. Entah kenapa Elaine merasa ada yang aneh dengan Zachary. Ia lalu mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk menatap mata pria yang sudah mulai menunjukkan kuasa dominan a
"Aku tidak mau dengar soal dia lagi, Mom," Zachary menggemeretakkan giginya. Nama yang coba ia kubur selama ini harus menyapa gegendang telinganya. Nyonya Margareth mendekat kembali ke arah Zachary. "Tapi ini soal gRece, Zach!" mendengar nama gadis kecil yang selama ini aia rindukan membuat Zachary menoleh pada sang ibu dengan tatapan nanar. Grace adlah putri semata wayang hasil pernikahannya dengan Amanda. Gadis kecilnya itu sekarang pasti sudah berusia lima atau enam tahunan. "Ada apa dengan gRece, Mom?" "Momi bertemu dengan Amanda di sebuah acara arisan, penampilan wanita itu sungguh di luar dugaan. Jauh sekali dengan barang mewah. Tapi ini bukan tentang Amanda. ini soal Grace, Zach. Sekarang kamu sudah berangsur pulih. Keadaan perusahaan juga dalam kondisi bagus. Kamu kenal dengan Kim?" "Kimberly? Kenapa dengan dia? Apa maksud momi? Tadi soal Amanda, lalu Grace, apa hubungan kimberly dalam hal ini?" "Sabar dulu biar Momi jelaskan satu-persatu," "Oke, jelaskan dengan
Elaine langsung membulatkan matanya sembari menjauh dari Zachary, tapi pelukan erat pria itu terus menahan pergerakannya. "Tuan, jangan bercanda begini!" cicit Elaine dengan hati penuh gemuruh. Harum tubuh Zachary yang menyusup dalam indera penciumannya sangat maskulin dan mendebarkan. "Kenapa? Kamu takut?" "Saya bukan tipe orang yang suka mengingkari janji, tidak mungkin saya akan mengkhianati nyonya besar," alasan diberikan untuk menutupi gejolak hati Elaine. Sangat munafik kalau ia mengatakan tidak tergoda dengan sentuhan pria yang berpengalaman di atas tempat tidur seperti Zachary. Bukan Elaine mengetahui soal itu, tetapi siapa saja pasti akan bisa menerka jika pria berumur tiga puluh tahun lebih dan sudah memiliki seorang anak, pasti di atas tempat tidur juga lihai. Tidak seperti dirinya yang belum memiliki pengalaman apapun. "Mengkhianati mommy? Siapa bilang begitu?" "Perjanjian tetap perjanjian," Zachary menyipitkan matanya, ia tanpa sadar melonggarkan pelukan dan
"Kamu harum sekali, baby," serak suara itu samar menyusup gendang telinga Elaine. Ellaine berusaha untuk menarik wajahnya ke belakang, sementara tangannya menepis wajah Zachary yang sekarang tiada jarak sama sekali karena bibir mereka sudah bertaut. Nafas Elaine naik turun, dia tidak bisa menolak sama sekali sentuhan itu. Bohong kalau ia bilang tidak terpancing sama sekali. Darahnya berdesir dan semua bulu kuduknya meremang, ada sesuatu yang menggelitik saraf-saraf sensitifnya. Seketika Ellaine membuka matanya lebar-lebar setelah mengembalikan kesadaran saat merasa ciuman itu semakin dalam dan menuntut, tapi temaram cahaya lampu kamar membuatnya kesulitan untuk mengenal pasti siapa yang sudah mengambil kesempatan dengan mencuri ciuman pertamanya. "Ini aku dan jangan berani-berani untuk melakukan tindakan kasar, aku suami sekaligus tuanmu, Nona! Atau ibuku yang galak itu akan menuduhmu seperti selalu?!" pertanyaan sekaligus ancaman itu membuat Elaine menggemeretakkan giginya. Dasar
Tawa Zachary pecah melihat wajah pucat Elaine, gadis itu ternyata tidak seberani tantangan-tantangan yang selalu ia ucapkan sebelum ini. Ia melepaskan pinggang Elaine dan kembali duduk di atas sofa. Elaine menarik nafas lega, sentuhan dan bisikan Zachary tadi rupanya hanya untuk menggertak saja. "Jangan pikir kamu cukup membuat aku tertarik gadis kecil, aku mau makan sekarang!" Elaine mengangguk, dasar pria brengsek! mati-matian ia menenangkan hati yang berdebar hebat. "Katakan pada Mommy, kalau aku mau ke perusahaan besok," "Tapi Anda belum sembuh total, Tuan! Anda masih harus memakai kursi roda," Elaine mengingatkan Zachary. Pria itu tersenyum sinis. Kapan lagi waktu yang tepat untuk membuat gadis ini mengerti kalau tidak mudah hidup berdampingan dengan seorang Zachary. "Bukankah ada kamu yang bisa membantuku? lalu apa gunanya kamu ada bersamaku kalau membuat aku pergi ke kantor saja kamu tidak bisa, tidak sanggup? Kalau menyerah bilang saja, sekarang tinggalkan aku sendiri d
Elaine tersenyum mendengar kalimat dari Zachary yang menunjukkan kalau pria itu masih memiliki keinginan untuk sembuh. Ancaman dari Zachary tidak membuat ia takut sama sekali. "Dan saya menunggu saat itu datang, Tuan Muda," bisikan Elaine tepat di telinga Zachary membuat pria itu membeku. Harum rambut berwarna cokelat kehitaman membuat dada Zachary sesak. Sudah lama ia tidak merasakan sesuatu yang mendesak seperti sekarang."Gadis lancang!" gumamnya dengan suara berat. Elaine tertawa lepas menampilkan lesung pipinya, gigi rapi dan putih menyempurnakan kecantikan gadis itu. Zachary meneguk ludah beberapa kali. Elaine terus mendorong kursi roda sang suami hingga masuk ke dalam kamar mereka. "Pergilah keluar, saya mau mandi," Zachary mencoba ingin mandiri, dia ingin membuktikan kalau tenaganya mulai pulih dan bisa digunakan tanpa bantuan, kursi roda dipakai hanya saat ia berjalan lebih dari lima menit."Bukankah selalu saya yang akan bantu anda mandi?" "Kali ini aku ingin buktikan k