LOGINLangit melangkah mendekati Arumi. Berdiri di depan jendela kaca yang terbuka lebar namun terlindung oleh teralis. “Belanja. Kita harus mempersiapkan banyak hal untuk menyambut kedatangan ayah dan bunda, kan?” tanya Langit balik.“Oh … Arum pikir kemana tadi, Om.” Arumi tersenyum pelan. “Emangnya hari ini Om nggak kerja?” tanyanya lagi.“Nggak, saya libur.”Arumi manggut-manggut. “Ya udah, Om, Arumi mandi dulu ya?” “Eum.”Perempuan berambut panjang itu segera berbalik badan dan melangkah ke arah kamar mandi. Membersihkan tubuhnya dan menyikat gigi biar bersih dan wangi.Selang sepuluh menit, ia sudah selesai serta memakai pakaian yang cukup sopan namun tetap fashionable. Segera melangkah ke ruang makan untuk sarapan.Dari jauh, tampak Langit sudah lebih dulu duduk di sana, sarapan sembari melihat ke layar ponselnya. Ia pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di depan pria dewasa itu.“Bunda suka apa, Om?” tanya Arumi tiba-tiba.Langit mengangkat kepalanya dan menatap datar ke arah
Dengan hati-hati, Langit menurunkan Arumi dari tepi wastafel. Menuntun perempuan itu kembali ke bawah guyuran shower, tanpa melepas sentuhan tangannya. Air yang hangat segera menyambut tubuh mereka lagi. Langit mengambil shampo serta sabun, lalu memakainya kepada Arumi. Meratakannya ke seluruh bagian tubuh perempuan itu. Arumi hanya memperhatikannya saja, tanpa ada sepatah katapun lagi yang keluar dari mulutnya. Hingga ritual mandi usai dan mereka telah terbalut handuk masing-masing, Arumi masih saja tersenyum simpul. Ia tak bisa menyembunyikan binar bahagia saat melihat setiap perhatian kecil—act of service—yang Langit berikan. Rasanya, ia seperti bayi mungil yang sama sekali tak berdaya karena terus-menerus dilayani oleh suaminya. “Kenapa?” tanya Langit. “Nggak ada,” jawab Arumi—menutupi perasaannya. “Senyum-senyum sendiri?” Arumi hanya menjawab dengan gelengan kepala pelan. Selesai mengeringkan tubuh dan memakai pakaian, Langit pun tak lantas membiarkan Arumi mengur
Mata Arumi berkedip-kedip, melihat Langit dengan tatapan sendu. Walau wajah mereka masih diguyur oleh tetes air dari shower, namun Langit tetap bisa melihat retina Arumi yang basah oleh rasa sesal. “Maafin sikap Arumi tadi, ya Om? Arumi nggak masuk untuk minta ce—” ucapnya lirih. “Tidak apa-apa, Arumi,” potong Langit cepat. “Saya tahu, kalau kamu hanya terbawa emosi. Saya yang salah. Tidak menjaga perasaanmu sebagai istri saya.” “Om Langit ….” Langit tersenyum tipis. Lalu tangannya mulai bergerak untuk melakukan penyatuan. Arumi mengejang pelan. Hingga wajahnya menengadah ke langit-langit kamar mandi. Sementara Langit mulai membawa tubuh Arumi bergerak naik-turun secara perlahan. “Ough ….” Desahannya menggema di ruang kamar mandi itu. Kabut dari uap air hangat memenuhi ruangan, mengaburkan pantulan mereka di cermin yang mulai berembun. Langit menjaga ritme gerakannya dengan saksama, memastikan setiap inci kedekatan mereka terasa begitu nyata. “Saya mencintai kamu, Ar
“Lupa? Atau pura-pura lupa?” tanya Langit penuh selidik.“Heuh?” Arumi terperanjat. Mendadak ia merasakan gugup dan takut yang terlalu. Dengan segera, ia pun mengambil gelas berisi air madu dari tangan Langit dan langsung meminumnya hingga tandas.Langit terus menatap istrinya seraya mengulum senyum. Tahu, jika Arumi hanya berlakon seolah tak sadar saat tadi melontarkan kata-kata pisah. Perempuan kalau sedang emosi, memang suka tidak kontrol diri.“Ya sudah, lupakan saja. Sekarang tidur,” ucap Langit seraya bangkit dan langsung membuka jasnya yang sudah bau akibat muntahan Arumi tadi.“Arum mau mandi dulu, Om,” ucap Arumi.“Mandi?” tanya Langit dengan posisi terus membuka kancing lengan kemejanya.“Eum.” Arumi bangkit menyusul Langit. Berdiri di samping suaminya sembari terus melihat kepada pria dewasa itu. “Ya udah, mandi saja,” ucap Langit.Arumi tak langsung beranjak, membuat Langit heran dan menoleh perlahan kepada istrinya itu. “Kenapa?” tanyanya.Tak menjawab, Arumi hanya seny
Permintaan Arumi bak hantaman keras bagi Langit. Secara refleks, kakinya menginjak pedal rem dengan sekuat-kuatnya, hingga suara decitan ban memekakkan telinga keduanya. Tubuh mereka terlempar ke depan dengan sentakan hebat. Untung saja ada safety belt yang menahannya. Jika tidak, sudah dapat dipastikan jika mereka akan mencium dashboard depan mobil. Arumi hanya diam dengan apa yang baru saja terjadi. Sementara Langit, dirinya langsung memalingkan wajah, menatap sang istri dengan sorot mata nanar penuh ketidakpercayaan. “Apa yang kamu bicarakan, Arumi?” tanyanya. Arumi tampak menghela napas panjang, kemudian menoleh perlahan kepada Langit. Pandangan matanya yang masih berada di bawah pengaruh alkohol terlihat sedikit sayu tanpa binar. “Arum capek dengan hubungan kita ini, Om. Om itu … nggak punya perasaan,” tunjuk Arumi ke dada Langit dengan gaya mabuknya yang samar. “Kamu mabuk Arumi. Kita lanjut jalan lagi ya? Biar kamu bisa langsung istirahat.” Langit sudah bersiap hend
Langit tersentak, refleks tubuhnya menegang di bawah kejutan yang tak terduga. Pandangannya terpaku pada pakaiannya yang baru saja ternoda oleh muntahan yang memuakkan. Bau amis yang menusuk hidung sontak memperparah rasa jijiknya. “Hah, perempuan ini ….” Dalam upaya mengendalikan gejolak emosi yang tiba-tiba melanda, Langit pun memejamkan mata erat-erat. Kemudian menarik napas dalam, lambat, dan panjang. Berusaha mati-matian meredam luapan amarah dan kekesalan yang terasa sudah mencapai puncak keparahan di dadanya. “Ayo pulang,” ajaknya dengan intonasi bicara tegas, tak ingin dibantah. Satu tangannya langsung bergerak hendak menutup pintu mobil. “Nggak mau,” tolak Arumi cepat. Tangan Langit spontan kembali berhenti. Ia melihat sekali lagi kepada perempuan bergaun biru itu dengan raut wajah bingung. “Kamu ini kenapa, sih, ha?” tanyanya kesal. “Pokoknya Arum nggak mau pulang,” ucap Arumi seraya bangkit, lalu keluar dari dalam mobil. Akan tetapi, dikarenakan kepalanya







