“Kenapa? Apa yang salah dengan tindakanku, hah?” kejutnya membuat Yolanda segera tersadar dari lamunannya.
Yola menggigit bibirnya malu dan menunduk. Ia harus keluar dari situasi memalukan ini.
“Eh, tapi aku benar-benar melihatmu ingin mencopet gadis itu, kok. Pandanganku tidak akan salah,” ujar Yola saat dirinya sudah berbalik menatap pria yang melihatnya angkuh.
Sikap Yola yang sebelumnya tampak kikuk, kini sudah berubah menjadi pemberani.
“Kau memang tampan, tapi kelakuanmu barusan membuat wajahmu tercoreng. Bagaimana jika tadi aku kelepasan berteriak agar semua orang menangkapmu, hah? Kujamin dirimu sekarang tengah diinterogasi polisi,” cemooh Yola yang makin menantang. Pria tampan bukan berarti mampu meluluhkan Yolanda.
“Lalu, kau mau apa? Dirimu mau mengancamku, ya?” kelakar sang pria.
Sepertinya Yolanda salah berhubungan dengan pria ini. Ia bisa tahu bahwa pria ini terlihat licik. Ia pasti sudah terbiasa memanfaatkan wajah tampannya untuk menjerat banyak wanita.
Bukannya apa-apa, tapi Yolanda bisa terkena masalah dengan orang seperti itu.
“Hey, apa kau bersikap begini supaya aku menawarimu tidur bersama? Yah, kupikir tak ada salahnya melakukan itu untuk membungkammu. Mau di mana dan kapan?—aku akan usahakan tepat waktu.”
Bingo! Yang ditebak Yolanda memang tak salah. Pasti pria ini berpikir bahwa Yolanda ingin mengajaknya tidur bersama. Sungguh pikiran yang cabul sekali! Batinnya Yola mengejek.
“Kenapa dengan tatapan rendahmu itu? Kau pasti takkan berpikir sepolos itu, bukan?” tuduh pria itu dengan begitu santainya.
Yola menggeleng tak percaya. Ia tak mau berlama-lama dengan pria sok keren ini. Menurutnya apa semua wanita akan menggilainya? Yak, dia salah besar. Inginnya Yola mengecam begitu, tapi ia tak mau menambah atensi keributan.
Tepat saat Yolanda ingin sekali hengkang dari hadapan si pria, terdengar Arka memanggil namanya.
“Yola? Sedang apa kamu di sini? Dan siapa pria itu?” tanya Arka bertubi saat mendapati Yola tengah bersama seorang pria asing di gang kecil ini. Pikirannya tidak mesum, tapi jika melihat keadaan sekitar ia akan terpancing untuk berpikiran macam-macam.
“Ayo, kita pergi! Nanti saja aku ceritakan,” tukas Yolanda lalu mendorong tubuh Arka untuk pergi.
Yolanda menyempatkan waktu menoleh pada pria itu. Hal yang membuatnya mengernyit heran dan sebal secara bersamaan adalah saat mata pria itu mengerling jahil padanya.
“Dasar mesum,” hina Yolanda tak menyadari bahwa Arka bisa mendengarnya.
“Kau mengataiku mesum? Astaga, apa salahku sampai kau tega begitu, sih?” rengek Arka dramatis.
Yola langsung menatap sepenuhnya pada Arka di depannya yang tengah ia dorong-dorong punggungnya.
“Hey, bukan dirimu yang kumaksud mesum. Pria tadi itu, loh,” jelas Yola lalu terbahak.
Arka itu tak pantas dibilang mesum. Muka baby face begini membuat siapa saja yang melihat Arka pasti beranggapan umurnya masih muda. Yah, Arka itu tampan tapi lebih menjurus ke manis. Yola bahkan menganggapnya sudah seperti adiknya tanpa diketahui Arka. Tentu saja Arka tak boleh tahu karena ia bisa mencak-mencak marah. Arka paling tak suka dikatai manis. Katanya sih ia manly.
“Oh—,” ujar Arka merespon terlalu muluk.
Yola menggeplak kepalanya saking kesal atas tanggapan ber-oh ria barusan. Ia pikir Arka akan menyahut apa gitu, kek.
“Lalu siapa namanya pria itu? Jujur, ya, dia terlihat cakep,” lontar Arka yang tak mempermasalahkan kepalanya habis dijitak oleh Yola.
“Entahlah, aku tak tanya soal namanya.” Yola menyahut masa bodo dan kemudian berjalan di sebelah Arka.
Arka menatap tak percaya pada Yola. Lalu, untuk apa keduanya tadi di gang sempit itu jika bahkan nama saja tak saling tahu?
Yolanda tahu tatapan Arka yang mengartikan penasaran padanya. Dengan merotasikan matanya, ia berujar, “Aku memergokinya ingin mencopet. Makanya kukejar dia dan kami sedikit berselisih. Yah, hanya sebatas itu dan kau pun datang.”
Mata Arka membola. “Yak, harusnya kau lapor polisi! Ayo kembali menemuinya dan menyeretnya ke kantor polisi!” pekiknya sambil menarik lengan Yola untuk berputar arah.
Yola menampik keras tangan Arka di lengannya. “Kau jadi orang jangan bodoh-bodoh banget. Sudah pasti pria itu sudah tak ada di gang itu,” cibirnya menusuk.
Arka tersenyum paksa. Jika sudah dikatai begini, ia ingin menyanggah pun juga rasanya takkan ada guna. Mulut pedasnya Yola memang sungguh berbeda dari kebanyakan wanita lain.
“Terus kenapa kau tak segera lapor polisi dan malah mendatanginya begitu? Bagaimana jika ia malah macam-macam padamu? Kau mau minta bantuan siapa nanti, hah? Gang sempit begitu pasti orang jarang lewat,” keluh Arka mencebik.
Yola menepuk pundaknya. “Kau tahu sendiri bahwa aku ini wanita seperti apa. Takkan ada yang bisa menggangguku, Ar,” ucapnya percaya diri.
Arka akhirnya mengangguk saja. Memang selain pemberani tak kenal takut, Yola ini juga pandai meloloskan diri dari keadaan bahaya.
*****
Yola sehabis pulang dari olahraga pagi yang terpaksa itu segera menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia tak mau repot-repot cuci muka atau berganti baju. Toh, takkan ada yang datang bertamu.
Yola menatapi langit-langit kamarnya dan teringat paras tampan pria yang tadi ditemuinya di gang. Wajahnya cukup membuat seorang Yola terusik. Penampilan kerennya namun melakukan pencopetan adalah hal yang membuat Yola penasaran akan dirinya.
Ia baru tahu bahwa ternyata masih ada orang yang tak mau menerima takdirnya. Ia yang terlahir menjadi orang biasa serba kekurangan, harusnya bisa mengendalikan dirinya. Tapi, yang ia lihat dari pria tadi itu malah sebaliknya. Ia ingin menampilkan style keren dan terlihat glamour, namun kenyataan bahwa ia adalah seorang pencuri adalah hal yang menggelikan.
“Kenapa tak hidup benar saja dengan bekerja halal? Ia membuatku jadi ikut merasa hina karena pekerjaanku. Itu amat menyebalkan,” keluh Yola bermonolog seorang diri.
Perlukah ia beri nasihat pada pria tadi agar berpenampilan sesuai kantong dompetnya? Atau perlu ia sindir bahwa pencuri adalah pekerjaan rendahan? Padahal jika ia pintar mengambil peluang, dirinya yakin pria itu akan dapat pekerjaan mumpuni dengan gaji yang sama dengan tenaga yang dikeluarkannya.
Iri sekali Yola karena pria itu tampak tak punya beban hidup. Ia bebas berfoya-foya dan mengesampingkan kenyataan bahwa ia bukanlah orang berduit. Beda sekali dengan Yola yang harus bersusah payah untuk melunasi hutang.
Yola selesai dengan aksi mengecam pria asing itu. Ia bukanlah orang julid, loh. Hanya saja di saat-saat tertentu, ia perlu melampiaskan keluh kesahnya pada orang lain.
“Tidur adalah hal paling menyenangkan. Yah, aku akan memejamkan mata dan bermimpi punya banyak harta untuk berfoya-foya tanpa takut uangku habis.” Usai mengatakan kalimat pengantar tidur itu, Yola menutup matanya untuk tidur nyaman.
Ia bahkan tak mau peduli akan keadaan rumahnya yang porak-poranda begitu. Di sekelilingnya penuh bungkus plastik atau snack jajan yang ia buang asal. Toh, jika besok Arka datang semuanya akan tampak bersih. Yah, Arka bisa dibilang juga menyambi sebagai babu di rumahnya Yola.
Yolanda tiba di kost nya diantar oleh Yardan yang sudah memasang wajah tertekuk kesal. Ya, dirinya tak senang karena Yolanda akan bertemu dengan Arka.“Aku sudah turun, kenapa masih diam di sini? Cepat pulanglah!” tegur Yolanda sebab Yardan malah menatapnya dengan mata mendelik tak bersahabat.“Kau ingin aku cepat-cepat pergi supaya bisa berduaan dengan Arka, kan?” rutuk Yardan.Yolanda menganga tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh Yardan. Berduaan dengan Arka katanya? Hey, dirinya akan sibuk beberes kamar kost nya yang sudah seperti sarang nyamuk itu. Bukannya berduaan untuk senang-senang, dirinya malah sengaja mengundang Arka datang untuk membantunya kok.“Terserah apa katamu. Aku akan sangat sibuk, jadi kuharap kau tak mengganggu. Besok pagi aku akan berangkat ke kantor seperti biasa, sekalian mengembalikan pakaian yang kupinjam ini,” ucap Yolanda seraya menunjuk setelan jas yang pakai. Pakaiannya itu memang sudah seharusnya ia kembalikan dalam kondisi baik dan rapi s
“Apa kau ingin kuantar ke makam ayah dan ibumu dulu? Kurasa kau pasti ingin menemui mereka,” ucap Yardan menyetir dalam kecepatan sedang.Yolanda terdiam sejenak hingga kemudian memberi anggukan pelan. Ia tak berkeinginan membuka suara atau mengindahkan tatapan Yardan yang terlihat iba padanya. Dalam perjalanan menuju makam pun, Yolanda tak berhenti melamun.Ketika Yolanda tengah memejamkan mata untuk menenangkan hati dan pikirannya yang tengah berkecambuk, ponselnya berdering. Wajah lesu dan tanpa gairahnya, seketika berubah sedikit bersemangat ketika tahu bahwa Arka yang menelefon. Yardan yang duduk di sebelahnya terlihat melirik dan mencuri dengar obrolan Yolanda dengan Arka.“Yah, aku sedang ada masalah. Nanti kuceritakan semuanya padamu, Ar. Sekarang aku ingin ke makam orangtuaku dulu.”Yardan tak bisa mendengar suara Arka sebab Yolanda tidak mengeraskan volumenya. Namun dari ucapan Yolanda saja, dirinya sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa Yolanda dan Arka akan bertemu.“Iya-iy
Atmojo mulai mengumpulkan kesadarannya dan saat ia menelisik keadaan sekitar, ia merasa asing dengan ruangan bernuansa hitam-abu.“Sudah bangun ternyata. Bagaimana? Apa kecelakaan yang menimpamu sudah bisa membuatmu sadar akan kesalahanmu pada keluargaku?”Suara Yolanda membuatnya terkejut. Wanita itu masuk ke kamar dengan nampan berisi makanan. Atmojo segera terduduk dan menatap awas pada Yolanda yang dengan santainya meletakkan nampan itu ke meja nakas.“Aku tidak sekejam dirimu hingga berani memasukkan racun dalam makananmu untuk balas dendam. Jika iya, aku bahkan sudah membiarkanmu mati terpanggang di mobilmu kemarin.” Yolanda kembali berceloteh datar namun sarat akan nada sarkasnya.Tak berapa lama kemudian seseorang membuka pintu kamar menampilkan siluet lelaki yang berdiri di ambang pintu.“Cepat masuk! Dirimu malah berlagak seperti mafia yang menyekap tawanannya saja,” sembur Yolanda melihat Yardan terlihat sok.Yardan terkekeh sebentar lalu masuk dan bergegas untuk membuka ti
Yolanda langsung saja menarik kerah lelaki setengah baya itu tanpa peduli bahwa tubuhnya harus berjinjit untuk bisa menggapai kerah bajunya. Amarah membumbung begitu saja ketika melihat sosok paman yang selama ini menjadi mimpi buruknya.“GARA-GARA PAMAN, SEKARANG KELUARGAKU HANCUR!” bentak Yolanda dengan urat amarahnya. Tatapannya nyalang tertuju pada sang paman yang berusaha melepaskan tangan Yolanda di kerah baju yang terasa mencekik lehernya.Yardan yang melihat kebrutalan Yolanda segera membantu Pak Yuda lepas darinya. Ia tak mengerti kenapa Yolanda bersikap begitu.“Hey, tenangkan dirimu! Kau membuat malu saja!” serunya membuat Yolanda berhenti teriak. Kini, Yolanda balik menatap sarkas pada Yardan.“APA KATAMU?–MENENANGKAN DIRI?! Bagaimana bisa aku tenang melihat orang yang sudah menghancurkan keluargaku berdiri di depanku begini?! APA KAU MERASAKAN KEHANCURAN YANG KURASAKAN, HAH?!” Yolanda benar-benar berang melihat Yardan yang seolah memojokkannya. Ia sudah tak peduli apa itu
“Ada apa?” tanya Yolanda spontan ketika baru masuk ke dalam ruangan kerja Yardan. Yardan yang sebelumnya fokus dengan komputer di depannya langsung melirik sebentar pada Yolanda yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan bersedekap angguh. “Apa begini caramu bicara pada atasan? Di mana sopan santunmu padaku, hah?” Yolanda mendengus namun pada akhirnya mengakui kesalahannya. Ia tidak lagi bersedekap dan meletakkan kedua tangannya di sisi tubuh dan meminta maaf dengan pelan. “Maafkan kelancangan saya, Pak,” ucap Yolanda sedikit menekan kata saya dan pak. “Nah, begitu baru bagus. Oh iya, di mana dirimu tadi selepas aku mengenalkanmu pada karyawan lain? Kupikir kau tidak punya kepandaian dalam beradaptasi. Tapi ternyata kau sudah dekat dengan salah satu dari mereka, ya.” Yardan berucap ringan sambil kembali fokus pada pekerjaannya. Yolanda tersenyum tipis mendengar ucapan Yardan yang terkesan memujinya. “Yah, aku sebenarnya cukup pandai bersosialisasi. Eh, tapi apa boleh aku menga
Yolanda dan Yardan saling diam selama di perjalanan. Ucapan yang tak sengaja terlontar begitu saja dari bibir Yardan yang memuji kecantikan Yolanda membuat keduanya berakhir canggung hingga sekarang.“Kita sudah sampai,” ujar Yardan yang kemudian turun dari mobilnya lebih dulu. Ia mengangkat Aleta untuk turun dari mobilnya dan menata kembali pakaian putri kecilnya itu agar lebih rapi lagi.Yolanda memilih tidak turun dari mobil dan hanya melambaikan tangannya pada Leta dengan senyum ala kadarnya.“Kau tidak mau turun dan mengucapkan selamat tinggal yang benar pada Leta?” tegur Yardan tak menyukai tabiat Yolanda.Leta menarik pelan celana ayahnya sehingga mengalihkan atensi Yardan pada Yola.“Ada apa, hem?” tanya Yardan berubah lembut jika pada putri kecilnya.“Jangan marahi mama, Pah. Leta tak masalah, kok. Toh sudah cukup dengan mama anter Leta ke sekolah. Nanti Leta mau pamer pada teman-teman jika punya mama yang anter sekolah,” ucap Leta dengan senyum riangnya.Yardan dan Yola dibu
Yardan tertawa puas, berbanding terbalik dengan Yolanda yang seketika melemas. “Sekarang mau mengelak seperti apa lagi kalau buktinya sudah jelas? Itu orang masuk ke kost di sebelahmu yang berjarak beberapa meter saja. Kau takkan ingkar pada ucapanmu untuk bertanggung jawab, bukan?” ejek Yardan merasa bahwa baru saja memenangkan lotre. Yolanda mendengus kesal tapi tetap saja ia mengangguk dan menyahuti iya pada ucapan Yardan padanya. Ia takkan tega mendatangi tetangga yang sudah merusak mobil Yardan. Dirinya tahu betul bahwa tetangganya itu punya mental down. Yardan yang awalnya tertawa senang, mengernyitkan alis bingung. Ia pikir Yolanda akan menentangnya dan mengajaknya mendatangi si pelaku perusakan untuk dimarahi. Tetapi Yolanda malah hanya menurut saja saat ia minta pertanggungjawaban. “Sekarang katakan aku harus bayar berapa?” tanya Yola to the point. Yardan menggeleng cepat. “Bukan seperti ini yang kupikir. Kau tidak mau mengomel atau mendatangi tetanggamu itu? Ayolah, sika
Yolanda yang baru tiba di TKP langsung menepuk jidatnya lalu menatap lempeng ke arah Yardan.“Lalu, apa maksudmu aku yang jadi ganti rugi atas kerusakan yang bahkan bukan ulahku? Kau gila atau bagaimana?” sentaknya yang membuat Yardan refleks menutup kedua telinga Leta yang berdiri di sebelahnya.“Bicaramu mohon dikondisikan! Ada anakku di sini, Yol,” peringat Yardan yang tidak diindahkan oleh Yolanda.Yolanda sudah kepalang gemas pada Yardan yang seenaknya minta ganti rugi padanya. Memang salahnya jika mobil Yardan digores orang? Salah sendiri dia parkir sembarangan! Batinnya Yolanda mengamuk tak karuan. Jika tidak lupa ada Leta, bisa saja ia keluarkan segala nama binatang pada Yardan.“Nah, ada CCTV di situ. Kita lihat rekamannya saja! Aku juga ingin tahu siapa orang kurang kerjaan yang membuatku terseret dalam masalah konyol ini. Dan akan kupastikan dia bukan tetangga atau kenalanku, jadi kau tak bisa menuntut agar aku ganti rugi.” Yola mencetuskan ide itu saat dirinya tak sengaja
“Jadi sekretarisku, bagaimana? Kau mau menerima tawaranku atau tidak? Mumpung lowongan kerjanya belum kuberikan pada staf yang mengurus personalia.”Wajah Yolanda langsung mengernyit. Dirinya itu tak lebih dari anak lulusan SMA yang ilmunya tidak mumpuni. Sekretaris sebuah perusahaan besar itu tidak mudah. Banyak hal yang harus Yolanda lakukan, belum lagi dirinya yang tak tahu menahu soal tugasnya. Yolanda langsung menggelengkan kepalanya pertanda tidak mau.“Aku menolaknya. Oh iya, memangnya apa ada yang salah dengan sekretarismu saat ini? Kenapa kau mau mengganti Livia?” tanya Yola penasaran.Yardan terkekeh kecil. Tak ada alasan logis sebenarnya. Ia hanya berencana mengganti personel di perusahaannya saja.Mendengar yang dikatakan Yardan, membuat Yola mendecih. Ia pikir si Yardan ada konflik dengan Livia.“Livia bekerja dengan baik, kok. Hanya saja aku bosan selalu dipasangkan dengannya. Banyak orang beranggapan aku dan Livia cocok jadi kekasih. Tak tahu saja diriku dan dirinya tak