Kesedihan Bagas bukan karena Diva yang berkhianat, tapi lebih ke perasaan Tiffara. Adik kesayangannya itu sudah seolah menjadi jiwanya. Dia selalu dalam diam menahan kesedihannya. Bagas membayangkan dengan senyum tulusnya, dia menelan segala kesedihannya sendiri.
"Aku tidak bersedih wanita jalang macam kamu mengkhianati ku, aku justru bersukur mengetahuimu lebih awal. Tapi Tiffa ku, dia nafasku...aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku akan membawa adikku pulang, itu kalau memang kamu tidak bisa membuatnya bahagia!" gumam Bagas sedih dengan air matanya yang bergulir.
"Jangan Bagas! Jangan bawa dia pergi, aku akan pulang sekarang juga!" janji Ahem.
Bagas tanpa menghiraukannya lagi dia melangkah pergi. Dengan tegap tanpa berpaling lagi dia berjalan menuju mobilnya, dan melajukan mobilnya pergi.
"Tidak Ahem! Kamu tidak boleh pergi! Berani selangkah kamu meninggalkan aku, aku
Sehabis sarapan pagi, Ahem bersiap mengantar Tiffara pergi periksa dokter. Titin senang sekali saat-saat dia melihat calon cucunya di layar monetor. Detak jantungnya sangat kuat, dokter bilang bayi sangat sehat. "Hanya saja ada masalah pada mamanya. Dia mengandung bayi kembar dan beresiko di usia yang masih muda. Kandungannya lemah, dia harus badrest untuk beberapa bulan ke depan dan yang terpenting lagi, dia tidak boleh stres." Dokter memaparkan kesehatan Tiffa yang sangat beresiko. "Jadi ini berbahaya bila istri saya stres, dokter?" Ahem bertanya dengan hati-hati. "Ini berbahaya buat keduanya, bisa mengakibatkan terburuknya pendarahan bahkan keguguran." Dokter menjelaskan kembali dengan hati-hati juga. "Sudah jangan khawatir, Oma akan menjaga keduanya sayang...mamanya juga cucu-cucu Oma." Titin menghibur Ahem. "Cucuku sayang, sekarang papa ngantar kalian periksa, tap
Seperti disambar petir rasanya, menyaksikan istri sedang berada dalam dekapan kakaknya. Terlihat jelas wajah Tiffa yang tenang dan nyaman menikmatinya. "Ini malam terakhir bagi kita, Kak Ahem. Aku ingin kita menghabiskannya bersama anak-anak kita. Terima kasih kamu menepati janjimu untuk bertemu Diva hanya sebentar." Kata Tiffa dengan lembut dan manja. "Sekalipun kita tidak saling mencintai tidak ada salahnya kita bersahabat demi anak-anak kita." Lanjutnya. "Kita hanya bersahabat?" sahut Vigo pelan. Tiffa sontak menarik tubuhnya dengan kuat dan setengah mendorong Virgo, sehingga dia terpental dua langkah ke belakang. Tiffa menatap tajam dan takut, untuk kedua kalinya dia melakukan hal yang sama. Dia menyesal begitu ceroboh tanpa melihat dengan seksama siapa orang yang mengetuk pintu. Dia asal memeluk begitu saja. Ahem berdiri terpaku menahan sakit hatinya. Bu
Ahem memandang dalam wajah Tiffara yang ketakutan dengan air matanya yang bergulir di pipinya yang putih. Ahem jadi merasa bersalah seolah menorehkan rasa trauma yang dalam pada gadis itu. "Apa yang aku lakukan pada malam itu sehingga dia sedemikian terlukanya?" tanya Ahem pada dirinya sendiri. "Tiffa tatap mataku!" bisik Ahem. Mata itu terpejam kuat, dengan keringat dingin dan gemetar. Ahem menatap dengan perasaan bersalah yang sangat dalam. "Bagaimana cara aku menyembuhkan lukamu, Tiffa?" "Please Tiffa, tatap mataku ... aku tidak akan menyakitimu. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu tanpa kamu yang menginginkannya," lanjutnya. Tiffa perlahan membuka matanya, dia memandang Ahem merasa bersalah. Tiffa ingin membuat Ahem bahagia tapi kenapa dia tidak bisa melayani Ahem sebagai suaminya? "M
Ahem terpaku menatap Tiffara dalam dekapan Virgo dan dibawa menuju mobil. Titin berlari kecil mengikuti Virgo karena langkah Virgo yang cepat dan panjang sebagai lelaki perkasa. Ahem menatapnya dari belakang dengan perasaan bersalah dan menyesal. "Tiffa ...," desahnya. Ahem hendak berlari mengejar mereka, tapi Diva menghentikannya sambil menarik tangannya. "Apa yang akan kamu lakukan, Ahem? Kamu sadar sebentar lagi kamu harus terbang! Tiffa sudah diurus oleh kakak kesayanmu itu sama mamamu. Kamu jangan hancurkan masa depan kamu! Dia tidak apa-apa Ahem, kamu jangan berlebihan!" hardik Diva marah. "Dia tidak boleh stres, dia terlalu lemah! Bagaimana aku bisa berpikir jernih?" keluh Ahem panik. "Ahem, dengarkan aku ... sekarang juga kamu masuk sebentar lagi pesawat take off, cepat!" desak Diva. Bagai kerbau dicocok
Virgo membukakan pintu untuk Tiffara, dengan tersenyum lembut Tiffara pun menyambutnya. "Terima kasih Kak Virgo," ucap Tiffara. "Baik Tuan putri," jawab Virgo menggoda. Tiffara tidak merespon Virgo yang sedang menggodanya. Kini Virgo sudah duduk dibangku kemudi. Dia melihat Tiffara yang belum mengenakan sabuk pengaman. "Pakai seat belt, sayang!" Bisik Virgo yang tiba-tiba wajahnya mendekati wajah Tiffara. Matanya menatap tajam mata Tiffara, sehingga dia salah tingkah. Bukan saja aroma tubuhnya yang tercium kuat, tapi hangatnya nafas Virgo pun terasa terhembus di wajah Tiffara. Detak jantung Virgo mulai terdengar jelas oleh Tiffara. Kini Tiffara terpaku tak berkutik, bahkan untuk menggeser tubuhnya yang sedikit tertindih pun tidak berani. Tatapan Virgo semakin tajam, pandangan matanya mulai menatap bibir merona yang sexi yang mengg
Ahem mulai gelisah membayangkan kalau saja Tiffara tahu Diva disini, pasti dia akan ngedrop seperti saat di bandara beberapa bulan yang lalu. "Diva, kayaknya kamu harus segera kembali ke Indonesia deh! Aku tidak mau sampai keluargaku mengetahuinya, hancurlah aku nanti, Diva! Please!" pintanya sambil menelangkupkan kedua tangannya. "Tidak Ahem, aku masih ingin tinggal di sini. Aku tidak mau jauh dari kamu. Kenapa sih yang kamu pikirkan cuma perasaan mereka. Kamu tidak pernah memikirkan bagaimana dengan perasaanku!" hardiknya. "Kamu sudah satu bulan di sini, aku takut Tiffa curiga." kata Ahem gelisah. "Tiffa lagi ...Tiffa lagi! Kenapa sih kamu masih pedulikan dia sekalipun sedang bersamaku?" hardiknya lagi. "Karena dia sedang mengandung anakku, aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku sudah berjanji untuk selalu menjaganya." Gumamnya pelan sambil meman
Ahem terpana melihat Diva yang keluar kamar mandi dengan handuk kimono, yang sengaja membuat belahan agar pahanya terbuka. Rambutnya yang basah dan aroma tubuhnya yang harum tampak segar dan menggoda. Ahem terus menatap tanpa berkedip, dia membayangkan mulai besuk dia sudah tidak bisa melihat pemandangan itu lagi. Diva yang menyadari kalau Ahem sedang mengaguminya bergegas menghampirinya. Tangannya melambai pas di depan mukanya, dia memeriksa apakah Ahem sedang melamun? Tapi Ahem yang sadar dengan apa yang sedang dilakukan Diva, dia sontak menangkap tangan Diva. Dia menggenggamnya dengan kuat sambil mendorong tubuh Diva sampai terpelanting di atas kasur. Dan handuk kimono yang asal menutup itu terbuka. Sehingga dengan bebas Ahem menatap pemandangan yang menggiurkan itu. Tekanan darah melonjak ke otak, terasa panas dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Detak jantungnya berdegup kencang. Sesaat mereka berdua saling berpand
Akhirnya mereka berdua mulai masuk Bandara. Diawali dengan pemeriksaan identitas, kemudian pemeriksaan awal semua barang bawaan. Dan Ahem mulai check in mandiri dengan mesin yang sudah di sediakan di bandara. Dia mulai dengan dramanya, dia berpura-pura menerima telepon dari kampus agar dia tidak ikut pulang bersama Diva ke Indonesia. "Iya selamat siang Pak?" sapa Ahem sambil berdiri dan mondar mandir di depan Diva. "Apa, jadi saya masih harus tanda tangan dan mengisi form itu, Pak? Iya ... masalahnya saya mau berlibur ke Indonesia. Ini saya sudah di Bandara. Oh begitu ya Pak? Jadi saya harus tetap ke kampus dulu? Baik ... baik, saya segera kesana, terima kasih!" Lanjutnya berpura-pura bicara di telepon. "Diva aku harus ke kampus dulu, kamu pulang saja dulu ke Indo aku segera menyusul!" ujar Ahem berpura-pura sedih. "Kok bisa sih Ahem, ada masalah