“Nggak mau minum obat!”
Suara teriakan Mikairo terdengar hingga lantai bawah. Gadisa buru-buru naik ke lantai dua untuk mendatangi anak tampan itu. “Siapa yang nggak mau minum obat?” Gadisa mengintip dari balik pintu yang terbuka sedikit. Senyumnya begitu lebar tiap kali melihat Mikairo Erlangga.
Dan anak laki-laki tampan yang tadi terlihat cemberut itu, tersenyum lebar dan berseru, “Tanteeee…”
Gadisa melangkah lebar masuk ke dalam kamar bernuansa biru dengan wallpaper dinosaurus yang sangat disukai Mikairo. Melihatnya mendekat, Mikairo yang tadinya berbaring langsung duduk dan langsung memeluk Gadisa sesaat setelah Gadisa duduk di tepi ranjang. Mikairo memang sangat manja padanya.
Tapi sikap manja Mikairo ini tidak Gadisa dapatkan secara instan. Selama dua bulan sejak mendapat perintah dari Miskha untuk menjemput Mikairo di sekolah, Gadisa selalu mendapatkan tatapan tajam dan wajah cemberut dari Mikairo. Sampai pada suatu hari, Gadisa mencoba mendekati Mikairo dengan cara mengajak anak laki-laki itu membicarakan soal dinosaurus. Dan dalam waktu kurang dari setengah jam, mereka menjadi teman.
“Tadi pulang sekolah badannya hangat, Mbak. Sudah empat hari ini lesu setiap pulang sekolah, tapi hari ini tadi makin keliatan lesu. Pas Bibik pegang keningnya, panas.” Seorang wanita paruh baya yang telah lama bekerja di rumah keluarga ini memberi laporan pada Gadisa.
Sambil mengusap punggung Mikairo yang naik ke pangkuannya dan memeluknya dengan sangat erat, pandangan Gadisa tertuju pada banyak obat yang ada di atas nakas. “Tadi dibawa periksa?” tanya Gadisa melihat obat-obat yang sepertinya dari dokter itu.
“Tadi Ibu manggil dokter kemari, Mbak. Jadi diperiksa di sini.”
“Ibu Miskha pulang?” tanya Gadisa menoleh ke arah bik Lastri.
Bik Lastri meringis sambil menggeleng. Gadisa tahu jawabannya.
Gadisa mengalihkan pandangannya pada Mikairo yang malang. Sudah enam bulan Gadisa bekerja dengan Miskha Maharini dan sudah lima bulan ia melakukan pekerjaan di luar job desk yang seharusnya, yaitu ikut mengantar dan menjemput Mikairo sekolah, mengajak Mikairo bermain sampai menemani Mikairo hingga ada salah satu dari dua orang tua anak itu yang pulang ke rumah. Dari situ, Gadisa tahu betapa kesepiannya Mikairo.
“Kai udah makan belum?” tanya Gadisa terus mengusap lembut punggung yang terasa panas itu.
“Kai mau disuapin Tante,” lirih Mikairo.
Gadisa langsung menoleh ke arah bik Lastri dan bik Lastri langsung mengangguk mengerti.
Sambil menunggu makanan datang, Gadisa bertanya, “kangen nggak sama Tante?” Karena sudah empat hari ini mereka tidak bertemu sejak Gadisa disibukkan dengan urusan pindah kontrakan.
“Nggak!” jawab Mikairo namun sangat ketus.
Gadisa tersenyum. “Maaf, ya, Tante pindah rumah, jadi nggak bisa jemput dan nemenin Kai main.”
“Kenapa pindah rumah?” Mikairo mengurai pelukannya dan menatap mata Gadisa. “Kai nggak pernah pindah rumah.”
Gadisa makin dibuat tersenyum oleh pertanyaan itu. “Karena ini rumah Kai. Kalau Tante, Tante ‘kan tinggal di rumah punya orang lain. Jadi Tante bisa pindah rumah.”
Kening anak laki-laki itu berkerut. “Jadi Tante nggak punya rumah?”
Gadisa menggeleng. “Nggak punya. Tante punyanya Mikairo,” ucap Gadisa memajukan wajahnya dan mengusap hidungnya ke ujung hidung mungil mancung milik Mikairo.
Anak laki-laki itu terdiam, menatap Gadisa begitu lekat. “Kai juga punyanya Tante. Kai cuma punya Tante,” ucapnya membuat hati Gadisa mencelos dan senyum yang tadi menghiasi wajah Gadisa meredup seketika.
“Nanti kalau sudah besar, terus kerja, Kai beliin Tante rumah, ya? Nanti Kai beliin yang besar kayak rumah ini biar Tante nggak pindah rumah lagi.” Dengan polosnya, Kai berkata demikian.
Gadisa tersenyum getir. Andai ucapan itu ia dengar dari bapaknya, bukan dari anak usia enam tahun, pasti akan jauh membahagiakan.
“Kita ‘kan sudah janji mau beli rumah, Pak. Kenapa uangnya kamu habiskan? Itu uang warisan orang tuaku!” Bukannya membeli rumah, bapaknya justru menghabiskan uang warisan milik ibunya.
Gadisa menggeleng kecil, menghalau rasa sedih yang tiba-tiba hinggap. Lupakan soal bapaknya! Gadisa tidak mau peduli lagi. “Tante tunggu Kai besar terus beliin Tante rumah,” ucap Gadisa tersenyum lalu menoleh ke arah pintu saat bik Lastri datang membawa sepiring nasi dan lauk. “Tapi kalau mau besar harus makan, ya. Nggak boleh nggak makan.”
Bik Lastri tidak heran lagi bila Mikairo sangat menurut pada perintah Gadisa dibanding semua orang yang ada di rumah ini. Itu sebabnya bik Lastri tadi menghubungi Gadisa untuk membantunya mengurus Mikairo yang sedang sakit.
Walau terlihat tak berselera, Mikairo tetap makan dari suapan yang diberikan Gadisa. Sekitar sepuluh suapan, Mikairo akhirnya menyerah. Dengan cekatan Gadisa mengelap bibir Mikairo lalu mengelap kedua tangan Mikairo yang tadi ikut memegang udang goreng dengan tisu basah.
“Sekarang kita minum obat, ya?” Gadisa mendekatkan wajahnya dan menatap mata bulat sayu itu ketika bicara dengan Mikairo untuk mendapat perhatian. Dan selalu berhasil. Apa yang Gadisa katakan mendapat anggukan, membuat bik Lastri tersenyum dan dengan cepat mengambil obat di atas nakas lalu diberikan pada Gadisa.
Ada tiga obat yang harus diminum Mikairo dan semua teratasi dengan mudah setelah Gadisa datang.
“Tante jangan pergi. Di sini sama Kai,” pinta Mikairo dengan wajah seperti ingin menangis.
“Iya, Tante nggak pergi. Tante di sini nemenin Kai,” ucap Gadisa menenangkan Mikairo.
Ia elus puncak kepala itu dengan lembut, lalu seperti biasa, Gadisa menuntun Mikairo membaca doa sebelum tidur dan bersenandung lagu anak-anak sampai akhirnya anak laki-laki itu tertidur pulas sambil menggenggam tangannya.
“Empat hari ini ngomel karena Mbak Gadis nggak ada. Dia marah-marah terus, Mbak. Bibik sudah bilang kalau Mbak Gadis lagi repot, tapi nggak mau tau. Semua barang dibanting sama dia. Dan kayaknya demamnya ini juga karena kangen sama Mbak Gadis.”
Gadisa memandangi wajah lelap itu. Gadisa memang sangat menyukai anak kecil. Apalagi setelah akrab, Mikairo termasuk anak yang sangat pintar dan penurut. “Maafin Tante Gadis, ya, Kai. Tante janji nggak akan ninggalin Kai lama-lama,” ucapnya lalu mengecup kening Mikairo.
Dan di ambang pintu kamar, seorang pria berperawakan tinggi memakai kemeja berdiri di sana. Sudah sekitar lima menit yang lalu dan tidak ada yang menyadari kehadirannya sampai… Gadisa menoleh ke arah pintu dan mata mereka bertemu.
Gadisa perlahan melepaskan genggaman tangan Mikairo lalu bangkit dari tepi ranjang─membiarkan tubuh Mikairo tidak berselimut karena masih tinggi demamnya. Gadisa memutar tubuhnya dan sedikit membungkukkan lehernya ke arah pria yang terlihat lelah itu.
“Terima kasih sudah merawat anak saya,” ucap pria itu.
Gadisa mendongak. Mulutnya sedikit terbuka, terkejut pria itu akhirnya bicara padanya setelah selama ini mereka hanya mengangguk sopan ketika berpapasan di rumah ini. Ini pertama kalinya Gadisa mendengar suara pria itu.
“Sama-sama, Pak,” balas Gadisa pada… Dikara Erlangga─suami Miskha Maharini sekaligus ayah Mikairo Erlangga.
Dan… ajaibnya, Dikara tersenyum padanya.
“Kamu belum tidur, Dis?” Ibu Rike berdiri di ambang pintu kamar putrinya yang terlihat masih menyala lampunya. “Sudah jam satu ini, Dis.”Gadisa bengkit dari ranjang kayunya. Duduk di tepi, Gadisa belum bisa tertidur. Pikirannya masih tertuju pada Mikairo. “Ini mau tidur, kok, Bu,” jawab Gadisa tersenyum kecil.“Gimana tadi kejutan ulang tahunnya? Pasti seru, ya?” tanya ibu Rike mengayunkan langkah masuk ke kamar putrinya. Tadi, saat putrinya pulang, ibu Rike sudah terlelap dan baru saja terbangun karena ingin ke kamar mandi.“Mbak Miskha nggak datang, Bu. Kai sudah semangat ngasih kejutan, tapi ternyata mamanya nggak datang.” Pandangan Gadisa mengekor gerak ibunya hingga ibunya duduk di sampingnya.“Nggak datang? Kenapa? Sibuk?” tanya ibu Rike membayangkan sekecewa apa Mikairo. Apalagi ibu Rike tahu Mikairo anak yang selalu excited.“Nggak tau, Bu. Aku hubungi nggak diangkat lagi.”“Harusnya nggak boleh begitu. Apa mereka ada masalah?” tanya ibu Rike.Gadisa diam sejenak. Tanpa berma
Sepasang mata Gadisa tidak berpindah dari keranjang kotak yang terbuat dari bambu dan dihiasi kertas krep berwarna hijau dan diatasnya terdapat kerajinan tangan terbuat dari clay berbentuk bunga, rumah, lalu ada yang berbentuk pria dewasa, wanita dewasa dan juga anak laki-laki.“Ceritanya yang kertas hijau itu rumput, ya, Mbak?” tanya bik Lastri muncul dari belakang Gadisa.Gadisa menoleh. “Iya. Kata Kai, mau warna cokelat juga, tapi nanti mbak Miskha ngiranya tanah lumpur, soalnya mbak Miskha nggak suka becek. Jadi pakai kertas warna hijau aja, biar berasa di tanah berumput, Bik,” terang Gadisa menjelaskan pemikiran jenius Mikairo dalam pembuatan kerajinan tangan untuk dihadiahkan pada Miskha.Bik Lastri duduk di bawah memandangi kerajinan tangan cantik yang diletakkan di atas meja di ruang tengah. “Bagus, ya, Mbak. Kalau Bibik yang dapat hadiah ini, pasti terharu sekali.”Gadisa yang duduk di atas sofa, berpindah duduk di lantai. Gadisa tersenyum memandangi hasil kerajinan tangan bu
Di balik apronnya, Gadisa menyiapkan bekal untuk Mikairo bawa ke sekolah. Ada telur gulung, lalu nasi yang dibentuk bola-bola kecil, juga ada tempura dan terakhir ada tumis brokoli sebagai sayurnya. "Kayaknya enak banget. Kalau Bibik nggak kreatif. Bibik bisanya masak itu-itu aja. Kalau masakan tradisional, Bibik jagonya," ucap bik Lastri melongok hasil masakan Gadisa yang telah ditaruh dalam kotak bekal. "Bibik selalu bingung mau masakin apa buat bekalnya Kai. Saya jadi ngerepotin Mbak Gadis.""Nggak, kok, Bik. Saya ada waktu luang hari ini. Nggak terlalu sibuk di rumah, jadi ke sini dulu untuk bikinin Kai bekal." Tidak enak bila Gadisa mengatakan jika kemarin bekal yang dibawakan bik Lastri tidak habis dimakan. "Itu Mbak bikin banyak buat pak Dika?" tanya bibik melihat masih ada satu piring tempura, tumis brokoli dan telur gulung."Oh, nggak, Bik. Buat sarapan Kai sama kalau Bibik mau, silakan. Saya nggak tau seleranya pak Dika apa." Gadisa kemari hanya untuk menyiapkan sarapan se
"Mas nggak boleh ngomong gitu lagi, ya. Mas 'kan tau aku kerjanya selain ngurusin keperluan mbak Miskha, aku juga ngurusin Kai. Dia sedih mamanya selalu sibuk, dan semenjak aku bawa ke sini, dia seneng banget. Jadi Mas nggak boleh ngomong gitu lagi." Baru saja Mikairo dijemput oleh Dikara di depan gang. Tadinya mau meminta Dikara untuk mampir, sekedar basa-basi. Tapi melihat kakaknya tadi bicara sembarangan di depan Mikairo, Gadisa jadi khawatir kalau kakaknya akan bicara sembarangan lagi di depan Dikara nantinya. "Ta-tapi ma-sa kamu bawa ke sini. Me-memangnya ibunya ke-mana?" Bagi Lanang, yang namanya seorang ibu harus merawat anaknya. Bukan diserahkan pada orang lain. "Mamanya sibuk, Mas. Kalau di rumah nggak ada temen sebayanya, jadi aku bawa Kai ke sini biar bisa main sama anak tetangga kita." Gadisa menoleh ke arah kakaknya yang duduk di sampingnya. Saat ini, mereka ada di teras rumah, duduk tepat di belakang meja etalase jualan ibunya. Malam ini terang, sebab bulan b
"Sudah mandinya?" sambut Gadisa di depan pintu kamar mandi. Anak laki-laki berusia enam tahun itu keluar dengan handuk yang sudah terlilit di pinggulnya. Sangat rapi sampai Gadisa tersenyum dibuatnya. "Pinter banget. Seger nggak airnya?" tanya Gadisa lagi setelah pertanyaan pertama mendapat anggukan dan senyuman dari Mikairo. "Seger. Enak mandi sore-sore pakai air dingin. Besok Kai mau mandi pakai air dingin lagi, ya, Tante," pinta Mikairo yang selama ini selalu mandi pakai air hangat. "Boleh," angguk Gadisa membawa Mikairo menuju kamarnya untuk memakai pakaian. Hari ini sengaja Gadisa tidak merebuskan air seperti kemarin sore karena hari ini cuaca begitu terik. Jadi menurutnya tidak masalah mandi menggunakan air dingin. Toh akan sangat segar. Dan ternyata Mikairo menyukainya. Gadisa membawa Mikairo duduk di di lantai berkarpet lalu mendekatkan tas berisi baju ganti Mikairo. Sama seperti kemarin, Mikairo membawa dua setel pakaian ganti. Yang satu dipakai setel
Sepasang mata Miskha membeliak. "Mas ngapain disini?" tanyanya tak suka melihat kehadiran Dikara di salonnya. Tak ingin menjadi bahan tontonan, Dikara menarik pergelangan tangan Miskha, lalu membawa sang istri menuju ke tempat yang lebih sepi. Gadisa segera menyingkir usai menutup pintu ruangan Miskha untuk turun ke bawah. "Ini pertama kalinya suaminya mbak Miskha ke sini? Atau aku aja yang baru tau, Dis?" tanya Vera penasaran. "Udah, nggak usah dibahas. Bukan urusan kita," ucap Gadisa mencoba mengakhiri pembicaraan mengenai Miskha dan Dikara. Selain karena tidak sopan, Gadisa tak mau ada yang mendengarnya. Terlebih Miskha atau Dikara. Bisa jadi masalah nantinya. "Tapi suaminya mbak Miskha ganteng abis, ya?" Vera mendekati Gadisa yang berjalan ke area penataan rambut. "Bohong kamu. Katanya kamu nggak pernah liat. Buktinya tadi suaminya mbak Miskha nyariin kamu kok." "Nggak perlu dibahas, Ver. Nggak inget tadi gimana mbak Miskha negur kamu? Mbak Miskha ngga