Pak Will. Dengan gerakan cepat mendorong pintu itu, ia melangkah masuk dengan wajah penuh cemas.
Dan memindai ruangan itu, tapi tidak melihat apapun atau siapa pun di sana selain Roura yang berdiri dengan napas memburu.
“Mana orangnya?!” tanya Pak Will mendesak.
Roura masih terengah-engah, langsung menunjuk ke samping, ke arah tempat Sion berdiri beberapa detik yang lalu.
“Dia ada di sana!”
Pak Will menoleh ke arah yang ditunjuk, tetapi ruang itu kosong. Tidak ada siapa pun yang bisa ia lihat.
Roura juga segera menoleh ke arah yang sama, ia terkejut mendapati Sion sudah tidak ada di sana. Hanya udara kosong yang menyambut tatapannya.
Kini wajah Pak Wiil terlihat marah, ia menghela Nafas mencoba bersabar dengan sikap gadis ini.
“Roura? Apa kau sedang mencoba bercanda denganku? Karena ini sama sekali tidak lucu.”
“Tapi ... tapi tadi dia ada di sini!” jawab Roura panik, menunjuk ke ruang kosong itu lagi.
Pak Will menatapnya dengan tajam, menahan marahnya sekuat tenaga. Lalu pria ini memijat pelipisnya sendiri.
“Ya, Tuhan. Kau ini terlalu sering membantah dan sering bertingkah aneh. Jangan buat masalah lagi, Roura. Kalau kau tidak ingin bekerja, tinggal bilang. Aku akan mencari orang lain.”
Roura hanya terdiam, penuh dengan kebingungan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya lagi. Karena Sion benar-benar menghilang.
Roura sendiri sangat bingung, entah bagaimana, kehadirannya tadi terasa sangat nyata, tetapi sekarang tidak ada jejak yang bisa dibuktikan.
"Maafkan aku, pak Will!"
Wajah Roura penuh penyesalan, gadis ini hanya bisa menunduk dan tidak bisa membela diri lagi. Sementara Pak Will sekali lagi hanya bisa menggeleng kepala, tidak habis pikir dengan tingkah Roura.
“Sudahlah, sekarang cepat kembali bekerja.”
Roura berdiri terdiam sejenak, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Dan Pak Will segera pergi meninggalkan Roura dalam kebingungannya sendiri
“Dasar gadis aneh.”
Pak Will menggerutu sambil berjalan menjauh, dan Roura juga melangkah keluar dari kamar mandi, ia menghela napas panjang sebelum memulai pekerjaannya.
Hari ini terasa begitu melelahkan baginya, tubuh Roura serasa dirajam rasa letih. Namun, ia tetap menyunggingkan senyum kecil kepada beberapa pelanggan kafe yang datang.
"Sudahlah, mungkin pria tadi hanya halusinasi ku saja."
Ketika malam tiba, dengan langkah lelah Roura berjalan menuju halte bus. Saat sedang menunggu bus, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk terlihat, dengan setengah hati, ia membuka pesan dari ibu tirinya.
"Roura, beli seekor bebek bakar untuk kakakmu. Awas jika kamu sampai lupa, maka jangan berharap bisa masuk rumah."
Pesan itu singkat, tetapi itu sebuah perintah yang harus dituruti. Roura mendesah panjang, menatap saldo di aplikasinya yang hanya cukup untuk membeli setengah ekor bebek.
“Tentu saja, seperti biasa. Meminta macam-macam tapi tidak pernah memberikan uang,” ucap Roura.
Gadis ini berhenti di sebuah kios makanan untuk membeli setengah ekor bebek bakar. Ketika si penjual menyerahkan pesanannya, aroma lezat bebek bakar itu membuat perutnya yang kosong berbunyi pelan.
“Maaf, perutku. Tapi ini bukan untuk kita.”
Roura kini sudah tiba di sebuah apartemen. Tempat yang sangat sederhana untuk ia tinggal bersama keluarganya, dengan biaya sewa yang paling murah di kota Mayro. Itupun Roura masih sering telat untuk membayar
Roura merogoh kantong celananya untuk mengambil kunci. Namun sebuah suara aneh terdengar dari arah pohon di dekatnya.
“Sstt! Hei, Roura!”
Roura mendongak ke atas, matanya melebar karena terkejut, ketika melihat Sion duduk santai di atas salah satu cabang pohon. Ia melambaikan tangan dengan senyum lebar.
“Kamu?"
"Bagaimana mungkin kamu ada di atas sana?" tanya Roura bingung.
Sion hanya tertawa kecil, cukup lucu melihat ekspresi gadis itu yang terlihat ketakutan.
"Pohon ini cukup nyaman. Bahkan lebih baik daripada apartemen sempitmu itu. Kau harus coba untuk pindah ke sini!”
Sion menjawab sambil melambaikan tangan seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.
“Turunlah, dasar aneh. Tetangga akan menganggap kau gila, jika kau tidur di atas pohon," ejek Roura lagi.
Roura terus saja mengomel pada Sion, ia meminta agar Sion segera pergi dari sana, atau setidaknya tidak mengganggunya lagi.
Mendengar keributan di luar, ibu tiri Roura yang bernama Martha segera membuka pintu. Seperti biasanya, wajahnya tidak pernah tersenyum, hanya kemarahan dan rasa tidak suka, yang ia tunjukkan pada Roura.
Di depan pintu, bu Martha sudah menunggu dengan bertolak pinggang. Rambutnya yang pirang disanggul rapi, tetapi ekspresi wajahnya seperti badai yang siap menghantam.
“Mana bebek bakarnya?” tanya Bu Martha.
Roura menyerahkan bungkusan kertas itu pada bu Martha, lalu segera melangkah masuk ke dalam rumah.
Martha segera menaruh bungkusan itu di atas meja, tapi ia langsung marah-marah begitu melihat isinya.
“Ini cuma setengah ekor bebek! Aku memintamu membeli seekor penuh. Kau bahkan tidak bisa mendengar permintaan sederhana!”
“Uangku hanya cukup untuk membeli setengah ekor, bu.” jawab Roura.
“Jangan membantahku, Roura. Aku sudah cukup sabar menghadapi tingkah lakumu itu! Kau selalu saja bodoh.”
Tiba-tiba ayah Roura muncul dari ruang tamu, wajahnya memerah marah mendengar keributan yang terjadi di ruang tengah mereka.
Mata pak Mike melotot pada Roura, padahal gadis itu adalah anak kandungnya. Pak Mike segera membentak Roura dengan kasar, membuat gadis itu terkejut.
“Roura? Tidak bisakah kau bicara dengan lebih sopan kepada ibumu? Dia sudah mengurus rumah ini, dan kau malah membuatnya marah.”
Roura mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi. Kenapa selalu dia yang bersalah di mata ayahnya. Keluarga ini selalu meremehkannya, tidak pernah menghargai usahanya, bahkan tidak pernah peduli dengan setiap kesulitan Roura.
“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Ayah. Jika bu Martha ingin aku membeli sesuatu, setidaknya dia bisa memberikan aku uang untuk itu.”
“Jangan berdebat denganku, Roura. Kamu harus belajar menghormati ibumu.” bentak Pak Mike.
Roura sangat kesal dengan sikap ayahnya, merasa terpojok. Ia menunduk dan hanya bisa berjalan menuju kamarnya tanpa sepatah kata lagi.
Roura melempar tas kerjanya ke sudut kamar, menghempaskan diri ke kasur, dan mendesah panjang.
"Sialan, lelah sekali hidupku ini. Semuanya aku tanggung sendiri. Ibu ... Kenapa kau pergi begitu cepat? Meninggalkan aku sendirian bersama ayah yang egois itu? Dia hanya menyayangi istri dan anak barunya. Sedangkan aku, hanya sampah baginya."
Roura mengeluh penuh frustrasi. Ia mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan beban hari yang terasa berat.
Setelah beberapa saat menenangkan diri, Roura bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Ia menyalakan keran air hangat, membiarkan uap memenuhi ruangan kecil itu. Air mengalir di tubuhnya, membantu mengusir rasa lelah yang melekat.
Roura membungkus tubuhnya dengan handuk putih yang ia lilitkan dengan cepat. Rambutnya masih basah, meneteskan air ke lantai.
Tapi saat ia melangkah keluar dari kamar mandi.
"Aaah!"
Roura tiba-tiba menjerit, langkahnya terhenti mendadak, ketika ia melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di dalam kamarnya.
Mata Roura melotot tidak percaya, jantungnya berdebar kencang, saat melihat seorang pria tengah duduk di tepi ranjangnya, mata pria itu menatap Roura yang hanya mengenakan handuk. "Bagaimana kau bisa masuk? Aku sudah mengunci pintu."
Roura membentak marah, saat melihat Sion malah berbaring dengan santai, pria itu tersenyum lebar tanpa merasa berdosa.
"Ssstt! Berhentilah berteriak! Atau ayahmu akan marah lagi!" ucap Sion santai.
Roura bicara marah, sekaligus ketakutan. "Tapi bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku? Apa orang tuaku sudah menjualku padamu?"
Roura segera mengambil kain sembarangan, untuk menutup tubuhnya lebih rapat. Ia melirik ke sekeliling kamar, mencoba mencari alasan masuk akal mengapa Sion bisa masuk ke dalam kamarnya.Sion tertawa terbahak, melihat Roura yang ketakutan sambil menutup seluruh tubuhnya. Seolah Sion adalah penjahat yang akan merenggut kesucinnya."Hey, ayolah ... Aku hanya ingin tidur di sini," jawab Sion tanpa rasa bersalah."Kurang ajar, kau tidak bisa sembarangan tidur di kamar ku! Apalagi kau lihat aku dalam keadaan seperti ini!"Roura marah lagi, sementara Sion hanya mengangkat alis, sambil tertawa lagi. Pria ini berjalan mendekat ke arah Roura, membuat gadis itu agak ketakutan. Apalagi tubuh tegap Sion terlihat sangat kuat, pasti ia bisa menarik kain yang melilit tubuh Roura dengan mudah. "Tolong jangan tatap aku seperti itu, tuan!" pinta Roura."Seperti apa maksudmu, Roura? Aku hanya melihat seorang manusia yang habis mandi dan terlihat marah."Roura berjalan mundur, sementara Sion terus berj
Roura menatap Sion dengan kesal, seperti baru saja mendengar lelucon paling tidak lucu di dunia. "Tunggu, jadi sekarang aku terjebak dengan hantu CEO yang punya ego sebesar menara Eiffel? Dan logika seperti anak usia lima tahun? Fantastis. Hidupku benar-benar luar biasa."Sion mengangkat bahu dengan ekspresi tak berdosa. Ia menertawakan kekesalan Roura dan baru saja mengeluhkan hidupnya."Yah, kau sangat beruntung sebenarnya. Jarang sekali aku datang untuk meminta bantuan pada orang lain."Sungguh sikap Sion terlalu menyebalkan bagi Roura, gadis ini mendengus kesal. Menggelengkan kepala tak percaya dengan nasib aneh yang menimpa dirinya."Maaf, tuan Sion yang terhormat. Tapi aku terlalu sibuk dengan kemiskinanku untuk peduli. Jadi pergilah!"Sion mendekat, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah Roura. Tapi kali ini Roura tidak takut lagi, dia menatap Sion dengan berani, membuat Sion tertawa kecil."Keluar dari sini! Atau aku akan ....""—Berteriak? Dan mengundang
Roura menghela nafas lelah. "Baiklah, kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?" "Temukan tubuhku, dan pastikan aku sudah mati atau belum," jawab Sion, kali ini ia bicara serius tanpa sebuah senyuman.Roura agak bingung dengan permintaan itu. "Bagaimana aku tau soal tubuhmu, tuan Sion?"Sion berdiri dari sana, menatap jauh ke depan, seolah akan mengatakan sebuah strategi yang sangat penting."Kamu harus melakukan penyelidikan, cari tau dimana tubuhku berada. Dan ingat, Kau harus mulai melakukan penyelidikan ini secepatnya,” perintah Sion.Roura tertawa kecil sambil melipat tangan. “Hari ini aku harus bekerja.”Sion mendadak meledak dalam tawa, seperti baru mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya—atau kematiannya. “Lupakan pekerjaan dengan gaji kecil itu, Rou,” kata Sion.Roura menatapnya tajam, lalu menggelangkan kepala. “Yang kau bilang kecil itu, Tuan Kaya Raya. Itu cukup untuk menghidupiku, tahu.”“Oh, ya? Berapa gajimu di sana, kalau boleh tahu? Satu digit? Dua digit? Atau sek
Pria itu kembali mengomel pada Roura. "Apa urusannya denganmu, nona? Berani sekali kau menanyakan soal tuan Sion. Memangnya siapa kau? Hanya seorang wartawan kecil."Roura menghela napas dalam-dalam, ia masih belum menyerah. Sekali lagi ia mencoba menenangkan diri, dan bicara lagi pada pria di hadapannya.“Dengar, pak. Aku hanya mencari informasi. Tidak ada hubungannya dengan stasiun TV atau—”“Aku tidak peduli! Terkadang para wartawan menutupi jati diri mereka! Jadi sekali lagi aku mohon pergilah! Tempat ini masih berbahaya. Tidak akan ada yang bertanggung jawab jika reruntuhan mungkin akan menimpamu.” bentak pria itu.Akhirnya Roura menyerah, gadis ini berjalan meninggalkan area gedung Robin Group dengan langkah berat. Mulutnya terus saja mengomel sendiri.“Saat aku dimarahi begini, kemana perginya hantu konyol itu? Enak sekali dia hilang saat aku butuh dukungan.”Setelah naik bus kota lagi, akhirnya Roura tiba di apa
Roura terdiam mendengarkan semua yang pria itu sampaikan, dia sudah menduga, kalau momen ini pasti akan datang cepat atau lambat.“Tapi, pak. Bisakah saya mendapatkan sedikit waktu tambahan? Saya sedang mencoba untuk mengumpulkan uang.” pinta Roura.Pria itu menggeleng dengan tegas, memberikan selembar surat kepada Roura.“Sayangnya kebijakan universitas sangat jelas dalam hal ini. Kami telah memberikan cukup banyak peringatan. Jika pembayaran tidak dilakukan dalam dua minggu, nama Anda akan dikeluarkan dari daftar mahasiswa aktif.”Roura menghela napas, mencoba bernegosiasi. “Tapi saya hampir tidak bisa membayar sewa apartemen, bagaimana saya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu sangat singkat?”“Saya mengerti kesulitan Anda, tapi kami juga harus menjalankan kebijakan yang berlaku. Mungkin Anda bisa mempertimbangkan mengambil pinjaman pelajar, atau berbicara dengan keluarga Anda untuk minta bantuan.”
Roura menarik napas dalam, merapikan penampilannya sejenak, lalu mulai melangkah masuk ke area kantor.Sesampainya di dalam gedung, ruangan dalam gedung tersebut memancarkan aura elegansi dan kekuasaan. Lantainya terbuat dari marmer hitam mengkilap dengan pola emas yang seakan dirancang khusus untuk menegaskan status penghuninya. Dindingnya dipenuhi panel kayu mahoni yang dipoles sempurna, dihiasi lukisan-lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Sebuah lampu gantung kristal besar menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang menciptakan suasana mewah.“Waw!” Roura seakan tersihir dengan kemewahan gedung ini, padahal ini hanya kantor cabang dari menara utama Robin Group.Roura di bimbing masuk ke dalam sebuah ruangan, yang merupakan ruangan tuan Marco.Di tengah ruangan, terdapat meja besar dari kaca berwarna hitam dengan tepi perak, dihiasi ornamen kecil berupa jam antik dengan pena emas. Di su
Namun tidak ada pergerakan apapun di sana, ruangan tetap hening tanpa ada suara dari benda ataupun dari mulut seseorang.Andrew mengurut pelipisnya yang agak pusing, pria tua ini benar-benar menganggap Roura sudah kehilangan akal sehatnya. "Sudah cukup! Marco, tolong usir dia sebelum aku benar-benar kehilangan akal sehatku seperti dia."Marco hanya tertawa, tampaknya ia menikmati tontonan ini, Marco menganggap gadis di hadapannya ini cukup lucu dan menghibur, Marco hanya menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. "Tunggu, ayah. Apa yang salah dengan dia? Memang ada beberapa orang yang suka tepat dalam mengkhayal," ucap Marco."Ayolah, nak. Jangan biarkan ayahmu yang tua ini harus menyelesaikan kekacauan." Andrew memprotes sikap Marco.Roura berdiri di tengah situasi ini, dengan ekspresi tak berdosa, ia mengedipkan mata polos ke arah Marco. "Jadi aku harus keluar?" tanya Roura. Suaranya terdengar seperti
Roura menatap Sion dengan bingung, alisnya bertaut rapat. “Apa maksudmu tadi? Apa yang ingin kau coba katakan?”Sion hanya menghela napas dan mengangkat bahu. “Sudahlah, lupakan saja. Yang lebih penting sekarang, informasi apa yang kau dapat di sana tadi?”Roura menepuk kepala Sion dengan keras, membuatnya mengeluh sambil mengusap tempat yang dipukul. “Rasakan itu! Apa kau tuli atau bagaimana? Kau dengar sendiri tadi, tubuhmu belum ditemukan. Itu berita paling besar yang aku dapatkan!”Sion memutar matanya, menghela napas kesal. “Sudah kuduga, sia-sia saja meminta bantuan darimu.”Mendengar itu, Roura berhenti melangkah, matanya berbalik tajam, dan menatap Sion dengan sengit. “Apa? Sia-sia? Hey, tuan hantu! Aku datang ke sini dengan uangku sendiri, tahu?! Bahkan kau tidak memberiku sepeser pun untuk sekedar naik bus, lihat ini!” Roura mengeluarkan uang yang diberikan Marco, dan melambaikannya di depan wajah Sion
Bab. 37Roura menghentikan langkah, matanya menatap tajam ke arah Andrew yang berdiri menjulang di hadapannya. Tawaran pria itu terlalu menggiurkan, tetapi juga mencurigakan."Apa yang Anda bilang tadi? Anda akan memberikan berapa pun yang aku minta?" tanya Roura.Andrew mengangguk dengan penuh keyakinan. "Tentu saja. Berapa pun yang kau butuhkan, tinggal kau sebut saja."Roura terkekeh kecil, ada nada geli dalam tawanya. "Oh ya ampun, ada apa ini? Biasanya Anda sangat galak dan tidak menyukaiku, tapi kenapa tiba-tiba berubah jadi baik?"Andrew melangkah lebih dekat, ekspresinya tetap tenang namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca. "Karena ini adalah kesempatan yang saling menguntungkan, Nona. Jika kau menerima penawaranku, kita berdua akan mendapatkan apa yang kita inginkan."Roura menyipitkan mata, tatapannya penuh kewaspadaan. "Penawaran apa yang Anda tawarkan kepadaku?""Ikutlah denganku dulu. Aku akan me
Bab. 36Roura mendekatkan telinganya ke mulut ayahnya. "Aku siap mendengarkannya, Ayah. Ada hubungan apa ibu dengan seseorang bernama Elisa itu?" "Ibumu... Dia..."Namun sebelum ayahnya sempat menyelesaikan ucapannya, napasnya kembali tersengal dan monitor jantung mulai berbunyi tak beraturan."Ayah! Ada apa, ayah?" Roura sangat panik.Melihat kondisi ayahnya, Roura langsung berlari ke luar untuk mencari bantuan. "Suster! Tolong ayahku!" teriak Roura.Beberapa petugas medis segera menuju ke arahnya, dan segera mengikuti langkah gadis ini. "Maaf, Nona, Anda harus keluar sekarang!" ucap Suster, ketika melihat kondisi pasiennya.Beberapa petugas medis lain menghampiri, memaksa Roura mundur dari sana. Sementara dokter-dokter itu segera melakukan tindakan darurat. Kini Roura hanya bisa menunggu dengan cemas di luar ruangan itu, ia tidak tahu harus berbuat apa kali ini, sungguh ia sudah sangat bi
Bab. 35Roura terlihat gemetar mendengar ucapan Louisa, dan Sion bisa melihat bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Saat Roura akhirnya menutup telepon, wajahnya tampak pucat.Sion langsung bertanya dengan cepat, "Ada apa, Roura?"Roura menelan ludah, suaranya bergetar saat menjawab, "Ayahku... Louisa bilang dia sedang di rumah sakit sekarang... dan kondisinya kritis."Sion terkejut, "Apa? Jadi ayahmu sakit?"Roura mengangguk cepat, "Benar. Aku harus segera ke rumah sakit sekarang juga!"Sion menatapnya dengan ekspresi serius. "Baiklah, aku akan menemanimu. Kita harus segera pergi dari sini."Tanpa membuang waktu, Roura langsung berlari menuju halte bus dan pergi meninggalkan tempat itu.*Setelah melakukan perjalanan hampir dua jam, Roura akhirnya tiba di rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Ia segera menuju ruang ICU dengan langkah tergesa-gesa. Di ruang tunggu, ia melihat Louisa dan Martha sedang du
Bab. 34Marco dan Andre saling bertukar pandang, terkejut mendengar ucapan itu.Namun, Andre segera bersuara lebih dulu."Apa lagi ini? Kau masih ingin menanyakan soal keberadaan tubuh Sion? Kenapa kau begitu penasaran? Dasar gadis aneh!" Matanya menatap tajam penuh kecurigaan. "Aku curiga kau adalah mata-mata dari pesaing kami."Roura langsung menggelengkan kepala. "Tidak! Bukan itu! Justru aku ke sini untuk memberitahu kalau tubuh Sion—"Tapi tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi.Mulut Roura terbungkam.Seolah ada sesuatu yang tak terlihat menghentikannya berbicara.Mata gadis itu membulat karena terkejut. Lalu, ia menyadari sesuatu…Sion muncul di belakangnya.Tangannya yang tak kasat mata menutupi mulut Roura, mencegah gadis itu mengatakan apapun."Tolong jangan katakan apapun pada mereka," bisik Sion, suara dinginnya bergema di kepala Roura."Aku akan melepaskan tanganku j
Bab. 33Pak Jansen tersenyum getir mendengar pertanyaan Roura. Ia berkata dengan nada berat, "Mungkin jika memang Sion tidak ingin bertemu dengan arwah putriku, aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepadamu atau kepada siapa pun. Karena aku bisa melihat, ikatan batin di antara Sion dan putriku ternyata memang tidak ada."Roura terdiam, mencoba mencerna jawaban pria tua itu. Ada sesuatu dalam kata-kata Pak Jansen yang mengusik pikirannya. "Tapi, Pak... kenapa di antara mereka harus ada ikatan batin? Apakah mereka memiliki hubungan darah?"Pak Jansen langsung terdiam, ia mendongak ke atas, mencoba menahan air matanya. Seluruh tubuhnya gemetar, dan Liana yang duduk di sampingnya bisa merasakan bahwa suaminya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja."Jansen, apa kau baik-baik saja?" tanya Liana yang langsung berdiri dari duduknya.Pak Jansen hanya diam, wajahnya tampak menegang. Liana meraba-raba udara untuk meraih tangan suaminya, kemudian
Bab. 32Sementara di sisi lain, Roura berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Robin Group. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya, apalagi udara dingin dini hari mulai menusuk kulitnya. Langit masih gelap, hanya diterangi oleh rembulan yang bersinar redup di atas sana. Hari bahkan hampir pagi. Waktu di ponselnya menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tubuhnya sudah terlalu lelah, kedua kakinya terasa berat, dan rasa kantuk mulai menyerangnya. Namun, ia tidak bisa berhenti sekarang."Aku benar-benar kehabisan tenaga," gumamnya sembari menghela napas panjang.Roura terus berjalan sambil menoleh ke kanan dan kiri. Jalanan semakin sunyi, rasa ngeri mulai merayap di pikirannya. Sementara perjalanan menuju kantor Robin Group masih cukup jauh.Angin malam bertiup dingin, menusuk kulitnya hingga membuatnya merapatkan jaket. Setiap bayangan yang bergerak karena hembusan angin terasa mencurigakan, membuatnya semakin waspada.Tiba-tiba, sua
Bab. 30Sion dan Roura terdiam, bersiap mendengarkan apa yang akan Pak Jansen sampaikan. Pria tua itu menarik napas dalam sebelum akhirnya membuka suara.“Ada alasan kenapa Sion bisa terpisah dari tubuhnya,” ucapnya pelan.Roura mengerutkan kening. “Apa alasannya, Pak Jansen?”Pak Jansen tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit, seolah tengah mengingat sesuatu dari masa lalu. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengannya, orang ini sangat ingin bertemu dengan Sion, tapi dia tidak bisa... karena mereka sudah berbeda alam,” jawab Pak Jansen lagi.Roura semakin bingung. “Apa maksud Anda? Siapa seseorang itu? Kenapa dia ingin bertemu dengan Sion? Apakah dia juga sudah meninggal sehingga mereka berada di alam yang berbeda?”Pak Jansen mengangguk perlahan. “Kurang lebih seperti itu, Roura.”Sion yang sejak tadi diam mulai bertanya, walaupun di sana hanya Roura ya
Bab. 29Roura menghentikan langkahnya, lalu menatap dalam ke arah Pak Jansen. Pria tua itu hanya mengangkat bahu dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Roura?”Gadis itu menggeleng. “Entahlah, Pak Jansen. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa aku jawab sendiri.”Pak Jansen mengangguk pelan, memahami kebingungan gadis itu. “Aku tahu bagaimana rumitnya pertanyaan di dalam kepalamu. Kalau begitu, ikuti aku saja. Aku akan segera menunjukkan sesuatu. Tidak perlu banyak bertanya sekarang, nanti kau akan mengerti pelan-pelan.”Roura akhirnya mengangguk. Ia mengikuti pria tua itu melangkah melewati lorong rumah sakit yang tenang. Langkah kakinya bergema samar, berpadu dengan suara alat-alat medis yang berbunyi lembut dari berbagai ruangan.Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah kamar bernomor 307.Pak Jansen membuka pintunya perlahan.Roura masih terdiam begitu melihat siapa yang t
Bab. 28"Tentu saja, aku akan menjawab semua pertanyaanmu," kata Pak Jansen dengan suara beratnya.Roura langsung tersenyum mendengar jawaban itu. "Terima kasih, Pak Jansen. Lalu apa jawaban Anda? Apa Anda tahu sesuatu tentang Sion?" Tetapi pria tua itu tidak menjawab, ia malah mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam sudah larut, area sekitar Robin Group masih cukup ramai dengan beberapa karyawan lembur yang masih berlalu-lalang.Pak Jansen menatap Roura dan berkata, "Tapi tempat ini bukan lokasi yang tepat untuk berbicara. Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku akan memberimu semua jawaban yang kau cari."Roura sempat terdiam. Ajakan itu tentu saja berisiko. Ini sudah hampir tengah malam, dan ia masih harus pulang ke Kota Mayro. Martha pasti akan marah besar karena ia terlambat. Belum lagi kemungkinan bahaya yang bisa terjadi di jalan. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.Roura meng