Share

5. Apa dia akan memperk*saku?

"Itu dadamu banyak busa behha. Kamu cuci dulu lalu lepaskan behhamu. Nanti kalau Nona Kaila tersendak bagaimana, Jen?" Weni yang begitu teliti mengurus anak majikannya itu tentu tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Kamu juga bau asem, belum mandi, ya?" Setelah duduknya lebih dekat, Weni mencium aroma asem pada tubuh gadis itu. Ditambah rambutnya juga bau matahari.

Jenny mengangguk. "Iya, aku belum mandi dari sore, Mbak."

"Dih jorok banget. Mandi dulu sana. Lalu ganti pakaian dan behhamu. Tubuhmu harus bersih saat menyusui, nanti dimarahi Pak Bima kalau dia tahu," tegur Weni.

"Maaf, Mbak. Aku nggak tahu. Ya sudah aku mau mandi dulu deh. Tapi ini Nona Kailanya nangis, gimana?"

"Biar aku timang-timang dulu. Kamu mandinya yang cepat tapi bersih." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny, lalu menimang-nimangnya.

Jenny mengangguk, dia langsung berjongkok untuk membuka tas jinjingnya. Lalu mengambil pakaian. Weni melihat apa saja yang dia ambil, yakni baju tidur lengan pendek, tetapi Jenny terlihat kebingungan memilih bra sebab semua branya sama seperti yang dia pakai, yaitu koyak.

"Jangan pakai behha deh, Jen," saran Weni.

"Iya." Jenny mengangguk cepat, dia pun memasukkan kembali 3 bra itu ke dalam tas, kemudian merogoh CD berwarna cream. Weni melihat cellana dalam itu sama saja tak layak pakai, ada lubang di bagian tengah seperti digigit tikus dan kolornya pun seperti sudah kendor.

Akan tetapi Weni hanya diam saja dan geleng-geleng kepala sambil menatap punggung Jenny yang sudah menghilang dari balik pintu kamar mandi.

'Perasaan Jenny masih muda, kok pakaiannya jelek semua? Apa dia nggak malu atau risih gitu pakai pakaian seperti itu? Harusnya 'kan sudah dibuang,' batin Weni dengan kening yang mengerenyit.

*

*

Jenny terlihat meringis sambil merem melek kala merasakan hisapan bibir Kaila yang tengah melahap puncak dadanya. Hisapannya itu cukup kasar dan tampak jelas kalau dia benar-benar haus.

"Lebay banget ekspresimu, Jen. Sambil merem melek begitu," ujar Weni sambil terkekeh saat memperhatikan wajah Jenny, terlihat mengemaskan sekali dan kedua pipinya juga merona.

"Geli campur sakit, Mbak." Jenny ikut terkekeh. Dia merasakan buku kuduknya berdiri.

"Beda ya, Jen, rasanya dengan menyusui bayi gede."

"Bayi gede?" Alis mata Jenny bertaut. "Memang ada bayi gede? Udah gede mah nggak bakal nyusu kali, Mbak."

"Itu suamimu, kan dia bayi gede. Pasti doyan nyusu juga, kan?"

"Aku nggak punya suami." Jenny menggeleng.

"Oh, sudah bercerai?"

Jenny tampak terdiam beberapa saat, lalu menggeleng.

"Maaf, Mbak. Itu terlalu pribadi. Aku nggak nyaman untuk menceritakannya."

"Ah maafkan aku. Sepertinya aku terlalu kepo." Weni tersenyum tipis lalu mengusap punggung Jenny dengan lembut. "Aku memang kadang suka begitu, kalau sudah tanya malah banyak bertanya. Dan rasanya bibirku gatal saja, soalnya aku baru punya teman yang bisa diajak ngobrol di sini."

"Memangnya Mbak kerja di sini sendirian? Nggak ada pembantu?"

"Ada, tapi orangnya ngeselin."

"Ngeselinnya gimana?"

"Nanti kamu juga tahu sendiri. Oh ya, nanti besok kamu beli pakaian dallam, Jen. Apalagi behha. Kamu musti ganti itu, sudah nggak layak pakai."

"Buat belinya aku nggak ada uang, Mbak."

"Belinya yang murah, yang 20 ribu juga ada perasaan, nanti beli aja lima buat gonta ganti."

"Masalahnya aku hanya pegang uang dua puluh lima ribu sekarang, Mbak. Belum buat ongkos sekolah dan masa aku nggak pegang uang sama sekali?"

"Kamu masih sekolah?"

Jenny mengangguk. "Iya."

"Kelas berapa?"

"Kelas 3 SMA."

'Masih sekolah tapi dia sudah melahirkan? Apa mungkin ... ah tapi biarkan saja. Itu 'kan urusan Jenny.' Weni menepis rasa penasaran di hatinya.

"Oh begitu. Ya sudah ... mending besok pas kamu ketemu Pak Bima kamu sekalian saja minta kasbon. Jangan lupa bilang juga karena mau beli behha. Pasti dikasih."

"Memangnya bisa dan segampang itu, Mbak, minta kasbon?"

"Ya nggak tahu juga, sih, tapi minimal coba dulu saja." Weni terkekeh, dia sendiri juga tak yakin tetapi sudah menyarankannya.

"Iya deh, besok aku coba tanya."

"Ya sudah ... berhubung ini sudah malam dan aku mengantuk ... aku tidur dulu, ya? Aku ada di kamar sebelah. Yang kamarnya kecil itu." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny sebab bayi itu sudah terlihat pulas dan seperti kenyang habis minum susu. Lalu setelah itu merebahkannya di atas ranjang lalu menutup kelambunya. Takut jika ada nyamuk masuk dan dia digigit.

"Aku ditinggalin di sini? Dan terus aku tidur di mana?"

"Yang kamu duduki itu 'kan kasur. Kamu tidur di situ." Weni menunjuk apa yang dia maksud.

"Kenapa Mbak nggak tidur denganku saja di sini? Masa aku sendirian? Nanti kalau Nona Kaila bangun butuh apa-apa bagaimana?"

"Nona Kaila jarang bangun kalau malam, tapi kalau semisal bangun dan kamu bingung ... kamu langsung masuk saja ke kamarku, kamarnya nggak akan aku kunci." Bukan Weni tidak mau menemani, tetapi kasurnya terlalu kecil hingga tak cukup untuk dua orang. Tidak mungkin juga dia tidur di lantai, karena di sana tak ada tikar atau pun kasur lantai.

"Ya sudah deh." Jenny mengangguk pasrah. Sebelum Weni pergi dari sana dia menunjukkan kamar yang dia maksud terlebih dahulu, supaya nanti Jenny tak salah masuk nanti. "Selamat malam, Mbak."

"Malam."

Jenny menutup pintu kamar, lalu dia pun berjalan menuju ranjang Kaila. Ingin memastikan bayi itu sudah tidur lelap atau belum, sebelum dirinya tidur.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka dan sedikit keras hingga handle pintu itu menghantam tembok. Jenny berbalik badan dan seketika matanya membulat kala melihat seorang pria berjas tengah berjalan sempoyongan masuk ke dalam. Wajahnya tampak merah dan penuh keringat, matanya juga sayu.

"Raya ... ternyata kamu di sini? Pantes aku cari-cari di kamar nggak ketemu," ucapnya lirih sambil tersenyum.

"Bapak siapa?" tanya Jenny dengan langkah mundur saat pria itu mulai mendekatinya.

"Kok kamu panggil aku Bapak? Biasanya 'kan Mas?" Pria itu makin mendekat hingga tubuh Jenny terjatuh di atas kasur sebab betis belakangnya tersandung ranjang.

Bruk!

Melihat Jenny sudah terlentang, dengan cepat pria itu pun langsung naik ke atas kasur dan menghimpit tubuhnya. Jenny seketika terbelalak lantaran terkejut dengan apa yang dia lakukan. Mulutnya terbuka hendak berteriak, tetapi sayangnya tak jadi sebab pria itu sudah membungkamnya dengan bibirnya sendiri.

Cup~

Pria itu melummat kasar bibir Jenny dan sedikit menekan kepalanya sebab tampak jelas gadis itu sejak tadi tak bisa diam. 

Tubuh Jenny langsung bergetar hebat, seluruh bulu kuduknya seketika berdiri. Rasa takut itu menyelimuti seluruh jiwanya.

'Ya Allah, siapa dia? Apa dia akan memperkosaku? Aku nggak mau!" batin Jenny menyeru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status