"Itu dadamu banyak busa behha. Kamu cuci dulu lalu lepaskan behhamu. Nanti kalau Nona Kaila tersendak bagaimana, Jen?" Weni yang begitu teliti mengurus anak majikannya itu tentu tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Kamu juga bau asem, belum mandi, ya?" Setelah duduknya lebih dekat, Weni mencium aroma asem pada tubuh gadis itu. Ditambah rambutnya juga bau matahari.
Jenny mengangguk. "Iya, aku belum mandi dari sore, Mbak."
"Dih jorok banget. Mandi dulu sana. Lalu ganti pakaian dan behhamu. Tubuhmu harus bersih saat menyusui, nanti dimarahi Pak Bima kalau dia tahu," tegur Weni.
"Maaf, Mbak. Aku nggak tahu. Ya sudah aku mau mandi dulu deh. Tapi ini Nona Kailanya nangis, gimana?"
"Biar aku timang-timang dulu. Kamu mandinya yang cepat tapi bersih." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny, lalu menimang-nimangnya.
Jenny mengangguk, dia langsung berjongkok untuk membuka tas jinjingnya. Lalu mengambil pakaian. Weni melihat apa saja yang dia ambil, yakni baju tidur lengan pendek, tetapi Jenny terlihat kebingungan memilih bra sebab semua branya sama seperti yang dia pakai, yaitu koyak.
"Jangan pakai behha deh, Jen," saran Weni.
"Iya." Jenny mengangguk cepat, dia pun memasukkan kembali 3 bra itu ke dalam tas, kemudian merogoh CD berwarna cream. Weni melihat cellana dalam itu sama saja tak layak pakai, ada lubang di bagian tengah seperti digigit tikus dan kolornya pun seperti sudah kendor.
Akan tetapi Weni hanya diam saja dan geleng-geleng kepala sambil menatap punggung Jenny yang sudah menghilang dari balik pintu kamar mandi.
'Perasaan Jenny masih muda, kok pakaiannya jelek semua? Apa dia nggak malu atau risih gitu pakai pakaian seperti itu? Harusnya 'kan sudah dibuang,' batin Weni dengan kening yang mengerenyit.
*
*
Jenny terlihat meringis sambil merem melek kala merasakan hisapan bibir Kaila yang tengah melahap puncak dadanya. Hisapannya itu cukup kasar dan tampak jelas kalau dia benar-benar haus.
"Lebay banget ekspresimu, Jen. Sambil merem melek begitu," ujar Weni sambil terkekeh saat memperhatikan wajah Jenny, terlihat mengemaskan sekali dan kedua pipinya juga merona.
"Geli campur sakit, Mbak." Jenny ikut terkekeh. Dia merasakan buku kuduknya berdiri.
"Beda ya, Jen, rasanya dengan menyusui bayi gede."
"Bayi gede?" Alis mata Jenny bertaut. "Memang ada bayi gede? Udah gede mah nggak bakal nyusu kali, Mbak."
"Itu suamimu, kan dia bayi gede. Pasti doyan nyusu juga, kan?"
"Aku nggak punya suami." Jenny menggeleng.
"Oh, sudah bercerai?"
Jenny tampak terdiam beberapa saat, lalu menggeleng.
"Maaf, Mbak. Itu terlalu pribadi. Aku nggak nyaman untuk menceritakannya."
"Ah maafkan aku. Sepertinya aku terlalu kepo." Weni tersenyum tipis lalu mengusap punggung Jenny dengan lembut. "Aku memang kadang suka begitu, kalau sudah tanya malah banyak bertanya. Dan rasanya bibirku gatal saja, soalnya aku baru punya teman yang bisa diajak ngobrol di sini."
"Memangnya Mbak kerja di sini sendirian? Nggak ada pembantu?"
"Ada, tapi orangnya ngeselin."
"Ngeselinnya gimana?"
"Nanti kamu juga tahu sendiri. Oh ya, nanti besok kamu beli pakaian dallam, Jen. Apalagi behha. Kamu musti ganti itu, sudah nggak layak pakai."
"Buat belinya aku nggak ada uang, Mbak."
"Belinya yang murah, yang 20 ribu juga ada perasaan, nanti beli aja lima buat gonta ganti."
"Masalahnya aku hanya pegang uang dua puluh lima ribu sekarang, Mbak. Belum buat ongkos sekolah dan masa aku nggak pegang uang sama sekali?"
"Kamu masih sekolah?"
Jenny mengangguk. "Iya."
"Kelas berapa?"
"Kelas 3 SMA."
'Masih sekolah tapi dia sudah melahirkan? Apa mungkin ... ah tapi biarkan saja. Itu 'kan urusan Jenny.' Weni menepis rasa penasaran di hatinya.
"Oh begitu. Ya sudah ... mending besok pas kamu ketemu Pak Bima kamu sekalian saja minta kasbon. Jangan lupa bilang juga karena mau beli behha. Pasti dikasih."
"Memangnya bisa dan segampang itu, Mbak, minta kasbon?"
"Ya nggak tahu juga, sih, tapi minimal coba dulu saja." Weni terkekeh, dia sendiri juga tak yakin tetapi sudah menyarankannya.
"Iya deh, besok aku coba tanya."
"Ya sudah ... berhubung ini sudah malam dan aku mengantuk ... aku tidur dulu, ya? Aku ada di kamar sebelah. Yang kamarnya kecil itu." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny sebab bayi itu sudah terlihat pulas dan seperti kenyang habis minum susu. Lalu setelah itu merebahkannya di atas ranjang lalu menutup kelambunya. Takut jika ada nyamuk masuk dan dia digigit.
"Aku ditinggalin di sini? Dan terus aku tidur di mana?"
"Yang kamu duduki itu 'kan kasur. Kamu tidur di situ." Weni menunjuk apa yang dia maksud.
"Kenapa Mbak nggak tidur denganku saja di sini? Masa aku sendirian? Nanti kalau Nona Kaila bangun butuh apa-apa bagaimana?"
"Nona Kaila jarang bangun kalau malam, tapi kalau semisal bangun dan kamu bingung ... kamu langsung masuk saja ke kamarku, kamarnya nggak akan aku kunci." Bukan Weni tidak mau menemani, tetapi kasurnya terlalu kecil hingga tak cukup untuk dua orang. Tidak mungkin juga dia tidur di lantai, karena di sana tak ada tikar atau pun kasur lantai.
"Ya sudah deh." Jenny mengangguk pasrah. Sebelum Weni pergi dari sana dia menunjukkan kamar yang dia maksud terlebih dahulu, supaya nanti Jenny tak salah masuk nanti. "Selamat malam, Mbak."
"Malam."
Jenny menutup pintu kamar, lalu dia pun berjalan menuju ranjang Kaila. Ingin memastikan bayi itu sudah tidur lelap atau belum, sebelum dirinya tidur.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka dan sedikit keras hingga handle pintu itu menghantam tembok. Jenny berbalik badan dan seketika matanya membulat kala melihat seorang pria berjas tengah berjalan sempoyongan masuk ke dalam. Wajahnya tampak merah dan penuh keringat, matanya juga sayu.
"Raya ... ternyata kamu di sini? Pantes aku cari-cari di kamar nggak ketemu," ucapnya lirih sambil tersenyum.
"Bapak siapa?" tanya Jenny dengan langkah mundur saat pria itu mulai mendekatinya.
"Kok kamu panggil aku Bapak? Biasanya 'kan Mas?" Pria itu makin mendekat hingga tubuh Jenny terjatuh di atas kasur sebab betis belakangnya tersandung ranjang.
Bruk!
Melihat Jenny sudah terlentang, dengan cepat pria itu pun langsung naik ke atas kasur dan menghimpit tubuhnya. Jenny seketika terbelalak lantaran terkejut dengan apa yang dia lakukan. Mulutnya terbuka hendak berteriak, tetapi sayangnya tak jadi sebab pria itu sudah membungkamnya dengan bibirnya sendiri.
Cup~
Pria itu melummat kasar bibir Jenny dan sedikit menekan kepalanya sebab tampak jelas gadis itu sejak tadi tak bisa diam.
Tubuh Jenny langsung bergetar hebat, seluruh bulu kuduknya seketika berdiri. Rasa takut itu menyelimuti seluruh jiwanya.
'Ya Allah, siapa dia? Apa dia akan memperkosaku? Aku nggak mau!" batin Jenny menyeru.
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja." Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri. Kabar te
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!" Lukman sudah meninggalkan ruangan, tapi suaranya
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs