"Kak Jo pulang?"Danan mengangguk, ia segera memakai seat belt dan membawa mobil milik papanya. "Kalian buru-buru amat sih? Nggak pengen jalan-jalan dulu? Baru sehari doang!" protes Danan yang segera membawa mobil itu pergi. "Ada meeting penting, Bang. Beneran nggak bisa diwakilin." Jonathan dengan segera menjawab, yang langsung direspon dengan senyum getir oleh Danan. "Ya aku paham sih, Jo. Sering ngalamin juga." sahutnya santai. Jonathan tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil, menatap sekeliling dari kaca mobil. Sementara Asha, matanya sudah lengket, ia sedari tadi terus menguap, mencoba menyuarakan apa yang dia rasa tanpa harus berbicara. "Hadiah kalian gimana? Mau kemana?" kejar Danan nampak penasaran. Jonathan menoleh ke belakang, melihat Asha yang sudah dalam kondisi setengah sadar, membuat ia tersenyum dan kembali fokus ke depan. "Pokoknya aku ngikut yang di belakang, Bang. Dia mau kemana aku ngikut aja nanti. Abang bahas sama dia aja, ya?"Danan mengangguk pasrah. Ia su
"Kalian serius mau balik sekarang?"Diana memburu langkah Asha, nampak wajahnya masih menyiratkan keterkejutan. Asha hanya mengangguk pelan, ia menurunkan Sabrina, membiarkan bayi itu melangkah ke sana kemari selagi ia merapikan koper."Kamu itu, kayak rumah mamamu cuma naik motor tiga puluh menit sampai aja!" omel Diana gemas. "Tunda, balik lusa aja!" titah Diana yang langsung membuat Asha menoleh. "Maa ... mas Jo ada meeting penting yang nggak bisa diwakilkan. Dia kudu ada besok siang." jawab Asha dengan wajah mencebik. "Yaudah suruh Jo pulang sendiri aja! Kalian nanti pulangnya." usul Diana yang langsung membuat Asha terkekeh. "Mana mau dia, Ma!" ucap Asha singkat. "Berangkat sepaket, pulang juga kudu sepaket."Diana mendengus, namun ia tidak membantah, ia malah menghampiri Sabrina, mengawasi bayi yang lagi senang-senangnya melangkah ke sana lemari. "Kalian punya hutang papa empat cucu perempuan, Sha. Jangan lama-lama, takut uring-uringan papamu nanti."Gerak tangan Asha terhen
"Halo!"Joana tersenyum, ia segera bangkit menyambut adik iparnya itu. Joana merentangkan tangan, menyambut Asha dalam pelukannya. "Kenapa repot-repot segala sih, Sha?"Asha segera menggeleng cepat, "Tidak ada yang repot."Joana terkesan, ia beralih pada lelaki yang kini resmi menjadi bagian keluarganya juga."Duduk dulu, Jo!" sapa Joana sedikit kikuk, ia belum terlalu mengenal lelaki ini. Beruntung mereka datang bersama Danan, jadinya Joana bisa fokus menemani Asha mengobrol. Bisa dia lihat Asha sudah duduk di samping ranjang Abra, ia nampak menggoda keponakannya itu, membuat wajah Abra berubah cerah dengan tawa lepas. "Sabrina mana, Sha?" tanya Joana yang kini berdiri di sebelah kursi Asha. "Dijagain mama, Kak. Itulah kenapa kita cuma datang berdua. Nanti gantian papa sama mama ke sini kalo kami balik." jawab Asha beralih menatap Joana. "Kamu ada bayi, malah repot-repot sampai sini sih? Abra baik-baik aja, Sha. Do'ain cepet pulang, pulih dan--""Dan bisa main bola lagi, Tante!"
"Ada apa, Bang?"Jonathan melirik Danan, mereka duduk di kursi yang ada di pinggir kolam renang. Danan tidak langsung menjawab ia malah menghela napas panjang sembari merogoh saku. "Abang sambil merokok boleh, kan?" izinnya setelah bungkus rokok beserta korek sudah ada di atas meja. Jonathan mengangguk pelan, membuat Danan segera mengambil dan menyulut sebatang rokok. "Kamu beneran nggak merokok, Jo?" tanya Danan setelah menghembuskan asap rokok ke udara. "Dulu sekali pernah, Bang. Waktu SMP kali, ya? Sekarang udah nggak lagi." jawab Jonathan jujur. "Baguslah, Jo. Do'akan abangmu ini bisa berhenti juga." ucap Danan dengan senyum kecut. Jonathan tidak menanggapi, ia tahu ada hal yang lebih penting dari pembahasan soal rokok yang hendak Danan bicarakan padanya. Ia diam menantikan Danan bicara, entah mengapa, Jonathan yakin ini ada hubungannya dengan perubahan mimik wajah Danan saat di mobil tadi dan ... Jonathan menghela napas panjang, apakah ini ada hubungannya dengan adik iparny
"Minta bikinin rumah sakit buat hadiah, Mas! Mayan nih punya rumah sakit sendiri."Seketika Danan membelalakkan mata, ia menatap Asha dari kaca mobil, nampak wajah itu tengah nyengir lebar dengan muka yang sangat menyebalkan.Sementara Danan membelalak, Jonathan malah terkikik di jok tempatnya duduk. Jauh di lubuk hati terdalamnya, ia setuju dengan usul istrinya. Siapa yang tidak ingin punya rumah sakit sendiri? Perihal saham di rumah sakit itu, biar papanya yang urus yang penting Jonathan punya rumah sakitnya sendiri. "Dikira bikin rumah sakit cukup satu-dua M apa? Kamu mau ngegorok leher abangmu sendiri?" gerutu Danan dengan wajah masam. Tawa Asha pecah, namun masih dia kondisikan agar bayi dalam gendongannya tidak terganggu atau bahkan sampai terbangun. Muka masam Danan berhiaskan senyum kecut sekarang, ia melirik Jonathan, hanya sekilas karena fokusnya kembali ke jalanan. "Setuju nih sama usul istrimu? Bunuh aja abangmu ini, Jo!" kelakar Danan yang membuat suasana dalam mobil t
"Aku jemput Asha sama Jo dulu." Joana hanya mengangguk, terlebih ketika Danan merengkuh dan menjatuhkan kecupan di puncak kepalanya. "Ati-ati, ya? Kabarin jangan lupa."Danan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban dari permintaan yang Joana beri padanya. Tanpa membuang banyak waktu, ia segera melangkahkan kaki keluar, meninggalkan Joana yang hanya berdua saja dengan Abra. Kedatangan Asha dan Jonathan seperti kejutan untuknya, siapa kira pengantin baru itu mau jauh-jauh kemari hanya untuk melihat kondisi Abra? Senyum Danan terukir, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Jonathan nanti, terlebih semua perasaan lega yang kini ia rasakan. Ting! Kening Danan berkerut, siapa yang mengirimkan pesan untuknya ini? Apakah Joana? Ingin nitip sesuatu atau ... Danan segera merogoh saku celana, tersenyum ketika mendapati pesan itu masuk dari papanya. [ Langsung anter adekmu ke rumah, Nan. Kamar mereka udah siap. Kamu udah jemput kan ini? ]Dengan segera Danan mengetikkan