Ketika Asha membuka matanya kembali, ia sudah berada di kamar rawatnya. Asha segera ingat kalau ia sempat pingsan setelah melahirkan, tanpa melihat bayinya terlebih dahulu.
Samar-samar Asha mencoba mengingat saat-saat sebelum ia tidak sadarkan diri. Ia merasakan betul, setelah ia mengejan sekuat tenaga, bayi itu berhasil keluar, namun ... kenapa Asha tidak mendengar suara tangis bayi pecah?
Hati Asha mendadak risau.
Suara pintu kamar yang terbuka membuat Asha langsung menoleh dan mendapati ibu mertuanya masuk. Ekspresi wanita paruh baya itu mengeras saat melihat Asha.
“Bu di mana anak aku?” tanya Asha lirih.
“Anak? Kamu masih bisa menanyakan di mana anak kamu?” Bukan jawaban yang diterima Asha, ia malah bentakan dan lemparan sorot mata tajam dari ibu mertuanya. “Perempuan gagal!”
“Bu?” Asha tidak mengerti.
Apa yang terjadi? Kenapa perempuan itu nampak marah sekali?
Bukankah Asha sudah melahirkan normal seperti yang beliau inginkan?
Tanpa Asha duga, Darmi kemudian menghampiri Asya dan menjambak rambut wanita itu hingga Asha terhuyung jatuh dari tempat tidur pasien.
Wanita itu sontak memekik, merasakan rasa nyeri di organ intimnya makin tak tertahankan.
Tidak hanya itu, perbuatan Darmi membuat jarum infus Asha tercabut, otomatis darah Asha berceceran di lantai. Perempuan yang baru saja melahirkan itu berusaha meloloskan diri dari cekalan ibu mertuanya.
“I-Ibu–”
“Kamu benar-benar perempuan tidak tahu diuntung! Apa sih susahnya melahirkan? Begini saja kamu tidak becus! Seandainya putraku tidak menikahi kamu, cucuku tidak akan mati!” teriak Darmi membuat tubuh Asha lemas seketika.
Mati? Anak yang baru saja ia lahirkan sudah meninggal?
“Bu! Sudah, ini di rumah sakit! Malu dilihat orang.” Suara Dimas tiba-tiba terdengar. Pria yang sepertinya baru saja masuk itu sekuat tenaga menarik sang ibu dari Asha, sembari matanya bergerak gelisah ke sana kemari, khawatir kalau-kalau ia akan ditegur wali pasien lain atau suster di sana.
Sementara Asha masih tidak memercayai pendengarannya dan jatuh terduduk di atas lantai.
Anaknya meninggal?
"Urus tuh perempuan pembawa sial, ibu nggak sudi!" ucap Darmi. Ia menyambar tasnya yang ada di kursi dan melangkah keluar kemudian.
“Anak kita nggak meninggal, kan, Mas?” tanya Asha yang berharap kejadian buruk itu tidak terjadi. “Ibu salah, kan?”
Namun, bukannya memeluk Asha yang masih lemas dan kondisinya memprihatinkan, Dimas malah hanya diam berdiri di tempatnya sembari menatap lurus ke arah Asha, sama sekali tidak berniat membantu istrinya itu berdiri.
“Anak kita nggak akan meninggal kalau kamu becus melahirkan, Sha.” jawab Dimas dingin.
Hati Asha mencelos. "Ja-jadi benar? Anak kita meninggal?"
"Iya, gara-gara kamu!” sergah Dimas kasar. “Bisa nggak sih kamu bener ngelakuin sesuatu, sekali ini saja, Sha!"
Asha mulai terisak. Anaknya … anak yang dikandungnya selama 9 bulan ….
Proses persalinannya dua hari ini langsung membayang di kepalanya. Bagaimana saat kontraksi pertama datang, hingga ia rasakan lebih sering. Tentang rasa sakitnya, juga dengan penolakan-penolakan ibu mertua dan suaminya.
"Tapi aku udah ikutin semua mau kamu dan Ibu, Mas,” ucap Asha lirih. “Kamu selalu bilang kalau Ibu tahu yang paling baik soal melahir–”
“Kamu mau menyalahkan Ibu!?” tukas Dimas, tidak terima. Wajahnya memerah marah. “Nggak usah bawa-bawa Ibu! Ibuku sudah baik mau bantu kamu. Kamunya saja yang ngeyel! Bukaan kamu macet sampai harus induksi itu karena kamu selama hamil malas, bener kata Ibu. Aku saja yang salah sudah terlalu memanjakan kamu!"
Air mata Asha banjir. Ada nyeri di dadanya akibat kata-kata dan tuduhan Dimas yang menusuk.
Asha setengah mati menahan mual dan muntah sampai tidak bisa makan, kepalanya sakit sampai tidak bisa turun dari kasur demi berjuang memberi Dimas keturunan.
Tapi sekarang Dimas mengatai dia malas?
"Mas, mungkin memang tadi seharusnya aku operasi,” ucap Asha. “Dokter menjelaskan–"
"Oh, sekarang kamu nyalahin aku?" potong Dimas dengan nada ketus, suaranya sedikit lebih tinggi, membuat Asha sampai melonjak kaget. "Kamu yang nggak becus lahiran, sekarang malah nyalahin aku yang nggak setuju operasi!?"
Lidah Asha mendadak kelu. Dibanding rasa nyeri di organ intim dan punggung telapak tangannya, hati Asha beribu-ribu kali lebih sakit.
Ia menatap sang suami yang menatapnya dengan pandangan jijik. Asha sama sekali tidak menemukan cinta yang dulu ada dalam mata Dimas saat pria itu memandangnya. Sang suami sudah menjadi sosok yang sama sekali tidak Asha kenali.
Dan Asha baru menyadarinya.
Seketika Asha mengingat semua hinaan dan cacian yang pernah ia dengar. Wanita miskin, perempuan malas, manja, dan lain sebagainya. Semua itu Asha terima karena berpikir bahwa ia bisa bertahan asalkan bersama Dimas dan anak mereka. Tekad Asha kuat sebagai istri dan ibu dalam pernikahan ini.
Tapi kini Asha sadar. Sebagai suami, Dimas melupakan tugasnya untuk melindungi Asha. Pria itu tidak pernah ada di pihak Asha ataupun membelanya. Bahkan satu kali pun.
Dan kini ... setelah anaknya meninggal, Asha kehilangan alasan untuk bertahan.
“Aku mau kamu minta maaf ke Ibu setelah ini,” ucap Dimas kemudian. “Gara-gara kamu, Ibu tidak jadi dapat cucu. Aku kehilangan anak! Pokoknya kamu harus tanggung jawab, Sha.”
Asha membuang muka, mengatur napasnya yang mulai berat.
“... Kalau aku tidak mau?” gumam perempuan itu lirih.
Dimas tampak tidak percaya dengan pendengarannya. “Apa?” tanyanya.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” Asha kembali menatap Dimas. “Ibumu kehilangan cucu dan kamu kehilangan anak. Tapi aku juga, Mas. Apa kamu pikir, aku tidak merasa kehilangan? Aku yang mengandungnya selama sembilan bulan. Aku yang berjuang melahirkannya. Aku yang–”
“Tapi kamu gagal! Bukannya introspeksi, kamu mau nyalahin orang?” potong Dimas. Matanya berkilat penuh amarah. “Kamulah yang tidak becus, Sha. Tidak ada gunanya sebagai perempuan!”
Asha kehilangan kata-kata.
Pria ini sama sekali tidak bersimpati padanya.
“Kalau memang bagimu aku perempuan tidak ada gunanya, mungkin kamu bisa cari perempuan lain, Mas,” ucap Asha dengan getir. Wajahnya penuh air mata dan suaranya bergetar. Tapi ekspresinya tampak tegas. “Kita pisah saja.”
Mendengar itu, mata Dimas membelalak. Sorot amarah itu semakin berkobar. Tiba-tiba tangan pria itu terulur dan menjambak rambut Asha dengan cepat.
“Mas!” Asha sontak berteriak. Suaranya makin keras saat Dimas menarik rambutnya hingga tubuh Asha sedikit terangkat dari lantai yang sudah digenangi darah. “Sakit!”
“Coba ulang! Kamu bilang apa tadi?” tanya Dimas dingin.
Air mata Asha kembali turun. “A-aku mau cerai! Aku udah nggak mau hidup sama kamu!” ucap Asha sambil menahan sakit.
“HAH!”
Dimas menghempaskan Asha sampai ia kembali tersungkur di lantai.
Ketika Asha bersusah payah hendak menjauh, Dimas kembali menarik rambut Asha dengan kasar, satu tangannya mencengkeram rahang Asha, menengadahkan wajah itu agar menatap ke dalam matanya.
“Kamu perempuan miskin tidak tahu diri! Sudah baik aku mau menikahimu dan menampungmu selama ini. Kamu sudah bikin mati anakku dan sekarang kamu mau pergi begitu saja!?”
“Bukan aku yang menolak tindakan–”
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Asha, tubuh Asha sampai kembali tersungkur. Pipi itu terasa begitu panas, ditambah rasa sakit di sudut bibir Asha. Ketika jemarinya mengusap sudut bibir, bisa Asha lihat ada bekas darah.
Asha tersenyum getir, ia mengangkat wajah dan mendapati tangan Dimas kembali meraih rambutnya sementara tangan yang lainnya terayun.
Ia refleks menutup mata.
Namun, tidak ada tamparan keras seperti yang ia duga.
“Apa ini cara memperlakukan istri Anda yang baru selesai melahirkan, Pak?”
Suara dalam yang terdengar dingin itu membuat Asha membuka mata dan melihat seorang pria tegap tengah mencekal tangan suaminya.
Asha tersenyum menahan tangis ketika Jonathan dan beberapa perawat membantu mendorong bednya keluar dari ruang operasi. Nata, papanya, segera bangkit dan memburu bed yang didorong itu. Tangan Nata segera meraih tangan Asha, menggenggam tangan itu erat-erat dengan air mata berderai.Asha melirik sekeliling, ada Sabrina yang nampak menahan tangis dalam gendongan Reni. Sementara yang lain ikut melangkah mengikuti kemana bed didorong. Tidak ada pertanyaan ataupun percakapan selama bed itu didorong keluar dari OK, semua diam menahan tangis sampai kemudian masuk ke dalam kamar inap Asha yang sudah dihias dengan bunga dan balon-balon bernuasa pink-putih. "Gimana, Sayang? Pengen makan apa?" tanya Nata begitu bed Asha sudah diposisikan. "Asha belum boleh makan, Pa. Masih nanti jam dua." jawab Jonathan setelah membentulkan selang infus Asha. "Begitu? Nanti bilang papa pengen makan apa, Sha. Apapun bakalan papa berikan, nggak ada pantangan, kan?" cecar Nata tak sabar. Asha hanya tersenyum
"Nggak lihat adek?"Asha masih belum beranjak, ia merasakan sejak tadi ada benda aneh yang terasa menembus kulit. Tidak sakit, tapi pergerakan benda itu bisa Asha rasakan. "Terus kamu sama siapa?" tanya suara itu lirih. Asha tersenyum, pandangannya jelas tapi Asha merasa separuh tubuhnya seperti ada di tempat lain. Asha memejamkan mata, berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa kini, setelah drama panjang dan menyakitkan dalam hidup Asha, ia bisa merengkuh darah dagingnya sendiri. "Kalau pengen bobo, bobo aja, Sayang. Aku tetep di sini, temenin kamu sampai dibawa keluar nanti." gumam Jonathan yang membuat Asha kembali membuka mata. "Nggak pengen liat adek?" kembali itu yang Asha tanyakan. Pasalnya, setelah bayi itu diperlihatkan dan ditaruh ke atas dada Asha tadi, Jonathan belum beranjak dari sisinya sama sekali. "Tadi udah liat, udah cium juga." jawab Jonathan sembari mengusap dahi Asha dengan lembut. "Lagipula dia udah aman sama perawat neonstusnya, sama kakek-neneknya mungki
"Sini bangun, duduk dulu!" Jonathan sudah lengkap dengan setelan scrub, masker dan perlengkapan yang lain, berdiri di sisi meja operasi, membantu Asha bangun dan duduk di sana. "Seperti yang tadi dok Revi info ke kamu, habis ini kamu bakalan di anestesi sama beliau, duduk tegap, jangan tegang, gerak sedikitpun, oke?" ucap Jonathan yang hanya bisa Asha lihat sorot matanya itu. Asha menangguk pelan, ruangan ini cukup dingin dan dia hanya memakai selapis baju. Jonathan merentangkan kedua tengah, kode yang biasa dia beri kalau dia minta dipeluk. Kening Asha berkerut, ia hendak bertanya ketika Jonathan lebih dulu menariknya dengan lembut dan memeluknya. "Dok Rev udah ke sini, rileks aja, oke?" bisik Jonathan lirih. "Langsung ini, Dok?" tanya lelaki itu pada Jonathan. "Iya, langsung aja. Saya pengangin ini." Jonathan melirik Asha, ia tahu istrinya itu sedang takut. "Rileks, jangan takut, aku di sini, sama kamu, temenin kamu." bisiknya lagi. Asha mengangguk pasrah, terlebih ketika Jon
"Mas aku takut!" desis Asha begitu mereka masuk ke dalam mobil. Jonatan batal memakai sabuknya, ia memilih untuk mengusap puncak kepala Asha dan menciumnya dengan lembut. "Kamu lupa kalau punya aku, Sayang?" bisik Jonatan lirih, dengan sangat mesra. "Kalau bisa dipindah, aku pengen sakit selama hamil dan melahirkan nanti, dipindah aja ke aku.""Tapi mana bisa, Mas!" protes Asha dengan mimik takut dan gemas yang membaur menjadi satu. "Nah oleh karena itu, aku janji kan sama kamu kalo aku nggak bakalan biarin kamu sendirisn?" Asha tersenyum, sorot mata itu begitu teduh dan lembut, membuai Asha sampai semua rasa takutnya hilang. "Nggak lupa kan karena tidak dapat ACC operasi kamu harus rela kehilangan Bintang dulu. Jadi sekarang aku ACC, jadi jangan takut, oke?" tangan Jonatan meremas-remas tangan Asha dengan lembut, membuat mata Asha memerah lalu mengangguk perlahan. "Sekarang kita pulang dulu, kabari mama dan yang lain-lain. Kamu istirahat aja, sisanya aku yang urus."Ketakutan y
"Nah, kan? Aku bilang juga apa? Malu-malu dia, Pa!"Mereka sudah keluar dari ruang praktek dokter Jeremi yang ada di rumah. Memang ada dokter kandungan buka di hari Minggu? Kalau bulan Jonathan yang minta, belum tentu dokter kandungan itu mau diganggu hari liburnya. Dan sama seperti yang diminta oleh Jonathan, jawaban dokter itu 11-12 mirip dengan jawaban Asha ketika ditanya perihal gender bayi yang ada di perutnya. "Kok bisa, ya?" desis Nata heran. Untung saja papa dan mama Asha bukan dokter, jadi meskipun ikut masuk dan liat layar monitor, mereka tidak bisa membaca hasil yang ada di sana tak peduli mesin USG canggih sekalipun.Untungnya lagi, janin Asha seperti pro dengan bapak-ibunya, kakinya dengan jelas terlihat dilayar menutupi area kelamin, membuat kakek-nenek yang jauh-jauh datang sedikit kecewa. "Kira-kira yang bikin selalu ketutupan itu apa sih, Jo?" tanya Nata pada Jonathan yang tengah menyetir si sebelahnya. "Banyak hal sih, Pa. Yang jelas posisi dan gerakan janin juga
"Seriusan ini kalian periksa belum kelihatan?"Asha tentu langsung melotot, ia menatap mamanya yang mendadak sekali muncul bersama papa Asha di depan rumah tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Asha buru-buru menelan makanannya, meneguk minuman yang ada di gelas dan menjawab pertanyaan itu. "Mama sama papa jauh-jauh ke sini, nyebrang pulau tanpa ngasih kabar dulu cuma buat nanyain itu?" sungguh Asha begitu terkejut. "Siapa suruh ditanya nggak pernah mau jawab?" kini Nata bersuara, ia menatap Asha yang tengah menikmati kudapan di halaman belakang rumahnya m"Masalahnya tiap dibawa USG ketutupan mulu, Pa. Posisinya nggak pas jadi nggak bisa kelihatan!" sebuah jawaban template yang sudah Jonathan briefing kan padanya jika ada yang menanyakan jenis kelamin janin mereka. Nata nampak menghela napas panjang, bisa Asha liat papanya itu begitu ingin punya cucu perempuan. Sementara Diana, ia terus menatap perut Asha yang sudah menyembul, nampak memperhatikan perut itu dengan saksama selama be