"Jangan ikut campur! Ini urusan rumah tangga saya!" salak Dimas tampak tak suka pada sosok itu.
"Memang. Tapi selama istri Anda masih berstatus pasien di rumah sakit ini, keselamatan nyawanya menjadi tanggung jawab kami." Sosok asing itu merespons dengan suaranya yang dingin dan tegas. "Kami bisa bertindak lebih jauh apabila Anda tetap tidak kooperatif. Termasuk melaporkan Anda ke pihak berwajib, tidak peduli Bapak adalah suaminya sendiri." Dimas tercekat. Segera ia mengibaskan tangan yang mencekalnya tersebut dan mengambil langkah mundur. Wajahnya masih menampakkan raut kesal dan tak suka. Lalu pergi dari sana. Asha menghela napas lega, setidaknya dia— "Kenapa kamu cuma diam diperlakukan seperti itu? Kamu ingin mati terbunuh oleh suamimu sendiri?" Asha kembali mendongak menatap pria yang baru saja menolongnya tersebut. Namun, sepertinya sosok itu tidak mengharapkan jawaban, karena setelah mengucapkan itu, pria tersebut membantu Asha berdiri. "Astaga–" Asha mengernyit mendengar gumaman sarat rasa terkejut itu, lalu mengikuti arah pandang si pria asing. Sebelumnya ia memang merasakan ada yang keluar dari sela-sela kakinya. Tapi bukankah biasanya selepas bersalin, para ibu akan menggu– "Berbaringlah." Pria itu bertitah usai membantu mendudukkan tubuh Asha ke atas tempat tidur, lalu segera memencet bel, memanggil para perawat bangsal yang sedang berjaga. Kenapa sosok itu bersikap seakan-akan ada yang tidak beres dengannya? "Maaf, saya buka sedikit." Pria berjas dokter tersebut kemudian meminta izin sembari menyingkap kain yang menutupi tubuh bagian bawah Asha. Asha hanya mengangguk, pasrah. Matanya terpejam dengan air mata menembus kelopak, merasakan sakit yang begitu kompleks. Tidak hanya sekujur tubuhnya yang terasa sakit, tapi juga hati dan mentalnya. Sampai Asha tidak tahu harus mengurusi yang mana dulu. "Loh, Dok, kok di sini? Ada apa?" Suara itu mengejutkan Asha. Ia segera membuka mata dan mendapati seorang perawat di biliknya. "Bleeding banyak, ini. Saya curiga jahitan perinieum-nya lepas." Pria asing itu menjawab tanpa menoleh. "Oh baik, saya ambilkan perlengkapannya dulu, Dok." Usai mengatakan itu, dengan cepat perawat itu undur diri. Asha menghela napas panjang, memutuskan untuk fokus dengan apa yang ada di hadapannya. Ia menyeka air mata lalu menatap dokter itu dengan saksama dan berusaha untuk menegakkan punggungnya. "Dok, sa—" "Jangan banyak gerak dulu, biar diperiksa." potong lelaki itu lantas menoleh pada Asha. Mata mereka bertemu. Detik itu, Asha menyadari bahwa sepasang mata tajam itu menyorotkan duka. Sama sepertinya. Bahkan, Asha juga melihat bekas air mata di sana. Apa yang terjadi pada pria ini? Kenapa dia berekspresi demikian? "Ba-baik, Dok." Namun, hanya itu yang bisa Asha katakan. Sekali lagi, ia menghela napas panjang dan kembali memejamkan mata. Tak beberapa lama, suara berisik roda didorong terdengar. Derap langkah kaki pun menyertai. Asha kembali membuka mata, pasrah melihat beberapa perawat dan seorang lagi dokter masuk ke dalam ruangannya. "Maaf, kakinya ditekuk dulu ya, Bu," ucap perawat senior itu dengan ramah. "Sama izin ini saya buka." Asha hanya mengangguk pelan. Semisal jahitannya lepas, berarti ia harus dijahit ulang. Asha menunggu tindakan yang akan ia terima. Sementara itu, sudut matanya menangkap sosok asing itu. Kali ini posisinya agak jauh, seperti sedang menjaga jarak. "Permisi, Pak–" "Bu, ini harus dijahit ulang. Sebentar ya." Belum sempat Asha memanggil dokter asing itu untuk berterima kasih, sang perawat mengalihkan perhatian Asha, lalu sibuk di bawah sana. Saat Asha kembali menoleh ke arah si dokter, pria itu sudah hilang. Ke mana laki-laki itu pergi? Ia belum sempat berterima kasih …. Ruangan itu hening selama beberapa saat sebelum Asha kemudian memberanikan diri untuk bertanya pada perawat yang paling dekat dengannya. "Suster, soal dokter yang tadi menolong saya, boleh saya tahu siapa namanya?" tanya Asha. "Saya mau berterima kasih." Asha tidak bisa bisa membayangkan bagaimana jadinya dia kalau pria itu tidak datang. Mungkin Dimas akan menghajarnya lebih parah. "Oh, beliau Dokter Jonathan, Ibu. Spesialis bedah saraf," jawab si perawat. "Beliau juga direktur utama rumah sakit ini." Mata Asha membulat. Jadi yang menolongnya tadi adalah pimpinan rumah sakit tempat dia dirawat? Pantas semua perawat tampak sungkan dan tunduk padanya. Ternyata ini alasannya. "Be-beliau direktur utama rumah sakit ini, Sus?" Asha masih tidak percaya. "Tapi beliau masih terlihat muda…." "Betul, Ibu. Kebetulan ayahnya adalah pemegang saham terbanyak rumah sakit ini." "Begitu..." Asha bergumam, ia lantas teringat sesuatu. "Kira-kira, saya bisa menemui beliau di mana ya, Sus?" "Hm … untuk sementara, beliau mungkin agak sulit ditemui, Ibu," ucap si perawat. Terdengar agak ragu dan sedikit janggal. Namun, Asha tidak berpikir terlalu jauh. Memang seorang direktur rumah sakit besar seperti ini sudah pasti sibuk, bukan? Apalagi, ada hal yang lebih mendesak untuk Asha sekarang. "Suster, apa saya boleh sebentar saja lihat jasad bayi saya, Sus?" tanya Asha. Tatapannya memohon dengan sangat. Ia menatap beberapa orang perawat itu nampak saling pandang, "Setidaknya sebentar saja, Sus?" lanjut Asha yang begitu ingin mendapatkan jawaban. "Coba biar nanti kami tanyakan dulu ya, Bu. Ini untuk sekarang yang terpenting adalah menjahit ulang jahitan Ibu." Asha mengangguk lemah. Tidak bisa melakukan apa-apa lagi. *** "Sus, ini kenceng banget rasanya. Sakit," ucap Asha sembari menunjuk hemnya yang basah di bagian dada. "Mana rembes terus." Tidak sampai sehari setelah ia kehilangan bayinya, Asha mulai merasa tidak nyaman di bagian payudaranya, hingga akhirnya kali ini ia keluhkan pada perawat yang sedang mengecek kondisinya. ASI-nya keluar. Asha tahu. Harusnya saat ini ia bisa menyusui bayinya. Namun, kenyataan berkata lain. "Dipumping aja dulu, ya. Biar nggak kesumbat." Perawat itu menyarankan. "Saya ambilkan alatnya ya." "Terima kasih banyak, Sus," ucap Asha sembari mengernyit, menahan rasa sakit. "Ibu kalau berkenan, nanti bisa ikut menyumbangkan ASIP-nya untuk bayi-bayi di NICU, Bu." tawarnya yang langsung sigap membantu Asha menyiapkan peralatan. "Oh ya? Bisa, Sus?" tanya Asha dengan nada tidak percaya. Meskipun tidak bisa menyusui anaknya, setidaknya Asha bisa sedikit membagikan apa yang dia punya untuk bayi-bayi lain yang sedang berjuang untuk tetap hidup di ruangan itu. "Tentu bisa, Ibu. Tapi harus ada beberapa screening yang dilakukan, untuk membuktikan bahwa ibu benar-benar sehat dan bisa memenuhi syarat untuk menjadi Ibu donor." Asha terdiam sejenak, jadi harus dengan prosedur ketat? Ia pikir hanya dengan memompa dan menyetorkan ASI-nya saja. Ternyata harus ada screening khusus? "Kalau Ibu berkenan, nanti saya izin ambil darahnya untuk proses screening. Sama ada beberapa data yang perlu dilengkapi." "Memang saya harus tes apa aja, Sus?" Asha penasaran. "Tes darah meliputi tes HIV, hepatitis, HTLV, sifilis dan tes CMV juga, Bu." Asha mengangguk-angguk, meski tidak terlalu paham dengan tes apa yang disebutkan oleh perawat tersebut. Kini, sudah beberapa kantong Asha hasilkan, Asha tersenyum, menatap takjub tetes demi tetes yang keluar dari payudaranya. Ada banyak pertanyaan yang berkelebat dalam otaknya sekarang. Bagaimana bisa ASI-nya keluar dalam kondisi mental dan psikis Asha seperti ini? "Kamu masih di sini rupanya." Suara itu membuat Asha langsung menoleh ke arah pintu. --- Note : NICU (Neonatal Insentive Care Unit) unit perawatan intensif khusus di rumah sakit yang dirancang untuk memberikan perawatan intensif kepada bayi baru lahir yang prematur atau mengalami masalah kesehatan serius. ASIP : Air Susu Ibu Perah.Tes HTLV : tes darah yang mendeteksi infeksi virus limfotropik sel T manusia.
Tes CMV : pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus cytomegalovirus (CMV) dalam darah, dahak atau cairan tubuh lainnya.
"Ada apa, Bang?"Jonathan melirik Danan, mereka duduk di kursi yang ada di pinggir kolam renang. Danan tidak langsung menjawab ia malah menghela napas panjang sembari merogoh saku. "Abang sambil merokok boleh, kan?" izinnya setelah bungkus rokok beserta korek sudah ada di atas meja. Jonathan mengangguk pelan, membuat Danan segera mengambil dan menyulut sebatang rokok. "Kamu beneran nggak merokok, Jo?" tanya Danan setelah menghembuskan asap rokok ke udara. "Dulu sekali pernah, Bang. Waktu SMP kali, ya? Sekarang udah nggak lagi." jawab Jonathan jujur. "Baguslah, Jo. Do'akan abangmu ini bisa berhenti juga." ucap Danan dengan senyum kecut. Jonathan tidak menanggapi, ia tahu ada hal yang lebih penting dari pembahasan soal rokok yang hendak Danan bicarakan padanya. Ia diam menantikan Danan bicara, entah mengapa, Jonathan yakin ini ada hubungannya dengan perubahan mimik wajah Danan saat di mobil tadi dan ... Jonathan menghela napas panjang, apakah ini ada hubungannya dengan adik iparny
"Minta bikinin rumah sakit buat hadiah, Mas! Mayan nih punya rumah sakit sendiri."Seketika Danan membelalakkan mata, ia menatap Asha dari kaca mobil, nampak wajah itu tengah nyengir lebar dengan muka yang sangat menyebalkan.Sementara Danan membelalak, Jonathan malah terkikik di jok tempatnya duduk. Jauh di lubuk hati terdalamnya, ia setuju dengan usul istrinya. Siapa yang tidak ingin punya rumah sakit sendiri? Perihal saham di rumah sakit itu, biar papanya yang urus yang penting Jonathan punya rumah sakitnya sendiri. "Dikira bikin rumah sakit cukup satu-dua M apa? Kamu mau ngegorok leher abangmu sendiri?" gerutu Danan dengan wajah masam. Tawa Asha pecah, namun masih dia kondisikan agar bayi dalam gendongannya tidak terganggu atau bahkan sampai terbangun. Muka masam Danan berhiaskan senyum kecut sekarang, ia melirik Jonathan, hanya sekilas karena fokusnya kembali ke jalanan. "Setuju nih sama usul istrimu? Bunuh aja abangmu ini, Jo!" kelakar Danan yang membuat suasana dalam mobil t
"Aku jemput Asha sama Jo dulu." Joana hanya mengangguk, terlebih ketika Danan merengkuh dan menjatuhkan kecupan di puncak kepalanya. "Ati-ati, ya? Kabarin jangan lupa."Danan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban dari permintaan yang Joana beri padanya. Tanpa membuang banyak waktu, ia segera melangkahkan kaki keluar, meninggalkan Joana yang hanya berdua saja dengan Abra. Kedatangan Asha dan Jonathan seperti kejutan untuknya, siapa kira pengantin baru itu mau jauh-jauh kemari hanya untuk melihat kondisi Abra? Senyum Danan terukir, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Jonathan nanti, terlebih semua perasaan lega yang kini ia rasakan. Ting! Kening Danan berkerut, siapa yang mengirimkan pesan untuknya ini? Apakah Joana? Ingin nitip sesuatu atau ... Danan segera merogoh saku celana, tersenyum ketika mendapati pesan itu masuk dari papanya. [ Langsung anter adekmu ke rumah, Nan. Kamar mereka udah siap. Kamu udah jemput kan ini? ]Dengan segera Danan mengetikkan
"Kalian mau berapa hari?" tanya Reni sembari menatap Asha yang tengah mempersiapkan barang bawaan. "Kata mas Jo sih cuma dua hari, Ma. Lusa kita udah balik kok." jawab Asha yang dengan lincah menyusun baju-baju ke dalam koper. "Nggak sekalian mau honeymoon? Ke Thailand kek, atau mana?"Ditanya begitu, tawa Asha pecah, ia menghentikan sementara aktivitas packingnya. Honeymoon? Agenda itu malah sama sekali belum terpikirkan oleh Asha, meskipun Jonathan sudah berulangkali mendesak, namun bagi Asha, ia perlu memikirkan tempat untuk menikmati momen spesial mereka setelah resmi menjadi suami-istri. "Belum tau mau kemana sih, Ma. Belum ada gambaran." jawab Asha apa adanya. "Ah kalian ini. Nanti kamu keburu hamil, Asha! Makin ribet nanti liburan kalian."Hamil! Wajah Asha memerah. Jujur ia rindu momen di mana tubuhnya akan membengkak sana-sini, sebuah kondisi yang entah mengapa di mata Asha dirinya terlihat jadi begitu seksi. Momen paling membahagiakan seumur hidup bagi Asha, meskipun du
"Udah tidur lagi?" Diana terkejut ketika mendapati Abra sudah kembali terlelap setelah beberapa saat yang lalu sadar. Nata hanya tersenyum, bangkit dari kursi yang ada di sebelah ranjang dan beralih ke sofa. "Kamu tahu apa yang dia katakan tadi?" pancing Nata yang seketika membuat Diana penasaran. "Apa? Memang dia ngomong apa?" Nata menarik napas panjang, ia menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lurus ke jendela kaca yang menampilkan pemandangan di luar gedung. "Tanya orang tuanya di mana. Dia takut mereka bertengkar lagi."Wajah Diana berubah. Antara raut sedih dan iba berbaur menjadi satu. Diana menundukkan kepala. Sedikit trenyuh anak sekecil Abra harus melihat secara langsung pertengkaran kedua orang tuanya, sebuah hal yang cukup traumatis dan tidak layak dilihat oleh anak-anak. "Kamu bilang apa?" kejar Diana berusaha menegarkan hati. "Aku bilang padanya kalau hal itu tidak akan terjadi lagi. Dia tidak akan melihat orang tuanya bertengkar lagi."Hening. Lidah Diana mendad
Obrolan serius dengan bumbu air mata telah berakhir, kamar itu kembali sunyi, bukan sunyi yang sebenarnya. Yang dimaksud sunyi adalah tidak adanya percakapan antar keduanya. Yang ada hanyalah suara penyatuan yang berpadu dengan desah penuh nikmat sama seperti beberapa saat yang lalu. Gunung es di antara mereka telah benar-benar mencair, lenyap tak berbekas dan menghangatkan mereka seketika. Tidak ada lagi kecurigaan, keraguan dan perasaan-perasaan aneh yang membuat keduanya menjadi asing. Perselisihan mereka sudah sampai pada satu titik temu, satu keputusan dan satu kata yang sama. Joana sepakat resign, sepakat bebannya berpindah pada Danan meskipun awalnya dia ragu. Danan pun sama sekali tidak mempermasalahkan tanggungjawab baru yang harus dia pikul sampai tahun depan. Baginya, yang penting Joana akan selalu ada menjadi tempat ternyaman Danan melepas segala penat dan lelahnya ketika habis bekerja. Hanya itu yang Danan minta yang dang istri, tidak lebih. "Setelah ini, berjanjilah