Share

Ch. 3 Mimpi Buruk

Penulis: Selfie Hurtness
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-25 13:00:20

"Jangan ikut campur! Ini urusan rumah tangga saya!" salak Dimas tampak tak suka pada sosok itu.

"Memang. Tapi selama istri Anda masih berstatus pasien di rumah sakit ini, keselamatan nyawanya menjadi tanggung jawab kami." Sosok asing itu merespons dengan suaranya yang dingin dan tegas. "Kami bisa bertindak lebih jauh apabila Anda tetap tidak kooperatif. Termasuk melaporkan Anda ke pihak berwajib, tidak peduli Bapak adalah suaminya sendiri."

Dimas tercekat. Segera ia mengibaskan tangan yang mencekalnya tersebut dan mengambil langkah mundur. Wajahnya masih menampakkan raut kesal dan tak suka.

Lalu pergi dari sana.

Asha menghela napas lega, setidaknya dia—

"Kenapa kamu cuma diam diperlakukan seperti itu? Kamu ingin mati terbunuh oleh suamimu sendiri?"

Asha kembali mendongak menatap pria yang baru saja menolongnya tersebut. Namun, sepertinya sosok itu tidak mengharapkan jawaban, karena setelah mengucapkan itu, pria tersebut membantu Asha berdiri.

"Astaga–"

Asha mengernyit mendengar gumaman sarat rasa terkejut itu, lalu mengikuti arah pandang si pria asing.

Sebelumnya ia memang merasakan ada yang keluar dari sela-sela kakinya. Tapi bukankah biasanya selepas bersalin, para ibu akan menggu–

"Berbaringlah." Pria itu bertitah usai membantu mendudukkan tubuh Asha ke atas tempat tidur, lalu segera memencet bel, memanggil para perawat bangsal yang sedang berjaga.

Kenapa sosok itu bersikap seakan-akan ada yang tidak beres dengannya?

"Maaf, saya buka sedikit." Pria berjas dokter tersebut kemudian meminta izin sembari menyingkap kain yang menutupi tubuh bagian bawah Asha.

Asha hanya mengangguk, pasrah. Matanya terpejam dengan air mata menembus kelopak, merasakan sakit yang begitu kompleks. Tidak hanya sekujur tubuhnya yang terasa sakit, tapi juga hati dan mentalnya.

Sampai Asha tidak tahu harus mengurusi yang mana dulu.

"Loh, Dok, kok di sini? Ada apa?"

Suara itu mengejutkan Asha. Ia segera membuka mata dan mendapati seorang perawat di biliknya.

"Bleeding banyak, ini. Saya curiga jahitan perinieum-nya lepas." Pria asing itu menjawab tanpa menoleh.

"Oh baik, saya ambilkan perlengkapannya dulu, Dok." Usai mengatakan itu, dengan cepat perawat itu undur diri.

Asha menghela napas panjang, memutuskan untuk fokus dengan apa yang ada di hadapannya.

Ia menyeka air mata lalu menatap dokter itu dengan saksama dan berusaha untuk menegakkan punggungnya.

"Dok, sa—"

"Jangan banyak gerak dulu, biar diperiksa." potong lelaki itu lantas menoleh pada Asha.

Mata mereka bertemu.

Detik itu, Asha menyadari bahwa sepasang mata tajam itu menyorotkan duka. Sama sepertinya. Bahkan, Asha juga melihat bekas air mata di sana.

Apa yang terjadi pada pria ini? Kenapa dia berekspresi demikian?

"Ba-baik, Dok."

Namun, hanya itu yang bisa Asha katakan.

Sekali lagi, ia menghela napas panjang dan kembali memejamkan mata.

Tak beberapa lama, suara berisik roda didorong terdengar. Derap langkah kaki pun menyertai.

Asha kembali membuka mata, pasrah melihat beberapa perawat dan seorang lagi dokter masuk ke dalam ruangannya.

"Maaf, kakinya ditekuk dulu ya, Bu," ucap perawat senior itu dengan ramah. "Sama izin ini saya buka."

Asha hanya mengangguk pelan. Semisal jahitannya lepas, berarti ia harus dijahit ulang.

Asha menunggu tindakan yang akan ia terima. Sementara itu, sudut matanya menangkap sosok asing itu. Kali ini posisinya agak jauh, seperti sedang menjaga jarak.

"Permisi, Pak–"

"Bu, ini harus dijahit ulang. Sebentar ya."

Belum sempat Asha memanggil dokter asing itu untuk berterima kasih, sang perawat mengalihkan perhatian Asha, lalu sibuk di bawah sana. Saat Asha kembali menoleh ke arah si dokter, pria itu sudah hilang.

Ke mana laki-laki itu pergi? Ia belum sempat berterima kasih ….

Ruangan itu hening selama beberapa saat sebelum Asha kemudian memberanikan diri untuk bertanya pada perawat yang paling dekat dengannya.

"Suster, soal dokter yang tadi menolong saya, boleh saya tahu siapa namanya?" tanya Asha. "Saya mau berterima kasih."

Asha tidak bisa bisa membayangkan bagaimana jadinya dia kalau pria itu tidak datang. Mungkin Dimas akan menghajarnya lebih parah.

"Oh, beliau Dokter Jonathan, Ibu. Spesialis bedah saraf," jawab si perawat. "Beliau juga direktur utama rumah sakit ini."

Mata Asha membulat. Jadi yang menolongnya tadi adalah pimpinan rumah sakit tempat dia dirawat? Pantas semua perawat tampak sungkan dan tunduk padanya. Ternyata ini alasannya.

"Be-beliau direktur utama rumah sakit ini, Sus?" Asha masih tidak percaya. "Tapi beliau masih terlihat muda…."

"Betul, Ibu. Kebetulan ayahnya adalah pemegang saham terbanyak rumah sakit ini."

"Begitu..." Asha bergumam, ia lantas teringat sesuatu. "Kira-kira, saya bisa menemui beliau di mana ya, Sus?"

"Hm … untuk sementara, beliau mungkin agak sulit ditemui, Ibu," ucap si perawat. Terdengar agak ragu dan sedikit janggal.

Namun, Asha tidak berpikir terlalu jauh. Memang seorang direktur rumah sakit besar seperti ini sudah pasti sibuk, bukan?

Apalagi, ada hal yang lebih mendesak untuk Asha sekarang.

"Suster, apa saya boleh sebentar saja lihat jasad bayi saya, Sus?" tanya Asha. Tatapannya memohon dengan sangat. Ia menatap beberapa orang perawat itu nampak saling pandang, "Setidaknya sebentar saja, Sus?" lanjut Asha yang begitu ingin mendapatkan jawaban.

"Coba biar nanti kami tanyakan dulu ya, Bu. Ini untuk sekarang yang terpenting adalah menjahit ulang jahitan Ibu."

Asha mengangguk lemah. Tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

***

"Sus, ini kenceng banget rasanya. Sakit," ucap Asha sembari menunjuk hemnya yang basah di bagian dada. "Mana rembes terus."

Tidak sampai sehari setelah ia kehilangan bayinya, Asha mulai merasa tidak nyaman di bagian payudaranya, hingga akhirnya kali ini ia keluhkan pada perawat yang sedang mengecek kondisinya.

ASI-nya keluar. Asha tahu. Harusnya saat ini ia bisa menyusui bayinya. Namun, kenyataan berkata lain.

"Dipumping aja dulu, ya. Biar nggak kesumbat." Perawat itu menyarankan. "Saya ambilkan alatnya ya."

"Terima kasih banyak, Sus," ucap Asha sembari mengernyit, menahan rasa sakit.

"Ibu kalau berkenan, nanti bisa ikut menyumbangkan ASIP-nya untuk bayi-bayi di NICU, Bu." tawarnya yang langsung sigap membantu Asha menyiapkan peralatan.

"Oh ya? Bisa, Sus?" tanya Asha dengan nada tidak percaya.

Meskipun tidak bisa menyusui anaknya, setidaknya Asha bisa sedikit membagikan apa yang dia punya untuk bayi-bayi lain yang sedang berjuang untuk tetap hidup di ruangan itu.

"Tentu bisa, Ibu. Tapi harus ada beberapa screening yang dilakukan, untuk membuktikan bahwa ibu benar-benar sehat dan bisa memenuhi syarat untuk menjadi Ibu donor."

Asha terdiam sejenak, jadi harus dengan prosedur ketat? Ia pikir hanya dengan memompa dan menyetorkan ASI-nya saja. Ternyata harus ada screening khusus?

"Kalau Ibu berkenan, nanti saya izin ambil darahnya untuk proses screening. Sama ada beberapa data yang perlu dilengkapi."

"Memang saya harus tes apa aja, Sus?" Asha penasaran.

"Tes darah meliputi tes HIV, hepatitis, HTLV, sifilis dan tes CMV juga, Bu."

Asha mengangguk-angguk, meski tidak terlalu paham dengan tes apa yang disebutkan oleh perawat tersebut.

Kini, sudah beberapa kantong Asha hasilkan, Asha tersenyum, menatap takjub tetes demi tetes yang keluar dari payudaranya. Ada banyak pertanyaan yang berkelebat dalam otaknya sekarang.

Bagaimana bisa ASI-nya keluar dalam kondisi mental dan psikis Asha seperti ini?

"Kamu masih di sini rupanya."

Suara itu membuat Asha langsung menoleh ke arah pintu.

---

Note :

NICU (Neonatal Insentive Care Unit) unit perawatan intensif khusus di rumah sakit yang dirancang untuk memberikan perawatan intensif kepada bayi baru lahir yang prematur atau mengalami masalah kesehatan serius. 

ASIP : Air Susu Ibu Perah.

Tes HTLV : tes darah yang mendeteksi infeksi virus limfotropik sel T manusia.

Tes CMV : pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus cytomegalovirus (CMV) dalam darah, dahak atau cairan tubuh lainnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 160 Bahagia (END)

    Asha tersenyum menahan tangis ketika Jonathan dan beberapa perawat membantu mendorong bednya keluar dari ruang operasi. Nata, papanya, segera bangkit dan memburu bed yang didorong itu. Tangan Nata segera meraih tangan Asha, menggenggam tangan itu erat-erat dengan air mata berderai.Asha melirik sekeliling, ada Sabrina yang nampak menahan tangis dalam gendongan Reni. Sementara yang lain ikut melangkah mengikuti kemana bed didorong. Tidak ada pertanyaan ataupun percakapan selama bed itu didorong keluar dari OK, semua diam menahan tangis sampai kemudian masuk ke dalam kamar inap Asha yang sudah dihias dengan bunga dan balon-balon bernuasa pink-putih. "Gimana, Sayang? Pengen makan apa?" tanya Nata begitu bed Asha sudah diposisikan. "Asha belum boleh makan, Pa. Masih nanti jam dua." jawab Jonathan setelah membentulkan selang infus Asha. "Begitu? Nanti bilang papa pengen makan apa, Sha. Apapun bakalan papa berikan, nggak ada pantangan, kan?" cecar Nata tak sabar. Asha hanya tersenyum

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 159 Bahagia

    "Nggak lihat adek?"Asha masih belum beranjak, ia merasakan sejak tadi ada benda aneh yang terasa menembus kulit. Tidak sakit, tapi pergerakan benda itu bisa Asha rasakan. "Terus kamu sama siapa?" tanya suara itu lirih. Asha tersenyum, pandangannya jelas tapi Asha merasa separuh tubuhnya seperti ada di tempat lain. Asha memejamkan mata, berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa kini, setelah drama panjang dan menyakitkan dalam hidup Asha, ia bisa merengkuh darah dagingnya sendiri. "Kalau pengen bobo, bobo aja, Sayang. Aku tetep di sini, temenin kamu sampai dibawa keluar nanti." gumam Jonathan yang membuat Asha kembali membuka mata. "Nggak pengen liat adek?" kembali itu yang Asha tanyakan. Pasalnya, setelah bayi itu diperlihatkan dan ditaruh ke atas dada Asha tadi, Jonathan belum beranjak dari sisinya sama sekali. "Tadi udah liat, udah cium juga." jawab Jonathan sembari mengusap dahi Asha dengan lembut. "Lagipula dia udah aman sama perawat neonstusnya, sama kakek-neneknya mungki

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 158 Baby Lauching

    "Sini bangun, duduk dulu!" Jonathan sudah lengkap dengan setelan scrub, masker dan perlengkapan yang lain, berdiri di sisi meja operasi, membantu Asha bangun dan duduk di sana. "Seperti yang tadi dok Revi info ke kamu, habis ini kamu bakalan di anestesi sama beliau, duduk tegap, jangan tegang, gerak sedikitpun, oke?" ucap Jonathan yang hanya bisa Asha lihat sorot matanya itu. Asha menangguk pelan, ruangan ini cukup dingin dan dia hanya memakai selapis baju. Jonathan merentangkan kedua tengah, kode yang biasa dia beri kalau dia minta dipeluk. Kening Asha berkerut, ia hendak bertanya ketika Jonathan lebih dulu menariknya dengan lembut dan memeluknya. "Dok Rev udah ke sini, rileks aja, oke?" bisik Jonathan lirih. "Langsung ini, Dok?" tanya lelaki itu pada Jonathan. "Iya, langsung aja. Saya pengangin ini." Jonathan melirik Asha, ia tahu istrinya itu sedang takut. "Rileks, jangan takut, aku di sini, sama kamu, temenin kamu." bisiknya lagi. Asha mengangguk pasrah, terlebih ketika Jon

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 157 Detik-detik

    "Mas aku takut!" desis Asha begitu mereka masuk ke dalam mobil. Jonatan batal memakai sabuknya, ia memilih untuk mengusap puncak kepala Asha dan menciumnya dengan lembut. "Kamu lupa kalau punya aku, Sayang?" bisik Jonatan lirih, dengan sangat mesra. "Kalau bisa dipindah, aku pengen sakit selama hamil dan melahirkan nanti, dipindah aja ke aku.""Tapi mana bisa, Mas!" protes Asha dengan mimik takut dan gemas yang membaur menjadi satu. "Nah oleh karena itu, aku janji kan sama kamu kalo aku nggak bakalan biarin kamu sendirisn?" Asha tersenyum, sorot mata itu begitu teduh dan lembut, membuai Asha sampai semua rasa takutnya hilang. "Nggak lupa kan karena tidak dapat ACC operasi kamu harus rela kehilangan Bintang dulu. Jadi sekarang aku ACC, jadi jangan takut, oke?" tangan Jonatan meremas-remas tangan Asha dengan lembut, membuat mata Asha memerah lalu mengangguk perlahan. "Sekarang kita pulang dulu, kabari mama dan yang lain-lain. Kamu istirahat aja, sisanya aku yang urus."Ketakutan y

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 156 Tanda Tanya

    "Nah, kan? Aku bilang juga apa? Malu-malu dia, Pa!"Mereka sudah keluar dari ruang praktek dokter Jeremi yang ada di rumah. Memang ada dokter kandungan buka di hari Minggu? Kalau bulan Jonathan yang minta, belum tentu dokter kandungan itu mau diganggu hari liburnya. Dan sama seperti yang diminta oleh Jonathan, jawaban dokter itu 11-12 mirip dengan jawaban Asha ketika ditanya perihal gender bayi yang ada di perutnya. "Kok bisa, ya?" desis Nata heran. Untung saja papa dan mama Asha bukan dokter, jadi meskipun ikut masuk dan liat layar monitor, mereka tidak bisa membaca hasil yang ada di sana tak peduli mesin USG canggih sekalipun.Untungnya lagi, janin Asha seperti pro dengan bapak-ibunya, kakinya dengan jelas terlihat dilayar menutupi area kelamin, membuat kakek-nenek yang jauh-jauh datang sedikit kecewa. "Kira-kira yang bikin selalu ketutupan itu apa sih, Jo?" tanya Nata pada Jonathan yang tengah menyetir si sebelahnya. "Banyak hal sih, Pa. Yang jelas posisi dan gerakan janin juga

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 155 Tamu Tiba-tiba

    "Seriusan ini kalian periksa belum kelihatan?"Asha tentu langsung melotot, ia menatap mamanya yang mendadak sekali muncul bersama papa Asha di depan rumah tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Asha buru-buru menelan makanannya, meneguk minuman yang ada di gelas dan menjawab pertanyaan itu. "Mama sama papa jauh-jauh ke sini, nyebrang pulau tanpa ngasih kabar dulu cuma buat nanyain itu?" sungguh Asha begitu terkejut. "Siapa suruh ditanya nggak pernah mau jawab?" kini Nata bersuara, ia menatap Asha yang tengah menikmati kudapan di halaman belakang rumahnya m"Masalahnya tiap dibawa USG ketutupan mulu, Pa. Posisinya nggak pas jadi nggak bisa kelihatan!" sebuah jawaban template yang sudah Jonathan briefing kan padanya jika ada yang menanyakan jenis kelamin janin mereka. Nata nampak menghela napas panjang, bisa Asha liat papanya itu begitu ingin punya cucu perempuan. Sementara Diana, ia terus menatap perut Asha yang sudah menyembul, nampak memperhatikan perut itu dengan saksama selama be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status