Share

Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda
Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda
Author: Selfie Hurtness

Ch. 1 Mertua adalah Maut

last update Last Updated: 2025-03-12 11:29:37

"Coba dulu, jangan apa-apa langsung operasi! Kamu kan sehat. Apa susahnya sih lahiran normal?"

"Tapi bukaan aku udah nggak nambah lagi dari tadi pagi, Mas. Rasanya udah sakit banget," mohon Asha dengan wajah pucat.

Bukan salah Asha kalau ia sampai mengemis seperti ini pada Dimas. Ia kesakitan sejak kemarin dan proses persalinannya bisa dikatakan tidak ada kemajuan apa-apa sejak pagi tadi. Pembukaan tidak bertambah, masih mentok di angka lima dan itu sangat menyiksa.

Namun, suaminya itu menolak saran tindakan operasi yang disarankan oleh pihak rumah sakit.

"Alah jangan manja! Ibu delapan kali lahiran normal, memang sakit, tapi itu udah kodratnya wanita. Nggak usah banyak alasan!" Darmi ikut bersuara, membuat Asha menoleh dan menatap ke arah perempuan itu dengan tatapan tak mengerti.

"Bu, tapi–"

"Udah tunggu dulu. Daripada males-malesan, mending, sana kamu bangun, dipakai jalan biar nambah itu bukaan kamu. Bukan malah apa-apa minta operasi, manja banget sih!" potong Darmi dengan nada ketus.

Asha menoleh, menatap Dimas dengan sorot mata memohon karena rasanya sakit dan ia seperti tidak sanggup lagi.

"Bener kata Ibu, ayo bangun! Jangan dipake manja!"

Hati Asha mencelos. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa laki-laki yang dulu katanya begitu mencintai Asha, tega membiarkan dia kesakitan seperti ini. Apakah Dimas tidak merasa sedih atau setidaknya tersentuh saat melihatnya kesakitan seperti ini?

Dipaksakannya diri untuk bangkit setelah melihat tatapan dingin dari suaminya.

"Pokoknya kamu harus bisa lahiran normal! Malu sama tetangga, lahiran aja kudu dioperasi, nggak guna kamu jadi perempuan!" Kembali makian itu Asha terima, membuat wajahnya seketika menatap Darmi.

Bukan hanya tubuh Asha kesakitan, hati Asha rasanya seperti diremas-remas.

Harusnya sesama perempuan saling menguatkan dan memberi semangat, tapi apa yang terjadi?

Ibu mertuanya juga perempuan, kenapa harus memakinya sedemikian rupa? Bukankah seharusnya sesama perempuan saling menguatkan dan memberi semangat? Kenapa beliau justru seolah-olah meremehkan rasa sakit yang dirasakan Asha saat ini?

Akan tetapi, Asha menurut saja.

Perlahan tapi pasti, kakinya mulai melangkah. Tak peduli sakit itu menyiksanya, ini lebih baik daripada mendengar cacian dan makian dari Darmi.

Saat sudah beberapa langkah, Asha mendengar suara seperti letusan kecil, diikuti lelehan cairan hangat yang cukup banyak dari organ intimnya.

"Mas ... ketuban aku kayaknya pecah!" ucap Asha dengan tubuh bergetar.

"Bu, ini udah pecah, gimana?" Bukannya langsung bertindak, Dimas malah lebih dulu laporan pada Darmi.

"Hah? Udah pecah ketubannya? Udah mau lahir berarti, Dim. Bawa ke atas kasur biar ibu panggilkan perawat."

Asha tertegun atas kepasifan suaminya. Tapi ia tidak berkomentar untuk meminimalisir konflik. Asha hanya diam membisu dan pasrah dibawa ke tempat tidur pasien, berbaring di sana sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang dia punya.

Ia akan segera melahirkan! Akhirnya!

Atau itulah yang ia pikirkan. Kenyataan berkata lain.

"Rum, ini belum nambah lagi. Masih stuck. Coba lapor gih ke dokter." ucap bidan itu sembari menarik jarinya keluar, usai memeriksa bukaan Asha.

Asha tertegun.

Belum nambah? Itu artinya Asha masih harus menunggu?

Tapi ketubannya sudah pecah, dan bukan kah itu berbahaya untuk anaknya kalau masih tetap di dalam sana?

***

"Bapak sama Ibu tahu kan apa bahayanya kalau ketuban sudah habis tapi anaknya belum lahir?" tanya dokter itu dengan nada emosi. "Ini sudah hampir habis ketubannya, bukaan masih belum nambah dan Bapak masih ingin diam menunggu seperti ini?"

Bukan Dimas yang bersuara, malah Darmi yang lebih vokal menginterupsi.

"Diinduksi aja dulu, Dok. Biarin dia lahiran normal, jangan mau enaknya aja."

Dokter itu menoleh, menatap Darmi dengan mata tajam.

"Bu, yang bilang lahiran metode Caesar itu enak siapa? Ibu belum pernah kan disayat-sayat sampai tujuh lapisan perutnya? Mau normal apa Caesar itu sama-sama sakit, Bu."

"Tapi saya aja delapan kali lahiran normal, lancar semua, Dok. Masa dia nggak bisa?"

Asha menutup matanya rapat-rapat. Ia benar-benar malu, sungkan dan entah bagaimana lagi harus dia katakan melihat kelakuan ibu mertuanya itu.

"Itukan Ibu, kasus menantu Ibu ini beda. Lagi pun ini lahiran yang pertama kali buat dia dengan berat badan janin yang bisa dikatakan besar, Bu."

"Terserah, Dok! Pokoknya saya mau dia lahiran normal. Enak aja minta operasi. Biar dia rasakan gimana rasanya lahiran normal." Kekeuh wanita itu yang membuat beberapa perawat geleng-geleng kepala.

Asha melirik Dimas, sia-sia dia berharap Dimas akan membela dan berada di sisinya, lelaki itu malah hanya diam membisu, padahal yang tengah Asha perjuangkan sekarang ini adalah darah dagingnya!

"Baik kalau Ibu mintanya begitu, silahkan tanda tangan surat penolakan yang nanti dihantarkan kemari. Intinya kalau sampai terjadi apa-apa, itu sudah bukan lagi tanggungjawab kami. Ibu dan keluarga yang menolak prosedurnya, kan?"

***

"Aarrggghhh!"

Rasanya Asha sudah tidak sanggup lagi. Setelah dua kali diinduksi, akhirnya bukaan sudah lengkap. Jangan ditanya bagaimana sakit yang Asha rasakan, namun mengeluh pun untuk apa? Tidak akan ada yang iba padanya termasuk suaminya sendiri!

"Tahan dulu, Bu. Jangan mengejan dulu, tunggu aba-aba dari saya, ya?" bidan itu yang membantu Asha melahirkan.

Dokter Endah, entah sejak berdebat dengan Darmi tadi, beliau tidak lagi terlihat. Asha malah merasa tidak enak dan malu sekali. Tapi apa boleh buat? Semua keputusan ada di tangan Darmi, jangankan Asha, Dimas pun tidak bisa membantahnya sama sekali.

"Ayo Bu, dorong lagi, ya!"

Kembali Asha sekuat tenaga mengejan, ia berharap semua ini segera usai. Tubuhnya sudah terlampau sakit. Bayangan segala macam cacian, hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan yang Asha terima selama dua tahun ini berkelebat dalam pikiran.

Bagaimana bisa dia tidak menyadari itu semua selama berpacaran dengan Dimas dulu?

Segala macam dendam dan sakit hati mendidihkan darah Asha, ia terus mendorong sekuat tenaga hingga kemudian ia merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya di bawah sana.

Hening, tidak terdengar apapun, pandangan Asha pun mulai berkabut sampai kemudian semuanya menggelap.

"Ibu ... Bu, bisa dengar saya? Ibu ....."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
ga bisa tertolong,,,ibu ny kolot anak ny once
goodnovel comment avatar
Ayu Cla
baru bab pertama sudah nyesek gini yaaa???
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 160 Bahagia (END)

    Asha tersenyum menahan tangis ketika Jonathan dan beberapa perawat membantu mendorong bednya keluar dari ruang operasi. Nata, papanya, segera bangkit dan memburu bed yang didorong itu. Tangan Nata segera meraih tangan Asha, menggenggam tangan itu erat-erat dengan air mata berderai.Asha melirik sekeliling, ada Sabrina yang nampak menahan tangis dalam gendongan Reni. Sementara yang lain ikut melangkah mengikuti kemana bed didorong. Tidak ada pertanyaan ataupun percakapan selama bed itu didorong keluar dari OK, semua diam menahan tangis sampai kemudian masuk ke dalam kamar inap Asha yang sudah dihias dengan bunga dan balon-balon bernuasa pink-putih. "Gimana, Sayang? Pengen makan apa?" tanya Nata begitu bed Asha sudah diposisikan. "Asha belum boleh makan, Pa. Masih nanti jam dua." jawab Jonathan setelah membentulkan selang infus Asha. "Begitu? Nanti bilang papa pengen makan apa, Sha. Apapun bakalan papa berikan, nggak ada pantangan, kan?" cecar Nata tak sabar. Asha hanya tersenyum

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 159 Bahagia

    "Nggak lihat adek?"Asha masih belum beranjak, ia merasakan sejak tadi ada benda aneh yang terasa menembus kulit. Tidak sakit, tapi pergerakan benda itu bisa Asha rasakan. "Terus kamu sama siapa?" tanya suara itu lirih. Asha tersenyum, pandangannya jelas tapi Asha merasa separuh tubuhnya seperti ada di tempat lain. Asha memejamkan mata, berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa kini, setelah drama panjang dan menyakitkan dalam hidup Asha, ia bisa merengkuh darah dagingnya sendiri. "Kalau pengen bobo, bobo aja, Sayang. Aku tetep di sini, temenin kamu sampai dibawa keluar nanti." gumam Jonathan yang membuat Asha kembali membuka mata. "Nggak pengen liat adek?" kembali itu yang Asha tanyakan. Pasalnya, setelah bayi itu diperlihatkan dan ditaruh ke atas dada Asha tadi, Jonathan belum beranjak dari sisinya sama sekali. "Tadi udah liat, udah cium juga." jawab Jonathan sembari mengusap dahi Asha dengan lembut. "Lagipula dia udah aman sama perawat neonstusnya, sama kakek-neneknya mungki

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 158 Baby Lauching

    "Sini bangun, duduk dulu!" Jonathan sudah lengkap dengan setelan scrub, masker dan perlengkapan yang lain, berdiri di sisi meja operasi, membantu Asha bangun dan duduk di sana. "Seperti yang tadi dok Revi info ke kamu, habis ini kamu bakalan di anestesi sama beliau, duduk tegap, jangan tegang, gerak sedikitpun, oke?" ucap Jonathan yang hanya bisa Asha lihat sorot matanya itu. Asha menangguk pelan, ruangan ini cukup dingin dan dia hanya memakai selapis baju. Jonathan merentangkan kedua tengah, kode yang biasa dia beri kalau dia minta dipeluk. Kening Asha berkerut, ia hendak bertanya ketika Jonathan lebih dulu menariknya dengan lembut dan memeluknya. "Dok Rev udah ke sini, rileks aja, oke?" bisik Jonathan lirih. "Langsung ini, Dok?" tanya lelaki itu pada Jonathan. "Iya, langsung aja. Saya pengangin ini." Jonathan melirik Asha, ia tahu istrinya itu sedang takut. "Rileks, jangan takut, aku di sini, sama kamu, temenin kamu." bisiknya lagi. Asha mengangguk pasrah, terlebih ketika Jon

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 157 Detik-detik

    "Mas aku takut!" desis Asha begitu mereka masuk ke dalam mobil. Jonatan batal memakai sabuknya, ia memilih untuk mengusap puncak kepala Asha dan menciumnya dengan lembut. "Kamu lupa kalau punya aku, Sayang?" bisik Jonatan lirih, dengan sangat mesra. "Kalau bisa dipindah, aku pengen sakit selama hamil dan melahirkan nanti, dipindah aja ke aku.""Tapi mana bisa, Mas!" protes Asha dengan mimik takut dan gemas yang membaur menjadi satu. "Nah oleh karena itu, aku janji kan sama kamu kalo aku nggak bakalan biarin kamu sendirisn?" Asha tersenyum, sorot mata itu begitu teduh dan lembut, membuai Asha sampai semua rasa takutnya hilang. "Nggak lupa kan karena tidak dapat ACC operasi kamu harus rela kehilangan Bintang dulu. Jadi sekarang aku ACC, jadi jangan takut, oke?" tangan Jonatan meremas-remas tangan Asha dengan lembut, membuat mata Asha memerah lalu mengangguk perlahan. "Sekarang kita pulang dulu, kabari mama dan yang lain-lain. Kamu istirahat aja, sisanya aku yang urus."Ketakutan y

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 156 Tanda Tanya

    "Nah, kan? Aku bilang juga apa? Malu-malu dia, Pa!"Mereka sudah keluar dari ruang praktek dokter Jeremi yang ada di rumah. Memang ada dokter kandungan buka di hari Minggu? Kalau bulan Jonathan yang minta, belum tentu dokter kandungan itu mau diganggu hari liburnya. Dan sama seperti yang diminta oleh Jonathan, jawaban dokter itu 11-12 mirip dengan jawaban Asha ketika ditanya perihal gender bayi yang ada di perutnya. "Kok bisa, ya?" desis Nata heran. Untung saja papa dan mama Asha bukan dokter, jadi meskipun ikut masuk dan liat layar monitor, mereka tidak bisa membaca hasil yang ada di sana tak peduli mesin USG canggih sekalipun.Untungnya lagi, janin Asha seperti pro dengan bapak-ibunya, kakinya dengan jelas terlihat dilayar menutupi area kelamin, membuat kakek-nenek yang jauh-jauh datang sedikit kecewa. "Kira-kira yang bikin selalu ketutupan itu apa sih, Jo?" tanya Nata pada Jonathan yang tengah menyetir si sebelahnya. "Banyak hal sih, Pa. Yang jelas posisi dan gerakan janin juga

  • Pesona Ibu Susu Kesayangan Tuan Duda   Ch. 155 Tamu Tiba-tiba

    "Seriusan ini kalian periksa belum kelihatan?"Asha tentu langsung melotot, ia menatap mamanya yang mendadak sekali muncul bersama papa Asha di depan rumah tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Asha buru-buru menelan makanannya, meneguk minuman yang ada di gelas dan menjawab pertanyaan itu. "Mama sama papa jauh-jauh ke sini, nyebrang pulau tanpa ngasih kabar dulu cuma buat nanyain itu?" sungguh Asha begitu terkejut. "Siapa suruh ditanya nggak pernah mau jawab?" kini Nata bersuara, ia menatap Asha yang tengah menikmati kudapan di halaman belakang rumahnya m"Masalahnya tiap dibawa USG ketutupan mulu, Pa. Posisinya nggak pas jadi nggak bisa kelihatan!" sebuah jawaban template yang sudah Jonathan briefing kan padanya jika ada yang menanyakan jenis kelamin janin mereka. Nata nampak menghela napas panjang, bisa Asha liat papanya itu begitu ingin punya cucu perempuan. Sementara Diana, ia terus menatap perut Asha yang sudah menyembul, nampak memperhatikan perut itu dengan saksama selama be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status