Asha mendapati Dimas sudah kembali berdiri di dalam ruangan, membuat seketika bulu kuduk Asha meremang. Bayangan saat Dimas menamparnya tadi langsung terlintas.
Jangan bilang kalau– "Ma-mau apa kamu?" tanya Asha dengan waspada. Ia mencoba meraih bel untuk memanggil perawat kalau-kalau Dimas kembali nekad. Sementara itu, mendengar pertanyaan Asha, sosok itu tertawa sumbang. Ia lantas melemparkan map fotokopi berisi beberapa dokumen di dalamnya. "Milikmu. Kamu pasti perlu untuk mengurus biaya rumah sakit, kan?" Asha seketika membelalak. Biaya rumah sakit? Bukankah dia masuk dalam anggota BPJS yang diberikan kantor Dimas sebagai fasilitas? "Bi-biaya rumah sakit?" tanya Asha dengan suara terbata. Pikirannya seketika penuh. Tampak wajah itu menyeringai, tatapan tajam penuh dendam terbaca di sorot mata, membuat Asha segera menelan ludah diliputi rasa takut. Dimas bergerak mendekati ranjang Asha, setiap langkahnya bagai mimpi buruk. "Pikirmu, aku akan membayar biaya rumah sakit? Untukmu? Si perempuan tidak berguna?" "Mas, aku tidak ada uang." Pada akhirnya, Asha yang semula sudah tidak ingin banyak bicara dengan Dimas, kini terpaksa buka suara. Jika Dimas lepas tangan perihal biaya perawatannya, lalu Asha hendak membayar semua ini dengan apa? Selama menikah, gaji Dimas tidak pernah sampai ke tangan Asha, semua mendarat di tangan Darmi. Segala kebutuhan rumah tangga harus melewati Darmi, karena toh mereka pun masih tinggal serumah dengan Darmi. Wajah itu menyeringai, ekspresi dan sorot mata itu terlihat begitu menghina Asha. Dua tangan lelaki itu dilipat di dada, matanya terus menatap Asha dengan penuh dendam dan rasa puas yang membaur menjadi satu. "Makanya, kalo kere itu jangan banyak bertingkah!" maki Dimas dengan nada menusuk hati. "Sok-sokan minta pisah. Padahal aku cuma minta kamu ngaku salah dan minta maaf ke Ibu." Asha terdiam. Sepasang matanya kembali berkaca-kaca. "Lalu, mulai detik ini aku talak kamu, Sha,” ucap Dimas lagi. “Ingat baik-baik bahwa aku yang menceraikanmu, bukan sebaliknya. Aku tidak mau lagi punya istri tidak becus sepertimu!” Satu tetes air mata turun di pipi Asha, tapi ia buru-buru menghapusnya. Ada sedikit perasaan lega dalam hati Asha. Tapi masalahnya untuk biaya rumah sakit, bagaimana Asha akan melunasinya? Asha tidak bisa membayangkan berapa besar total biaya rumah sakit ini jika ia harus menanggungnya sendiri. "Segera saja urus perceraiannya, Dim. Ibu sudah muak berurusan sama gembel ini!" Entah dari mana asalnya, Darmi tiba-tiba muncul. Sorot mata dan wajah wanita paruh baya itu menampakkan rasa puas. "Begitu urusan pemakaman selesai, Dimas akan urus, Bu. Jangan khawatir." Mendengar kata pemakaman, Asha seketika teringat akan almarhum anaknya. Perawat yang ia tanya belum memberikan kepastian lagi. Tapi, ini berarti jasad anaknya akan diambil oleh Dimas sebelum Asha bisa melihatnya? Seketika Asha lupa dengan masalah biaya rumah sakit. "Mas ... boleh aku liat dia? Sekali saja tolong, Mas. Aku mau lihat anak aku." Mohon Asha melupakan segala gengsi dan harga diri. Ia ingin melihat anaknya! Setidaknya pertama dan terakhir kali dalam seumur hidup Asha. Mata Dimas seketika membulat, ia maju lebih dekat, membuat tubuh Asha refleks mundur dengan hati waswas. "Setelah kamu bunuh anakku, kamu ingin lihat dia?" Suara pria itu bergetar, matanya melotot tajam ke arah Asha. "Sampai mati aku tidak akan biarkan kamu melihat jenazah anakku! Camkan itu!" Kalimat itu seperti sebuah pukulan keras bagi Asha, matanya kembali memanas. Bahkan hanya ingin melihat jenazah anaknya saja Dimas tidak memberi izin? Apakah dia lupa siapa yang sembilan bulan ini mengandung? Siapa yang tadi hampir mati melahirkan? "Mas tapi aku ibunya, Mas!" tegas Asha dengan air mata yang kembali banjir.\ "Masih berani kamu sebut dirimu ibu?" Suara Darmi melengking, membuat Asha sontak menoleh ke arahnya. "Kamu yang udah bikin cucuku mati dan masih dengan berani menyebut bahwa kamu ini seorang ibu? Ibu macam apa?" "Bu, aku—" "Sudah!" potong Dimas dengan suara keras. "Kamu masih nggak merasa bersalah? Masih mau nyalahin Ibu? Aku nggak terima!" "Dasar perempuan tidak tahu diuntung! Aku yang kamu salahkan? Nggak ada otak kamu, ya?" Darmi menoyor kepala Asha sekali. "Sudah, Bu. Lebih baik kita segera urus pemakaman cucu Ibu saja, tidak ada gunanya banyak berdebat sama perempuan nggak ada otak ini!" Kembali Dimas memaki Asha. "Barang dan akta ceraimu nanti aku drop ke rumah sepupumu. Jangan pernah kamu menginjakkan kaki ke rumah atau bahkan ke kuburan anakku, haram!" “Mas, tunggu! Biarkan aku melihatnya sekali saja!” Asha berteriak, sementara Dimas membawa ibunya melangkah keluar. Tatapan pria itu tampak sinis dan penuh penghinaan. Asha hendak bangkit, tapi rasa nyeri di dada dan bagian jahitannya menghentikannya. Pada akhirnya, Asha tertunduk, dibiarkannya air mata kembali membanjiri pipi. Dadanya kembali terasa sesak. Tidak cukup kehilangan anaknya, kini ia selamanya tidak akan pernah melihat bagaimana rupa bayi yang telah ia lahirkan. Apakah kulitnya putih bersih seperti Asha? Bagaimana dengan hidung dan bibirnya? Asha tidak akan pernah tahu jawabannya. *** “Mama sedih lihat kamu begini, Jo.” Sementara itu, di tempat lain, Dokter Jonathan menerima kunjungan dari mamanya. Pria itu tidak merespons ucapan tersebut tersebut, melainkan hanya menatap mamanya dengan tatapan lesu. Ada kantung mata di bawah matanya, sementara wajah dan rambutnya tampak kusut seperti tidak mendapatkan istirahat yang cukup selama beberapa hari ini. Ia paham kalau mamanya sedang prihatin dan sedih dengan apa yang baru saja Jonathan alami. Tapi Jonathan benar-benar tidak bisa memaksakan diri untuk langsung pulih dengan cepat. Pukulan yang ia terima datang begitu tiba-tiba–saat ia tidak siap. “Jangan terlalu berlarut, Jo. Sabrina membutuhkan papanya,” ucap sang mama lagi, membawa nama putri kecilnya yang baru saja lahir. “Iya, Ma.” Jonathan membalas singkat. “Oh ya. Kamu udah dapet calon donor ASI buat Sabrina? Mama pengen dia cepet bisa dibawa pulang, Jo.""Ada apa, Bang?"Jonathan melirik Danan, mereka duduk di kursi yang ada di pinggir kolam renang. Danan tidak langsung menjawab ia malah menghela napas panjang sembari merogoh saku. "Abang sambil merokok boleh, kan?" izinnya setelah bungkus rokok beserta korek sudah ada di atas meja. Jonathan mengangguk pelan, membuat Danan segera mengambil dan menyulut sebatang rokok. "Kamu beneran nggak merokok, Jo?" tanya Danan setelah menghembuskan asap rokok ke udara. "Dulu sekali pernah, Bang. Waktu SMP kali, ya? Sekarang udah nggak lagi." jawab Jonathan jujur. "Baguslah, Jo. Do'akan abangmu ini bisa berhenti juga." ucap Danan dengan senyum kecut. Jonathan tidak menanggapi, ia tahu ada hal yang lebih penting dari pembahasan soal rokok yang hendak Danan bicarakan padanya. Ia diam menantikan Danan bicara, entah mengapa, Jonathan yakin ini ada hubungannya dengan perubahan mimik wajah Danan saat di mobil tadi dan ... Jonathan menghela napas panjang, apakah ini ada hubungannya dengan adik iparny
"Minta bikinin rumah sakit buat hadiah, Mas! Mayan nih punya rumah sakit sendiri."Seketika Danan membelalakkan mata, ia menatap Asha dari kaca mobil, nampak wajah itu tengah nyengir lebar dengan muka yang sangat menyebalkan.Sementara Danan membelalak, Jonathan malah terkikik di jok tempatnya duduk. Jauh di lubuk hati terdalamnya, ia setuju dengan usul istrinya. Siapa yang tidak ingin punya rumah sakit sendiri? Perihal saham di rumah sakit itu, biar papanya yang urus yang penting Jonathan punya rumah sakitnya sendiri. "Dikira bikin rumah sakit cukup satu-dua M apa? Kamu mau ngegorok leher abangmu sendiri?" gerutu Danan dengan wajah masam. Tawa Asha pecah, namun masih dia kondisikan agar bayi dalam gendongannya tidak terganggu atau bahkan sampai terbangun. Muka masam Danan berhiaskan senyum kecut sekarang, ia melirik Jonathan, hanya sekilas karena fokusnya kembali ke jalanan. "Setuju nih sama usul istrimu? Bunuh aja abangmu ini, Jo!" kelakar Danan yang membuat suasana dalam mobil t
"Aku jemput Asha sama Jo dulu." Joana hanya mengangguk, terlebih ketika Danan merengkuh dan menjatuhkan kecupan di puncak kepalanya. "Ati-ati, ya? Kabarin jangan lupa."Danan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban dari permintaan yang Joana beri padanya. Tanpa membuang banyak waktu, ia segera melangkahkan kaki keluar, meninggalkan Joana yang hanya berdua saja dengan Abra. Kedatangan Asha dan Jonathan seperti kejutan untuknya, siapa kira pengantin baru itu mau jauh-jauh kemari hanya untuk melihat kondisi Abra? Senyum Danan terukir, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Jonathan nanti, terlebih semua perasaan lega yang kini ia rasakan. Ting! Kening Danan berkerut, siapa yang mengirimkan pesan untuknya ini? Apakah Joana? Ingin nitip sesuatu atau ... Danan segera merogoh saku celana, tersenyum ketika mendapati pesan itu masuk dari papanya. [ Langsung anter adekmu ke rumah, Nan. Kamar mereka udah siap. Kamu udah jemput kan ini? ]Dengan segera Danan mengetikkan
"Kalian mau berapa hari?" tanya Reni sembari menatap Asha yang tengah mempersiapkan barang bawaan. "Kata mas Jo sih cuma dua hari, Ma. Lusa kita udah balik kok." jawab Asha yang dengan lincah menyusun baju-baju ke dalam koper. "Nggak sekalian mau honeymoon? Ke Thailand kek, atau mana?"Ditanya begitu, tawa Asha pecah, ia menghentikan sementara aktivitas packingnya. Honeymoon? Agenda itu malah sama sekali belum terpikirkan oleh Asha, meskipun Jonathan sudah berulangkali mendesak, namun bagi Asha, ia perlu memikirkan tempat untuk menikmati momen spesial mereka setelah resmi menjadi suami-istri. "Belum tau mau kemana sih, Ma. Belum ada gambaran." jawab Asha apa adanya. "Ah kalian ini. Nanti kamu keburu hamil, Asha! Makin ribet nanti liburan kalian."Hamil! Wajah Asha memerah. Jujur ia rindu momen di mana tubuhnya akan membengkak sana-sini, sebuah kondisi yang entah mengapa di mata Asha dirinya terlihat jadi begitu seksi. Momen paling membahagiakan seumur hidup bagi Asha, meskipun du
"Udah tidur lagi?" Diana terkejut ketika mendapati Abra sudah kembali terlelap setelah beberapa saat yang lalu sadar. Nata hanya tersenyum, bangkit dari kursi yang ada di sebelah ranjang dan beralih ke sofa. "Kamu tahu apa yang dia katakan tadi?" pancing Nata yang seketika membuat Diana penasaran. "Apa? Memang dia ngomong apa?" Nata menarik napas panjang, ia menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lurus ke jendela kaca yang menampilkan pemandangan di luar gedung. "Tanya orang tuanya di mana. Dia takut mereka bertengkar lagi."Wajah Diana berubah. Antara raut sedih dan iba berbaur menjadi satu. Diana menundukkan kepala. Sedikit trenyuh anak sekecil Abra harus melihat secara langsung pertengkaran kedua orang tuanya, sebuah hal yang cukup traumatis dan tidak layak dilihat oleh anak-anak. "Kamu bilang apa?" kejar Diana berusaha menegarkan hati. "Aku bilang padanya kalau hal itu tidak akan terjadi lagi. Dia tidak akan melihat orang tuanya bertengkar lagi."Hening. Lidah Diana mendad
Obrolan serius dengan bumbu air mata telah berakhir, kamar itu kembali sunyi, bukan sunyi yang sebenarnya. Yang dimaksud sunyi adalah tidak adanya percakapan antar keduanya. Yang ada hanyalah suara penyatuan yang berpadu dengan desah penuh nikmat sama seperti beberapa saat yang lalu. Gunung es di antara mereka telah benar-benar mencair, lenyap tak berbekas dan menghangatkan mereka seketika. Tidak ada lagi kecurigaan, keraguan dan perasaan-perasaan aneh yang membuat keduanya menjadi asing. Perselisihan mereka sudah sampai pada satu titik temu, satu keputusan dan satu kata yang sama. Joana sepakat resign, sepakat bebannya berpindah pada Danan meskipun awalnya dia ragu. Danan pun sama sekali tidak mempermasalahkan tanggungjawab baru yang harus dia pikul sampai tahun depan. Baginya, yang penting Joana akan selalu ada menjadi tempat ternyaman Danan melepas segala penat dan lelahnya ketika habis bekerja. Hanya itu yang Danan minta yang dang istri, tidak lebih. "Setelah ini, berjanjilah