“Kamu sudah dapat calon donor ASI buat Sabrina?”
Pertanyaan sang mama tidak langsung mendapatkan jawaban dari Jonathan.
Pikiran pria itu sedang ramai. Ada banyak hal-hal yang berkecamuk di kepalanya sekarang, bergantian dengan kepingan kabar buruk yang memporak-porandakan hidup Jonathan dalam waktu yang singkat.
Salah satunya memang persoalan donor ASI untuk putrinya.
Bukan apa-apa, mencari donor ASI tidak semudah itu. Jonathan perlu memastikan calon pendonor memiliki anak yang usianya tidak jauh dari putri kecilnya, Sabrina. Selain itu dia harus melalui proses seleksi yang ketat.
Jonathan tentu harus memastikan kesehatan calon pendonor ASI juga, makanan apa saja yang dia makan, dan banyak lagi. Belum kebersihan dan sterilisasi prosesi pumping dan pendistribusian ASIP sampai siap untuk dikonsumsi oleh Sabrina.
Semua lebih rumit dibandingkan dengan proses menyusui secara langsung, otomatis membuatnya sakit kepala.
Jonathan sendiri sudah berusaha keras mencari calon pendonor ASI, tapi belum kunjung menemukan yang pas.
Seandainya saja istrinya masih ada di sisi Jonathan, ia dan Sabrina tidak akan kesulitan seperti ini.
“Jo?”
“Masih dicari, Ma.” Akhirnya Jonathan memberikan jawaban. “Belum ketemu.”
“Mama juga akan cari-cari. Tapi kamu harus semangat ya. Demi anak kamu.” Reni, sang mama, kembali berucap. Menatap putranya dengan tatapan prihatin.
Jonathan hanya mengangguk.
“Susunya bagaimana? Benar yang itu?” Reni kembali bertanya kemudian.
Mendengar itu, Jonathan menarik paper bag yang dibawa wanita paruh baya itu. Dengan hati-hati, pria itu kemudian mengeluarkan sebuah susu dalam kemasan kotak warna putih, dengan tulisan cetak warna biru.
Itu bukan susu biasa, melainkan susu khusus untuk bayi prematur dan benar-benar hanya digunakan untuk kepentingan medis.
Ini adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh putrinya, Sabrina, sampai bayi mungil itu lulus dari NICU.
Akan lebih baik jika Sabrina mendapatkan ASI, tapi jika belum, susu inilah opsi terbaik.
“Benar, Ma,” sahut Jonathan. “Terima kasih banyak. Maaf jadinya merepotkan Mama. Lain kali minta tolong asisten aja, Ma."
Reni menghela napas, lalu mengusap punggung putranya dengan sikap keibuan.
"Kamu itu kayak sama siapa aja sih, Jo? Kamu itu anak Mama, Sabrina itu cucu mama, jadi ya udah kewajiban Mama untuk selalu ada buat kalian." Reni berucap. "Percayalah akan ada kebahagiaan yang diberikan oleh sang Pencipta untukmu dan Sabrina setelah semua ini berlalu, Jo. Doa mama tak pernah lepas untuk kalian."
"Amin, Ma," bisik Jonathan. Pria itu berusaha melepaskan bayangan istrinya yang masih menggelayuti hati dan pikirannya.
***
Jonathan melangkah menuju NICU, ia hanya mengangguk pelan ke arah para perawat dan koas yang kebetulan ada di nurse station. Mengunjungi Sabrina adalah agenda wajib Jonathan di sela-sela aktivitas pekerjaan. Sekadar menatap bayi dari balik kaca inkubator.
"Tahu pasien Dokter Endah, kan? Sumpah, ya, aku gemes banget!"
Samar-samar obrolan itu terdengar oleh Jonathan. Namun, Jonathan tidak peduli, ia sibuk melepas sepatu dan melakukan beberapa prosedur sebelum melangkahkan kaki ke dalam.
"Amit-amit, aku berdoa semoga nggak nemu tuh lakik model begitu. Mana ibunya spek dajjal!"
“Beliau yang mukulin pasien sampai pendarahan lagi, kan? Duh, mertua kasar,” lanjut suara lain yang seketika membuat Jonathan yang tadinya hendak bangkit dari kursi, mengurungkan niat.
Kenapa Jonathan seperti tidak asing dengan apa yang mereka bicarakan?
"Iya! Aduh, amit-amit! Kalo aku jadi dia, aku balas pukul itu lakik sekalian ibunya. Halal! Mana dikatain dikatain kere lah, gembel lah, sama mereka berdua."
“Duh, sudah begini, nanti masih mau balik tinggal serumah sama manusia-manusia model begitu?”
“Nggak! Ini entah untung atau buntung, tapi pasien udah nggak bakal balik sama suaminya.” Jeda sejenak. “Soalnya dia ditalak!”
"APA!?" sahut riuh suara itu.
Jonathan yang tanpa sadar mendengarkan langsung tersentak. Pria itu seperti baru ingat kembali apa tujuannya datang kemari.
Tanpa menunggu para perempuan itu menyelesaikan obrolan mereka, Jonathan bangkit dan melangkah ke dalam NICU. Berusaha tidak memikirkan apakah pasien yang dibicarakan oleh para perawat tersebut adalah orang yang sama dengan wanita yang ia tolong tempo hari.
"Ah untung sekali kamu datang, Jo!"
Suara itu mengejutkan Jonathan, alisnya berkerut, ia hendak menyerahkan susu untuk persediaan Sabrina ketika sahabat sejawatnya, Ferdi, yang merupakan seorang dokter anak tampak begitu lega melihat kedatangan Jonathan.
Dengan segera Jonathan meletakkan paper bag di atas meja, lalu menatap Ferdi dengan serius. Dokter anak di hadapannya itu adalah sosok yang bertanggungjawab atas perawatan Sabrina.
Tiba-tiba ada ketakutan dalam hati Jonathan.
"Ada apa? Putriku baik-baik saja, kan, Fer?" tanya Jonathan dengan raut wajah khawatir.
Ferdi tersenyum, kepalanya terangguk cepat sebagai jawaban. “Tenang, putrimu baik-vaik saja,” jawabnya. Pria itu kemudian menarik sebuah kotak biru yang juga ada di atas meja, membuat Jonathan segera fokus cooler box di hadapannya. "Kamu butuh donor ASI buat Sabrina, kan? Nggak perlu susah nyari, Tuhan kirim sendiri langsung buat kamu sama Bina."
Kotak itu disodorkan pada Jonathan, membuat pria itu segera membuka kotak dan tertegun sesaat di tempatnya berdiri.
Tangan Jonathan segera meraih satu kantong ASI dari sana. Isinya tidak banyak, tidak sampai 100 mili, namun warna dari cairan itu yang benar-benar membuat Jona tertegun.
Cairan itu berwarna kuning hampir mendekati warna keju! Sebuah pertanda bahwa ini adalah ASI yang keluar pertama kali setelah seorang wanita melahirkan.
"Ini?" gumam Jonathan, kehilangan kata-kata. Pria tampan itu menatap Ferdi dengan tatapan tidak percaya.
Ferdi mengangguk. “Bayinya meninggal, Jo,” ucap Ferdi, sekaligus menjawab semua rasa penasaran Jonathan.
Jonathan mengangguk.
Pandangannya kemudian kembali jatuh pada kantong ASI di tangan.
"Dia tidak punya riwayat penyakit berat, bukan perokok, pecandu dan lain-lain,” tutur Ferdi kemudian. “Pemeriksaan sehat secara jasmani. Hasil screening-nya bagus. Mungkin kamu bisa temui dia untuk meminta tolong jadi pendonor ASI buat Sabrina."
Kalimat itu membuat Jonathan mengangkat wajah, mengalihkan pandangannya dari kantong ASI ke sejawatnya dari bagian anak itu.
"Dia ada di mana, Fer? Siapa namanya?"
Asha memekik tertahan, ia sesekali memejamkan mata sembari menikmati 'gesekan' antara dia dan Jonathan, lelaki yang juga ayah kandung dari anak susunya. Tubuh Jonathan bermandikan peluh, nampak berkilap dan menindihnya dengan begitu mendominasi sembari terus bergerak. Deru napas Jonathan terdengar memburu, sesekali lelaki itu mendesah panjang, meracau penuh nikmat yang terdengar sangat seksi di telinga Asha. Dia adalah laki-laki yang kedua, laki-laki kedua yang pernah menyentuh Asha sampai sedalam ini. Laki-laki pertama yang menyentuh Asha dengan begitu nikmat dan tidak egois. "Pak ... Bapak!" Asha memekik, ia merasa seperti ada yang mau meledak dalam dirinya. "Hm? Kenapa, Sha?" suara itu begitu lirih dan sensual. "Pak ... sa-saya mau-ah!"Terlambat! Tubuh Asha bergetar hebat, sangat hebat sampai ia mengejang. Diikuti dengan berdenyutnya organ intim Asha di bawah sana. Tak perlu waktu lama, sesuatu yang sedang coba Asha tahan, akhirnya jebol. Asha memekik, tubuhnya makin hebat b
"Pak? Bapak mabuk?"Adit langsung panik begitu turun dari taksi online dan mendapati bosnya bersandar di mobil dengan wajah memerah. Wajah itu terangkat, menatapnya dengan mata yang ikut memerah sembari menggelengkan kepala. "Nggak! Belum aja ini, cuma kepala saya sakit banget, Dit. Tolong anterin pulang." jawab Jonathan masih dengan sangat jelas. "Baik, Pak! Kalau begitu ayo, mana kunci mobil Bapak?"Jonathan segera menyodorkan benda itu, membiarkan Adit yang membawakan mobil untuknya malam ini. Sudah hampir dini hari dan setelah bersusah payah, ia bisa kabur juga dari desakan David yang memaksanya tetap tinggal dan mencoba satu dari banyak gadis muda yang dia sodorkan. "Masih bisa pakai sabuknya, Pak?" tanya Adit dengan nada khawatir. "Bisa, Dit. Kan saya bilang saya ini nggak mabuk, cuma agak pusing aja!" sahut Jonathan sembari memasang sabuk pengamannya. Adit tidak lagi banyak bicara, ia sibuk membawa mobil Jonathan menyusuri jalanan yang sudah cukup sepi. Sementara itu, Jona
"Bapak mau pergi?"Asha menyipitkan mata ketika melihat Jonathan sudah cukup rapi dan wangi malam-malam begini. Berbulan-bulan tinggal bersama lelaki itu, Asha hafal betul kebiasaan-kebiasaan Jonathan. Biasanya jika ada cito atau kondisi gawat di rumah sakit, Jonathan akan pergi dengan baju seadanya, bahkan pernah lelaki itu pergi dengan setelan piyama tanpa berhenti pakaian karena sakit gawatnya kondisi pasien. Dan malam ini ... Dengan baju serapi dan sewangi ini, tidak mungkin jika Jonathan hendak pergi ke rumah sakit. "Ah iya, Sha. Saya pamit pergi sebentar." ujarnya nampak kikuk lalu melangkah dengan tergesa-gesa menuju tangga. Asha segera angkat bahu, ia kembali masuk ke dalam kamar setelah mengambil handuk yang dia jemur di balkon samping rumah. Sabrina sudah tidur lelap, maka ini adalah waktu untuk Asha sekedar me time. Pakai masker wajah lalu mandi air hangat dan menyusul Sabrina tidur nyenyak sampai pagi. Sementara Asha sibuk menghabiskan waktu untuk sekedar merawat diri,
"Eh, Vid? Seriusan elu nih?"Jonathan yang baru saja keluar dari OK seketika terkejut mendapati David sudah duduk di kursi yang ada di depan OK. Lelaki dengan kacamata itu sontak bangkit, menghampiri Jonathan dan menjabat erat tangan Jonathan. "Masih betah jadi dokter lu?" tanyanya seraya menepuk keras-keras punggung Jonathan. "Lha terus gue kudu kerja apaan? Sejak awal kan emang gue kepengen jadi dokter." jawab Jonathan sambil terkekeh, mereka sudah melangkah beriringan meninggalkan OK. "Perusahaan kakek elu gede, kenapa jadi bingung mau kerja apaan? Jangan merendah begitulah, Jo!"Mereka kembali terkekeh, langkah mereka berhenti di depan pintu lift, menantikan lift terbuka dan menbWa mereka ke lantai empat, di mana ruangan Jonathan berada. "Elu sendiri gimana? Out dari PPDS orthopaedi kemaren terus ini lanjut kemana lagi?"Pintu lift terbuka, kaki mereka serentak melangkah masuk. Tentu Jonathan tidak lupa tentang David yang memutuskan DO dari pendidikan spesialisnya karena tida
"Pak, boleh tanya?"Jonathan menoleh, ia menatap Asha dengan kening berkerut. "Tanyalah. Apa yang ingin kamu tanyakan?" perintah suara itu dengan tegas. Asha menghela napas panjang, "Untuk sidang-sidang selanjutnya, apakah sa--""Semua sudah diurus Yanuar. Termasuk untuk pelaporan Dimas ke polisi, semua sudah diurus. Jangan khawatir." ucap Jonathan santai. Asha tersenyum, ia bergegas melepas seat belt-nya dan membuka pintu mobil. Sebelum kakinya melangkah turun, Asha kembali menoleh pada Jonathan, menatap laki-laki itu dengan seulas senyum tipis. "Sekali lagi saya ucapkan banyak terimakasih, Pak. Jangan sungkan meminta bantuan saya apapun itu." Asha melangkahkan kakinya turun, "Saya izin masuk dulu ya, Pak!"Tanpa menunggu jawaban Jonathan, Asha menutup pintu mobil dan melangkah lebih dulu. Hatinya begitu riang, Asha tidak sabar untuk segera bertemu dengan Sabrina. Kira-kira bayi lucu itu sedang apa? "Mbak Asha udah pulang?" tanya Sani yang terkejut mendapati Asha muncul dari lua
"Mikir apa?"Asha tersentak, ia menoleh ke samping, tempat di mana Jonathan duduk sekaligus membawa mobilnya melaju. Mereka sudah dalam perjalanan pulang, setelah sidang yang cukup panas namun sangat memuaskan itu sudah selesai. "Saya cuma masih belum bisa percaya aja, Pak, selain bisa lepas dari lekaki seperti itu, ternyata saya bisa juga menuntut dia atas semua yang sudah dia lakukan pada saya." ucap Asha jujur. Ia begitu tenang dan bahagia sekarang.. "Dia memang pantas mendapatkannya, Sha. Dia harus menuai apa yang sudah ia tanam." ucap Jonathan lirih. "Sekali lagi saya ucapkan banyak terimakasih, Bapak. Entah jadi apa saya kalau tidak bertemu dengan Bapak waktu itu." ada nada sedih dalam suara Asha, ia sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan dia alami jika saat itu Jonathan tidak muncul di depan pintu kamar inap saat Dimas menghajarnya."Sudahlah. Jangan berlebihan, Sha." Jonathan melirik sekilas. "Saya sendiri juga nggak tau kenapa saat itu masuk ke bangsal ibu. Kaki
"Siapa, Dim? Kenapa tidak kamu angkat?"Dimas mengangkat wajah, menatap ibunya dengan tatapan sedikit ragu. Dimas tidak menjawab pertanyaan itu, ia lebih memilih menyingkir dari hadapan ibunya tanpa menjawab pertanyaan yang tadi ditujukan padanya. Dimas terlalu fokus pada nomor yang menelponnya sampai tidak sadar ibunya mengekor di belakang Dimas. "Halo?""Gawat, Yang!" ucap suara itu panik. Kening Dimas berkerut, ia sedikit terkejut mendengar nada suara itu. Gawat? Ada masalah apa lagi sampai Aurel menelepon bukan untuk menanyakan sidang cerainya? "Kenapa? Kamu nggak hamil, kan?" tanya Dimas spontan. Tentu ia tidak lupa dengan aktivitas apa yang sering mereka lakukan itu. "Kenapa jadi tanya itu sih? Aku nggak hamil!" jawab suara itu yang seketika membuat hati Dimas lega. "Terus kenapa? Apanya yang gawat?" tanya Dimas yang masih penasaran, kabar genting apa yang hendak kekasih gelapnya itu sampaikan. "Aku dipecat."Suara itu begitu lirih, namun Dimas bisa mendengar suara itu de
"Kamu ..." Darmi mengeram, menghampiri Asha dengan tatapan marah penuh benci. "Baru kerja sebentar jadi babu orang sudah sok berani pakai pengacara buat nuntut anakku, ya!"Asha tersenyum getir, untuk pertama kalinya ia bisa membalas tatapan penuh kebencian itu dengan berani dan bisa dikatakan sedikit sombong. "Bukan Asha yang mulai, Bu. Sejak awal, siapa yang buat semua ini terjadi?" balas Asha sekenanya, masih dengan nada lirih dan sopan. "Kamu benar-benar wanita licik! Tidak tahu malu!" umpat Darmi penuh kebencian. "Bu! Sudah, Bu!" Dimas segera menghampiri, meraih bahu ibunya dan mencoba menarik Darmi menjauh. "Sudah? Kamu hampir dipenjara sama perempuan sialan ini dibuatnya, Dim!" maki Darmi tidak terima. "Bukan hampir, Bu." sahut Yanuar tiba-tiba. "Tapi memang akan dipenjara sebentar lagi."Semua menoleh ke arah Yanuar, nampak lelaki itu tengah membereskan barangnya. "Tim saya sudah di polres ini. Tinggal tunggu saja surat pemanggilan yang akan dikirim ke rumah kalian." Yan
"Jadi Tergugat kerja pada Anda? Bapak--""Jonathan, Yang Mulia. Saya Jonathan Eka Kurniawan, dokter spesialis bedah syaraf dan juga direktur utama rumah sakit Medika Abadi.""Tergugat bekerja pada Anda untuk melunasi biaya rumah sakit? Jadi biaya itu tidak Tergugat yang melunasi?" tanya Hakim dengan wajah kesal. "Izin menjawab Yang Mulia, kalau Tergugat yang melunasi, tentu tidak mungkin Penggugat lantas bekerja pada saya."Bisik-bisik riuh kembali terdengar, Asha menghela napas panjang, agaknya ia tidak perlu banyak bicara, semua seolah bersatu didepannya, menjadi tameng untuk Asha dalam menghadapi Dimas. "Dan soal perselingkuhan yang tadi Anda tuduhkan pada Penggugat, dari mana Anda bisa mengatakan hal demikian?""Saya bawa saksi dari rekan kerja satu kantor dengan tergugat, Yang Mulia. Mereka berdua rekan satu kantor. Bahkan rekaman CCTV gudang yang sering digunakan untuk berbuat asusila oleh Penggugat dan perempuan itu ada di tangan saya!"Jadi? Asha benar-benar tidak menyangka